Lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan") pada tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidato inilah konsep dan rumusan awal "Pancasila" pertama kali dikemukakan oleh Soekarno sebagai dasar negara Indonesia merdeka. Pidato ini pada awalnya disampaikan oleh Soekarno secara aklamasi tanpa judul dan baru mendapat sebutan "Lahirnya Pancasila" oleh mantan Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam kata pengantar buku yang berisi pidato yang kemudian dibukukan oleh BPUPK tersebut.
Latar belakang
Gedung Chuo Sangi In di Jakarta yang digunakan sebagai gedung Volksraad di tahun 1925. |
Menjelang kekalahan Tentara Kekaisaran Jepang di akhir Perang Pasifik, tentara pendudukan Jepang di Indonesia berusaha menarik dukungan rakyat Indonesia dengan membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai (bahasa Indonesia: "Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan" atau BPUPK, yang kemudian menjadi BPUPKI, dengan tambahan "Indonesia").
Badan ini mengadakan sidangnya yang pertama dari tanggal 29 Mei (yang nantinya selesai tanggal 1 Juni 1945).Rapat
dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya
29 Mei 1945 dengan tema dasar negara. Rapat pertama ini diadakan di
gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (bahasa Indonesia: "Perwakilan Rakyat").
Setelah beberapa hari tidak mendapat titik terang, pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamakannya "Pancasila". Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota Dokuritsu Junbi Cosakai.
Selanjutnya Dokuritsu Junbi Cosakai membentuk Panitia Kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno tersebut. Dibentuklah Panitia Sembilan (terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin)
yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara
berdasar pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, dan
menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia.
Seltelah melalui proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya rumusan
Pancasila hasil penggalian Bung Karno tersebut berhasil dirumuskan untuk
dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, yang disahkan dan
dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. [1]
Dalam kata pengantar atas dibukukannya pidato tersebut, yang untuk pertama kali terbit pada tahun 1947, mantan Ketua BPUPK Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebut pidato Ir. Soekarno itu berisi “Lahirnya Pancasila”.
”Bila kita pelajari dan selidiki sungguh-sungguh “Lahirnya Pancasila”
ini, akan ternyata bahwa ini adalah suatu Demokratisch Beginsel, suatu
Beginsel yang menjadi dasar Negara kita, yang menjadi Rechtsideologie
Negara kita; suatu Beginsel yang telah meresap dan berurat-berakar dalam
jiwa Bung Karno, dan yang telah keluar dari jiwanya secara spontan,
meskipun sidang ada dibawah penilikan yang keras dari Pemerintah
Balatentara Jepang. Memang jiwa yang berhasrat merdeka, tak mungkin
dikekang-kekang! Selama Fascisme Jepang berkuasa dinegeri kita,
Demokratisch Idee tersebut tak pernah dilepaskan oleh Bung Karno, selalu
dipegangnya teguh-teguh dan senantiasa dicarikannya jalan untuk
mewujudkannya. Mudah-mudahan ”Lahirnya Pancasila” ini dapat
dijadikan pedoman oleh nusa dan bangsa kita seluruhnya dalam usaha
memperjuangkan dan menyempurnakan Kemerdekaan Negara.”
Rujukan
- "Gedung Pancasila", situs resmi Universitas Pancasila, diakses 1 Juni 2011.
Referensi
- "Pancasila Bung Karno", Paksi Bhinneka Tunggal Ika, 2005
- 1 Pendahuluan
- 2 Prinsip pertama
- 3 Prinsip kedua
- 4 Prinsip ketiga
- 5 Prinsip keempat
- 6 Prinsip kelima
- 7 Pancasila
- 8 Gotong royong
1. Pendahuluan
Paduka tuan Ketua yang mulia!
Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat
kehormatan dari Paduka tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula
pendapat saya.
Saya akan menetapi permintaan Paduka tuan Ketua yang mulia. Apakah
permintaan Paduka tuan ketua yang mullia? Paduka tuan Ketua yang mulia
minta kepada sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar
Indonesia Merdeka. Dasar inilah nanti akan saya kemukakan di dalam
pidato saya ini.
Ma'af, beribu ma'af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato
mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka
tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut
anggapan saya, yang diminta oleh Paduka tuan ketua yang mulia ialah,
dalam bahasa Belanda: "Philosofische grondslag" dari pada Indonesia
merdeka. Philosofische grondslag itulah pundamen, filsafat, pikiran yang
sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya
didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. Hal ini nanti
akan saya kemukakan, Paduka tuan Ketua yang mulia, tetapi lebih dahulu
izinkanlah saya membicarakan, memberi tahukan kepada tuan-tuan sekalian,
apakah yang saya artikan dengan perkataan "merdeka". Merdeka buat saya
ialah: "political independence", politieke onafhankelijkheid. Apakah
yang dinamakan politieke onafhankelijkheid?
Tuan-tuan sekalian! Dengan terus-terang saja saya berkata:
Tatkala Dokuritu Zyunbi Tyoosakai akan bersidang, maka saya, di dalam
hati saya banyak khawatir, kalau-kalau banyak anggota yang - saya
katakan didalam bahasa asing, ma'afkan perkataan ini - "zwaarwichtig"
akan perkara yang kecil-kecil. "Zwaarwichtig" sampai -kata orang Jawa-
"njelimet". Jikalau sudah membicarakan hal yang kecil-kecil sampai
njelimet, barulah mereka berani menyatakan kemerdekaan.
Tuan-tuan yang terhormat! Lihatlah di dalam sejarah dunia, lihatlah
kepada perjalanan dunia itu. Banyak sekali negara-negara yang merdeka,
tetapi bandingkanlah kemerdekaan negara-negara itu satu sama lain!
Samakah isinya, samakah derajatnya negara-negara yang merdeka itu?
Jermania merdeka, Saudi Arabia merdeka, Iran merdeka, Tiongkok merdeka,
Nippon merdeka, Amerika merdeka, Inggris merdeka, Rusia merdeka, Mesir
merdeka. Namanya semuanya merdeka, tetapi bandingkanlah isinya!
Alangkah berbedanya isi itu! Jikalau kita berkata: Sebelum Negara
merdeka, maka harus lebih dahulu ini selesai, itu selesai, itu selesai,
sampai njelimet!, maka saya bertanya kepada tuan-tuan sekalian kenapa
Saudi Arabia merdeka, padahal 80% dari rakyatnya terdiri kaum Badui,
yang sama sekali tidak mengerti hal ini atau itu. Bacalah buku Armstrong
yang menceriterakan tentang Ibn Saud! Disitu ternyata, bahwa tatkala
Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian
besar belum mengetahui bahwa otomobil perlu minum bensin. Pada suatu
hari otomobil Ibn Saud dikasih makan gandum oleh orang-orang Badui di
Saudi Arabia itu!! Toch Saudi Arabia merdeka! Lihatlah pula - jikalau
tuan-tuan kehendaki contoh yang lebih hebat - Soviet Rusia! Pada masa
Lenin mendirikan Negara Soviet, adakah rakyat soviet sudah cerdas?
Seratus lima puluh milyun rakyat Rusia, adalah rakyat Musyik yang lebih
dari pada 80% tidak dapat membaca dan menulis; bahkan dari buku-buku
yang terkenal dari Leo Tolstoi dan Fulop Miller, tuan-tuan mengetahui
betapa keadaan rakyat Soviet Rusia pada waktu Lenin mendirikan negara
Soviet itu. Dan kita sekarang disini mau mendirikan negara Indonesia
merdeka. Terlalu banyak macam-macam soal kita kemukakan! Maaf, P. T.
Zimukyokutyoo! Berdirilah saya punya bulu, kalau saya membaca tuan punya
surat, yang minta kepada kita supaya dirancangkan sampai njelimet hal
ini dan itu dahulu semuanya!
Kalau benar semua hal ini harus diselesaikan lebih dulu, sampai
njelimet, maka saya tidak akan mengalami Indonesia Merdeka, tuan tidak
akan mesngalami Indonesia merdeka, kita semuanya tidak akan mengalami
Indonesia merdeka, - sampai dilobang kubur!
Saudara-saudara! Apakah yang dinamakan merdeka? Di dalam tahun '33
saya telah menulis satu risalah, Risalah yang bernama "Mencapai
Indonesia Merdeka". Maka di dalam risalah tahun '33 itu, telah saya
katakan, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political
independence, tak lain dan tak bukan, ialah satu jembatan emas. Saya
katakan di dalam kitab itu, bahwa diseberangnya jembatan itulah kita
sempurnakan kita punya masyarakat.
Ibn Saud mengadakan satu negara di dalam satu malam, - in one night
only! -, kata Armstrong di dalam kitabnya. Ibn Saud mendirikan Saudi
Arabia merdeka di satu malam sesudah ia masuk kota Riad dengan 6 orang!
Sesudah "jembatan" itu diletakkan oleh Ibn saud, maka diseberang
jembatan, artinya kemudian dari pada itu, Ibn Saud barulah memperbaiki
masyarakat Saudi arabia. Orang tidak dapat membaca diwajibkan belajar
membaca, orang yang tadinya bergelandangan sebagai nomade yaitu orang
badui, diberi pelajaran oleh Ibn Saud jangan bergelandangan, dikasih
tempat untuk bercocok-tanam. Nomade dirubah oleh Ibn Saud menjadi kaum
tani, - semuanya diseberang jembatan.
Adakah Lenin ketika dia mendirikan negara Soviet-Rusia Merdeka, telah mempunyai Djnepprprostoff ,
dam yang maha besar di sungai Dnepr? Apa ia telah mempunyai
radio-station, yang menyundul keangkasa? Apa ia telah mempunyai
kereta-kereta api cukup, untuk meliputi seluruh negara Rusia?
Apakah tiap-tiap orang Rusia pada waktu Lenin mendirikan Soviet Rusia
merdeka telah dapat membaca dan menulis? Tidak, tuan-tuan yang
terhormat! Di seberang jembatan emas yang diadakan oleh Lenin itulah,
Lenin baru mengadakan radio- station, baru mengadakan sekolahan, baru
mengadakan Creche, baru mengadakan Djnepprostoff! Maka oleh karena itu
saya minta kepada tuan-tuan sekalian, janganlah tuan-tuan gentar di
dalam hati, janganlah mengingat bahwa ini danitu lebih dulu harus
selesai dengan njelimet, dan kalau sudah selesai, baru kita dapat
merdeka. Alangkah berlainannnya tuan-tuan punya semangat, - jikalau
tuan-tuan demikian -, dengan semangat pemuda-pemuda kita yang 2 milyun
banyaknya. Dua milyun pemuda ini menyampaikan seruan pada saya, 2 milyun
pemuda ini semua berhasrat Indonesia Merdeka Sekarang!
Saudara-saudara, kenapa kita sebagai pemimpin rakyat, yang mengetahui
sejarah, menjadi zwaarwichtig, menjadi gentar, pada hal semboyan
Indonesia merdeka bukan sekarang saja kita siarkan? Berpuluh-puluh tahun
yang lalu, kita telah menyiarkan semboyan Indonesia merdeka, bahkan
sejak tahun 1932 dengan nyata-nyata kita mempunyai semboyan "INDONESIA
MERDEKA SEKARANG". Bahkan 3 kali sekarang, yaitu Indonesia Merdeka
sekarang, sekarang, sekarang!
Dan sekarang kita menghadapi kesempatan untuk menyusun Indonesia
merdeka, - kok lantas kita zwaarwichtig dan gentar hati!. Saudara
-saudara, saya peringatkan sekali lagi, Indonesia Merdeka, political
independence, politieke onafhankelijkheid, tidak lain dan tidak bukan
ialah satu jembatan! Jangan gentar! Jikalau umpamanya kita pada saat
sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka, maka
dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Tjondro Asmoro,
atau Soomubutyoo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim. Jikalau
umpamanya Butyoo Butyoo diganti dengan orang-orang Indonesia, pada
sekarang ini, sebenarnya kita telah mendapat political independence,
politieke onafhankelijkheid, - in one night, di dalam satu malam!
Saudara-saudara, pemuda-pemuda yang 2 milyun, semuanya bersemboyan:
Indonesia merdeka, sekarang! Jikalau umpamanya Balatentera Dai Nippon
sekarang menyerahkan urusan negara kepada saudara-saudara, apakah
saudara-saudara akan menolak, serta berkata: mangke- rumiyin, tunggu
dulu, minta ini dan itu selesai dulu, baru kita berani menerima urusan
negara Indonesia merdeka?
(Seruan: Tidak! Tidak)
Saudara-saudara, kalau umpamanya pada saat sekarang ini balatentara
Dai Nippon menyerahkan urusan negara kepada kita, maka satu menitpun
kita tidak akan menolak, sekarangpun kita menerima urusan itu,
sekarangpun kita mulai dengan negara Indonesia yang Merdeka!
Saudara-saudara, tadi saya berkata, ada perbedaan antara
Soviet-Rusia, Saudi Arabia, Inggris, Amerika dll. tentang isinya: tetapi
ada satu yang sama, yaitu, rakyat Saudi Arabia sanggup mempertahankan
negaranya. Musyik-musyik di Rusia sanggup mempertahankan negaranya.
Rakyat Amerika sanggup mempertahankan negaranya. Inilah yang menjadi
minimum-eis. Artinya, kalau ada kecakapan yang lain, tentu lebih baik,
tetapi manakala sesuatu bangsa telah sanggup mempertahankan negerinya
dengan darahnya sendiri, dengan dagingnya sendiri, pada saat itu bangsa
itu telah masak untuk kemerdekaan. Kalau bangsa kita, Indonesia,
walaupun dengan bambu runcing, saudara-saudara, semua siap-sedia mati,
mempertahankan tanah air kita Indonesia, pada saat itu bangsa Indonesia
adalah siap-sedia, masak untuk merdeka.
Cobalah pikirkan hal ini dengan memperbandingkannya dengan manusia.
Manusia pun demikian, saudara-saudara! Ibaratnya, kemerdekaan saya
bandingkan dengan perkawinan. Ada yang berani kawin, lekas berani kawin,
ada yang takut kawin. Ada yang berkata: Ah saya belum berani kawin,
tunggu dulu gajih F.500. Kalau saya sudah mempunyai rumah gedung, sudah
ada permadani, sudah ada lampu listrik, sudah mempunyai tempat tidur
yang mentul-mentul, sudah mempunyai sendok-garpu perak satu kaset, sudah
mempunyai ini dan itu, bahkan sudah mempunyai kinder-uitzet, barulah
saya berani kawin.
Ada orang lain yang berkata: saya sudah berani kawin kalau saya sudah
mempunyai meja satu, kursi empat, yaitu "meja-makan", lantas satu
zitje, lantas satu tempat tidur.
Ada orang yang lebih berani lagi dari itu, yaitu saudara-saudara
Marhaen! Kalau dia sudah mempunyai gubug saja dengan tikar, dengan satu
periuk: dia kawin. Marhaen dengan satu tikar, satu gubug: kawin. Sang
klerk dengan satu meja, empat kursi, satu zitje, satu tempat-tidur:
kawin. Sang Ndoro yang mempunyai rumah gedung, elektrische kookplaat,
tempat tidur, uang bertimbun-timbun: kawin. Belum tentu mana yang lebih
gelukkig, belum tentu mana yang lebih bahagia, sang Ndoro dengan tempat
tidurnya yang mentul-mentul, atau Sarinem dan Samiun yang hanya
mempunyai satu tikar dan satu periuk, saudara-saudara!
Saudara-saudara, soalnya adalah demikian: kita ini berani merdeka
atau tidak?? Inilah, saudara-saudara sekalian, Paduka tuan ketua yang
mulia, ukuran saya yang terlebih dulu saya kemukakan sebelum saya
bicarakan hal-hal yang mengenai dasarnya satu negara yang merdeka. Saya
mendengar uraian P.T. Soetardjo beberapa hari yang lalu, tatkala
menjawab apakah yang dinamakan merdeka, beliau mengatakan: kalau
tiap-tiap orang di dalam hatinya telah merdeka, itulah kemerdekaan.
Saudara-saudara, jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 milyun ini lebih
dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai
political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum
dapat Indonesia merdeka!
Di dalam Indonesia merdeka itulah kita memerdekakakan rakyat kita!!
Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan hatinya bangsa kita!
Di dalam Saudi Arabia Merdeka, Ibn Saud memerdekakan rakyat Arabia satu
persatu. Di dalam Soviet-Rusia Merdeka Stalin memerdeka-kan hati bangsa
Soviet-Rusia satu persatu.
Saudara-saudara! Sebagai juga salah seorang pembicara berkata: kita
bangsa Indonesia tidak sehat badan, banyak penyakit malaria, banyak
dysenterie, banyak penyakit hongerudeem, banyak ini banyak itu.
"Sehatkan dulu bangsa kita, baru kemudian merdeka".
Saya berkata, kalau inipun harus diselesaikan lebih dulu, 20 tahun
lagi kita belum merdeka. Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita
menyehatkan rakyat kita, walaupun misalnya tidak dengan kinine, tetapi
kita kerahkan segenap masyarakat kita untuk menghilangkan penyakit
malaria dengan menanam ketepeng kerbau. Di dalam Indonesia Merdeka kita
melatih pemuda kita agar supaya menjadi kuat, di dalam Indonesia Merdeka
kita menyehatkan rakyat sebaik-baiknya. Inilah maksud saya dengan
perkataan "jembatan". Di seberang jembatan, jembatan emas, inilah, baru
kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat,
sehat, kekal dan abadi.
Tuan-tuan sekalian! Kita sekarang menghadapi satu saat yang maha
penting. Tidakkah kita mengetahui, sebagaimana telah diutarakan oleh
berpuluh-puluh pembicara, bahwa sebenarnya internationalrecht, hukum
internasional, menggampangkan pekerjaan kita? Untuk menyusun,
mengadakan, mengakui satu negara yang merdeka, tidak diadakan syarat
yang neko-neko, yang menjelimet, tidak!. Syaratnya sekedar bumi, rakyat,
pemerintah yang teguh! Ini sudah cukup untuk internationalrecht. Cukup,
saudara-saudara. Asal ada buminya, ada rakyatnya, ada pemerintahnya,
kemudian diakui oleh salah satu negara yang lain, yang merdeka, inilah
yang sudah bernama: merdeka. Tidak peduli rakyat dapat baca atau tidak,
tidak peduli rakyat hebat ekonominya atau tidak, tidak peduli rakyat
bodoh atau pintar, asal menurut hukum internasional mempunyai
syarat-syarat suatu negara merdeka, yaitu ada rakyatnya, ada buminya dan
ada pemerintahnya, - sudahlah ia merdeka.
Janganlah kita gentar, zwaarwichtig, lantas mau menyelesaikan lebih
dulu 1001 soal yang bukan-bukan! Sekali lagi saya bertanya: Mau merdeka
apa tidak? Mau merdeka atau tidak?
Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal "merdeka", maka sekarang saya bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang paduka tuan
Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta
philosophischegrondslag, atau, jikalau kita boleh memakai perkataan yang
muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu
"Weltanschauung", diatas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang
merdeka, dan banyak diantara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di
atas suatu "Weltanschauung". Hitler mendirikan Jermania di atas
"national-sozialistische Weltanschauung", - filsafat nasional-sosialisme
telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler
itu. Lenin mendirikan negara Soviet diatas satu "Weltanschauung", yaitu
Marxistische, Historisch- materialistische Weltanschaung. Nippon
mendirikan negara negara dai Nippon di atas satu "Weltanschauung", yaitu
yang dinamakan "Tennoo Koodoo Seishin". Diatas "Tennoo Koodoo Seishin"
inilah negara dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan
negara Arabia di atas satu "Weltanschauung", bahkan diatas satu dasar
agama, yaitu Islam. Demikian itulah yang diminta oleh paduka tuan Ketua
yang mulia: Apakah "Weltanschauung" kita, jikalau kita hendak mendirikan
Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, "Weltanschauung" ini sudah lama harus kita
bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia
Merdeka datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian
untuk mengadakan bermacam-macam "Weltanschauung", bekerja mati-matian
untuk me"realiteitkan""Weltanschauung" mereka itu. Maka oleh karena itu,
sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikusno, bila
beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan
dengan isi seadanya saja, menurut keadaan, Tidak! Sebab misalnya,
walaupun menurut perkataan John Reed: "Soviet-Rusia didirikan didalam 10
hari oleh Lenin c.s.", - John Reed, di dalam kitabnya:"Ten days that
shook the world", "sepuluh hari yang menggoncangkan dunia" -, walaupun
Lenin mendirikan Soviet-Rusia di dalam 10 hari, tetapi
"Weltanschauung"nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut
kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu diatas "Weltanschauung" yang
sudah ada. Dari 1895 "Weltanschauung" itu telah disusun. Bahkan dalam
revolutie 1905, Weltanschauung itu "dicobakan", di
"generale-repetitie-kan".
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang
dikatakan oleh beliau sendiri "generale-repetitie" dari pada revolusi
tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, "Weltanschaung" itu
disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10
hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah
didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di
atas "Weltanschauung" yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu.
Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan
negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung. Tetapi
kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya "Weltanschauung" itu? Bukan
di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah
bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini,
"Weltanschauung" ini, dapat menjelma dengan dia punya "Munschener
Putsch", tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau
dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas
dasar"Weltanschauung" yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun
itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia
Merdeka, Paduka tuan ketua, timbullah pertanyaan: Apakah
"Weltanschauung" kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka
diatasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme?
Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan doktor Sun Yat Sen?
Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka,
tetapi "Weltanschauung"nya telah dalam tahun 1885, kalau saya tidak
salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku "The three people"s
principles" San Min Chu I, - Mintsu, Minchuan, Min Sheng, -
nasionalisme, demokrasi, sosialisme,- telah digambarkan oleh doktor Sun
Yat Sen Weltanschauung itu, tetapi baru dalam tahun 1912 beliau
mendirikan negara baru diatas "Weltanschauung" San Min Chu I itu, yang
telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
Kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka di atas
"Weltanschauung" apa? Nasional-sosialisme-kah, Marxisme-kah, San Min Chu
I-kah, atau "Weltanschauung' apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya,
banyak pikiran telah dikemukakan, - macam-macam - , tetapi alangkah
benarnya perkataan dr Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa
kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita
bersama-sama mencari persatuan philosophischegrondslag, mencari satu
"Weltanschauung" yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang
saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hajar setujui,
yang sdr. Sanoesi setujui, yang sdr. Abikoesno setujui, yang sdr. Lim
Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus. Tuan Yamin,
ini bukan compromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita
ber-sama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya
bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk sesuatu
orang, untuk sesuatu golongan?
Mendirikan negara Indonesia merdeka yang namanya saja Indonesia
Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk
memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi
kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara
yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang
dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan yang demikian
itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara "semua
buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik
golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, - tetapi "semua buat
semua". Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi.
Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di
dalam beberapa hari di dalam sidang Dokurutu Zyunbi Tyoosakai ini, akan
tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun yang lebih, ialah: Dasar pertama, yang
baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
2. Prinsip pertama
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam
lain: maafkanlah saya memakai perkataan "kebangsaan" ini! Sayapun orang
Islam. Tetapi saya minta kepada saudara- saudara, janganlah
saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama
buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan
dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nasionalestaat,
seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari
yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang
sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka
tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuanpun adalah orang
Indonesia, nenek tuanpun bangsa Indonesia, datuk-datuk tuan,
nenek-moyang tuanpun bangsa Indonesia. Diatas satu kebangsaan Indonesia,
dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah,
kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski
saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah
menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempoh
sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Renan syarat bangsa ialah "kehendak akan bersatu". Perlu
orang-orangnya merasa diri bersatu dan mau bersatu. Ernest Renan
menyebut syarat bangsa: "le desir d'etre ensemble", yaitu kehendak akan
bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu
satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di
dalam bukunya "Die Nationalitatenfrage", disitu ditanyakan: "Was ist
eine Nation?" dan jawabnya ialah: "Eine Nation ist eine aus
chiksals-gemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft". Inilah menurut
Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang
timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarinpun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir
Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata:
"verouderd", "sudah tua". Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest
Renan sudah "verouderd", sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua.
Sebab tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum
timbul satu wetenschap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau
Moenandar, mengatakan tentang "Persatuan antara orang dan tempat".
Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara
manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan
rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer
hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan
"Gemeinschaft"nya dan perasaan orangnya, "l'ame et desir". Mereka hanya
mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi
yang didiami manusia itu, Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air.
Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah s.w.t membuat peta dunia,
menyusun peta dunia. Kalau kita melihat peta dunia, kita dapat
menunjukkan dimana"kesatuan-kesatuan" disitu. Seorang anak kecilpun,
jukalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan
Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu
kesatuan gerombolan pulau-pulau diantara 2 lautan yang besar, lautan
Pacific dan lautan Hindia, dan diantara 2 benua, yaitu benua Asia dan
benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan, bahwa pulau-pulau
Jawa, Sumatera, Borneo, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil,
Maluku, dan lain-lain pulau kecil diantaranya, adalah satu kesatuan.
Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa
pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia
sebagai"golfbreker" atau pengadang gelombang lautan Pacific, adalah satu
kesatuan.
Anak kecilpun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan
di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung
Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan
Inggris adalah satu kesatuan. Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan
sebagai kesatuan pula, Itu ditaruhkan oleh Allah s.w.t. demikian rupa.
Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi
Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain,
segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita?
Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang
bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau
Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap
kepulauan uang ditunjuk oleh Allah s.w.t. menjadi suatu kesatuan antara
dua benua dan dua samudera, itulah tanah air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara
rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oeh
Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup "le desir d'etre
ensembles", tidak cukup definisi Otto Bauer "aus schiksalsgemeinschaft
erwachsene Charaktergemeinschaft" itu. Maaf saudara-saudara, saya
mengambil contoh Minangkabau, diantara bangsa di Indonesia, yang paling
ada "desir d'entre ensemble", adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya
kira-kira 2,5 milyun.
Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan
satu kesatuaan, melainkan hanya satu bahagian kecil dari pada satu
kesatuan! Penduduk Yogyapun adalah merasa "le desir d"etre ensemble",
tetapi Yogyapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan. Di
Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan "le desir d'etre ensemble",
tetapi Sundapun hanya satu bahagian kecil dari pada satu kesatuan.
Pendek kata, bangsa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu
golongan orang yang hidup dengan "le desir d'etre ensemble" diatas
daerah kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Yogya, atau Sunda,
atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang,
menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh s.w.t., tinggal
dikesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatra
sampai ke Irian! Seluruhnya!, karena antara manusia 70.000.000 ini sudah
ada "le desir d'etre enemble", sudah terjadi "Charaktergemeinschaft"!
Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya
adalah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu, satu,
sekali lagi satu!
Kesinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale staat,
diatas kesatuan bumi Indonesia dari Ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya
yakin tidak ada satu golongan diatara tuan-tuan yang tidak mufakat,
baik Islam maupun golongan yang dinamakan "golongan kebangsaan".
Kesinilah kita harus menuju semuanya. Saudara-saudara, jangan orang
mengira bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat!
Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Sakssen adalah nationale staat,
tetapi seluruh Jermanialah satu nationale staat. Bukan bagian
kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah,
yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang diutara dibatasi
pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab,
bukan Bihar dan Orissa, tetapi seluruh segi-tiga Indialah nanti harus
menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang
merdeka dijaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali
mengalami nationale staat, yaitu di jaman Sri Wijaya dan di zaman
Majapahit. Di luar dari itu kita tidak mengalami nationale staat. Saya
berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya
berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanyokrokoesoemo,
bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan nationale staat. Dengan perasaan
hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa
kerajaannya bukan nationale staat. Dengan persaan hormat kepada Prabu
Sultan Agung Tirtayasa, berkata, bahwa kerajaannya di Banten, meskipun
merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada
Sultan Hasanoedin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya
berkata, bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri
dijaman Sri Wijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan
bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita
mengambil sebagai dasar Negara yang pertama: KebangsaanIndonesia.
Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan
Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain,
tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu
nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan
kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka
Tuan fuku-Kaityoo, Tuan menjawab: "Saya tidak mau akan kebangsaan".
TUAN LIM KOEN HIAN : Bukan begitu. Ada sambungannya lagi.
TUAN SOEKARNO : Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima
kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya
tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar
kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan
tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak
yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak
ada bangsa Tionghoa, tidak ada bangsa Nippon, tidak ada bangsa India,
tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya "menschheid", "peri kemanusiaan".
Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat
Tionghoa, bahwa a d a kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya
berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah H.B.S. diSurabaya, saya
dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi
pelajaran kepada saya, - katanya: jangan berfaham kebangsaan, tetapi
berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsan
sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918,
alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, - ialah Dr
SunYat Sen! Di dalam tulisannya "San Min Chu I" atau "The Three People's
Principles", saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme
yang diajarkan oleh A. Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah
rasa kebangsaan, oleh pengaruh "The Three People"s Principles" itu.
Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr.
Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah, bahwa Bung Karno juga
seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa
berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, - sampai masuk kelobang kubur.
3. Prinsip kedua
Saudara-saudara. Tetapi ........ tetapi ........... memang prinsip
kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan
nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham "Indonesia uber
Alles". Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa
berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi Tanah Air kita
Indonesia hanya satu bahagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan
hal ini!
Gandhi berkata: "Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya
adalah perikemanusiaan "My nationalism is humanity". Kebangsaan yang
kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme,
sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropah, yang mengatakan"Deutschland
uber Alles", tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya, bangsanya
minulyo, berambut jagung dan bermata biru, "bangsa Aria", yang
dianggapnya tertinggi diatas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada
harganya. Jangan kita berdiri di atas azas demikian, Tuan-tuan, jangan
berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta
meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan
dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indonesia Merdeka, tetapi
kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa. Justru inilah
prinsip saya yang kedua. Inilah filosofisch principe yang nomor dua,
yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan
"internasionalime". Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme,
bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya
kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak
ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika, dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam
buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak
hidup dalam taman-sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini,
saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan
kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
4. Prinsip ketiga
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat,
dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu
negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun
golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara "semua buat semua", "satu
buat semua, semua buat satu". Saya yakin syarat yang mutlak untuk
kuatnya negara In-donesia ialah permusyawaratan perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama.
Kita, sayapun, adalah orang Islam, -- maaf beribu-ribu maaf, keislaman
saya jauh belum sempurna, -- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya
punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak
lain tidak bukan hati Islam.
Dan hati Islam Bung karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat,
dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal,
juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau
permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam
permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan
tuntutan-tuntutan Islam. Disinilah kita usulkan kepada
pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan.
Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya,
agar-supaya sebagian yang terbesar dari pada kursi-kursi badan
perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan Islam. Jikalau
memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan
jikalau memang Islam disini agama yang hidup berkobar-kobar didalam
kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap
rakyat itu, agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam
ke dalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan Rakyat 100
orang anggautanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar
supaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini
orang Islam, pemuka-pemuka Islam. dengan sendirinya hukum-hukum yang
keluar dari badan perwakilan rakyat itu, hukum Islam pula. Malahan saya
yakin, jikalau hal yang demikian itu nyata terjadi, barulah boleh
dikatakan bahwa agama Islam benar-benar h i d u p di dalam jiwa rakyat,
sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka
Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, baru
jikalau demikian, hiduplah Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya
diatas bibirsaja. Kita berkata, 90% dari pada kita beragama Islam,
tetapi lihatlah didalam sidang ini berapa % yang memberikan suaranya
kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu
adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam
kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara
sekalian, baik yang bukan Islam, maupun terutama yang Islam, setujuilah
prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan. Dalam
perwakilan nanti ada perjoangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat
yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan-perwakilannya tidak
seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada
perjoangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di dalam
staat Kristen, perjoangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3,
prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat
saudara-saudara islam dan saudara-saudara kristen bekerjalah sehebat-
hebatnya. Kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di
dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil,
bekerjalah mati-matian, agar suapaya sebagian besar dari pada
utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang kristen,
itu adil, - fair play!. Tidak ada satu negara boleh dikatakan negara
hidup, kalau tidak ada perjoangan di dalamnya. Jangan kira di Turki
tidak ada perjoangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada
pergeseran pikiran. Allah subhanahuwa Ta'ala memberi pikiran kepada
kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu
bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah, supaya keluar dari
padanya beras, dan beras akan menjadi nasi Indonesia yang
sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu
prinsip permusyawaratan
5. Prinsip keempat
Priinsip No. 4 sekarang saya usulkan, Saya di dalam 3 hari ini belum
mendengarkan prinsip itu, yaitu prinsip kesejahteraan , prinsip: tidak
akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakan tadi:
prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng:
nationalism, democracy, sosialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita
mau Indonesia Merdeka, yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang
semua rakyat sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian,
hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup
memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara?
Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada,
kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah
lihat, di negara-negara Eropah adalah Badan Perwakilan, adalah
parlementaire democracy. Tetapi tidakkah diEropah justru kaum kapitalis
merajalela?
Di Amerika ada suatu badan perwakilan rakyat, dan tidakkah di Amerika
kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum
kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain tak
bukan sebabnya, ialah oleh karena badan- badan perwakilan rakyat yang
diadakan disana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak
lain tak bukan adalah yang dinamakan democratie disana itu hanyalah
politie-kedemocratie saja; semata-mata tidak ada sociale
rechtvaardigheid, -- tak ada keadilan sosial, tidak ada ekonomische
democratie sama sekali.
Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis,
Jean Jaures, yang menggambarkan politieke democratie. "Di dalam
Parlementaire Democratie, kata Jean Jaures, di dalam Parlementaire
Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak sama. Hak politiek yang sama,
tiap orang boleh memilih, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam
parlement. Tetapi adakah Sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan
kesejahteraan di kalangan rakyat?" Maka oleh karena itu Jean Jaures
berkata lagi: "Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu, di
dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di
dalam dia punya tempat bekerja, di dalam paberik, - sekarang ia
menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya,
dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa".
Adakah keadaan yang demikian ini yang kita kehendaki?
Saudara-saudara, saya usulkan: Kalau kita mencari demokrasi,
hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi
hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan
kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia sudah lama bicara tentang hal
ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimakksud dengan faham
Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera.
Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian,
menciptakan dunia-baru yang di dalamnya a d a keadilan di bawah pimpinan
Ratu Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul
mengerti, mengingat mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima
prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan
politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita
harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang
sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya
bukan badan permusyawaratan politieke democratie saja, tetapi badan
yang bersama dengan ma-syarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke
rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara, di
dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita
selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepada negara, saya terus
terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena
monarchie "vooronderstelt erfelijkheid", - turun-temurun. Saya seorang
Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya meng-hendaki mufakat,
maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidakkah
agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun
Amirul mu'minin, harus dipilih oleh Rakyat? Tiap-tiap kali kita
mengadakan kepala negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagus
Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat,
meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya,
dengan automatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu
saya tidak mufakat kepada prinsip monarchie itu.
6. Prinsip kelima
apakah prinsip ke-5?
Saya telah mengemukakan 4 prinsip:
- Kebangsaan Indonesia.
- Internasionalisme, - atau peri-kemanusiaan.
- Mufakat, - atau demukrasi.
- Kesejahteraan sosial.
Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi
masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Yang
Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam
bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad s.a.w., orang Buddha menjalankan
ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita
semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang
tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada
"egoisme-agama". Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang
bertuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen,
dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah
hormat-menghormati satu sama lain.
Nabi Muhammad s.a.w. telah memberi bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun
telah menunjukkan verdraagzaamheid. Marilah kita di dalam Indonesia
Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa
prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang
berkebudayaan, Ketuanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang
hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan
Ketuhanan Yang Maha Esa!
Disinilah, dalam pangkuan azas yang kelima inilah, saudara- saudara,
segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat
yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, disitulah
tempatnya kita mempropagandakan idee kita masing-masing dengan cara yang
berkebudayaan!
7. Pancasila
"Dasar-dasar Negara" telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah
Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma
berarti kewajiban, sedang kita membicarakan dasar. Saya senang kepada
simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita
lima setangan. Kita mempunyai Panca Inderia. Apa lagi yang lima
bilangannya?
(Seorang yang hadir: Pendawa lima).
Pendawapun lima oranya. Sekarang banyaknya prinsip; kebangsaan,
internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula
bilangannya.
Namanya bukan Panca Dharma, tetapi - saya namakan ini dengan petunjuk
seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Panca Sila. Sila artinya
azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara
Indonesia, kekal dan abadi. bilangan lima itu?
Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya
kepada saya, apakah "perasan" yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah
saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka,
Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan
internasionalisme, kebangsaan dan peri-kemanusiaan, saya peras menjadi
satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi barat, tetapi politiek-
economische demokratie, yaitu politieke demokrasi dengan sociale
rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula
menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie. Tinggal
lagi ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Jadi yang asalnya lima
itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-demokratie, dan
ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga
ini.
Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini,
dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya
kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
8. Gotong royong
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia,
yang kita semua harus men-dukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen
buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Van Eck buat
indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia
buat Indonesia, - semua buat semua ! Jikalau saya peras yang lima
menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu
perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan "gotong-royong". Negara
Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah
hebatnya! Negara Gotong Royong!
"Gotong Royong" adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari
"kekeluargaan", saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu
pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo satu karyo,
satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini,
bersama-sama ! Gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama,
pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua
buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua.
Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong!
Prinsip Gotong Royong diatara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.
Pancasila menjadi Trisila, Trisila menjadi Eka Sila. Tetapi terserah
kepada tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila ataukah
pancasila? Is i n y a telah saya katakan kepada saudara-saudara
semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada
saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi.
Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi
jangan lupa, kita hidup didalam masa peperangan, saudara- saudara. Di
dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di
dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah
kepada Allah Subhanahu wata'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia
bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam
peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia Merdeka,
Indonesia yang gemblengan, Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api
peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara
Indonesia yang kuat, bukan negara Indonesia yang lambat laun menjadi
bubur.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa
pembicara-pembicara tadi, barangkali perlu diadakan noodmaatregel,
peraturan bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia Merdeka
yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Panca Sila. Sebagai
dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah
saudara- saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjoang sejak
tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk
membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia; untuk
kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam peri-kemanusiaan; untuk
permufakatan; untuk sociale rechtvaardigheid; untuk ke-Tuhananan. Panca
Sila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh-puluh
tahun. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah
saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf- insyafnya, bahwa
tidak satu Weltaschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi
realiteit dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi
kenyataan, menjadi realiteit, jika tidak dengan perjoangan!
Janganpun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang
diadakan Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen! "De Mensch",
-- manusia! --, harus perjoangkan itu. Zonder perjoangan itu tidaklah
ia akan menjadi realiteit! Leninisme tidak bisa menjadi realiteit zonder
perjoangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi
kenyataan zonder perjoangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak!
Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjoangan manusia,
tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama, yang dapat
menjadi realiteit. Janganpun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan
yang tertulis di dalam kitab Qur'an, zwart op wit (tertulis di atas
kertas), tidak dapat menjelma menjadi realiteit zonder perjoangan
manusia yang dinamakan ummat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang
tertulis didalam kitab Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak
dapat menjelma zonder perjoangan ummat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Panca Sila yang
saya usulkan itu, menjadi satu realiteit, yakni jikalau kita ingin hidup
menjadi satu bangsa, satu nationali- teit yang merdeka, ingin hidup
sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan,
ingin hidup diatas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan
sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan
ke-Tuhanan yang luas dan sempurna, --janganlah lupa akan syarat untuk
menyeleng-garakannya, ialah perjoangan, perjoangan, dan sekali lagi
pejoangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia
Merdeka itu perjoangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata:
Di-dalam Indonesia Merdeka itu perjoangan kita harus berjalan t e r u s,
hanya lain sifatnya dengan perjoangan sekarang, lain coraknya. Nanti
kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu padu, berjoang terus
menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Panca Sila. Dan
terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah
dalam kalbu saudara-saudara, bawa Indonesia Merdeka tidak dapat datang
jika bangsa Indonesia tidak mengambil risiko, -- tidak berani terjun
menyelami mutiara di dalam samudera yang sedalam-dalamnya.
Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian
untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi
milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai keakhir jaman!
Kemerdekaan hanya- lah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya
berkobar-kobar dengan tekad "Merdeka, -- merdeka atau mati"!
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar