Laman

Sabtu, 26 Desember 2015

Kajao Lalliddong

Kajao Lalliddong : Pemikir dan Penasehat Kerajaan
 
arifuddinali.blogspot.com - Kajao Lalliddong atau Kajao Lalli’do, yang berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong, adalah seorang cendekiawan dari Kerajaan Bone pada masa sebelum Islam masuk ke wilayah Sulawesi Selatan. Kajao Laliddong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone pada abad ke-16 masa pemerintahan raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Pada masa pemerintahan La Tenri Rawe Bongkange, kerajaan Bone mengalami perkembangan sangat pesat berkat sumbangsih fikiran Kajao Lalliddong. Namun, tak banyak orang yang mengetahui kisah panjangnya karena hanya disampaikan oleh orang-orang terdahulu kepada anak cucu mereka sebagai pengantar tidur. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa kisah Kajao Lalliddong hanyalah kisah fiktif belaka.

Kajao Lalliddong diperkirakan sejaman dengan filsuf politik Italia, Nicolo Machiavelli. Akan tetapi, pemikiran Kajao Lalliddong menganjurkan agar penguasa lebih jujur dan bijaksana, sedangkan Machiavelli mengabaikan etika atau moral dalam pertarungan politik. Menurut WS Rendra, pemikiran Kajao Lalliddong mengenai adat, peradilan, yurisprudensi, dan tata-pemerintahan sudah cukup lengkap. Bahkan, pemikiran Kajao Laliddong itu mendahului “kode Napoleon”.

Kajao Lalliddong lahir dengan nama La Mellong, diperkirakan pada tahun 1507, pada masa pemerintahan Raja Bone IV We Banrigau (1496-1516) yang sama dengan masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre To Mapakrisi Kallongna. Kajao Lalliddong atau La Mellong diyakini lahir di sebuah desa bernama Kajao, sekarang berada dalam wilayah kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Desa itu bernama desa Kajao. Di desa itu ditemukan banyak bukti sejarah berkaitan dengan La Mellong seperti makam yang dipercaya sebagai makam La Mellong, bukit kecil yang dipercaya sebagai tempat La Mellong mencari siput serta sebuah pohon kayu yang dipercaya sebagai tongkat La Mellong yang ditancapkannya ke tanah. Desa ini dulunya bernama Wanua Cina, kemudian berubah jadi desa Kajao.

Dari cerita rakyat, diketahui bahwa ayah La Mellong adalah seorang Kepala Wanua (Matowa) yang dikenal sangat arif dan bijaksana. Kehidupan rakyat di Wanua Cina sangat makmur, tanaman tumbuh subur dan ternak berkembang biak dalam situasi keamanan yang terjamin. Saking dicintainya oleh rakyat, ayah La Mellong mendapat gelar Tau Tongeng ri Gau’na (orang yang benar dalam perbuatannya).

La Mellong sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang cerdas, jujur dan berani. Ia tidak pernah berbohong, tegas dalam bertindak dan berani mengeluarkan pendapat. Sifat ini sudah terlihat sejak kecil dan membuatnya disegani oleh rekan-rekan sebaya. La Mellong juga dikenal sebagai anak yang rajin, setiap hari ia menghabiskan waktu dengan menggembala ternak milik keluarganya dengan sungguh-sungguh. Dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang pemikir yang cemerlang. Kajao, sebenarnya bukanlah sebuah nama, tapi sebuah gelar atau penghargaan bagi seseorang di kerajaan Bone karena kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya. Gelar ini merupakan posisi istimewa, karena tidak ada lagi sebutan Kajao setelah masa Kajao Lalliddong.

La mellong digambarkan sebagai seorang lelaki setengah baya yang ramah dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Ia pun memiliki pemikiran yang panjang serta cerdik. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia berhasil melalui berbagai hambatan dan tantangan yang dibebankan padanya. Banyak pula yang menganggapnya sebagai seorang tokoh kritikus di masanya. Oleh karena itu, beberapa pihak, utamanya dikalangan kerajaan, kerap berusaha untuk menangkapnya atau membuatnya menyerah. Digambarkan pula bahwa ia dikenal tidak hanya di kawasan kerajaan Bone, namun juga di wilayah-wilayah sekitarnya. Ia juga digambarkan sebagai orang yang sering berkunjung ke berbagai tempat, dan kadang juga menghilang untuk merenung bila memiliki masalah yang harus ia selesaikan.

Kajao Lalliddong, dipilih dan diangkat sebagai penasehat Raja, sekaligus sebagai pemikir ahli untuk pemerintahan Kerajaan Bone karena kecerdasan yang terpancar dari dalam dirinya. Sebelum pengangkatannya sebagai penasehat Raja, ketika itu Raja Bone mendengar kabar tentang seorang pemuda yang berani dan cerdas. Pemuda yang bernama La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone. Pada masa itu, ketika seorang Raja apabila mendengar ada orang pintar dinegerinya, dipanggil dan diuji dalam bentuk dialog serta ujian ketangkasan, yang langsung dilaksanakan sendiri oleh raja. Apabila dalam dialog itu terungkap pernyataan, yang menurut raja, ada sesuatu yang mengesankan, misalnya kecerdasannya dalam menterjemahkan gejala alam, kepiawaian menjawab pertanyaan, kepandaian merangkai kata-kata dan menggunakan symbol-simbol makna, maka yang bersangkutan akan terpilih.

Raja Bone pun memanggil pemuda tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin menguji kecerdasan pemuda tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70 orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun menyanggupi kedua permintaan sang raja.

La Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Lalliddong. Ia mengambil tangga rangkiang tua miliknya, lalu menyeretnya menuju istana kerajaan Bone. Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?” Sepanjang jalan, setiap ada yang bertanya, maka La Mellong pun memintanya ikut bersamanya menuju istana. Setiba di depan istana, sebanyak 69 orang yang mengikuti La Mellong, dan ketika La Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana, tiba-tiba pengawal istana menegurnya,

“Hei! Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?”. “Pammasena Dewatae (puji syukur pada Dewata), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja. “Tabek Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar La Mellong. “Ha? Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang raja dengan suara meninggi. “Ampun Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang datang bersamaku ini adalah orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku tentang apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa adalah tangga rangkiang, maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tak dapat melihat.”

Seketika sang raja menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.” Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang tua milik La Mellong. “Tapi mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”. La Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang tua miliknya itu yang terbuat dari bambu, “Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.” “Hah? Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” cecar raja.

“Tabek Puang, tangga ini mempunyai tiga keistimewaan. Pertama, bila saya menemukan dua orang yang berselisih, maka saya akan memberikan tangga ini kepada keduanya agar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua orang bertengkar atau berselisih paham karena mereka tidak saling mengenal. Kedua, bila saya bertemu dengan orang yang lapar di tengah hutan sedangkan mereka tidak bisa memanjat pohon, maka saya hanya akan memberi tangga ini agar orang lapar itu bisa memetik sendiri buah-buahan yang ranum di pepohonan, kalau saya memberikan mereka buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian tersebut sudah habis. Ketiga, ketika saya berjumpa dengan seorang pejabat kerajaan, maka saya akan memberikan tangga ini, agar mereka berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab bila seseorang terlalu serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh,” jelas La Mellong.
“Engkau benar-benar cerdas La Mellong, mulai sekarang engkau akan kuangkat menjadi penasehat utama kerajaan,” tegas sang raja.

La Mellong pun resmi menjadi seorang penasehat kerajaan. Ia pun diberi gelar La Mellong Tosuwalle Tautongeng Maccae ri Lalliddong atau disingkat Kajao Lalliddong. Sejak saat itu, sebagai seorang Kajao, tidak hanya bertugas sebagai penasehat kerajaan, melainkan juga sebagai “Juru Bicara” dan “Diplomat” negara sekaligus sebagai “Ahli Nujum Istana:”. Dalam melaksanakan tugas diplomasi, kekuasaan dan kewibawaan kerajaan terletak diujung lidah seorang Kajao. Banyak sekali legenda Kerajaan Bone, diukir dengan manis oleh Kajao Lalliddong, atas keberhasilannya menjadi diplomat keberbagai negara kerajaan terdekat, seperti Wajo, Soppeng dan Sidenreng. Lahirnya konsep awal “Sempugi” melalui perjanjian antar kerajaan Bone, Soppeng, Wajo yang dikenal “Lamumpatue ri Timurung”, adalah hasil kerja Kajao Lalliddong, yang berasal dari gagasan Raja Bone, untuk menghindari perang antar kerajaan tetangga, bahkan lebih baik bersatu menghadapi serangan musuh.

Salah satu ajaran Kajao Lalliddong tentang politik dan pemerintahan adalah : “Luka taro arung telluka taro ade Luka taro ade telluka taro anang,” yang artinya bahwa, keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepekatan rakyat banyak.

Makna ajaran tentang demokrasi yang diamanahkan oleh Kajao Lalliddong dengan menempatkan rakyat sebagai kunci keputusan dalam suatu pemerintahan, menunjukkan arti demokrasi yang sesungguhnya, padahal Kajao Lalliddong bukanlah orang yang pernah mengecap pendidikan formal apalagi pendidikan barat. Makna, ajaran ini justru sekarang diimplementasikan dalam proses demokrasi melalui perwakilan rakyat.

Dalam menjalankan peran Kajao Lalliddong, ia terkadang sebagai penasehat Raja saja. Diminta atau tidak, Kajao Laliddong memberikan nasihat. Jika tidak diminta dan apabila ada yang dianggap perlu disampaikan pada raja, maka ia menggunakan symbol-simbol atau gerak isyarat. Apabila ada yang ingin disampaikannya tetapi tidak dapat disampaikan langsung, maka iapun mengurung diri dalam kamar beberapa hari tanpa makan dan minum. Pada saat itulah biasanya raja bertanya. “ Apa yang merisaukan hati Kajao hingga mengurung diri di kamar.” Mengurung diri di sebuah kamar, sesungguhnya adalah suatu upaya perenungan untuk menemukan pemikiran yang jernih.

Kajao Lalliddong dalam memberikan jawaban tidak secara ferbal, melainkan dalam perandaian atau kata simbolik, “ Saya mencoba merasakan bagaimana perasaan rakyat jika tidak pernah melihat pemimpinnya,” demikian jawabannya jika ditanya oleh raja akan sikapnya yang suka bersemedi. Melalui ungkapan itu raja mengerti bahwa koreksi atas dirinya yang tidak pernah keluar istana melihat keadaan masyarakat secara langsung. Ungkapan itu sekaligus menggambarkan bahwa, nasehat itu pada dasarnya bermuatan saran atau kritikan untuk memperbaiki sikap bertindak seorang raja pada rakyatnya. Artinya, sang penasehat seperti Kajao, tidak berucap atau bersikap asal menyenangkan rajanya.

Sang penasehat, tidak serta merta juga didengar pendapatnya, sebab dalam berbagai dialog dengan Raja Bone, maka Kajao Laliddong terkadang berbicara didepan dewan hadat – ADE PITU – terkadang memang hanya pada Arung Mangkau saja. Artinya, pendapat penasehat, apabila menyangkut kenegaraan, masih harus dimintakan pertimbangan dewan hadat. Persetujuan itu diperlukan, karena yang akan memimpin dan mengarahkan pelaksanaannya nanti adalah, melalui anggota dewan adat. Sebagai seorang pemikir, Kajao Laliddong mengungkapkan dalam pertemuan dewan hadat, jika diminta berpendapat atas diskusi antar anggota dewan adat. Secara bijak, memang Kajao hanyalah diam pada pertemuan dewan adat, sebab ia bukan anggota, sehingga ia mengeluarkan pendapat jika diminta oleh raja. Namun jika sudah berpendapat, biasanya menjadi dasar kesepakatan yang disetujui dewan adat.

Kajao Laliddong juga mencoba menanamkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh raja dan rakyat, yaitu : lempu’ (jujur), acca (pandai), asitinajang (kepatutan), getteng (keteguhan), reso (usaha,kerja keras), siri’ (harga diri). Pada suatu hari, sebagaimana dikisahkan dalam Lontara, raja Bone pernah bertanya kepada Kajao Lalliddong: “aga tanranna namaraja tanaé” (apa tandanya apabila negara itu menanjak kejayaannya)?” Kajao pun menjawab: dua tanranna namaraja tanaé Arungponé, seuwani malempu namacca Arung Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.” (Dua tanda negara menjadi jaya, pertama, raja yang memerintah memiliki sifat jujur lagi pintar, dan kedua, tidak bercerai-berai).

Pernah suatu masa, Kajao Lalliddong berkata :
“Suatu waktu, akan ada dua macam zaman, yakni zaman ayam dan zaman penyu. Adapun tanda-tanda zaman ayam jago itu, sama seperti tingkah laku dari dua ayam jago yang berlaga, salah satu dari keduanya melompat keatas bubungan rumah dan terus berkokok, namun kokoknya itu tidak mendapat balasan dari bawah. Karena merasa bosan berkokok tanpa jawaban, melompatlah ayam itu ketanah dan begitu tiba ditanah, langsung dikejar oleh ayam lawannya tadi. Bahwa yang berkokok di bubungan rumah tadi sebenarnya ayam kalah, demikian pula keadaannya pemimpin-pemimpin pada zaman itu. Apabila zaman ayam ini datang, apapun yang dikerjakan tidak akan mendatangkan berkah.

Adapun pada zaman penyu, tongkatpun yang ditanam akan berdaun, artinya tidak ada pekerjaan yang tidak mendapatkan hasil. Pada saat penyu bertelur, kepalanya bergerak keluar masuk dan dari mulutnya keluar telur yang jumlahnya banyak dan kemudian akan dimakan orang banyak. Begitulah yang disebut pemimpin pada waktu itu, kepalanya (otaknya bekerja) dan hasil karyanya dinikmati orang banyak. Oleh karena itu, bila waktu penyu tiba, bekerjalah sekuat tenaga sebab tidak ada pekerjaan yang sia-sia tanpa memperoleh hasil.”

Kejujuran dan kebijaksanaan menjadi kunci kepemimpinan yang ditekankan oleh Kajao Lalliddong. Gagasan-gagasan Kajao Lalliddong sangat dekat dengan demokrasi. Dalam gagasan-gagasannya, Kajao jelas sekali menentang kekuasaan raja yang tidak terkontrol dan tidak dibatasi. Seorang raja, di mata Kajao Laliddong, tidak boleh terpejam matanya siang dan malam untuk memikirkan kebaikan negerinya. Jika biasanya raja digambarkan berkuasa mutlak, dan karenanya kata-kata atau perintahnya tidak bisa dibantah, maka Kajao Lalliddong menganjurkan kepada raja-raja Bugis untuk senatiasa mengkaji segala sesuatunya sebelum bertindak, pandai berbicara dan menjawab pertanyaan, dan memilih utusan yang senantiasa dapat dipercaya.

Pokok-pokok pikiran Kajao Lalliddong menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan. Buah pikirannya menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis disebut “Pangngadereng” yang menekankan bahwa raja dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman pada “Sistem Norma” sesuai konsep sebagai berikut :
Ade’, merupakan komponen pangngadereng yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
Ade’ pura onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau yang sukar untuk diubah.
Ade’ a’biasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Ade’ maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Bicara, adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.

Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.

Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar berperilaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan. Kajao juga berpesan kepada seorang pemimpin apabila ingin mengambil keputusan, “Jangan meminta pertimbangan pada perempuan kalau menyangkut keadaan perang negara, karena wanita lebih mengutamakan perasaannya.” Jika istri kepala pemerintahan menjadi dominan dalam memberikan pertimbangan kepada suaminya, celakalah keadaan negara

Pada akhir pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584), Kajao Lalliddong menginjak usia 71 tahun. Banyak yang berpendapat, bahwa peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak terlalu nampak lagi, kecuali buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Sumber-sumber lisan, misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone, menyebutkan bahwa di saat usia uzur, ia memilih meninggalkan istana raja dan kembali ke tempat kelahirannya di Lalliddong yang pada saat itu berada di wilayah Wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan. Tentang pemberian gelar “Kajao” yang menurut bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Bissu” (Rohaniawan) di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu nampak bagai seorang perempuan.

Terdapat beberapa versi tentang meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu. Versi pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya “mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya. Pada saat itu, Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi, namun setelah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak dapat ditemukan.

Versi yang lain menyatakan bahwa Kajao Lalliddong menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang disaat usia yang bertambah uzur. Tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis saat itu.

Ada juga cerita bahwa Kajao Lalliddong telah menikah dan mendiami tempat yang tak begitu ramai di kawasan Kerajaan Bone, dengan harta pemberian dari Raja sebagai penghargaan dan usahanya, ia hidup bahagia bersama istri dan anaknya. Ia diperkirakan mangkat pada tahun 1586.
 
Referensi :
– Berdikarionline.com
– Makassarnolkm.com
– Ensoklopediabugismakassar.wordpress.com


Sumber : koranmakassaronline.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar