Laman

Kamis, 28 Maret 2013

Ekositem Tappareng Karaja


Sejarah Lingkungan “Ekosistem Tappareng Karaja” I

Oleh : Ambo Tang Dg Matteru

Sejarah Lingkungan “Ekosistem Tappareng Karaja” dan Kaitannya dengan Negara Kerajaan, Tata Pemerintahan Tradisional, Agama dan Kepercayaan di Jazirah Selatan Pulau Sulawesi

Study Sejarah bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan. Selama ini paling tidak dilakukan dengan pendekatan linguistik, arkeologi, geneologis tokoh, rangkaian peristiwa, dokumen (seperti Kitab La Galigo) dan lainnya. Semua pendekatan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan karenanya perlu saling mengisi. Pendekatan lainnya yang tidak kalah pentingnya tapi jarang dilakukan adalah pendekatan lingkungan (perubahan geologi dan ekosistem).

Untuk menelaah sejarah sejumlah Negara Kerajaan yang pernah berdiri dan berkembang di jazirah selatan Pulau Sulawesi sangat penting dan relevan untuk mengkaji Sejarah Lingkungan dari apa yang dapat disebut sebagai “Ekosistem Tappareng Karaja”. Betapa tidak, “Ekosistem Tappareng Karaja” adalah sebuah kawasan yang tidak hanya terkait dengan berbagai kekayaan sumberdaya tapi juga terkait langsung maupun tidak langsung dengan sejarah manusia dan kelembagaannya yang pernah ada dan berkembang.

Beberapa Negara Kerajaan, Tata Pemerintahan Tradisional, Komunitas Keagamaan/Kepercayaan yang terkait erat dengan “Ekosistem Tappareng Karaja” minimal dapat diidentifikasi sebagai berikut:
  1. Negara Kerajaan Wajo;
  2. Negara Kerajaan Sidenreng;
  3. Negara Kerajaan Suppa;
  4. Negara Kerajaan Sawitto;
  5. Negara Kerajaan Balangnipa (Tana Menre dan sekitarnya);
  6. Negara Kerajaan Siang;
  7. Negara Kerajaan Luwu;
  8. Negara Kerajaan Bone;
  9. Negara Kerajaan Bantaeng;
  10. 1Negara Kerajaan Tallo;
  11. Negara Kerajaan Gowa;
  12. Negara Kerajaan Buton (Wolio);
  13. Tata Pemerintahan Tradisional: Enrekang (Negeri Massenreng Pulu);
  14. Tata Pemerintahan Tradisional: Toraja (Tondok Lepongan Bulan Tana Mata Ri Allo);
  15. Tata Pemerintahan Tradisional: Kajang (Negeri Berbatas Ganda);
  16. Komunitas Alawiyah Belawa dan lainnya;
  17. Komunitas To Ani/ To Lotang;
  18. Komunitas To Palanro;
Dari daftar di atas dapat dilihat titik lokasinya pada estimasi peta yang dibagi menjadi 4 bagian perkembangan alam, dimana hampir seluruh prosesnya terkait dengan migrasi, peluang interaksi, pelayaran, perdagangan dan lain-lain diharapkan dapat menjadi bahan diskusi kita yang lebih kritis dan lebih memperkaya.

Estimasi peta yang dibagi menjadi 4 bagian perkembangan alam “Ekosistem Tappareng Karaja” ini sebelumnya telah pernah dikaji dan dibahas bersama antara Marwan R. Hussein, Ikrar “Opu” Idrus, sejumlah pemangku kepentingan di berbagai titik lokasi dengan berbagai latar belakang dan ATDM sendiri. Perkembangan alam “Ekosistem Tappareng Karaja” terekam dari berbagai catatan sejarah yang minimal terurai sebagai berikut:

Dalam buku “The Bugis”, Christian Pelras mengutip Bulbeck dalam “Historical Aechaelogy” yang menyebutkan bahwa sebenarnya laut pernah memanjang dari Sungai Cenrana ke arah pegunungan dan terus ke Danau Tempe yang rendah. Hal itu terjadi 7.100 dan 2.600 tahun yang lalu atau sekitar tahun 6.000-600 SM. Keterangan lainnya menjelaskan, Danau Sidenreng, Danau Tempe, Danau La Pongpakka dan Danau Alitta (Sawitto, Pinrang) pernah berhubungan dengan Sungai Saddang yang mengalir lewat Suppa ke Selat Makassar. Namun karena proses sendimentasi danau itu menjadi rawa-rawa pada awal abad ke-20, lalu kemudian mengering tanpa bekas seperti saat ini.

Terdapat banyak bukti yang menunjukkan bahwa pada abad ke-16 Masehi, dataran rendah sekitar Danau Tempe dan Danau Sidenreng masih merupakan satu danau yang besar dan luas, namun kemudian dalam perjalanan waktu semakin mendangkal. Hal ini dipertegas juga oleh catatan Manuel Pinto yang pernah mengunjungi danau ini pada tahun 1548. Pinto yang berasal dari Portugis itu mencatat bahwa danau tersebut lebarnya lima legua Portugis atau sekitar 25 km dan panjangnya sekitar 100 km. Menurutnya, penduduk menamakan danau ini sebagai “Tappareng Karaja” yang banyak dilayari perahu besar, termasuk perahu layar Portugis yang panjang dan lebar. Sedangkan penduduk Negara Kerajaan Gowa di bawah kepemimpinan Tunipallangga (1546) yang baru saja membangun Bandar Internasional dari pemindahan Bandar Bacukiki Negara Kerajaan Siang (Andaya: “The Heritage of Arung Palakka”) menyebutnya sebagai “Tamparang Labbayya” yang berarti “Laut Air Tawar”.

Crawfurd dalam bukunya “Description Dictionary” pada tahun 1828 menulis bahwa berdasarkan keterangan penduduk Wajo ketika itu, panjang danau tersebut sekitar 38 km. Demikian pula Nahuijs van Burgst dalam buku: "Briven 54" menyebutkan bahwa pada tahun 1827 Danau Sidenreng berhubungan dengan Danau Tempe. Danau Tempe mempunyai keliling 72 km dengan kedalaman 6-30 kaki. Kemudian ketika Belanda juga melakukan pengukuran tahun 1889, terjadi penurunan luas dan kedalaman yakni Danau Sidenreng sekitar 30 mil persegi dan Danau Tempe 59 mil persegi dengan kedalaman 4-5 meter pada musim hujan.

Selain daripada itu, hal yang dapat dipandang menarik lainnya adalah proses bergesernya aliran Sungai Walanae dari selatan membelah Kota Tosora (Ibukota Negara Kerajaan Wajo) menjauh ke arah utara akibat strategi perang yang diterapkan Negara Kerajaan Wajo melawan persekutuan Serdadu Belanda dan Laskar Negara Kerajaan Bone pasca Perjanjian Bongayya. Penggeseran pusat kekuasan Negara Kerajaan Bone ke Cenrana oleh La Tenri Tatta' Sultan Saaduddin, pergumulan kekuasaan di kawasan Ajang Tappareng, para pedagang antar negara dan komoditinya, dan lain-lain serta berbagai kaitannya dengan kisah yang diangkat dalam Kitab La Galigo dan lainnya yang dapat kita kembangkan bersama dalam diskusi yang diharapkan hanya dengan pendapat-pendapat relevan dan berbobot lebih nantinya.



Sejarah Lingkungan “Ekosistem Tappareng Karaja” II
Oleh : Ambo Tang Dg Matteru

Sejarah Lingkungan “Ekosistem Tappareng Karaja” dan Kaitannya dengan Negara Kerajaan, Tata Pemerintahan Tradisional, Agama dan Kepercayaan di Jazirah Selatan Pulau Sulawesi (2)

Sejak generasi Manusia Pertama, Keluarga Pasangan Adam dan Hawa (bagi yang mempercayainya) berkembang, mereka mulai menyebar secara perlahan dan terus menerus sepajang masa. Dalam proses penyebarannya dengan jarak dan waktu serta rute dan tujuan yang bervariasi, terjadi berbagai perubahan; mulai dari pola dan jenis bahan makanan, perubahan fisik, pola hidup dan aktivitas akibat perbedaan lingkungan yang ditempuh dan dimukiminya. Selain dengan peradaban bawaan dari negeri asal dan pengalaman barunya sepanjang rute, para migran ini juga membawa penyakit atau virus yang melekat di tubuhnya. Hampir semua pakar bersepakat bahwa migrasi terjadi disebabkan, paling tidak oleh 3 motif yang sekaligus menjadi faktor penyebab utama, yakni; faktor ekonomi (mencari daerah yang lebih menjanjikan), faktor bencana akibat kelabilan bumi pada waktu itu atau karena ancaman hama atau binatang buas, dan faktor peperangan atau konflik.

Selain itu, terdapat juga asumsi yang menyebutkan faktor kebiasaan mereka yang dianggap hidup nomad untuk selalu bergerak sesuai dengan irama alam (musim) dan ketersediaan sumber pangannya, serta asumsi lainnya yang menyatakan bahwa didorong oleh naluri dan rasa keingintahuannya. Motivasi yang terakhir ini jarang sekali diuraikan dalam kajian seperti ini, meskipun faktor ini lebih manusiawi (luhur) dibandingkan dengan 4 faktor sebelumnya.Migrasi manusia melewati dan menuju berbagai kawasan yang berbeda topografi sekaligus iklim, biota (sumber pangan) dan lainnya mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda pada fisik, pola hidup dan bahasa individu maupun komunitasnya. Proses adaptasinya berlangsung secara perlahan tapi pasti untuk menjadi sebuah entitas genom baru. Terlebih lagi jika proses ini terjadi berulang atau berestafet dan lalu membaur dengan kelompok migran lainnya. Meskipun pada awalnya leluhur mereka berasal dari generasi atau sumber yang sama, akan tetapi mereka telah berbeda dalam berbagai hal akibat proses dan pengalaman yang berbeda pula.


Para migran yang menetap di daerah Dataran Tinggi atau yang relatif mendekat ke kutub yang bercuaca dingin dan terbatas disinari matahari akan mengalami minimal perubahan warna kulit. Demikian pula yang tiba pada kawasan pesisir pantai dan pulau yang berdataran rendah dengan sinar matahari penuh atau di kawasan antara keduanya juga akan mengalami berbagai perubahan sebagai proses adaptasi. Termasuk dalam hal ini pada pilihan sumber pangan dan aktivitas yang berbeda akan semakin memungkinkan perubahan-perubahan tersebut. Perubahan-perubahan yang membedakan tersebut hanya bisa terjadi pada migran yang memilih lokasi domisili mendekati kondisi lingkungan asalnya. Contoh-contoh akan hal ini dapat terlihat pada berbagai perbedaan (dan juga persamaan) karateristik fisik dan sosial kultural pada berbagai etnik dan kebangsaan yang berbeda (atau sama) karateristik lingkungannya.

Kemungkinan akan semakin terjadinya perbedaan tersebut semakin menjadi besar bila mereka mengalami banyak pembauran dengan migran lainnya yang telah berbeda seperti yang umumnya berdomisili di Dataran Rendah. Sedangkan yang sedikit atau terbatas mengalami pembauran karena faktor geografis yang relatif membatasi interaksi akan sedikit mengalami perbedaan, seperti halnya para penghuni Dataran Tinggi yang memiliki kecenderungan sama dan serupa dengan penghuni Dataran Tinggi lainnya, sekalipun mereka berjauhan. Lebih dari itu, mereka yang memilih sebagai pemukim Dataran Rendah akan memiliki struktur fisik, warna kulit, aktivitas, bahasa dan bahkan kepercayaan yang berbeda dengan yang bermukim di Dataran Tinggi. Sedang sesama Dataran Rendah dan sesama Dataran Tinggi cenderung lebih memiliki kesamaan.

Demikian pula dengan leluhur Manusia Benua Nusantara pada umumnya dan Manusia Sulawesi pada khususnya yang menjadi fokus bincang kita dalam tulisan ini. Mereka dari asal yang sama pada awalnya, lalu bermigrasi secara berulang atau berestafet, dari berbagai kawasan ke kawasan lainnya yang berbeda, dengan rentang waktu dan bentang jarak yang berbeda pula, lalu mendarat di Benua Lemuria/Atlantis (Benua Nusantara) dan membangun peradaban modern yang sangat maju dan menjadi cikal bakal peradaban dunia lainnya dalam perkembangan selanjutnya pasca bencana.


Prof Dr Sangkot Marzuki, Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengatakan bahwa pada masa lalu terdapat satu jalur utama migrasi manusia ke Asia, yakni melalui Asia Tenggara. Ia melanjutkan, setelah keluar dari Afrika 150.000-200.000 tahun lalu, mereka singgah di Asia Tenggara sekitar 60.000 tahun lalu, kemudian menyebar ke berbagai kawasan di Asia. Studi yang dilakukan Sangkot Cs hingga tiba pada kesimpulan ini mencakup 73 populasi di Asia Tenggara dan Asia Timur. Sepuluh negara Asia yang terlibat ialah Jepang, Korea, China, Taiwan, Singapura, Thailand, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan India. Studi tersebut menggunakan sekitar 2.000 sampel dengan 50.000 marka (titik data) per sampel dari 73 populasi di Asia. Penelitian yang dilakukan konsorsium itu didasari pada keinginan melihat detail melalui model urutan sekuen deoxyribonucleic acid (DNA) dengan melibatkan lebih dari 90 ilmuwan dari Konsorsium Pan-Asian SNP (Single Nucleotide Polymorphisms) yang dinaungi oleh Human Genome Organisation (Hugo).

Penelitian mutakhir yang dilakukan oleh Aryso Santos, menegaskan bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Setelah melakukan penelitian selama 30 tahun, ia menghasilkan buku Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato‘s Lost Civilization (2005). Santos menampilkan 33 perbandingan, seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, dan cara bertani, yang akhirnya menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia. Sistem terasisasi sawah yang khas Indonesia, menurutnya, ialah bentuk yang diadopsi oleh Candi Borobudur, Piramida di Mesir, dan bangunan kuno Aztec di Meksiko. Santos juga menetapkan bahwa pada masa lalu itu Atlantis merupakan benua yang membentang dari bagian selatan India, Sri Lanka, Sumatra, Jawa, Kalimantan, terus ke arah timur dengan Indonesia (yang sekarang) sebagai pusatnya. Di wilayah itu terdapat puluhan gunung berapi yang aktif dan dikelilingi oleh samudera yang menyatu bernama Orientale, terdiri dari Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Lebih jauh menurutnya, para ahli yang umumnya berasal dari Barat, berkeyakinan teguh bahwa peradaban manusia berasal dari dunia mereka. Tapi realitas menunjukkan bahwa Atlantis berada di bawah perairan Indonesia dan bukan di tempat lain. Walau dikisahkan dalam bahasa mereka masing-masing, ternyata istilah-istilah yang digunakan banyak yang merujuk ke hal atau kejadian yang sama. Santos menyimpulkan bahwa penduduk Atlantis terdiri dari beberapa suku/etnis, dimana 2 buah suku terbesar adalah Aryan dan Dravidas.

Semua suku bangsa ini sebelumya berasal dari Afrika 3 juta tahun yang lalu, yang kemudian menyebar ke seluruh Eurasia dan ke Timur sampai Auatralia lebih kurang 1 juta tahun yang lalu. Di Indonesia mereka menemukan kondisi alam yang ideal untuk berkembang, yang menumbuhkan pengetahuan tentang pertanian serta peradaban secara menyeluruh. Ini terjadi pada zaman Pleistocene, di mana Atlantis adalah surga tropis. Ketika bencana terjadi, air laut naik setinggi kira-kira 130 meter, penduduk Atlantis yang selamat terpaksa keluar dan pindah ke India, Asia Tenggara, China, Polynesia, dan Amerika.

Dari Indonesialah lahir bibit-bibit peradaban yang kemudian berkembang menjadi budaya lembah Indus, Mesir, Mesopotamia, Hatti, Junani, Minoan, Crete, Roma, Inka, Maya, Aztek, dan lain-lain. Budaya-budaya ini mengenal mitos yang sangat mirip. Nama Atlantis diberbagai suku bangsa disebut sebagai Tala, Attala, Patala, Talatala, Thule, Tollan, Aztlan, Tluloc, dan lain-lain.

http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/01/29/benua-atlantis-yang-hilang-itu-ternyata-indonesia/

Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Umar Anggara Jenny, (Juni 2005), mengatakan bahwa salah satu pulau penting yang tersisa dari benua Atlantis — jika memang benar — adalah Pulau Natuna, Riau. Berdasarkan kajian biomolekuler, penduduk asli Natuna diketahui memiliki gen yang mirip dengan bangsa Austronesia tertua yang diyakini memiliki tingkat kebudayaan tinggi, seperti bayangan tentang bangsa Atlantis yang disebut-sebut dalam mitos Plato.


Menurut beberapa sumber lainnya, bahwa sebelum kedatangan rombongan imigran dari Asia Daratan, sesungguhnya telah ada manusia-manusia yang menghuni sejumlah Daratan Tinggi diberbagai pulau di Indonesia, termasuk Pulau Sulawesi. Bukanlah hal yang tidak mungkin jika Manusia To Ale' ini juga adalah sisa-sisa Manusia Atlantis sebagaimana halnya penduduk Pulau Natuna yang dilansir Prof. Umar. Perbedaannya adalah; sisa-sisa Manusia Atlantis yang mendiami antara lain Dataran Tinggi Sulawesi hidup terisolasi hingga kembali menjadi manusia nierleka (purba), sedangkan yang bermukim di Pulau Natuna berada kawasan yang terbuka dengan dunia luar.



Jazirah selatan Pulau Sulawesi, pada awalnya hanya dihuni oleh Manusia Purba To Ale' (diperkirakan sisa-sisa Manusia Atlantis) yang menghuni gua-gua dan Dataran Tinggi seperti; Leang-leang di Pangkep, Maros (dekat dengan Pujananting, salah satu daerah yang namanya mirip dengan yang disebut dalam Kitab La Galigo), Cabbengnge – Soppeng (seputar muara Sungai Walanae), Bone, Bantaeng, Dataran Tinggi di pegunungan La Timojong, Rante Kambola, Rante Mario, Bambapuang, Bawa Karaeng, Lompo Battang dan lainnya. Mereka kemudian berbaur dengan para imigran yang disebut Proto Melayu atau lainnya yang tiba di pesisir pantai, terutama dekat muara sungai (Saddang, Walanae dan lainnya), hingga ada juga yang terus ke hulu di Dataran Tinggi.

Seiring dengan semakin menyempitnya selat (cikal bakal Tappareng Karaja), akibat sendimentasi dari sungai-sungai yang mengalirinya, pergerakan lempeng, dan kedatangan imigran baru yang disebut Deutro Melayu atau lainnya, masyarakat Dataran Tinggi (Boti' Langi') mengembangkan pertanian, hasil hutan, emas, dan lainnya yang merupakan komoditi yang dibutuhkan oleh masyarakat Dataran Rendah (Ale Kawa), baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk diperdagangkan ke Negeri Seberang Lautan (Bori' Liu). Demikian pula sebaliknya, komoditi dari Bori' Liu diperdagangkan (dibarter?) masyarakat Ale Kawa di daerahnya hingga ke Boti' Langi'.

Aktifitas masyarakat Ale Kawa yang sangat intens dalam pelayaran: sebagai pedagang (atau Bajak Laut?) hingga ke berbagai kawasan Bori' Liu seperti Benua Afrika dan sekitarnya sekitar abad ke-5 M. seperti yang diulas R. Dick-Read, atau bahkan sebelumnya, yakni sekitar masa Dinasty ke-18 Fir'aun di Mesir (sekitar 1.567 SM – 1.339 SM) dalam perdagangan rempah-rempah, barus, kayu cendana, emas dan lainnya.

Mereka-mereka inilah kemudian yang teridentifikasi sebagai manusia-manusia Bajo, Bugis, Mandar, dan Makassar yang merajai hampir seluruh perairan dunia. Sangat mungkin mereka inilah juga yang disebut sebagai Manusia Celates (Orang Selat) oleh Manusia Melayu, sebagaimana yang dicatat Tome Pires dalam catatan perjalanannya pada tahun 1513. Konon sebutan “Celates” inilah yang kemudian berubah menjadi “Celebes”, nama lain Pulau Sulawesi?

Proses interaksi dan akulturasi yang berlangsung tersebut berjalan secara “dialektis” antara 3 wilayah ekosistem: Boti' Langi', Ale Kawa, dan Bori' Liu sehingga semakin mendinamisir laju pertumbuhan dan perkembangan masyarakatnya hingga mulai membentuk tata kelola organik dan struktural komunitasnya yang bertebaran lalu membentuk berbagai simpul kekuasaan rumpun dan konfederasi: Tata Pemerintahan Tradisional (gemeinschaft) dan Negara Kerajaan (gesellschaft) seperti layaknya negara modern saat ini.

Berdasarkan riset dan kajian para ahli, bahwa lokasi pendaratan migran di Pulau Sulawesi, khususnya di Kawasan “Ekosistem Tappareng Karaja” dan sekitarnya adalah di muara Sungai Saddang, muara Sungai Walanae dan beberapa muara serta pesisir lainnya. Sedangkan yang terlebih dahulu menghuni Dataran Tinggi di Gunung La Timojong, Rante Mario, Rante Kambola, Lompo Battang, Bawa Karaeng dan lainnya adalah migran generasi paling awal, diduga berasal dari generasi Benua Atlantis yang datang menyelamatkan diri dari tsunami yang menghancurkan negerinya. Mereka inilah yang dikenal sebagai To Ale' (sekitar tahun 8000 – 500 SM), penghuni awal pulau yang selanjutnya berbaur dengan kelompok migran Proto Melayu atau sebutan dengan yang serupa atau berbeda lainnya. Jika Penghuni Awal dan Proto Melayu (datang sekitar 2.500 - 1.500 SM) memilih Dataran Tinggi (Boti' Langi) maka Deutro Melayu (sekitar 1.500 SM) atau lainnya yang datang kemudian dengan corak budaya berbeda lebih memilih Dataran Rendah (Ale Kawa) dengan pola interaksi yang intens dengan berbagai Negeri Seberang Lautan (Bori' Liu) secara dialektis diantara ketiga kawasan.


Dengan pemikiran, pergerakan dan interaksi proaktif mereka pada 3 ekosistem yang berbeda tersebut mendorong dan mengarahkan mereka membagun peradaban Manusia Sulawesi hingga membentuk Tata Pemerintahan dan berbagai tata kelola lainnya secara modern di kawasan ekosistem Tappareng Karaja dan sekitarnya bahkan hingga ke Bori' Liu nan jauh di seberang sana.






Sejarah Lingkungan "Ekosistem Tappareng Karaja" III
Oleh : Ambo Tang Dg Matteru

SEJARAH LINGKUNGAN “EKOSISTEM TAPPARENG KARAJA” DAN KAITANNYA DENGAN NEGARA KERAJAAN, TATA PEMERINTAHAN TRADISIONAL, AGAMA DAN KEPERCAYAAN DI JAZIRAH SELATAN PULAU SULAWESI (3)
(Sekedar Pengantar Diskusi untuk To Maradeka Group)

Tosora, seperti juga daerah lainnya di NKW, merupakan ekosistem Ale Kawa (Dataran Rendah). Membentang selatan-utara pada pesisir pantai Teluk Bone sekitar 100 km, lalu memotong timur-barat pertengahan jazirah selatan pulau sulawesi dengan genangan air yang pada awalnya berupa selat lalu menjadi sungai, danau dan rawa. Pada awalnya, kawasan NKW hanyalah merupakan daerah tak bertuan yang kemudian secara perlahan didatangi berbagai migran, baik dari negeri Boti' Langi' (Dataran Tinggi) seperti pada sebagian Negara Kerajaan Luwu (NKL), Ale Kawa (Dataran Rendah) seperti Negara Kerajaan Bone (NKB) maupun dari negeri-negeri Bori' Liu (Seberang Lautan) seperti migran Deutro Melayu dan lainnya.

Sebagai negeri tak bertuan, kawasan ini sering digunakan sebagai lokasi berburu (terutama rusa yang memang merupakan habitatnya hingga abad ke 20 dan kini hanya tersisa di hutan Paselloreng dengan populasi yang sangat terbatas) dari penduduk NKB dan NKL. Kemudian dirambah komunitas nomaden yang mulai bermukim di sekitar Tappareng Lampulung, tidak jauh dari sisi selatan Sungai Cenrana, (outtake tunggal Tappareng Tempe) yang bermuara di Teluk Bone. Sampai saat ini belum ditemukan data yang menjelaskan secara pasti dari mana komunitas nomaden ini berasal dan siapa nama pemimpinnya yang digelari “Puatta Ri Lampulungeng” sebagaimana nama danau kecilnya. Nama danau kecil (atau lebih tepatnya rawa) dan pemimpin komunitas tersebut, oleh berbagai pihak diduga berasal dari kata “Sipulung”, Assipulungeng” (dalam Bahasa Bugis yang berarti berkumpul, tempat berkumpul) sebagai ciri yang melekat pada proses terbentuknya. 


Lambat laun, komunitas ini mulai bergeser ke arah timur yang juga, paling sedikit terdapat 8 rawa serupa. Ketika pemimpinnya meninggal, muncul lagi tokoh baru yang dikenali sebagai “Puatta Ri Timpengeng” figur yang kemudian memimpin komunitas. Perpindahan mereka ke arah timur tersebut menurut berbagai literatur, lebih didorong oleh semangat mencari daerah baru yang lebih produktif sesuai dengan kebutuhan komunitas yang juga semakin bertambah seiring dengan pertumbuhan populasi.

Kelompok migran lainnya yang tiba di kawasan ini adalah rombongan “Petta (sebutan setara dengan Puatta yang telah mengalami perubahan bunyi, masing-masing berasal dari kata “Puang” dan “Ta'” [Puangta'] yang berarti “Tuan Kita”) We Tadang Palie, putri dari Raja NKL yang mengalami proses karantina di luar daerahnya karena menderita penyakit kulit (lepra). Setelah sembuh dari penyakitnya, Tuan Putri ini tidak sempat lagi kembali ke negerinya karena terlanjur dipersunting oleh seorang Pangeran dari NKB yang melihatnya ketika sedang berburu di sekitar pemukimannya. Lokasi pendaratan Tuan Putri ketika tiba di kawasan inilah yang kemudian disebut sebagai “Tosora” yang berasal dari perubahan dan bentukan kata “To” atau “Tau” (yang berarti orang atau manusia) dan kata “Ssore” yang berarti mendarat atau berlabuh, setelah berlayar menyusuri pantai barat Teluk Bone dari arah utara lalu berbelok ke barat menyusuri sungai Cenrana.

Seiring dengan semakin banyaknya komunitas (atau mungkin bahkan individu) nomaden yang mulai bermukim di sekitar gugusan rawa maka mulailah terbentukTata Pemerintahan Tradisional Kerajaan Cinnongtabi', kemudian berubah menjadi Kerajaan Wajo dengan Sistem Pemerintahan Batara. Lalu setelah 3 periode terjadi revolusi sosial hingga melengserkan Sang Batara La Pateddungi To Samallangi dan berlakunya tatanan baru dalam bentuk Negara Kerajaan Wajo dengan Sistem Pemerintahan Arung Matowa yang electical dan demokratis, melebihi sekedar Negara Modern yang diteorikan Mac Iver itu.


Ibukota yang pada awalnya berpusat di Wajo-Wajo (umumnya diartikan secara harfiah sebagai bayang-bayang tanpa pengertian yang berarti, namun menurut penulis lebih bermakna Little Wajo sebagai bayangan Big Wajo) kemudian bergeser sekitar 3 km ke arah timur tepat di pelabuhan kecil yang disebut Tosora sebagaimana telah diuraikan di atas. Kota Tosora kemudian berkembang sebagai Bandar Niaga yang penting, sekaligus politis sebagai pintu gerbang memasuki kawasan Tappareng Karaja (Danau Besar) yang pesisir sekelilingnya, juga telah mulai ramai dihuni berbagai komunitas, baik di wilayah Negara Kerajaan Soppeng (NKS), negara-negara persekutuan Aja Tappareng (Sidenreng, Rappang, Sawitto, Suppa dan Alitta), Komunitas Ba 'Alawiyah (Belawa) dan pemukim sekitar muara dan sepanjang DAS Walanae, Bila dan Saddang.

Seperti halnya berbagai Peradaban Ale Kawa lainnya (Palembang Ibukota Negara Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Kutai Kartanegara, Peradapan Lembah Mesopotamia dan peradaban besar dataran rendah lainnya), Kota Bandar Tosora, dibelah oleh aliran Sungai Besar Cenrana yang bisa dilayari kapa-kapal besar Portugis (sebagaimana kesaksian Manuel Pinto yang telah diuraikan pada bagian 3 tulisan ini).


Setelah berlangsung 21 periode pemerintahan yang berjalan (dengan model konfederasi dari 3 tatanan pemerintahan tradisional pasca Kerajaan Cinnongtabi': Bettengmpola, Talo' Tenreng dan Tuwa'), yakni:

  1. La Palewo To Palipu' (±1474-1481)
  2. La Obbi' Settiriware' (±1481-1486)
  3. La Tenri Umpu To Langi (±1486-1491)
  4. La Tadampare Puang Ri Maggalatung (±1491-1521) Lowong 3 tahun
  5. La Tenri Pakado To Nampe (±1524-1535)
  6. La Temmassonge (±1535-1538)
  7. La Warani To Temmagiang (±1538-1547)
  8. La Mallagenni (±1547)
  9. La Mappapuli To Appamadeng (±1547-1564)
  10. La Pakoko To Pa’bele’ (±1564-2567)
  11. La Mungkace To Uddamang (±1567-1607)
  12. La Sangkuru Patau Mulajaji (±1607-1610)
  13. La Mappepulu To Appamole (±1612-1616)
  14. La Samalewa To Appakiung (±1616-1621)
  15. La Pakallongi To Allinrungi (±1621-1626)
  16. To Mappassaungnge (±1627-1628)
  17. La Pakallongi To Allinrungi (1628-1636)
  18. La Sigajang To Bunne (±1639-1643)
  19. La Makkaraka To Patemmui (±1643-1648)
  20. La Temmasonge (±1648-1651)
  21. La Paramma To Rewo (±1651-1658)
  22. La Tenri Lai' To Sengngeng (±1658-1670)

Pada masa Pemerintahan La Tenri Lai' To Sengngeng inilah NKW terlibat dalam konflik dan peperangan antara Negara Kerajaan Gowa dan sekutunya melawan NKB yang bersekutu dengan Belanda dan lainnya. Peperangan yang kemudian berakhir dengan kemenangan di pihak kedua memaksa pihak pertama menandatangani Perjanjian (ketaklukan) Bungaya (18 November 1667) dan berbuntut panjang bagi NKW yang menolak perjanjian yang juga dikenal sebagai ”Cappaya ri Bungaya” tersebut.

 

3 tahun pasca Cappaya ri Bungaya, Armada perang persekutuan 3 negara (NKB, VOC-Belanda dan NKS) dari arah Teluk Bone bergerak memasuki muara Sungai Cenrana untuk menyerang NKW yang menolak atas perjanjian tersebut. Pemerintah NKW yang berpusat di Tosora, meskipun kalah dari segi jumlah pasukan dan dukungan peralatan tempur, bukanlah lawan yang mudah ditaklukkan. Tosora, ibukota yang sekaligus pelabuhan juga merupakan benteng pertahanan alam yang kokoh, berpagarkan parit dan bedengan tanah yang tinggi serta genangan air yang membentang pada danau dan rawa berbuaya pada setiap sudut pinggiran Kota Tosora.


4 bulan yang panjang, penuh duka, airmata, kematian dan kepahlawanan, Tosora akhirnya berhasil dijebol setelah berbagai strategi pertahanan yang diterapkannya runtuh. Peristiwa ini dikenang heroik, dengan sebutan getir: Rumpa'na Tosora (Bobolnya Tosora). Strategi pertahanan yang diterapkan oleh La Tenri Lai' To Sengngeng, minimal ada 2 yakni:

1. Menghambat laju gerakan armada besar persekutuan musuh dengan cara menutup jalur transportasi sungai dengan memenuhinya berbagai semak, bambu dan kayu tebangan sehingga kapal tempur Belanda yang dikomandani Speelman tidak bisa mendekat. Dalam waktu singkat, Sungai Cenrana dipenuhi dengan berbagai ranjau sampah sehingga tidak bisa dilayari. Armada Persekutuan Tiga Negara hanya bisa sampai pada suatu kawasan yang kemudian disebut “Abbatakeng Mariangnge”, sebuah tempat di mana mereka berlabuh dan menurunkan meriam lalu memberondong Bandar Benteng Kota Tosora dari arah timur. Menghadapi gempuran meriam tersebut, Arung Matowa La Tenri Lai' mencari dan menempuh strategi bertahan lainnya.

2. Strategi yang kemudian dipilih dan ditempuh adalah “Perang Biologis” dengan cara mengumpulkan dan membuang bangkai-bangkai hewan yang telah mati (akibat perang dan keterbatasan makanan) ke Sungai Cenrana. Akibatnya, air sungai yang mengalir ke muara di Teluk Bone melewati Markas Besar Pasukan 3 Negara mengalami pembusukan hingga banyak serdadunya menderita penyakit akibat semakin banyaknya vektor (lalat, nyamuk dan lainnya) yang menyebar di sekitar mereka. Pasukan Persekutuan 3 Negara terpaksa mendatangkan bala bantuan dan mulai mengerahkan artilerinya bergerak lewat darat dari berbagai penjuru mengepung Tosora. Warga Kota Tosora merana meradang dan pasukan pengepungnyapun meringis menderita dalam peperangan ini.

Memasuki bulan ke-4, ketika sekeliling Benteng Tosora telah terkepung rapat, La Tenri Tatta To Unru, Ksatria Bugis Bone Sang Pembebas itu memberikan ultimatun kepada La Tenri Lai' Sengngeng, Ksatria Bugis Wajo Sang Pembela itu agar segera menyerah atau segera mengeluarkan anak-anak, perempuan dan orang-orang tua dari dalam Benteng Tosora dalam waktu 3 esso-3 penni (3x24 jam) karena pihaknya akan melakukan pembumihangusan. Dalam waktu secepatnya, anak-anak, perempuan dan orang-orang tua dievakuasi dan diungsikan (laribeta) ke berbagai pemukiman yang aman, terutama ke tempat yang kemudian disebut Sengkang (berasal dari kata “Assiengkang” yang berarti tempat orang-orang berdatangan), ibukota NKW setelah Tosora runtuh.

Oleh karena La Tenri Lai' Sengngeng, Ksatria Bugis Wajo Sang Pembela itu menolak menyerah dan memilih berperang sampai mati, maka peperanganpun tidak bisa dihindarkan. Ketika hampir seluruh Tentara NKW berguguran pada hampir setiap jengkal tanah Tosora. La Tenri Lai' Sengngeng akhirnya berhadap-hadapan dengan La Tenri Tatta To Unru, satu lawan satu di tengah kobaran api yang melahap Tosora. Kedua kesatria ini bertarung hingga, La Tenri Lai' Sengngeng yang telah kelelahan dan lebih rela mati dari pada menyerah itu kehilangan satu persatu tangannya yang mempertahankan Panji Kebesaran NKW, hingga dikepiknya dengan paha sesaat sebelum kepalanya terpenggal. Menurut Drs. Andi Sangkuru (narasumber penulis), kepala beliau diusung ke Bone dengan Upacara Kehormatan yang penuh khidmat (beberapa sumber tertulis lainnya menyebutkan bahwa beliau tewas terbakar???).

Pasca peperangan dengan kekalahan pada pihak NKW membuat Tosora secara perlahan menjadi kota mati. Penduduk sipil yang tersisa, banyak yang menyusul keluarganya yang telah mengungsi ke daerah lainnya atau bahkan tidak sedikit yang berlayar merantau mencari negeri baru yang penuh pengharapan. Aliran sungai Cenrana yang awalnya membelah kota, lalu tertutup dan ber ke arah selatan dengan sendirinya mengikuti sifat dasar air yang selalu mencari tempat yang rendah. Tosora, semakin terpencil dan kehilangan penduduk hingga akhirnya dipindahkan ke daerah Sengkang pada tahun 1933 oleh pemerintahan NKW kemudian.


Setelah masa pemerintahan La Tenri Lai' To Sengngeng berakhir, Pemerintahan NKW kemudian dijabat secara berurut oleh:

23.La Palili To Malu’ (±1670-1679)
24.La Pariusi Daeng Manyampa (±1679-1699)
25.La Tenri Sessu (±1699-1702)
26.La Mattone’ (±1702-1703)
27.La Galigo To Sunnia (±1703-1712)
28.La Tenri Werung (±1712-1715)
29.La Salewangeng To Tenriruwa (±1715-1736)
30.La Maddukkelleng Daeng Simpuang (±1736-1754)
31.La Mad’danaca (±1754-1755)
32.La Passaung (±1758-1761)
33.La Malliungeng (±1767-1770) Lowong 25 tahun
34.La Mallalengeng (±1795-1817) Lowong 4 tahun
35.La Manang (±1821-1825). Lowong 14 tahun
36.La Pa’dengngeng (±1839-1845) Lowong 9 tahun
37.La Pawellangi PajumperoE (±1854-1859).
38.La Cincing Akil Ali (±1859-1885)39. La Koro (±1885-1891)
40.Datu Lompulle
41.Ishak Manggabarani Krg Mangeppe (1900-1916) Lowong 10 tahun
42.Andi Oddang Pero Datu Larompong (1926-1933)
43.Andi Mangkona Datu Mario (1933-1949)

Setelah berpindah ke Sengkang, sebuah Dataran Rendah sisi timur Danau Tempe, tidak jauh dari muara Sungai Walanae dan hulu Sungai Cenrana yang dikenal sebagai La Padduppa itu, NKW mulai kembali bangkit dengan apa yang tersisa dari yang mereka miliki hingga memasuki era Negara Republik Indonesia.


Sumber: rappang.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar