Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah.[1] Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai,[2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.[3]
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
1. Pembentukan awal
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu,[2] yang kemudian bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M,[4] pemerintahan dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas
sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring dengan
berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus
tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345. Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[5]
Selanjutnya pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan.
2. Relasi dan persaingan
Kesultanan Pasai kembali bangkit dibawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.
Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai
berturut turut dalam tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan
perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin.
Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan memiliki batas wilayah
dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus
ke arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan kerajaan Lambri (Lamuri)
yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam
kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra Donya.[6]
Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk menyampaikan berita tersebut.[6]
"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah
ia duduk di tanah Jawa ini, mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka
banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah oleh Majapahit itu".
— Gambaran penaklukan Pasai oleh Majapahit, kutipan dari Hikayat Raja-raja Pasai[2]
3. Pemerintahan
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara.
Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di
Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan
dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar
serta dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan
menambahkan, walau muaranya besar namun ombaknya menggelora dan mudah
mengakibatkan kapal terbalik.[6] Sehingga penamaan Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan dengan ini.
Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar sultan.
Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak
telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga
menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera. Namun
pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi
satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai.
Pada masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan Pasai terbunuh.
4. Perekonomian
Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang ini disebut deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter 10 mm, mutu 17 karat.
Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi
di ladang, yang dipanen 2 kali setahun, serta memilki sapi perah untuk
menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya memiliki tinggi rata-rata
2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat
dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan,
dan di atasnya dihamparkan tikar rotan atau pandan.[6]
5. Agama dan budaya
Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[7] telah membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka, seperti bahasa,
maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian.
Kemungkinan kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan
hubungan yang akrab ini dipererat oleh adanya pernikahan antara putri
Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
6. Akhir pemerintahan
Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin[8] menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.
7. Daftar penguasa Pasai
Berikut daftar penguasa Pasai,Periode | Nama Sultan atau Gelar | Catatan dan peristiwa penting |
---|---|---|
? - 1297 | Marah Silu Sultan Malik as-Saleh |
Hikayat Raja-raja Pasai dan makam raja |
1297 - 1326 | Sultan Muhammad Malik az-Zahir | Koin emas telah mulai diperkenalkan |
1326 - 1345 | Sultan Mahmud Malik az-Zahir | Dikunjungi Ibnu Batutah |
1345 - 1383 | Sultan Ahmad Malik az-Zahir | Diserang Majapahit |
1383 - 1405 | Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir | Dikunjungi Cheng Ho |
1405 - 1412 | Sultanah Nahrasiyah | Raja perempuan, (janda Sultan Pasai sebelumnya) |
1405 - 1412 | Sultan Sallah ad-Din | Menikahi Sultanah Nahrasiyah |
1412 - 1455 | Sultan Abu Zaid Malik az-Zahir | Mengirim utusan ke Cina |
1455 - 1477 | Sultan Mahmud Malik az-Zahir II | |
1477 - 1500 | Sultan Zain al-Abidin ibn Mahmud Malik az-Zahir II Sultan Zain al-Abidin II |
|
1501 - 1513 | Sultan Abd-Allah Malik az-Zahir | |
1513 - 1521 | Sultan Zain al-Abidin III | Penaklukan oleh Portugal |
8. Warisan sejarah
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1297 M, dirujuk oleh sejarahwan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai
memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah
membantu dalam mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan
ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini telah menginspirasikan
masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.
9. Rujukan
- Ricklefs, M.C., (1991), A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition, Stanford: Stanford University Press, hlm. 15, ISBN 0-333-57690-X.
- Hill, A. H., (1960), Hikayat Raja-raja Pasai, Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland, London. Library, MBRAS.
- Wicks, R. S., (1992), Money, markets, and trade in early Southeast Asia: the development of indigenous monetary systems to AD 1400, SEAP Publications, ISBN 0877277109.
- Moquette, Jean Pierre, (1913), De Oudste Vorsten van Samudra-Pase, Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst, Batavia, hlm. 1-12.
- Ferrand, Gabriel, (1914), Relations de voyages et textes geographiques : Arabes, Persan et Turks relatifs a l'Extreme-Orient du VIIIe au XVIIIe siecles, traduits, II, hlm. 440-450.
- Yuanzhi Kong, (2000), Muslim Tionghoa Cheng Ho: misteri perjalanan muhibah di Nusantara, Yayasan Obor Indonesia, ISBN 9794613614.
- Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
- Ahmad Rizal Rahim, (2000), Sulalatus Salatin, Jade Green Publications, ISBN 983929377X.
10. Kepustakaan
- T. Ibrahim Alfian, (1979), Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh, Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum, Aceh.
11. Pranala luar
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar