Laman

Senin, 16 April 2012

Pulau di Aceh

PULAU BABI
Pulau Babi adalah sebuah pulau yang terletak di Samudra Hindia di sebelah barat Pulau Sumatra. Tepatnya terletak di sebelah barat Pulau Tuangku, di sebelah tenggara Pulau Simeulue dan di sebelah selatan Pulau Lasia. Secara geografis terletak di titik koordinat 2°5′0″LU,96°38′0″BT. Termasuk dalam wilayah Kabupaten Simeulue.

Pulau-pulau di sekitar Pulau Babi antara lain:
  • Pulau Simeulue
  • Pulau Lasia
  • Pulau Tuangku
  • Pulau Bangkaru

PULAU BANGKAU
Pulau Bangkaru adalah sebuah pulau yang termasuk dalam kepulauan Banyak yang terletak di Samudra Hindia di sebelah barat pulau Sumatra. Tepatnya terletak di sebelah barat pulau Tuangku yang termasuk dalam wilayah administratif dari kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Secara geografis terletak di titik koordinat 2°4′0″LU,97°7′0″BT.
Pulau ini dapat ditempuh sekitar 5 jam dengan menggunakan perahu motor dari Singkil, atau kurang dari satu jam dari pulau Banyak.

Pantai pulau ini (pantai Amandangan dan pantai Pelanggaran) merupakan tempat bertelurnya penyu hijau, penyu belimbing dan penyu sisik. Selain itu, di kedua pantai ini merupakan salah satu tempat favorit untuk melakukan surfing dengan ombak yang mencapai ketinggian hingga 5 meter.
Pulau-pulau di sekitar pulau Bangkaru antara lain:
  • Pulau Tuangku
  • Pulau Sarangalu
  • Pulau Balai
Merupakan Pulau pusat Kecamatan Pulau Banyak. Dahulu dinamakan Pulau Balai karena sebelumnya pulau ini menjadi tempat istirahat para nelayan yang istirahat. Mereka istirahat di Bale-Bale kecil dan tidur-tiduran di Pulau itu, sehingga lama kelamaan namanya diubah menjadi Pulau Balai (Pulau Bale). Luasnya tidak terlalu besar, hanya 1/8 dari Pulau Tuangku. Namun tingkat kepadatannya sangat tinggi. Sebagai Kota Kecamatan, Pulau Balai minim fasilitas. Sebelum Tsunami ada dua Hotel yang bisa dimanfaatkan pengunjung, namun saat ini hanya satu, milik penduduk setempat yang posisinya persis di depan Kantor Kecamatan Pulau Banyak.
  • Pulau Palambak Besar
  • Pulau Palambak Kecil
  • Pulau Pinang
  • Pulau Ujungbatu

PULAU BREUEH
Pulau Breueh adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah barat laut pulau Sumatra dan di sebelah barat laut pulau Weh. Di lihat berdasarkan titik koordinat, pulau ini berada di koordinat 5°42′0″LU,95°4′0″BT.

Secara administratif pulau ini termasuk dalam wilayah kecamatan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar. Dan di pulau Breueh inilah ibukota kecamatan Pulau Aceh yaitu kota Lampuyang berada.
Pulau-pulau lain yang berda di dekat pulau Breueh antara lain:
  • Pulau Nasi
  • Pulau Deudap
  • Pulau Geupon
  • Pulau Batee
  • Pulau Weh


PULAU LASIA
Pulau Lasia adalah sebuah pulau yang terletak di Samudra Hindia di sebelah barat pulau Sumatera. Tepatnya terletak di sebelah barat pulau Tuangku, di sebelah tenggara pulau Simeulue dan di sebelah utara Pulau Babi. Secara geografis terletak di titik koordinat 2°10′0″LU,96°38′0″BT. Termasuk dalam wilayah kabupaten Simeulue,pulau Lasia memiliki sejarah menarik di bandingkan pulau pulau lainnya di kabupaten simeulue karena di pulau itu tersimpang sejarah aramzsen yang abadi hingga saat ini,terdapat bebrapa bekas-bekas fondasi rumah aramzsen yaitu berupa bekas rumah dan genteng jaman dulu produksi negeri belanda yang berserakan di dekat sungai di pulau tersebut,pulau tersebut juga memiliki Gua laut yang tembus kedaratan kepulauan itu,nuansa goa bawah laut ini sangat indah kalau kita lihat dari dekat.
Pulau-pulau di sekitar pulau simeulue antara lain:
  • Pulau Simeulue
  • pulau Babi
  • pulau Tuangku
  • pulau Bangkaru
  • pulau teupah
  • pualau si umat
  • pulau si laut
  • pulau babi kecil
  • pulau si manaha
  • pulau simeulue cut
  • pulau batu berlayar
  • pulau susi

PULAU NASI
Pulau Nasi adalah sebuah pulau yang terletak di sebelah timur laut pulau Sumatra dan di sebelah barat laut pulau Weh. Terletak di tengah-tengah antara ujung barat pulau Sumatra dengan pulau Breueh. Di lihat berdasarkan titik koordinat, pulau ini berada di koordinat 5°37′0″LU,95°7′0″BT.

Secara administratif pulau ini termasuk dalam wilayah kecamatan Pulau Aceh, Kabupaten Aceh Besar.
Pulau Nasi memiliki lima desa. Di antaranya Lamting, Dedap, Rabo, Pase Janeng dan Alue Rieng. Lamting merupakan desa dengan penduduk terbanyak. Penduduk pulau Nasi kesemuanya adalah pendatang dari daratan Aceh maupun dari pulau Weh dan pulau lainnya.
Pulau-pulau lain yang berada di dekat pulau Nasi antara lain:
  • Pulau Weh
  • Pulau Breueh
  • Pulau Keureusek
  • Pulau Batee
  • Pulau Bunta
  • Pulau Geupon
Pulau Nasi terkenal dengan beberapa sebutan, antara lain:
  • Pulau sarang malaria
  • Pulau si ladang ganja
  • Pulau markas GAM



PULAU RAYA
Pemandangan Pulau Raya di tahun 1920-an
Pulau Raya adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di samudra Hindia dan berbatasan dengan negara India. Pulau Raya ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah kabupaten Aceh Barat, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pulau ini berada di sebelah barat dari Aceh dengan koordinat 4° 52′ 33″ LU, 95° 21′ 46″ BT.



PULAU RONDO
Pulau Rondo adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudera Hindia dan berbatasan dengan wilayah negara India, yaitu Kepulauan Nikobar. Pulau Rondo ini merupakan wilayah paling utara dari Republik Indonesia dan secara administratif merupakan bagian dari wilayah kota Sabang, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pulau ini berada di sebelah Utara dari pulau Weh dengan koordinat 6° 4′ 30″ LU, 95° 6′ 45″ BT.

PULAU RUSSA
Pulau Rusa adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di samudra Hindia dan berbatasan dengan negara India. Pulau Rusa ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah kabupaten Aceh Besar, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pulau ini berada di sebelah barat daya dari kota Banda Aceh dengan koordinat 5° 16′ 34″ LU, 95° 12′ 7″ BT.

PULAU SALAUT BESAR
Pulau Salaut Besar adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di ujung barat kepulauan simeulue termasuk dalam lingkungan desa Lewak Kecamatan Simeulue Barat Kabupaten Simeuluesamudra Hindia Pulau Salaut Besar ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Simeulue, Pemerintah Aceh Nanggroe Aceh Darussalam. Pulau ini berada di sebelah barat laut dari pulau Simeuleu dengan koordinat 2° 57′ 51″ LU, 95° 23′ 34″ BT. Daerah perairan di kepulauan ini tergolong berbahaya kalau di musim barat dan di pulau ini terdapat tower rambu suar yang selalu setia di temani oleh 4 orang penjaga dari departemen perhubungan laut subdin navigasi. Pulau silaut adalah salah satu pulau terluar di wilayah Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh dengan lama perjalanan dari Sinabang selama tujuh Jam memakai rental Boat nelayan ( sebagai mana di sampaikan bapak Syahril dari Dishubkomintel Simeulue) "pulau tersebut tidak di diami oleh manusia karena kondisi alam dan lautnya yang tidak bersahabat,dan di pulau tersebut sangat membutuhkan satu unit pelabuhan nelayan,karena dari sektor perekonomian pulau silaut tersebut memiliki potensi yang sangat menjanjikan di antaranya adalah salah satu pulau penghasil kopra terbesar untuk kabupaten simeulue,tempat wisata bahari,laut silaut sangat baik untuk berselancar,karena tinggi ombaknya mencapai 6 sampai tujuh meter di musim barat.

PULAU SIMEULUE
Pulau Simeulue atau Simalur merupakan pulau yang berada di barat Sumatera. Berada kurang lebih 150 km dari lepas pantai barat Aceh, juga merupakan pulau pemerintahan Kabupaten Simeulue di tengah Samudra Hindia. Posisi geografisnya terisolasi dari daratan utama, hiruk-pikuk konflik di Aceh daratan tidak pernah berimbas di kawasan ini, bahkan tidak ada pergerakan GAM di kawasan kepulauan ini.

Pulau ini terkenal dengan hasil cengkehnya. Penduduk kawasan ini juga berprofil seperti orang Nias, dengan kulit kuning dan sipit seperti layaknya orang Tionghoa dan mempunyai bahasa yang berbeda dengan Aceh daratan. Hampir seluruh penduduk kepulauan ini beragama Islam. Setelah masa keemasan cengkeh mulai menurun, sebagian besar masyarakat Simeulue mulai beralih ke perkebunan sawit dan tanaman horikultura sebagai mata pencarian sehari-hari. 

PULAU TUANGKU
Pulau Tuangku adalah salah satu pulau terbesar yang terdapat di kepulauan Banyak yang terletak di Samudra Hindia atau di ujung barat pulau Sumatra.

Secara administratif, pulau ini terletak di kecamatan Pulau Banyak, Kabupaten Aceh Singkil, provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ada sesuatu yang unik dari masyarakat yang tinggal di Kecamatan Pulau Banyak, khususnya yang tinggal di Pulau Tuangku. Mereka sebagian besar merupakan etnis campuran dari etnis Padang, Nias, Batak, Aceh, Sinabang dan sedikit campuran penduduk asli di Aceh Singkil. Percampuran tersebut mengakibatkan mereka memiliki kemampuan minimal 4 bahasa. Dalam komuniasi dan interaksi sehari-hari, mereka sering menggunakan bahasa yang berbeda-beda, tetapi tetap saling mengerti. Seorang penduduk, khususnya yang berumur sudah agak tua bisa mengetahui bahasa Aceh, Batak, Padang, Nias, Sinabang, Singkil.

Sebagian besar penduduk Pulau Tuangku bekerja sebagai nelayan, hanya sedikit sekali yang bekerja sebagai petani. Ada tiga desa di Pulau Tuangku, yakni Desa Ujung Sialit, Desa Asan Tola dan Desa Haloban. Desa Haloban mayoritas penduduknya beragama Islam dan merupakan percampuran dari berbagai etnis, sedangkan penduduk Desa Ujung Sialit mayoritas dari etnis Nias dan beragama Kristen. Mungkin di Provinsi Aceh, Desa Ujung Sialit ini adalah desa satu-satunya yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Protestan. Namun sejauh ini kehidupan masyarakat dua desa tersebut sangat harmonis. Selain sebagian dari mereka masih memiliki hubungan kekerabatan, jauhnya interaksi dengan penduduk daratan membuat kehidupan mereka cenderung stabil. Namun selama ini perkembangan dua desa di Pulau Tuangku sangat lambat. Berbagai pembangunan yang dialokasikan di Kecamatan Pulau Banyak lebih dikonsentrasikan di Pulau Balai yang luasnya tidak sampai 1/16 dari Pulau Tuangku. Hal ini sering memunculkan kecemburuan. Ada banyak juga pegawai, seperti guru dan petugas PLN yang tinggal di Pulau Balai, sehingga berbagai pelayanan masyarakat dan pendidikan sering diabaikan.

Kehidupan masyarakat di Pulau Tuangku sangat memprihatinkan. Sebagai nelayan, kehidupan mereka sangat tergantung dari keberadaan toke pengumpul hasil nelayan. Harga jual pun cenderung jauh lebih rendah dibandingkan jika dijual di Pulau Balai sebagai pusat pemerintahan Kecamatan Pulau Banyak. Mereka sangat terikat dengan keberadaan toke tersebut, karena seorang toke di masyarakat juga menempati posisi sebagai Kepala Desa atau Sekretaris Desa, juga sebagai orang kaya, bergelar Haji dan memiliki hubungan dengan leluhur pendiri desa. Hal inilah yang membuat mereka tidak bisa lepas dari toke, walaupun mereka sadar bahwasannya selama ini dirugikan oleh toke tersebut. Beberapa usaha untuk memberdayakan nelayan dengan cara melepaskan diri dari toke akan mengalami kesulitan, karena sebagian besar dari mereka memiliki hubungan keluarga, dan sudah terbiasa untuk berhutang dengan toke tersebut. Jika mereka melepaskan diri dari ikatan toke dan mencoba mandiri menjual hasil tangkapan ke pihak lain, biasanya akan mendapat ancaman, seperti; tidak boleh meminjam uang, tidak boleh menumpang boat milik toke jika akan bepergian ke Pulau Balai atau ke Singkil, bahkan sering mendapat intimidasi dari pegawai-pegawai toke tersebut.

PULAU WEH
Peta Pulau Weh
Peta Pulau WehPulau Weh (atau We) adalah pulau vulkanik kecil yang terletak di barat laut Pulau Sumatra. Pulau ini pernah terhubung dengan Pulau Sumatra, namun kemudian terpisah oleh laut setelah meletusnya gunung berapi terakhir kali pada zaman Pleistosen. Pulau ini terletak di Laut Andaman. Kota terbesar di Pulau Weh, Sabang, adalah kota yang terletak paling barat di Indonesia.

Pulau ini terkenal dengan ekosistemnya. Pemerintah Indonesia telah menetapkan wilayah sejauh 60 km² dari tepi pulau baik ke dalam maupun ke luar sebagai suaka alam. Hiu bermulut besar dapat ditemukan di pantai pulau ini. Selain itu, pulau ini merupakan satu-satunya habitat katak yang statusnya terancam, Bufo valhallae (genus Bufo). Terumbu karang di sekitar pulau diketahui sebagai habitat berbagai spesies ikan.

Geografi
Pemandangan ke arah Danau Aneuklaot di atas Sabang, Pulau Weh. Foto koleksi Tropenmuseum Amsterdam.
Pulau Weh terletak di Laut Andaman, tempat 2 kelompok kepulauan, yaitu Kepulauan Nikobar dan Kepulauan Andaman, tersebar dalam satu garis dari Sumatra sampai lempeng Burma. Laut Andaman terletak di lempeng tektonik kecil yang aktif. Sistem sesar yang kompleks dan kepulauan busur vulkanik telah terbentuk di sepanjang laut oleh pergerakan lempeng tektonik.[2]

Pulau ini terbentang sepanjang 15 kilometer (10 mil) di ujung paling utara dari Sumatra. Pulau ini hanya pulau kecil dengan luas 156,3 km², tetapi memiliki banyak pegunungan. Puncak tertinggi pulau ini adalah sebuah gunung berapi fumarolik dengan tinggi 617 meter (2024 kaki).[1] Letusan terakhir gunung ini diperkirakan terjadi pada zaman Pleistosen. Sebagai akibat dari letusan ini, sebagian dari gunung ini hancur, terisi dengan laut dan terbentuklah pulau yang terpisah.

Di kedalaman sembilan meter (29,5 kaki) dekat dari kota Sabang, fumarol bawah laut muncul dari dasar laut.[3] Kerucut vulkanik dapat ditemui di hutan. Terdapat 3 daerah solfatara: satu terletak 750 meter bagian tenggara dari puncak dan yang lainnya terletak 5 km dan 11,5 km bagian barat laut dari puncak di pantai barat teluk Lhok Perialakot.

Terdapat empat pulau kecil yang mengelilingi Pulau Weh: Klah, Rubiah, Seulako, dan Rondo. Di antara keempatnya, Rubiah terkenal sebagai tempat pariwisata menyelam karena terumbu karangnya. Rubiah menjadi tempat persinggahan warga Muslim Indonesia yang melaksanakan haji laut untuk sebelum dan setelah ke Mekkah.[4]

Penduduk
Pulau Weh merupakan bagian dari provinsi Aceh. Sensus tahun 1993 menunjukan terdapat 24.700 penduduk di pulau ini.[5] Mayoritas dari populasi tersebut adalah suku Aceh dan sisanya Minangkabau, Jawa, Batak, dan Tionghoa.[6] Tidak diketahui kapan pulau ini pertama kali dihuni. Islam adalah agama utama, karena Aceh adalah provinsi khusus yang menetapkan hukum Syariah. Namun, terdapat beberapa orang Kristen dan Buddha di pulau ini. Mereka kebanyakan bersuku Jawa, Batak, dan Tionghoa.

Pada tanggal 26 Desember 2004 gempa bawah laut yang besar (9 skala Richter) terjadi di Laut Andaman. Gempa ini memicu terjadinya serangkaian tsunami yang menewaskan sedikitnya 130.000 orang di Indonesia.[7] Pengaruh terhadap pulau Weh relatif kecil,[8] tetapi tidak diketahui berapa banyak penduduk dari pulau itu yang tewas akibat gempa tersebut.

Ekonomi
Lukisan pelabuhan Sabang tahun 1910.

Perekonomian Pulau Weh sebagian besar didominasi oleh agrikultur. Hasil utamanya adalah cengkeh dan kelapa.[6] Tempat pembiakan ikan berskala kecil berada di wilayah tersebut, dan nelayan secara besar-besaran menggunakan peledak dan sianida dalam memancing. Oleh sebab itu, semenjak tahun 1982, suaka alam dibentuk oleh pemerintah Indonesia yang termasuk 34 km² di daratan dan 26 km² di sekitar lautan.[5]
Dua kota utama di pulau ini adalah Sabang dan Balohan. Balohan adalah pelabuhan kapal feri yang bertugas sebagai penghubung antara pulau Weh dan Banda Aceh di daratan Sumatra. Sabang merupakan dermaga penting semenjak akhir abad ke-19, karena kota ini merupakan pintu masuk ke selat Malaka.
SS Sumatra berlabuh di Sabang tahun 1895

Sebelum terusan Suez dibuka tahun 1869, kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda dari Afrika. Dari terusan Suez, jalur ke Indonesia lebih pendek melalui Selat Malaka. Karena kealamian pelabuhan dengan air yang dalam dan dilindungi dengan baik, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membuka Sabang sebagai dermaga.

Pada tahun 1883, dermaga Sabang dibuka untuk kapal berdermaga oleh Asosiasi Atjeh.[9] Awalnya, pelabuhan tersebut dijadikan pangkalan batubara untuk Angkatan Laut Kerajaan Belanda, tetapi kemudian juga mengikutsertakan kapal pedagang untuk mengirim barang ekspor dari Sumatra utara.

Setiap tahunnya, 50.000 kapal melewati Selat Malaka.[10] Pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menyatakan Sabang sebagai Zona Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk mendapatkan keuntungan dengan mendirikan pelabuhan tersebut sebagai pusat logistik untuk kapal luar negeri yang melewati selat itu.[11] Prasarana untuk dermaga, pelabuhan, gudang dan fasilitas untuk mengisi bahan bakar sedang dikembangkan.

Pulau Weh juga terkenal dengan ekoturismenya. Menyelam, mendaki gunung berapi dan resor pantai adalah daya tarik utama dari pulau ini. Desa kecil Iboih, dikenal sebagai lokasi untuk berenang di bawah laut. Beberapa meter dari Iboih adalah Rubiah, yang dikenal dengan terumbu karangnya.[12]

Ekosistem
Selama tahun 1997-1999, Conservation International melakukan survei terhadap terumbu karang di wilayah tersebut.[5] Menurut survei, keanekaragaman terumbu relatif sedikit, tetapi keanekaragaman spesies ikan sangat besar. Beberapa spesies ditemukan selama survey termasuk di antaranya Pogonoperca ocellata, Chaetodon gardneri, Chaetodon xanthocephalus, Centropyge flavipectoralis, Genicanthus caudovittatus, Halichoeres cosmetus, Stethojulis albovittatus, Scarus enneacanthus, Scarus scaber dan Zebrasoma desjardinii.[5]
Gempa bumi di sekitar Aceh dan Laut Andaman tahun 2004

Pada 13 Maret 2004, spesimen langka dan tidak biasa dari spesies hiu bermulut besar, terdampar di pantai Gapang.[13] Hiu bermulut besar memiliki mulut besar yang khas, hidung yang sangat pendek dan lebar. Spesimen tersebut merupakan penemuan yang ke-21[13] (beberapa mengatakan ke-23[14]) dari spesiesnya sejak penemuannya pada tahun 1976. Hiu jantan yang berukuran panjang 1,7 meter (5,58 kaki) dan memiliki berat 13,82 kg (30,5 pon) yang membeku dikirim ke Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk penelitian lebih lanjut. Sampai tahun 2006, hanya terdapat 36 penemuan hiu bermulut besar di Samudra Pasifik, Hindia, dan Atlantik.[15]

Gempa bumi dan tsunami tahun 2004 memengaruhi ekosistem di pulau tersebut.[16] Di desa Iboih, petak tanaman bakau yang besar hancur. Puing dari daratan ditumpuk di karang-karang sekitarnya sebagai akibat tsunami. Pada tahun 2005, sekitar 14.400 bibit bakau ditanam kembali untuk menyelamatkan hutan bakau tersebut.[17]

Selain daripada ekosistem bawah laut, pulau Weh merupakan satu-satunya habitat dari spesies katak yang terancam, bernama Bufo valhallae (genus "Bufo").[18] Spesies ini hanya dapat diketahui dari ilustrasi dari pulau ini. Karena penggundulan hutan di pulau Weh, populasi dari spesies tersebut tidak pasti.

 

Referensi

  1.  "Pulau Weh". Global Volcanism Program. Smithsonian Institution. Diakses pada 16 November 2006.
  2. Curray, J.R. (2005). "Tectonics and history of the Andaman Sea region". Journal of Asian Earth Sciences 25 (1): 187–232. doi:10.1016/j.jseaes.2004.09.001.
  3. "Pulau Weh Volcano, Indonesia". John Seach, an Australian volcanologist. Diakses pada 23 November 2006.
  4. "Weh Island, a piece of land from heaven". Kantor Pariwisata Aceh. Diakses pada 30 November 2006.
  5. G.R. (2002). "Coral Reef Fish Assessment in the 'Coral Triangle' of Southeastern Asia". Environmental Biology of Fishes 65 (2): 209–214. doi:10.1023/A:1020093012502.
  6. "The people of Weh Island". Kantor Pariwisata Aceh. Diakses pada 30 November 2006.
  7. UN Office of the Special Envoy for Tsunami Recovery. The Human Toll. Rilis pers. Diakses pada 2006-11-23.
  8.  "Waves of Mercy Says Goodbye to Pulau Weh ", (Indonesia Relief), 11 Juni 2005. Diakses pada 23 November 2006.
  9.  "Sabang". ABN AMRO History. ABN AMRO. Diakses pada 30 November 2006.
  10.  "IMO to take Straits initiative ", (International Maritime Organization). Diakses pada 24 November 2006.
  11.  Government of Indonesia (1 September 2000). Free Trade Zone and Free Port of Sabang. Rilis pers. Diakses pada 2006-11-30.
  12.  "Pulau Weh". Asia Dive Site. Diakses pada 21 November 2006.
  13.  White, W.T. (2004). "A Juvenile Megamouth Shark Megachasma Pelagios (Lamniformes: Megachasmidae) From Northern Sumatra, Indonesia". The Raffles Bulletin of Zoology 52 (2): 603–607.
  14.  "Megamouth Shark #23 Washes Up in Sumatra, Indonesia ", (Museum Sejarah Alam Florida), 13 Maret 2004. Diakses pada 21 November 2006.
  15.  "Distribution Table of Confirmed Megamouth Shark Sightings". Museum Sejarah Alam Florida. Diakses pada 21 November 2006.
  16.  "USGS Scientists in Sumatra Studying Recent Tsunamis: Leg 2 Reports, 12 April to 30 April 2005 ", (USGS). Diakses pada 23 November 2006.
  17.  "Seacology News ", (Seacology), 9 Juli 2005. Diakses pada 23 November 2006.
  18.  "Bufo Valhallae". IUCN Red List of Threatened Species. IUCN. Diakses pada 23 November 2006.

Pranala luar

Arief

Tidak ada komentar:

Posting Komentar