WELCOME TO THE BLOG SERBA SERBI.

Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

Minggu, 28 Oktober 2018

Pemberontakan di Aceh

Lokasi Aceh di Indonesia
arifuddinali.blogspot.com - Pemberontakan di Aceh dikobarkan oleh Gerakan Aceh Merdeka(GAM) untuk memperoleh kemerdekaan dari Indonesia antara tahun 1976 hingga tahun 2005. Operasi militer yang dilakukan TNI dan Polri (2003-2004), beserta kehancuran yang disebabkan oleh gempa bumi Samudra Hindia 2004 menyebabkan diadakannya persetujuan perdamaian dan berakhirnya pemberontakan. Amnesty Internationalmerilis laporan Time To Face The Past pada April 2013 setelah pemerintah Indonesia dianggap gagal menjalankan kewajibannya sesuai perjanjian damai 2005. Laporan tersebut memperingatkan bahwa kekerasan baru akan terjadi jika masalah ini tidak diselesaikan.

Latar belakang

Secara luas di Aceh, agama Islam yang sangat konservatif lebih dipraktikkan. Hal ini berbeda dengan penerapan Islam yang moderat di sebagian besar wilayah Indonesia lain. Perbedaan budaya dan penerapan agama Islam antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi gambaran sebab konflik yang paling jelas. Selain itu, kebijakan-kebijakan sekuler dalam administrasi Orde Baru Presiden Soeharto (1965-1998) sangat tidak populer di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh membenci kebijakan pemerintahan Orde Baru pusat yang mempromosikan satu 'budaya Indonesia'. Selanjutnya, lokasi provinsi Aceh di ujung Barat Indonesia menimbulkan sentimen yang meluas di provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti masalah yang dimiliki Aceh dan tidak bersimpati pada kebutuhan masyarakat Aceh dan adat istiadat di Aceh yang berbeda.


Garis waktu

Tahap pertama

Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan yang mengoperasikan ladang gas Arun.

Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang partisipasi aktif massa. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain karena kekecewaan terhadap pemerintah pusat.

Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang merupakan anggota kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh. Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh di Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979, terdiri dari tokoh pemberontakan Darul Islam berikut ini:
  • Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung
  • Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri
  • Teungku Usman Lampoh Awe: Menteri Keuangan
  • Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman
  • Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi
  • Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan
  • Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial
  • Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri
  • Amir Ishak: Menteri Komunikasi
  • Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan
  • Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri

Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM sendiri telah berjuang pada tahun 1953-1959 dalam pemberontakan Darul Islam. Banyak dari mereka adalah laki-laki tua yang tetap setia kepada mantan gubernur militer Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh, Daud Beureueh. Orang yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam. Beberapa orang anggota Darul Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga atau ikatan regional, namun kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh. Orang-orang inilah yang menyediakan pengetahuan militer, pertempuran, pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang tidak memiliki pemimpin muda GAM yang berpendidikan.

Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan, dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai, melarikan diri dan bersembunyi. Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti berfungsi.


Tahap kedua

Teungku Muhammad Daud Beureueh

Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui "Mathaba Melawan Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme". Tidak jelas apakah Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan militer yang sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda. Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan militer Indonesia menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800. Di antara para pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).

Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya. Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.

Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh.Langkah ini, meskipun secara taktik berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto. Komandan penting GAM telah entah dibunuh (komandan GAM Pasè Yusuf Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar), ditangkap (Ligadinsyah) atau lari (Robert, Arjuna dan Ahmad Kandang).


Tahap ketiga

Tentara Wanita dari Gerakan Aceh Merdeka dengan Panglima GAM Abdullah Syafi'i, 1999

Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000 selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.

Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.

Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum 8 November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia. Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan sistem demokrasi." Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.

Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch, militer Indonesia kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember 2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.


Kesepakatan damai dan pilkada pertama 

Setelah bencana Tsunami dahsyat menghancurkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan senjata dan menegaskan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini. Namun, bentrokan bersenjata sporadis terus terjadi di seluruh provinsi. Karena gerakan separatis di daerah, pemerintah Indonesia melakukan pembatasan akses terhadap pers dan pekerja bantuan. Namun setelah tsunami, pemerintah Indonesia membuka daerah untuk upaya bantuan internasional.

Bencana tsunami dahsyat tersebut walaupun menyebabkan kerugian manusia dan material yang besar bagi kedua belah pihak, juga menarik perhatian dunia internasional terhadap konflik di Aceh. Upaya-upaya perdamaian sebelumnya telah gagal, tetapi karena sejumlah alasan, termasuk tsunami tersebut, perdamaian akhirnya menang pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik berkepanjangan. Era pasca-Soeharto dan masa reformasi yang liberal-demokratis, serta perubahan dalam sistem militer Indonesia, membantu menciptakan lingkungan yang lebih menguntungkan bagi pembicaraan damai. Peran Presiden Indonesia yang baru terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah sangat signifikan dalam menangnya perdamaian di Aceh. Pada saat yang sama, kepemimpinan juga GAM mengalami perubahan, dan militer Indonesia telah menimbulkan begitu banyak kerusakan pada gerakan pemberontak yang mungkin menempatkan GAM di bawah tekanan kuat untuk bernegosiasi. Perundingan perdamaian tersebut difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis Management Initiative, dan dipimpin oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Berdasarkan perjanjian tersebut, Aceh akan menerima otonomi khusus di bawah Republik Indonesia, dan tentara non-organik (mis. tentara beretnis non-Aceh) akan ditarik dari provinsi Aceh (hanya menyisakan 25.000 tentara), dan dilakukannya pelucutan senjata GAM. Sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Uni Eropa mengirimkan 300 pemantau yang tergabung dalam Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh). Misi mereka berakhir pada tanggal 15 Desember 2006, setelah suksesnya pilkada atau pemilihan daerah gubernur Aceh yang pertama.

Aceh telah diberikan otonomi yang lebih luas melalui UU Pemerintah, meliputi hak khusus yang disepakati pada tahun 2002 serta hak masyarakat Aceh untuk membentuk partai politik lokal untuk mewakili kepentingan mereka. Namun, pendukung HAM menyoroti bahwa pelanggaran HAM sebelumnya di provinsi Aceh akan perlu ditangani.

Selama pilkada gubernur Aceh diadakan pada bulan Desember 2006, mantan anggota GAM dan partai nasional berpartisipasi. Pemilihan itu dimenangkan oleh Irwandi Yusuf, yang basis dukungannya sebagian besar terdiri dari para mantan anggota GAM.


Kemungkinan penyebab konflik

Sejarah

Akademis dari ANU Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesiamenyebabkan munculnya separatisme Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan perkembangan selanjutnya. Dia berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh para ulama Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah kemerdekaan Indonesia.

Aspinall berpendapat lebih lanjut bahwa ada dua tonggak jalan sejara berkembangnya separatisme Aceh:1945-1949: Aceh memainkan peranan penting dalam revolusi dan perang kemerdekaan melawan Belanda dan akibatnya disinyalir mampu mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia.1953-1962: Gubernur militer Aceh Daud Beureueh menyatakan bahwa provinsi Aceh akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai reaksi terhadap penolakan pemerintah pusat untuk mengizinkan pelaksanaan syariah dan penurunan Aceh dari status provinsi. Pemberontakan dimana Aceh merupakan bagian ini, kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Darul Islam. Aspinall berpendapat bahwa kegagalan pemberontakan ini menandai berakhirnya identifikasi Aceh dengan haluan pan-Indonesia/Islamis dan meletakkan dasar bagi partikularisme.

Argumen oleh Aspinall di atas bertentangan dengan pandangan ulama sebelumnya. Sebelumnya pada 1998, Geoffrey Robinson berpendapat bahwa kekalahan dan penyerahan pemberontakan yang dipimpin Daud Beureueh pada 1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di mana tidak ada masalah keamanan atau politik khusus di Aceh terhadap pemerintah pusat. Tim Kell juga menunjukkan bahwa mantan pemimpin-pemimpin pemberontakan Darul Islam 1953-1962 telah dengan niat bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dalam operasi penumpasan berdarah Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan 1966.

Agama

Aceh memiliki penganut Islam sebagai kelompok agama mayoritas. Namun, secara umum diakui bahwa Aceh adalah daerah di mana Islam pertama kali masuk ke kepulauan Melayu. Kerajaan Islam pertama yang dikenal adalah Pasai (dekat Lhokseumawe sekarang di Aceh Utara) yang didirikan pertengahan abad ke-13. Bukti arkeologis paling awal yang ditemukan untuk mendukung pandangan ini adalah batu makam Sultan Malik al-Saleh yang meninggal pada tahun 1297. Dalam abad-abad berikutnya, Pasai dikenal sebagai pusat pembelajaran agama Islam dan model "pemerintahan Islam" di mana kerajaan lain di kepulauan Melayu melihat untuk belajar. Bagian identitas Aceh yang berbeda dari daerah lainnya ini berasal dari statusnya tersebut, sebagai wilayah Islam awal dan contoh untuk kesultanan-kesultanan lain di kepulauan Melayu.

Keterpisahan Aceh dari daerah lain di Indonesia karena agama Islam ini bisa dilihat dari sejarah, terutama dari pembentukan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) tahun 1939 oleh ulama Islam modernis Aceh. Organisasi ini secara eksklusif beranggotakan suku Aceh. Perlu dicatat bahwa di Aceh sendiri, sebagian besar ormas pan-Indonesia telah lemah, bahkan Muhammadiyah, organisasi terbesar bagi umat Islam yang berhaluan modernis di Indonesia, gagal membuat terobosan di Aceh di luar daerah perkotaan dan sebagian besar anggotanya beretnis non-Aceh. Namun, juga perlu dicatat bahwa meskipun organisasi PUSA bersifat parokial, organisasi ini tetap diidentifikasi berhaluan pan-Islamisme di mana tujuannya adalah untuk semua umat Islam untuk bersatu di bawah syariah.

Faktor penyebab keagamaan lain bagi separatisme di Aceh adalah perlakuan yang didapat kelompok Muslim dan partai politik di Aceh oleh administrasi Orde Baru rezim Presiden Soeharto. Pertama, adanya penggabungan paksa semua partai politik yang mewakili kepentingan Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973. Anggota dan simpatisan partai politik Islam di Aceh mengalamiberbagai tingkat pelecehan. Walaupun Aceh mempunyai status wilayah khusus, Aceh tidak diizinkan untuk menerapkan syariah atau untuk mengintegrasikan sekolah-sekolah agama Islam (madrasah) dengan sekolah-sekolah nasional untuk menjadi sistem pendidikan terpadu, kedua proposal Aceh ini diabaikan oleh pemerintah pusat.

Meskipun Indonesia adalah negara bermayoritas penduduk Muslim, dengan membangun adanya "konsepsi diri" di Aceh akan perannya dalam Islam dan dengan adanya sikap bermusuhan Orde Baru terhadap pengaruh sosial dalam bentuk-bentuk Islam di Aceh, GAM mampu membingkai perjuangan mereka melawan pemerintah Indonesia sebagai "prang sabi" ("perang suci" atau "jihad" menurut Islam). Dalam banyak cara yang sama, istilah ini banyak digunakan dalam "Perang Kafir" (atau Perang Aceh) melawan Belanda tahun 1873-1913. Indikasi tentang ini adalah peminjaman istilah-istilan dalam buku Hikayat Prang Sabi ("Cerita Perang Suci"), sebuah kumpulan cerita Aceh yang digunakan untuk menginspirasi perlawanan terhadap Belanda, oleh beberapa simpatisan GAM sebagai propaganda melawan pemerintah Indonesia. Sebelum gelombang kedua pemberontakan oleh GAM pada akhir 1980-an, telah diamati bahwa beberapa orang telah memaksa anak-anak sekolah Aceh untuk malah menyanyikan lagu Hikayat Prang Sabi, daripada lagu nasional Indonesia, Indonesia Raya. Bahan publikasi politik GAM juga menggambarkan Pancasila, ideologi negara resmi Indonesia sebagai "ajaran politeistik" yang dilarang oleh Islam.

Kendati hal di atas, terlihat bahwa pada masa setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, agama Islam sebagai faktor pendorong separatisme Aceh mulai mereda, bahkan setelah terjadi proliferasi munculnya serikat mahasiswa Muslim dan kelompok-kelompok ormas Islam lainnya di Aceh. Telah dicatat bahwa kelompok-kelompok baru yang muncul tersebut jarang menyerukan pelaksanaan syariah di Aceh. Sebaliknya, mereka menekankan perlunya referendum kemerdekaan Aceh dan menyoroti pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI) di Aceh. Demikian pula, posisi GAM pada syariah juga bergeser. Ketika pemerintah pusat mengeluarkan UU Nomor 44/1999 tentang Otonomi Aceh yang mencakup ketentuan pelaksanaan syariah di Aceh, GAM malah mengutuk langkah pemerintah Indonesia tersebut sebagai tidak relevan dan mungkin upaya untuk menipu Aceh atau menggambarkan mereka ke dunia luar sebagai fanatik agama. Meskipun mengubah sikap terhadap syariah, posisi GAM tidaklah jelas. Hal ini dicatat oleh International Crisis Group (ICG) bahwa antara tahun 1999 dan 2001, terjadi beberapa kasus secara periodik di mana komandan militer lokal GAM memaksakan penerapan hukum syariah di masyarakat Aceh di mana mereka memiliki pengaruh. Aspinall mengamati bahwa secara keseluruhan, posisi GAM yang berubah-ubah terhadap syariah dan Islam di Aceh tergantung pada lingkungan internasional dan negara yang mereka inginkan dukungannya untuk kemerdekaan mereka, yaitu: jika negara Barat yang mereka anggap penting, Islam akan tidak ditekankan, namun jika negara-negara Islam yang dianggap penting, Islam akan sangat ditekankan.

Keluhan ekonomi

Masalah utama yang berkaitan dengan masalah ekonomi Aceh adalah terkait pendapatan yang diperoleh dari industri minyak dan gas di Aceh. Robinson berpendapat bahwa manajemen Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam Aceh dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab pemberontakan Aceh. Dari tahun 1970-an sampai pertengahan 1980-an, Aceh telah mengalami "booming LNG" setelah penemuan gas alam di pantai timur laut provinsi Aceh. Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah pusat. Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang signifikan kepada ekspor Indonesia ketika menjadi sumber ekspor terbesar ketiga setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau. Meskipun demikian, hampir semua pendapatan minyak dan gas dari kegiatan produksi dan ekspor di Aceh dialokasikan ke pemerintah pusat baik secara langsung maupun melalui perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak negara Pertamina. Selain itu, pemerintah pusat tidak kembali menginvestasikan cukup banyak pendapatan tersebut kembali ke provinsi Aceh. Hal ini menyebabkan beberapa teknokratis Aceh yang mulai menonjol saat itu untuk mengeluh bahwa provinsi Aceh telah diperlakukan tidak adil secara ekonomi dan bahwa Aceh telah terpinggirkan dan diabaikan sebagai daerah pinggiran.

Robinson mencatat bahwa meskipun beberapa pengusaha bisnis yang kecil di Aceh telah mendapat manfaat dari masuknya modal asing selama booming LNG, ada banyak yang merasa dirugikan saat kalah dari orang lain dengan koneksi politik yang lebih kuat ke pemerintah pusat, terutama pemimpin GAM sendiri, yaitu Hasan di Tiro. Hasan di Tiro adalah salah satu pihak yang dirugikan ketika ia mengajukan tawaran kontrak pipa minyak untuk Mobil Oil Indonesia pada tahun 1974, namun dikalahkan oleh sebuah perusahaan Amerika Serikat. Robinson mencatat waktu deklarasi kemerdekaan GAM pada bulan Desember 1976 dan aksi militer pertama GAM pada tahun 1977 terhadap Mobil Oil terjadi pada waktu yang sama ketika fasilitas ekstraksi dan pengolahan gas alam telah diresmikan. Memang, dalam deklarasi kemerdekaan GAM, GAM mengklaim sebagai berikut:"Aceh, Sumatera, telah menghasilkan pendapatan lebih dari 15 miliar dolar AS setiap tahunnya untuk neokolonialis Jawa, yang mereka gunakan seluruhnya untuk kepentingan Jawa dan orang Jawa."

Walaupun demikian, Robinson mencatat bahwa meskipun faktor ini menjelaskan sebagian alasan munculnya pemberontakan GAM pada pertengahan 1970-an, hal ini tidak menjelaskan munculnya kembali GAM pada tahun 1989 dan tingkat kekerasan yang tidak pernah dilihat sebelumnya sejak saat itu. Aspinall juga mendukung sudut pandang ini dan berpendapat bahwa meskipun keluhan mengenai sumber daya alam dan ekonomi tidak boleh dihiraukan sebagai penyebab, faktor ini bukan penyebab secara keseluruhan, dengan contoh provinsi Riau dan Kalimantan Timur yang juga menghadapi eksploitasi ekonomi yang sama atau bahkan lebih buruk oleh pemerintah pusat, tetapi tidak memunculkan pemberontakan separatis karena perbedaan kondisi politik. Dia melanjutkan bahwa keluhan berlatar ekonomi dan sumber daya alam telah menjadi sarana bagi GAM untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa mereka harus meninggalkan harapan untuk perlakuan khusus dan otonomi di Indonesia dan sebaliknya berjuang untuk memulihkan kejayaan Aceh dengan mendapat kemerdekaan.

Peran GAM dalam memprovokasi keluhan

Pendiri GAM, Hasan di Tiro dan rekan-rekan pemimpin GAM-nya yang ada di pengasingan di Swedia berperan penting dalam memberikan pesan yang mudah dimengerti tentang kebutuhan dan hak penentuan nasib sendiri untuk Aceh. Oleh karena itu, argumen tentang "perlunya kemerdekaan" Aceh ditargetkan oleh GAM pada penduduk domestik Aceh, sedangkan argumen "hak untuk merdeka" ditargetkan pada komunitas internasional untuk memenangkan dukungan diplomatik terhadap GAM.

Dalam propaganda tersebut, Kesultanan Aceh yang telah lama bubar berperan sebagai aktor yang seolah "masih ada" di panggung internasional dengan penekanan pada hubungan masa lalu Kesultanan Aceh dengan negara-negara Eropa, seperti misi diplomatik, perjanjian, serta pernyataan pengakuan kedaulatan Kesultanan Aceh pada masa lampau. Sesuai dengan logika ini, Aceh yang berdaulat(dan diwakili oleh GAM) akan menjadi negara penerus Kesultanan Aceh yang telah dibubarkan pasca kekalahan pada Belanda setelah Perang Aceh (1873-1914). Perang Aceh kemudian dipandang oleh masyarakat Aceh sebagai perbuatan agresi militer oleh Belanda dan penggabungan Aceh ke Indonesia pada tahun 1949 dianggap sebagai perpanjangan pendudukan yang tidak sah oleh Belanda tersebut. Argumen ini ditargetkan oleh GAM pada masyarakat Aceh sendiri serta komunitas internasional, yaitu melalui seruan pada hukum internasional.

Dalam nada yang sama, negara Indonesia telah dilabeli oleh propaganda GAM sebagai kedok dominasi Jawa. Dalam deskripsi di Tiro sendiri:""Indonesia" was a fraud. A cloak to cover up Javanese colonialism. Since the world begun [sic], there never was a people, much less a nation, in our part of the world by that name." (BI: ""Indonesia" adalah sebuah penipuan. Sebuah kedok untuk menutupi kolonialisme Jawa. Sejak dunia mulai, tidak pernah ada orang, apalagi bangsa, dalam bagian dari dunia kami dengan nama tersebut.")

Upaya untuk menyebarkan propaganda GAM banyak mengandalkan dari mulut ke mulut. Elizabeth Drexler (akademis Universitas Pennsylvania) telah mengamati bahwa masyarakat Aceh dan pendukung GAM sering mengulangi klaim yang sama yang dibuat dalam propaganda GAM yang mereka telah datangi melalui modus penyebaran ini. Almarhum M. Isa Sulaiman (penulis buku "Sejarah Aceh") menulis bahwa ketika di Tiro pertama kali memulai kegiatan separatis itu antara tahun 1974 dan 1976, ia mengandalkan jaringan kerabatnya dan sejumlah intelektual muda yang berpikiran sama untuk menyebarkan pesannya yang kemudian memperoleh massa simpatisan, khususnya di Medan, Sumatera Utara. Aspinall juga menuliskan ingatan para simpatisan GAM tentang hari-hari awal pemberontakan di mana mereka akan menyebarkan pamflet kepada teman atau menyelipkannya secara anonim di bawah pintu kantor rekan-rekan mereka.

Namun hasil dari upaya propaganda tersebut cukup berbeda-beda. Eric Morris ketika mewawancarai pendukung GAM tahun 1983 untuk tesisnya mencatat bahwa, daripada untuk kemerdekaan, para pendukung GAM lebih tertarik baik pada sebuah negara Islam Indonesia atau bagi Aceh untuk diperlakukan lebih adil oleh pemerintah pusat. Aspinall juga mencatat bahwa untuk beberapa daerah, GAM tidak membedakan dirinya dari Darul Islam atau Partai Persatuan Pembangunan yang berkampanye di atas panggung Islam untuk Pemilu legislatif Indonesia tahun 1977. Namun bagi individu yang telah menjadi pendukung inti GAM, pesan kemerdekaan yang ditemukan dalam propaganda GAM dipandang sebagai pewahyuan Islam dan banyak yang merasakan momen kebangkitan Islam.


Kemungkinan faktor konflik berkepanjangan

Daya tahan jaringan GAM

Banyak anggota GAM adalah entah anggota pemberontakan Darul Islam atau anak-anak dari mereka. Aspinall mencatat bahwa hubungan kekerabatan, antara ayah dan anak serta antara saudara, telah menjadi penting dalam membentuk solidaritas GAM sebagai sebuah organisasi. Banyak yang merasa bahwa mereka sedang melanjutkan aspirasi ayah, paman, saudara atau sepupu laki-laki yang biasanya adalah orang-orang yang melantik mereka menjadi anggota GAM; dan orang-orang yang aktivitas atau kematiannya di tangan aparat keamanan negara telah mengilhami mereka untuk bergabung dengan GAM. Konstituen GAM juga sering merupakan penduduk masyarakat pedesaan di mana semua orang tahu dan kenal erat dengan tetangga mereka. Adanya pertalian erat ini memungkinkan kesinambungan serta resistensi tingkat tinggi terhadap infiltrasi oleh aparat intelijen negara.

Aspinall juga mengakui kuatnya ketahanan GAM ada pada strukturnya yang seperti sel pada tingkat yang lebih rendah. Tingkat di bawah komandan militer regional (atau panglima wilâyah) adalah satuan yang diperintah oleh komandan junior (panglima muda) dan bahkan komandan tingkat yang lebih rendah (Panglima Sagoe dan Ulee Sagoe) yang tidak mengetahui identitas rekan-rekan mereka di daerah tetangga dan hanya mengenal mereka yang langsung berpangkat di atas mereka. Karakter ini memungkinkan GAM untuk bertahan sebagai sebuah organisasi meskipun ada di bawah upaya penekanan kuat oleh aparat keamanan negara Indonesia.

Pelanggaran HAM oleh militer Indonesia

Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde Baru pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung GAM. Ia menilai bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan. Amnesty International mencatat:Otoritas politik Angkatan Bersenjata (Republik Indonesia), yang besar bahkan dalam kondisi normal, sekarang (telah) menjadi tak tertandingi. Atas nama keamanan nasional, otoritas militer dan polisi dikerahkan di Aceh kemudian bebas untuk menggunakan hampir segala cara yang dipandang perlu untuk menghancurkan GPK ("Gerakan Pengacauan Keamanan"), yang merupakan nomenklatur (istilah) pemerintah Indonesia untuk GAM.

Amnesty International mendokumentasikan penggunaan penangkapan sewenang-wenang, penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumi-hangusan sebagai karakter operasi militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun 1990. Di antara tindakan yang lebih mengerikan diamati oleh Amnesty International adalah pembuangan publik mayat-mayat korban eksekusi (atau Penembakan Misterius) yang dilakukan sebagai peringatan untuk orang Aceh untuk menahan diri dari bergabung atau mendukung GAM. Berikut ini adalah deskripsi tindakan tersebut oleh Amnesty International:"Penembakan misterius" (Petrus) di Aceh memiliki fitur umum sebagai berikut. Mayat-mayat korban biasanya dibiarkan di tempat umum - di samping jalan utama, di ladang dan perkebunan, sungai atau tepi sungai - tampaknya sebagai peringatan kepada orang lain untuk tidak bergabung atau mendukung pemberontak. Sebagian besar jelas adalah tahanan ketika mereka dibunuh, jempol mereka, dan kadang-kadang kaki mereka, diikat dengan jenis simpul tertentu. Sebagian besar telah ditembak dari jarak dekat, meskipun peluru jarang ditemukan di tubuh mereka. Kebanyakan juga menunjukkan tanda-tanda telah dipukuli dengan benda tumpul atau disiksa, dan karena itu wajah mereka sering tidak bisa dikenali. Dalam banyak kasus, mayat-mayat tersebut tidak diambil oleh kerabat atau teman, baik karena takut pembalasan oleh militer, dan karena korban biasanya dibuang agak jauh dari desa asal mereka.

Taktik TNI lain yang dipertanyakan adalah aktivitas yang disebut "operasi sipil-militer" di mana warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam intelijen dan operasi keamanan. Sebuah contoh terkenal dari hal ini adalah Operasi Pagar Betis seperti yang dijelaskan oleh Amnesty International berikut:....Strategi kerjasama sipil-militer adalah "Operasi Pagar Betis" - digunakan sebelumnya di Timor Timur - di mana penduduk desa biasa dipaksa menyapu melalui daerah tertentu di depan pasukan bersenjata, baik dalam rangka untuk menghalau pemberontak dan juga untuk menghambat mereka untuk membalas tembakan. Elemen penting dalam keberhasilan operasi ini adalah kelompok-kelompok lokal yang "main hakim sendiri" dan patroli malam yang terdiri dari warga sipil, tetapi dibentuk di bawah perintah dan pengawasan militer. Antara 20 dan 30 pemuda dimobilisasi dari setiap desa di daerah yang dicurigai daerah pemberontak. Dalam kata-kata seorang komandan militer setempat: "Para pemuda adalah garis depan. Mereka adalah yang terbaik dalam mengetahui siapa adalah anggota GPK. Kami kemudian menyelesaikan masalah tersebut." Menolak untuk berpartisipasi dalam kelompok-kelompok tersebut atau kegagalan untuk menunjukkan komitmen yang cukup untuk menghancurkan musuh dengan mengidentifikasi, menangkap atau membunuh terduga pemberontak kadang-kadang mengakibatkan hukuman oleh pasukan pemerintah, termasuk penyiksaan umum, penangkapan dan eksekusi.

Kepentingan militer Indonesia di Aceh

Damien Kingsbury, yang menjabat sebagai penasihat informal pimpinan GAM di Swedia selama Perundingan Damai Helsinki 2005, menyatakan bahwa militer Indonesia memiliki kepentingan tersembunyi di Aceh sehingga mereka sengaja menjaga konflik supaya tetap terjadi di tingkat yang akan membenarkan kehadiran mereka di provinsi bergolak tersebut. ICG juga menegaskan dalam sebuah laporan tahun 2003 bahwa, "Aceh (adalah) tempat yang terlalu menguntungkan untuk para perwira militer yang sangat bergantung pada pendapatan yang bersumber non-anggaran ."

Kingsbury menguraikan berikut sebagai kegiatan usaha yang diduga dilakukan oleh militer Indonesia di Aceh:
  • Obat terlarang: Pasukan keamanan mendorong petani lokal Aceh untuk menanam ganja dan membayar mereka harga yang jauh di bawah nilai pasar gelap. Salah satu contoh kasus yang disorot adalah di mana seorang polisi pilot helikopter mengakui setelah penangkapannya, bahwa ia mengangkut 40 kg konsinyasi obat (ganja) untuk atasannya, kepala polisi Aceh Besar (perlu dicatat bahwa pada saat itu Kepolisian Republik Indonesia atau Polri berada di bawah komando militer atau ABRI). Kasus lain adalah pada bulan September 2002 di mana sebuah truk tentara dicegat oleh polisi di Binjai, Sumatera Utara dengan muatan 1.350 kg ganja.
  • Penjualan senjata ilegal: Wawancara pada tahun 2001 dan 2002 dengan para pemimpin GAM di Aceh mengungkapkan bahwa beberapa senjata mereka sebenarnya dibeli dari oknum militer Indonesia. Metode pertama penjualan ilegal tersebut adalah: personel militer Indonesia melaporkan senjata-senjata tersebut sebagai senjata yang disita dalam pertempuran. Kedua, oknum personel militer utama Indonesia yang mempunyai otoritas akses bahkan langsung mensuplai GAM dengan pasokan senjata serta amunisi.
  • Pembalakan liar : Oknum militer dan polisi disuap oleh perusahaan penebangan untuk mengabaikan kegiatan penebangan yang dilakukan di luar wilayah berlisensi. Proyek Pembangunan Leuser yang didanai oleh Uni Eropa dari pertengahan 1990-an untuk memerangi pembalakan liar sebenarnya telah menemukan bahwa oknum polisi dan militer Indonesia yang seharusnya membantu mencegah pembalakan liar, pada kenyataannya malah memfasilitasi, dan dalam beberapa kasus, bahkan memulai kegiatan ilegal tersebut.
  • Perlindungan liar: Oknum militer Indonesia mengelola "usaha perlindungan" liar untuk mengekstrak pembayaran besar dari perusahaan-perusahaan besar seperti Mobil Oil dan PT Arun NGL di industri minyak dan gas, serta perusahaan perkebunan yang beroperasi di Aceh. Sebagai imbalan untuk pembayaran liar tersebut, militer akan mengerahkan personelnya untuk "mengamankan" properti dan daerah operasi perusahaan tersebut.
  • Perikanan: nelayan lokal Aceh dipaksa untuk menjual tangkapan mereka kepada oknum militer dengan harga jauh di bawah harga pasar. Oknum militer kemudian menjual ikan untuk bisnis lokal dengan harga yang jauh lebih tinggi. Oknum dari Angkatan Laut Indonesia mungkin juga mencegat kapal-kapal nelayan untuk memeras pembayaran dari nelayan.
  • Kopi: Serupa dengan nelayan, penanam kopi dipaksa menjual biji kopi kepada oknum militer dengan harga murah yang kemudian menjualnya dengan harga tinggi.

Kemungkinan faktor resolusi damai

Melemahnya posisi militer GAM

Dinyatakannya status darurat militer di Aceh oleh pemerintah Indonesia pada Mei 2003 menghasilkan perlawanan terpadu oleh militer Indonesia terhadap GAM. ICG melaporkan bahwa pada pertengahan 2004, jalur pasokan dan komunikasi GAM terganggu secara serius. GAM juga makin sulit berpindah-pindah dan keberadaan mereka di kawasan perkotaan hilang sepenuhnya. Akibatnya, komando GAM di Pidie menginstruksikan kepada semua komandan lapangan melalui telepon agar mundur dari sagoe (subdistrik) ke daerah (distrik) dan aksi militer hanya dapat dilaksanakan jika ada perintah dari komandan daerah disertai izin komandan wilayah. Sebelumnya, saat GAM masih kuat, satuan tingkat sagoe-nya memiliki otonomi komando yang lebih besar sehingga mampu melancarkan aksi militer atas kemauannya sendiri.

Menurut Endriartono Sutarto yang saat itu menjabat Komandan Jenderal ABRI, pasukan keamanan Indonesia berhasil mengurangi jumlah pasukan GAM sebanyak 9.593 orang — yang diduga mencakup anggota yang menyerahkan diri, ditangkap, dan tewas dalam baku tembak. Meski meragukan keakuratan jumlah tersebut, banyak pemantau sepakat bahwa tekanan militer yang baru terhadap GAM pasca penerapan darurat militer memberikan pukulan telak bagi GAM.

Akan tetapi, Aspinall mencatat bahwa sebagian besar petinggi GAM yang ia wawancarai, terutama petugas lapangan, bersikeras bahwa mereka mengakui MoU Helsinki bukan karena militer mereka semakin lemah. Mantan pemimpin GAM Irwandi Yusuf, yang kelak menjadi Gubernur Aceh melalui pilkada langsung tanggal 11 Desember 2006, mengaku bahwa bukannya bubar, situasi GAM justru membaik sejak anggota yang sakit dan lemah ditangkap militer Indonesia sehingga anggota di lapangan tidak terbebani oleh mereka. Walaupun pasukan GAM tetap komit melanjutkan perjuangan mereka, para petinggi GAM mungkin sudah putus asa membayangkan mungkinkah mencapai kemenangan militer atas pasukan pemerintah Indonesia. Kata mantan perdana menteri GAM Malik Mahmud kepada Aspinall bulan Oktober 2005: "Strategi yang diterapkan oleh kedua pihak berujung pada kebuntuan yang sangat merugikan". Saat diwawancarai Jakarta Post tentang apakah mengakui MoU Helsinki adalah tindakan pencitraan oleh GAM pasca kemunduran militernya, Malik menjawab:"Kami harus realistis. Kami harus mempertimbangkan kenyataan di lapangan. Jika [perjanjian damai] itu solusi terbaik bagi kedua pihak, tentunya dengan segala kerendahan hati, mengapa tidak! Ini demi perdamaian, demi kemajuan masa depan. Jadi tidak ada yang salah dengan [perjanjian] itu dan saya pikir negara manapun di dunia akan melakukan hal yang sama. Selain itu, ketika kami menghadapi situasi semacam ini kami harus sangat, sangat tegas dan berani menghadapi kenyataan. Inilah yang kami lakukan.

Tekanan internasional

Opini internasional pasca-tsunami juga lebih condong ke dialog damai Helsinki yang dilaksanakan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Kedua pihak mengirimkan pejabat tertingginya sebagai negosiator, sementara perwakilan pada dialog Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) yang ditandatangani bulan Desember 2002 adalah perwakilan yang cenderung masih di tingkat junior.

Para petinggi GAM juga menilai bahwa selama dialog damai Helsinki tidak ada komunitas internasional yang mendukung aspirasi kemerdekaan Aceh. Tentang hal ini, Malik berkata:Kami melihat dunia tidak memedulikan keinginan kami untuk merdeka, jadi kami berpikir selama proses [negosiasi ini] bahwa [otonomi dan pemerintahan sendiri] itulah solusi terbaik yang ada di hadapan kami.

Saat menjelaskan kepada para komandan GAM mengenai penerimaan tawaran pemerintahan sendiri alih-alih melanjutkan perjuangan kemerdekaan, para petinggi GAM menegaskan bahwa jika mereka terus memaksa menuntut kemerdekaan setelah tsunami 2004, mereka akan terancam dikucilkan oleh komunitas internasional.

Pergantian kepemimpinan Indonesia 2004

Pada Oktober 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik setelah memenangkan pemilu presiden 2004, pemilu langsung pertama di Indonesia. Aspinall berpendapat bahwa sebelum pemilu langsung ini, ada keseimbangan posisi antara pejabat pemerintahan Indonesia, yaitu antara pejabat yang percaya bahwa kemenangan militer mustahil tercapai dan negosiasi sangat diperlukan, dengan pihak pejabat garis keras yang percaya bahwa GAM dapat sepenuhnya dilenyapkan. Terpilihnya SBY dan Kalla mendorong kebijakan pemerintah untuk condong ke posisi pertama.

Aspinall menunjukkan bahwa ketika SBY masih menjabat sebagai menteri dalam kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri, ia mendukung "pendekatan terintegrasi" berupa penyertaan upaya militer dengan negosiasi terhadap GAM. Kalla, yang saat itu kolega SBY di kementerian, juga mendukung dimulainya kembali dialog dengan GAM pada awal 2004 (yaitu ketika darurat militer masih diberlakukan di Aceh dan operasi militer masih berlangsung). Saat itu, Kalla, melalui orang kepercayaannya, mendekati komandan GAM di lapangan sekaligus pemimpinnya di Swedia. Posisi presiden dan wakil presiden Indonesia yang lebih memilih jalur negosiasi sebagai solusi pemberontakan Aceh memberikan jalan untuk mencapai keberhasilan dialog perdamaian Helsinki.

Kingsbury, penasihat resmi untuk GAM, juga menyebut terpilihnya SBY dan Kalla tahun 2004 sebagai prawarsa upaya damai yang berakhir dengan perjanjian resmi. Selain itu, ia menyebut penunjukan Kalla menjadi pengawas delegasi Indonesia pada dialog damai sebagai faktor penting, dikarenakan status Kalla yang merupakan ketua umum Golkar, partai mayoritas di DPR saat itu, sehingga pemerintahan SBY mudah menghadapi penolakan dari anggota DPR lainnya.


Laporan Time To Face The Past

Pada April 2013, Amnesty International meluncurkan laporan Time To Face The Past ("Saatnya Menghadapi Masa Lalu") yang isinya pernyataan mereka bahwa "sebagian besar korban dan kerabatnya sudah lama dijauhkan dari kebenaran, keadilan, dan pemulihan, dan Indonesia telah melanggar kewajibannya menurut hukum internasional. Mereka masih menunggu otoritas lokal dan nasional Indonesia untuk mengakui dan memperbaiki apa yang telah mereka dan keluarganya alami pada masa konflik." Dalam perumusan laporannya, Amnesty International menggunakan hasil penelitiannya saat berkunjung ke Aceh pada Mei 2012. Pada kunjungan tersebut, perwakilan organisasi tersebut mewawancarai lembawa swadaya masyarakat (LSM), organisasi masyarakat, pengacara, anggota dewan, pejabat pemerintah setempat, jurnalis, dan korban dan perwakilan mereka mengenai situasi di Aceh pada saat wawancara dilaksanakan. Korban menyatakan apresiasi mereka terhadap proses perdamaian dan meningkatnya keamanan di provinsi Aceh, tetapi juga menyatakan frustrasi atas tidak adanya tindakan dari pemerintah Indonesia sesuai nota kesepahaman 2005 yang mencantumkan rencana pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.

Selain itu, laporan Time To Face The Past berisi peringatan potensi munculnya kekerasan baru di Aceh jika pemerintah Indonesia tetap stagnan dalam pelaksanaan komitmennya yang tercantum pada MoU 2005. Wakil direktur Asia PasifikAmnesty International Isabelle Arradon menjelaskan saat peluncuran laporan tersebut: "Situasi yang sedang terjadi adalah munculnya benih-benih ketidakpuasan yang bisa tumbuh menjadi aksi kekerasan baru". Per 19 April 2013, pemerintah Indonesia belum menanggapi laporan ini. Juru bicara presiden SBY memberitahukan BBC bahwa ia belum bisa memberi komentar karena belum membaca laporan tersebut. (wiki)


Kerusuhan Koja

Mobil Aparat yang terbakar dalam Kerusuhan Koja.

arifuddinali.blogspot.com - Kerusuhan Koja terjadi pada 14 April 2010 yang dipicu oleh rencana eksekusi tanah kawasan makam Mbah Priok yang ada di dalam area Terminal Peti Kemas Tanjung Priok oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Tindakan ini ditentang oleh warga yang kemudian berubah menjadi bentrokan antara warga dengan Satpol PP



Latar belakang

Kejadian ini dilatarbelakangi oleh sengketa antara ahli waris Mbah Priok dengan Pelabuhan Indonesia II, pihak ahli waris mengklaim kepemilikan tanah dengan mendasarkan pada Eigendom Verponding no 4341 dan No 1780 di lahan seluas 5,4 Ha. Namun PN Jakarta Utara pada tanggal 5 Juni 2002 telah memutuskan tanah tersebut secara sah adalah milik PT Pelindo II. Hal ini sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektare.

Pemerintah Daerah DKI Jakarta kemudian berencana mengeksekusi tanah sengketa, tetapi ditentang oleh warga yang berakhir dengan pecahnya bentrokan antara aparat dengan warga.

Dampak

Akibat bentrokan yang terjadi antara aparat dengan warga menewaskan 3 anggota Satpol PP dan menyebabkan, menurut sumber masing-masing, dari 130 sampai 231orang mengalami luka-luka. Korban luka-luka terdiri, menurut sumber masing-masing, dari 66 sampai 112 orang Satpol PP, dari 10 sampai 26 anggota POLRI dan masyarakat umum dari 54 sampai 90 orang. Korban masing-masing akan diberikan santunan

Selain itu akibat bentrokan menyebabkan seorang fotografer mengalami luka, serta dua orang jurnalis turut menjadi korban bentrokan. Akibat bentrokan ini juga menyebabkan terputusnya arus lalu lintas dari pelabuhan Tanjung Priok menuju Cilincing dan arah sebaliknya.

Kerusuhan Koja juga mengakibatkan kerugian kepada pengusaha, akibat terhambatnya arus barang dan jasa dari Terminal Peti Kemas Koja. Kerugian akibat bentrokan diperkirakan mencapai ratusan miliar rupiah. Selain itu, kerusuhan ini berlanjut pada penjarahan barang-barang pada salah satu kantor Terminal Peti Kemas Koja.

Pada 4 Juni 2010, Harianto Badjoeri diganti oleh Effendi Anas sebagai kepala Satpol PP DKI Jakarta

Tanggapan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta menyatakan akan membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengusut penyebab terjadinya bentrokan dalam rencana eksekusi tanah makam Mbah Priok. DPRD DKI Jakarta juga meminta kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran HAM dalam bentrokan.[

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan 8 rekomendasi pasca kerusuhan Koja. Presiden meminta untuk menghentikan proses penertiban makam Mbah Priok, perawatan korban bentrokan, investigasi penyebab bentrokan, meminta Gubernur DKI Jakarta menyelesaikan permasalahan, meminta tokoh masyarakat melakukan peran positif, Polri agar mencegah insiden susulan, Pemda DKI Jakarta melakukan sosialisasi dan penjelasan kongkrit, dan pers memberitakan secara akurat.

Pemda DKI Jakarta menggelar mediasi untuk menyelesaikan permasalahan dengan mengundang pihak-pihak berselisih, yaitu PT Pelindo II, Badan Pertanahan Nasional (BPN), ahli waris makam Mbah Priok, perwakilan warga, Kapolda Metro Jaya, Kepala Satpol PP DKI, Wali Kota Jakarta Utara. (wiki)

Sabtu, 27 Oktober 2018

Peristiwa Andi Azis



arifuddinali.blogspot.com - Peristiwa Andi Azis adalah upaya pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, seorang mantan perwira KNIL, yang berusaha untuk mempertahankan keberadaan Negara Indonesia Timur dan enggan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menurut Andi Azis, para perwira APRIS (ABRI) (dari kalangan mantan anggota KNIL) harus bertanggung jawab terhadap gangguan keamanan di wilayah Negara Indonesia Timur yang menurutnya didalangi oleh pemerintah.



Awal gerakan

Andi Azis adalah seorang mantan perwira KNIL yang bergabung menjadi perwira APRIS (ABRI), kemudian beliau diterima sebagai perwira APRIS. Pelantikannya disaksikan oleh Letkol Ahmad Yunus Mokoginta, yang merupakan Panglima Tentara Teritorium Negara Indonesia Timur. Namun kemudian, beliau justru menggerakkan pasukannya dari para mantan perwira KL/KNIL lainnya untuk menyerang markas APRIS dan menyandera sejumlah perwira APRIS, termasuk Letkol A. Y. Mokoginta. Setelah menguasai Makassar, beliau menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan. Ia menuntut agar para perwira APRIS (dari kalangan mantan anggota KNIL) harus bertanggung jawab terhadap gangguan keamanan di wilayah Indonesia Timur yang menurutnya didalangi oleh pemerintah.

Pada tanggal 8 April 1950, pemerintah membuat ultimatum yang meminta Andi Azis agar segera datang ke Jakarta. Karena, apabila beliau tidak mengindahkan ultimatum tersebut, maka Kapal Angkatan Laut Hang Tuah akan mem-bom kota Makassar. Selain itu, ultimatum pemerintah tersebut juga meminta agar Andi Azis mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam waktu 4 x 24 jam, namun ultimatum tersebut tetap juga tidak diindahkan. Setelah batas waktu terlewati, pemerintah mengirimkan pasukan di bawah Kolonel Alex Kawilarang. Dan akhirnya, pada tanggal 15 April 1950, Andi Azis datang ke Jakarta dengan perjanjian dari Sri Sultan Hamengkubuwana IX bahwa beliau tidak akan ditangkap. Tetapi, ketika Andi Azis datang ke Jakarta, beliau justru langsung ditangkap.


Pertempuran

Gerakan ini diawali dengan kegiatan pasukan APRIS (ABRI) yang diganggu oleh KL/KNIL dan kerap kali melakukan provokasi serta konflik dengan pasukan APRIS. Pertempuran keduanya meletus pada tanggal 5 Agustus 1950. Tentara KL/KNIL berhasil ditaklukkan oleh APRIS dengan mengerahkan seluruh kekuatan pasukan dari angkatan darat, laut, dan udara.



Peristiwa Andi Azis
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia
Tanggal15 April 1950 (penangkapan Andi Azis)
5 Agustus 1950 (penyerangan terhadap pasukan KL/KNIL)
LokasiMakassar
Jakarta
HasilPenangkapan Andi Azis (15 April 1950)
Pembasmian pasukan KL/KNIL (5 Agustus 1950)
Percepatan integrasi negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat ke dalam Republik Indonesia (17 Agustus 1950).


-wiki-

Sabtu, 09 Januari 2016

Bahasa Daerah yang paling banyak Penuturnya

arifuddinali.blogspot.com - Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak bahasa daerah. Menurut data dari Ethnologue, Indonesia memiliki 726 bahasa yang dituturkan oleh berbagai etnis di seluruh wilayah Indonesia. Berikut ini adalah 10 bahasa daerah yang memiliki jumlah penutur terbanyak di Indonesia.

Persebaran suku bangsa dan bahasa daerah di Indonesia

1. Bahasa Jawa (84.300.000 jiwa)

Bahasa Jawa dituturkan oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau Jawa bagian tengah dan timur. Namun, di pulau-pulau yang lainnya juga terdapat penutur bahasa Jawa. Bahkan di luar negeri pun juga terdapat penutur-penutur bahasa Jawa, di antaranya negara Suriname, Kaledonia Baru, Malaysia, dan Singapura. Bahasa Jawa memiliki beberapa tingkatan, seperti Ngoko, Madya, dan Krama. Menurut data sensus tahun 2000, penutur bahasa Jawa di Indonesia adalah sebanyak 84 juta jiwa lebih.
Bahasa Jawa memiliki beberapa dialek, di antaranya dialek Banten, Banyumas, Blora, Brebes, Bumiayu, Cirebon, Kedu, Madiun, Malang, Pantura Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati), Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro) Pekalongan, Semarang, Serang, Surabaya, Surakarta, Suriname, dan Tegal.
 


2. Bahasa Sunda (34.000.000 jiwa)

Bahasa Sunda dituturkan oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau Jawa bagian barat. Bahasa ini tidak hanya dituturkan di daerah Jawa bagian Barat, namun juga dituturkan di berbagai pulau di Indonesia oleh warga Sunda yang migrasi ke tempat tersebut. Bahasa Sunda juga dituturkan di luar negeri terutama di daerah yang menjadi tempat migrasi warga Sunda. Menurut data sensus tahun 2000 bahasa Sunda dituturkan oleh 34 juta jiwa.
Bahasa Sunda memiliki beberapa dialek, di antaranya dialek barat (Banten Selatan), dialek utara (Bogor, dan sekitarnya), dialek selatan/dialek Priangan (Bandung dan sekitarnya, dialek tengah timur (Majalengka dan sekitarnya), dialek timur laut (Kuningan dan sekitarnya), dialek tenggara (Ciamis dan sekitarnya).

3. Bahasa Madura (13.600.000 jiwa)

Bahasa Madura dituturkan oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau Madura dan kawasan pantai utara Jawa Timur (Probolinggo dan sekitarnya). Bahasa Madura juga banyak dituturkan di Surabaya dan sekitarnya, Malang dan sekitarnya, kepulauan Masalembo, hingga Kalimantan. Bahasa Madura banyak terpengaruh oleh bahasa Jawa, Melayu, Bugis, Tionghoa, dan sebagainya. Banyak pula kata-kata dari bahasa ini yang berakar pada bahasa Melayu, bahkan sampai bahasa Minangkabau. Namun tentunya dengan pelafalan yang berbeda. Bahas Madura memiliki pelafalan yang unik, sehingga orang luar Madura akan merasa kesulitan dalam mempelajarinya. Menurut data sensus tahun 2000, penutur bahasa Madura sekitar 13 juta jiwa.
Bahasa Madura memiliki beberapa dialek, di antaranya dialek Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, dan Kangean. Dialek yang lainnya merupakan dialek rural yang telah tercampur dengan dialek-dialek dari bahasa lainnya.

4. Bahasa Minangkabau (5.530.000 jiwa)

Bahasa Minangkabau dituturkan oleh masyarakat di provinsi Sumatera Barat, bagian barat Riau, dan Negeri Sembilan, Malaysia. Selain itu juga terdapat di berbagai daerah, karena orang Minangkabau banyak yang merantau ke luar daerahnya. Menurut sensus tahun 2007, bahasa Minangkabau dituturkan oleh sedikitnya 5 juta jiwa.
Bahasa Minangkabau memiliki banyak sekali dialek, di antaranya bahasa Minangkabau Baku (dialek Padang), Mandahiling Kuti Anyie, Padang Panjang, Pariaman, Ludai, Sungai Batang, Kurai, Kuranji, Salimpaung Batusangkar, dan Rao-Rao Batusangkar. 
 
 

5. Bahasa Musi (3.930.000 jiwa)

Bahasa Musi adalah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat di sepanjang hulu dan hilir sungai Musi, Provinsi Sumatera Selatan. Bahasa Musi juga dikenal sebagai bahasa Sekayu dan bahasa Palembang. Penutur bahasa ini menurut sensus tahun 2000 adalah 3,9 juta jiwa.
Bahasa Musi memiliki beberapa dialek, di antaranya dialek Pegagan, Musi Sekayu, Penukal, Kelingi, Rawas; Palembang, Palembang Lama, Meranjat, Penesak, Belide, Burai, dan Lematang Ilir.

6. Bahasa Bugis (3.500.000 jiwa)

Bahasa Bugis adalah bahasa yang dituturkan oleh masyarakat di Sulawesi Selatan. Selain itu, bahasa ini juga dituturkan di daerah lain di antaranya provinsi di sulawesi selain Sulawesi Selatan, Kalimantan, Maluku, Papua, Sumatera, dan juga di Sabah, Malaysia. Menurut sensus tahun1991 bahasa ini dituturkan oleh sekitar 3,5 juta jiwa.
Bahasa Bugis memiliki beberapa dialek, di antaranya dialek Bone, Pangkep, Camba, Sidrap, Pasangkayu, Sinjai, Soppeng, Wajo, Barru, Sawitto, dan Luwu.
 
 
 

7. Bahasa Banjar (3.500.000 jiwa)

Bahasa Banjar adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Banjar di Kalimantan Selatan. Bahasa ini juga dituturkan di daerah lain seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kabupaten Indragiri Hilir, Riau. Di luar negeri, bahasa Banjar juga dituturkan oleh suku Banjar di Malaysia. Bahasa ini banyak dipengaruhi oleh bahasa Melayu, Jawa, dan Dayak. Menurut sensus penduduk tahun 2000 penutur bahasa ini berjumlah 3,5 juta jiwa.
Bahasa ini memiliki dua dialek utama, yaitu dialek Kuala dan Hulu. Dialek Banjar Kuala dituturkan oleh penduduk Banjarmasin, Martapura, dan Pelaihari. Sedangkan dialek hulu dituturkan oleh penduduk di daerah hulu sungai.



8. Bahasa Aceh (3.500.000 jiwa)

Bahasa Aceh adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Aceh yang terdapat di pesisir, sebagian pedalaman, dan sebagian kepulauan Aceh. Bahasa ini dituturkan di Provinsi Aceh kecuali 3 kecamatan di Aceh Timur yang menggunakan bahasa Gayo, dan 1 kecamatan di Aceh Barat Daya yang menggunakan bahasa Kluet. Menurut sensus tahun 2000 penutur bahasa ini berjumlah 3,5 juta jiwa.
Bahasa aceh memiliki beberapa dialek, di antaranya dialek Banda Aceh, Baruh, Bueng, Daja, Pase, Pidie (Pedir, Timu), dan Tunong.

9. Bahasa Bali (3.330.000 jiwa)

Bahasa Bali adalah bahasa yang dituturkan oleh Masyarakat di pulau Bali, Lombok bagian barat, dan sedikit ujung timur pulau Jawa. Di Lombok, bahasa Bali dituturkan terutama di sekitar kota Mataram, sedangkan di pulau Jawa dituturkan di beberapa desa di kabupaten Banyuwangi. Sebagaimana bahasa Jawa, bahasa Bali juga terdapat beberapa tingkatan, seperti Bali Kasar, Bali Madya, dan Bali Alus. Bahasa Bali berkerabat dengan bahasa Sasak, dan beberapa bahasa di pulau Sumbawa. Kemiripan dengan bahasa Jawa hanya karena pengaruh kosakata atas bahasa Jawa karena penaklukan Bali oleh kerajaan di Jawa terutama abad ke-14 oleh Gajah Mada. Secara fonologis, bahasa Bali lebih mirip bahasa Melayu daripada bahasa Jawa. Kemiripan dengan bahasa Jawa hanya pada tingkatan bahasa sehingga bahasa Bali Alus sangat mirip dengan bahasa Jawa Krama. Menurut sensus tahun 2000 bahasa Bali dituturkan oleh 3,3 juta jiwa.
Bahasa Bali memiliki berbagai macam dialek, di antaranya dialek Dataran Rendah Bali (Klungkung, Karangasem, Buleleng, Gianyar, Tabanan, Jembrana, Badung), Dataran Tinggi Bali (“Bali Aga” ), dan Nusa Penida.

10. Bahasa Betawi (2.700.000 jiwa)

Bahasa Betawi adalah bahasa yang dituturkan oleh orang Betawi di daerah Jakarta. Bahasa ini merupakan anak dari bahasa Melayu. Bahasa Betawi merupakan bahasa kreol (percampuran) yang didasarkan pada bahasa Melayu Pasar ditambah unsur bahasa Sunda, Jawa, Bali, Cina Selatan (terutama Hokkian), Arab, dan Eropa (terutama Belanda dan Portugis). Tidak ada struktur baku dalam bahasa ini yang membedakan dengan bahasa Melayu, karena bahasa ini berkembang secara alami. Menurut sensus tahun 1993, penutur bahasa Betawi adalah 2,7 juta jiwa.

Itulah 10 bahasa daerah dengan penutur terbanyak di indonesia. Banyak sekali bahasa daerah yang saat ini terancam kelestariannya dikarenakan sifat kurang peduli dari penutur bahasa itu sendiri. Saat ini banyak anak yang diajari dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa asing oleh para orang tuanya, dan tidak diajari bahasa ibu. Sehingga menjadikan mereka tidak mengerti bahasa ibu mereka. Bahasa Indonesia juga merupakan bahasa penting, namun bahasa Indonesia dapat dengan mudah dipelajari di sekolah-sekolah. Sedangkan bahasa daerah, tidak semua sekolah mengajarkannya. Sehingga perlu adanya kesadaran para orang tua untuk mengenalkan bahasa ibu kepada anak-anaknya.*

Sabtu, 26 Desember 2015

Kajao Lalliddong

Kajao Lalliddong : Pemikir dan Penasehat Kerajaan
 
arifuddinali.blogspot.com - Kajao Lalliddong atau Kajao Lalli’do, yang berarti orang cerdik pandai dari kampung Lalliddong, adalah seorang cendekiawan dari Kerajaan Bone pada masa sebelum Islam masuk ke wilayah Sulawesi Selatan. Kajao Laliddong dikenal sebagai orang yang paling berperan dalam menciptakan pola dasar pemerintahan Kerajaan Bone pada abad ke-16 masa pemerintahan raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E (1543-1568) dan raja Bone ke-7 Tenri Rawe BongkangngE (1568-1584). Pada masa pemerintahan La Tenri Rawe Bongkange, kerajaan Bone mengalami perkembangan sangat pesat berkat sumbangsih fikiran Kajao Lalliddong. Namun, tak banyak orang yang mengetahui kisah panjangnya karena hanya disampaikan oleh orang-orang terdahulu kepada anak cucu mereka sebagai pengantar tidur. Sehingga banyak yang beranggapan bahwa kisah Kajao Lalliddong hanyalah kisah fiktif belaka.

Kajao Lalliddong diperkirakan sejaman dengan filsuf politik Italia, Nicolo Machiavelli. Akan tetapi, pemikiran Kajao Lalliddong menganjurkan agar penguasa lebih jujur dan bijaksana, sedangkan Machiavelli mengabaikan etika atau moral dalam pertarungan politik. Menurut WS Rendra, pemikiran Kajao Lalliddong mengenai adat, peradilan, yurisprudensi, dan tata-pemerintahan sudah cukup lengkap. Bahkan, pemikiran Kajao Laliddong itu mendahului “kode Napoleon”.

Kajao Lalliddong lahir dengan nama La Mellong, diperkirakan pada tahun 1507, pada masa pemerintahan Raja Bone IV We Banrigau (1496-1516) yang sama dengan masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre To Mapakrisi Kallongna. Kajao Lalliddong atau La Mellong diyakini lahir di sebuah desa bernama Kajao, sekarang berada dalam wilayah kecamatan Barebbo Kabupaten Bone. Desa itu bernama desa Kajao. Di desa itu ditemukan banyak bukti sejarah berkaitan dengan La Mellong seperti makam yang dipercaya sebagai makam La Mellong, bukit kecil yang dipercaya sebagai tempat La Mellong mencari siput serta sebuah pohon kayu yang dipercaya sebagai tongkat La Mellong yang ditancapkannya ke tanah. Desa ini dulunya bernama Wanua Cina, kemudian berubah jadi desa Kajao.

Dari cerita rakyat, diketahui bahwa ayah La Mellong adalah seorang Kepala Wanua (Matowa) yang dikenal sangat arif dan bijaksana. Kehidupan rakyat di Wanua Cina sangat makmur, tanaman tumbuh subur dan ternak berkembang biak dalam situasi keamanan yang terjamin. Saking dicintainya oleh rakyat, ayah La Mellong mendapat gelar Tau Tongeng ri Gau’na (orang yang benar dalam perbuatannya).

La Mellong sendiri sejak kecil dikenal sebagai seorang anak yang cerdas, jujur dan berani. Ia tidak pernah berbohong, tegas dalam bertindak dan berani mengeluarkan pendapat. Sifat ini sudah terlihat sejak kecil dan membuatnya disegani oleh rekan-rekan sebaya. La Mellong juga dikenal sebagai anak yang rajin, setiap hari ia menghabiskan waktu dengan menggembala ternak milik keluarganya dengan sungguh-sungguh. Dalam diri Lamellong telah nampak adanya bakat-bakat istimewa untuk menjadi seorang pemikir yang cemerlang. Kajao, sebenarnya bukanlah sebuah nama, tapi sebuah gelar atau penghargaan bagi seseorang di kerajaan Bone karena kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya. Gelar ini merupakan posisi istimewa, karena tidak ada lagi sebutan Kajao setelah masa Kajao Lalliddong.

La mellong digambarkan sebagai seorang lelaki setengah baya yang ramah dengan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Ia pun memiliki pemikiran yang panjang serta cerdik. Dengan kemampuan yang dimilikinya, ia berhasil melalui berbagai hambatan dan tantangan yang dibebankan padanya. Banyak pula yang menganggapnya sebagai seorang tokoh kritikus di masanya. Oleh karena itu, beberapa pihak, utamanya dikalangan kerajaan, kerap berusaha untuk menangkapnya atau membuatnya menyerah. Digambarkan pula bahwa ia dikenal tidak hanya di kawasan kerajaan Bone, namun juga di wilayah-wilayah sekitarnya. Ia juga digambarkan sebagai orang yang sering berkunjung ke berbagai tempat, dan kadang juga menghilang untuk merenung bila memiliki masalah yang harus ia selesaikan.

Kajao Lalliddong, dipilih dan diangkat sebagai penasehat Raja, sekaligus sebagai pemikir ahli untuk pemerintahan Kerajaan Bone karena kecerdasan yang terpancar dari dalam dirinya. Sebelum pengangkatannya sebagai penasehat Raja, ketika itu Raja Bone mendengar kabar tentang seorang pemuda yang berani dan cerdas. Pemuda yang bernama La Mellong tersebut berasal dari Kampung Laliddong, kampung kecil yang masih berada dalam wilayah kekuasan Kerajaan Bone. Pada masa itu, ketika seorang Raja apabila mendengar ada orang pintar dinegerinya, dipanggil dan diuji dalam bentuk dialog serta ujian ketangkasan, yang langsung dilaksanakan sendiri oleh raja. Apabila dalam dialog itu terungkap pernyataan, yang menurut raja, ada sesuatu yang mengesankan, misalnya kecerdasannya dalam menterjemahkan gejala alam, kepiawaian menjawab pertanyaan, kepandaian merangkai kata-kata dan menggunakan symbol-simbol makna, maka yang bersangkutan akan terpilih.

Raja Bone pun memanggil pemuda tersebut untuk dijadikan sebagai kajao (penasehat kerajaan). Tetapi sebelumnya, sang raja ingin menguji kecerdasan pemuda tersebut. Maka, sang raja pun memerintahkan La Mellong untuk mengumpulkan 70 orang buta dalam waktu yang singkat. Sang raja juga meminta La Mellong untuk membawa benda pusaka miliknya. Setelah berpikir sejenak, La Mellong pun menyanggupi kedua permintaan sang raja.

La Mellong segera kembali ke rumahnya di kampung Lalliddong. Ia mengambil tangga rangkiang tua miliknya, lalu menyeretnya menuju istana kerajaan Bone. Di tengah jalan, orang-orang pun bertanya, “Apa yang engkau bawa La Mellong?” Sepanjang jalan, setiap ada yang bertanya, maka La Mellong pun memintanya ikut bersamanya menuju istana. Setiba di depan istana, sebanyak 69 orang yang mengikuti La Mellong, dan ketika La Mellong menyeret tangga rangkiang tuanya melewati gerbang istana, tiba-tiba pengawal istana menegurnya,

“Hei! Apa yang engkau bawa itu, La Mellong?”. “Pammasena Dewatae (puji syukur pada Dewata), saya sudah menemukan 70 orang buta,” ujar La Mellong dalam hati sambil bergegas menemui sang raja. “Tabek Puang, saya sudah membawakan 70 orang buta dan juga benda pusaka milikku,” ujar La Mellong. “Ha? Orang buta? Tangga rangkiang? Engkau jangan main-main La Mellong!” ujar sang raja dengan suara meninggi. “Ampun Puang!” La Mellong menyembah, “Sungguh saya tidak bermaksud bermain-main apalagi mau mengelabui Puang, tapi ketahuilah bahwa 70 orang yang datang bersamaku ini adalah orang-orang buta. Buktinya, ketika saya berjalan sambil menyeret tangga rangkiang dari kampungku menuju istana ini, mereka bertanya padaku tentang apa yang saya bawa, andaikan mereka melihat bahwa yang saya bawa adalah tangga rangkiang, maka tentu mereka tidak akan bertanya. Begitulah Puang, banyak diantara kita yang matanya melihat tetapi mata hatinya tak dapat melihat.”

Seketika sang raja menggelengkan kepala sambil tersenyum, “Engkau benar La Mellong.” Lalu sang raja menatap lekat-lekat tangga rangkiang tua milik La Mellong. “Tapi mengapa engkau membawa tangga rangkiang tuamu yang sudah mulai lapuk?”. La Mellong cepat mengangkat tangga rangkiang tua miliknya itu yang terbuat dari bambu, “Tabek Puang, inilah benda pusaka milikku.” “Hah? Benda pusaka? Lalu apa keistimewaan tangga rangkiangmu itu?” cecar raja.

“Tabek Puang, tangga ini mempunyai tiga keistimewaan. Pertama, bila saya menemukan dua orang yang berselisih, maka saya akan memberikan tangga ini kepada keduanya agar mereka bisa bertemu dan saling mengenal, sebab penyebab utama dua orang bertengkar atau berselisih paham karena mereka tidak saling mengenal. Kedua, bila saya bertemu dengan orang yang lapar di tengah hutan sedangkan mereka tidak bisa memanjat pohon, maka saya hanya akan memberi tangga ini agar orang lapar itu bisa memetik sendiri buah-buahan yang ranum di pepohonan, kalau saya memberikan mereka buah maka mereka akan kelaparan lagi bila buah pemberian tersebut sudah habis. Ketiga, ketika saya berjumpa dengan seorang pejabat kerajaan, maka saya akan memberikan tangga ini, agar mereka berhati-hati naik tangga atau pun turun tangga, sebab bila seseorang terlalu serakah melompat maka bisa saja ia akan terpeleset dan terjatuh,” jelas La Mellong.
“Engkau benar-benar cerdas La Mellong, mulai sekarang engkau akan kuangkat menjadi penasehat utama kerajaan,” tegas sang raja.

La Mellong pun resmi menjadi seorang penasehat kerajaan. Ia pun diberi gelar La Mellong Tosuwalle Tautongeng Maccae ri Lalliddong atau disingkat Kajao Lalliddong. Sejak saat itu, sebagai seorang Kajao, tidak hanya bertugas sebagai penasehat kerajaan, melainkan juga sebagai “Juru Bicara” dan “Diplomat” negara sekaligus sebagai “Ahli Nujum Istana:”. Dalam melaksanakan tugas diplomasi, kekuasaan dan kewibawaan kerajaan terletak diujung lidah seorang Kajao. Banyak sekali legenda Kerajaan Bone, diukir dengan manis oleh Kajao Lalliddong, atas keberhasilannya menjadi diplomat keberbagai negara kerajaan terdekat, seperti Wajo, Soppeng dan Sidenreng. Lahirnya konsep awal “Sempugi” melalui perjanjian antar kerajaan Bone, Soppeng, Wajo yang dikenal “Lamumpatue ri Timurung”, adalah hasil kerja Kajao Lalliddong, yang berasal dari gagasan Raja Bone, untuk menghindari perang antar kerajaan tetangga, bahkan lebih baik bersatu menghadapi serangan musuh.

Salah satu ajaran Kajao Lalliddong tentang politik dan pemerintahan adalah : “Luka taro arung telluka taro ade Luka taro ade telluka taro anang,” yang artinya bahwa, keputusan raja dapat dibatalkan oleh kehendak dewan adat, namun ketetapan dewan adat dapat dianulir oleh kesepekatan rakyat banyak.

Makna ajaran tentang demokrasi yang diamanahkan oleh Kajao Lalliddong dengan menempatkan rakyat sebagai kunci keputusan dalam suatu pemerintahan, menunjukkan arti demokrasi yang sesungguhnya, padahal Kajao Lalliddong bukanlah orang yang pernah mengecap pendidikan formal apalagi pendidikan barat. Makna, ajaran ini justru sekarang diimplementasikan dalam proses demokrasi melalui perwakilan rakyat.

Dalam menjalankan peran Kajao Lalliddong, ia terkadang sebagai penasehat Raja saja. Diminta atau tidak, Kajao Laliddong memberikan nasihat. Jika tidak diminta dan apabila ada yang dianggap perlu disampaikan pada raja, maka ia menggunakan symbol-simbol atau gerak isyarat. Apabila ada yang ingin disampaikannya tetapi tidak dapat disampaikan langsung, maka iapun mengurung diri dalam kamar beberapa hari tanpa makan dan minum. Pada saat itulah biasanya raja bertanya. “ Apa yang merisaukan hati Kajao hingga mengurung diri di kamar.” Mengurung diri di sebuah kamar, sesungguhnya adalah suatu upaya perenungan untuk menemukan pemikiran yang jernih.

Kajao Lalliddong dalam memberikan jawaban tidak secara ferbal, melainkan dalam perandaian atau kata simbolik, “ Saya mencoba merasakan bagaimana perasaan rakyat jika tidak pernah melihat pemimpinnya,” demikian jawabannya jika ditanya oleh raja akan sikapnya yang suka bersemedi. Melalui ungkapan itu raja mengerti bahwa koreksi atas dirinya yang tidak pernah keluar istana melihat keadaan masyarakat secara langsung. Ungkapan itu sekaligus menggambarkan bahwa, nasehat itu pada dasarnya bermuatan saran atau kritikan untuk memperbaiki sikap bertindak seorang raja pada rakyatnya. Artinya, sang penasehat seperti Kajao, tidak berucap atau bersikap asal menyenangkan rajanya.

Sang penasehat, tidak serta merta juga didengar pendapatnya, sebab dalam berbagai dialog dengan Raja Bone, maka Kajao Laliddong terkadang berbicara didepan dewan hadat – ADE PITU – terkadang memang hanya pada Arung Mangkau saja. Artinya, pendapat penasehat, apabila menyangkut kenegaraan, masih harus dimintakan pertimbangan dewan hadat. Persetujuan itu diperlukan, karena yang akan memimpin dan mengarahkan pelaksanaannya nanti adalah, melalui anggota dewan adat. Sebagai seorang pemikir, Kajao Laliddong mengungkapkan dalam pertemuan dewan hadat, jika diminta berpendapat atas diskusi antar anggota dewan adat. Secara bijak, memang Kajao hanyalah diam pada pertemuan dewan adat, sebab ia bukan anggota, sehingga ia mengeluarkan pendapat jika diminta oleh raja. Namun jika sudah berpendapat, biasanya menjadi dasar kesepakatan yang disetujui dewan adat.

Kajao Laliddong juga mencoba menanamkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh raja dan rakyat, yaitu : lempu’ (jujur), acca (pandai), asitinajang (kepatutan), getteng (keteguhan), reso (usaha,kerja keras), siri’ (harga diri). Pada suatu hari, sebagaimana dikisahkan dalam Lontara, raja Bone pernah bertanya kepada Kajao Lalliddong: “aga tanranna namaraja tanaé” (apa tandanya apabila negara itu menanjak kejayaannya)?” Kajao pun menjawab: dua tanranna namaraja tanaé Arungponé, seuwani malempu namacca Arung Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.” (Dua tanda negara menjadi jaya, pertama, raja yang memerintah memiliki sifat jujur lagi pintar, dan kedua, tidak bercerai-berai).

Pernah suatu masa, Kajao Lalliddong berkata :
“Suatu waktu, akan ada dua macam zaman, yakni zaman ayam dan zaman penyu. Adapun tanda-tanda zaman ayam jago itu, sama seperti tingkah laku dari dua ayam jago yang berlaga, salah satu dari keduanya melompat keatas bubungan rumah dan terus berkokok, namun kokoknya itu tidak mendapat balasan dari bawah. Karena merasa bosan berkokok tanpa jawaban, melompatlah ayam itu ketanah dan begitu tiba ditanah, langsung dikejar oleh ayam lawannya tadi. Bahwa yang berkokok di bubungan rumah tadi sebenarnya ayam kalah, demikian pula keadaannya pemimpin-pemimpin pada zaman itu. Apabila zaman ayam ini datang, apapun yang dikerjakan tidak akan mendatangkan berkah.

Adapun pada zaman penyu, tongkatpun yang ditanam akan berdaun, artinya tidak ada pekerjaan yang tidak mendapatkan hasil. Pada saat penyu bertelur, kepalanya bergerak keluar masuk dan dari mulutnya keluar telur yang jumlahnya banyak dan kemudian akan dimakan orang banyak. Begitulah yang disebut pemimpin pada waktu itu, kepalanya (otaknya bekerja) dan hasil karyanya dinikmati orang banyak. Oleh karena itu, bila waktu penyu tiba, bekerjalah sekuat tenaga sebab tidak ada pekerjaan yang sia-sia tanpa memperoleh hasil.”

Kejujuran dan kebijaksanaan menjadi kunci kepemimpinan yang ditekankan oleh Kajao Lalliddong. Gagasan-gagasan Kajao Lalliddong sangat dekat dengan demokrasi. Dalam gagasan-gagasannya, Kajao jelas sekali menentang kekuasaan raja yang tidak terkontrol dan tidak dibatasi. Seorang raja, di mata Kajao Laliddong, tidak boleh terpejam matanya siang dan malam untuk memikirkan kebaikan negerinya. Jika biasanya raja digambarkan berkuasa mutlak, dan karenanya kata-kata atau perintahnya tidak bisa dibantah, maka Kajao Lalliddong menganjurkan kepada raja-raja Bugis untuk senatiasa mengkaji segala sesuatunya sebelum bertindak, pandai berbicara dan menjawab pertanyaan, dan memilih utusan yang senantiasa dapat dipercaya.

Pokok-pokok pikiran Kajao Lalliddong menjadi acuan bagi Raja dalam melaksanakan aktivitas pemerintahan. Buah pikirannya menyangkut “Konsep Hukum dan Ketatanegaraan” dalam bahasa Bugis disebut “Pangngadereng” yang menekankan bahwa raja dalam melaksanakan roda pemerintahannya harus berpedoman pada “Sistem Norma” sesuai konsep sebagai berikut :
Ade’, merupakan komponen pangngadereng yang memuat aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat. Ade’ sebagai pranata sosial didalamnya terkandung beberapa unsur antara lain :
Ade’ pura onro, yaitu norma yang bersifat permanen atau yang sukar untuk diubah.
Ade’ a’biasang, yaitu sistem kebiasaan yang berlaku dalam suatu masyarakat yang dianggap tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Ade’ maraja, yaitu sistem norma baru yang muncul sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

Bicara, adalah aturan-aturan peradilan dalam arti luas. Bicara lebih bersifat refresif, menyelesaikan sengketa yang mengarah kepada keadilan dalam arti peradilan bicara senantiasa berpijak kepada objektivitas, tidak berat sebelah.

Rapang adalah aturan yang ditetapkan setelah membandingkan dengan keputusan-keputusan terdahulu atau membandingkan dengan keputusan adat yang berlaku di negeri tetangga.
Wari adalah suatu sistem yang mengatur tentang batas-batas kewenangan dalam masyarakat, membedakan antara satu dengan yang lainnya dengan ruang lingkup penataan sistem kemasyarakatan, hak, dan kewajiban setiap orang.

Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar berperilaku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat dan hati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagi cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagi pujangga dan budayawan. Kajao juga berpesan kepada seorang pemimpin apabila ingin mengambil keputusan, “Jangan meminta pertimbangan pada perempuan kalau menyangkut keadaan perang negara, karena wanita lebih mengutamakan perasaannya.” Jika istri kepala pemerintahan menjadi dominan dalam memberikan pertimbangan kepada suaminya, celakalah keadaan negara

Pada akhir pemerintahan Latenri Rawe Bongkangnge (1584), Kajao Lalliddong menginjak usia 71 tahun. Banyak yang berpendapat, bahwa peranan Kajao Lalliddong secara pisik sebagai penasihat kerajaan tidak terlalu nampak lagi, kecuali buah pikirannya tetap menjadi acuan bagi raja dalam melaksanakan aktivitasnya. Sumber-sumber lisan, misalnya cerita rakyat di Kabupaten Bone, menyebutkan bahwa di saat usia uzur, ia memilih meninggalkan istana raja dan kembali ke tempat kelahirannya di Lalliddong yang pada saat itu berada di wilayah Wanua Cina. Tetapi bukan berarti buah-buah pikirannya tidak lagi dibutuhkan. Setiap saat raja dan aparatnya masih tetap meminta pendapat bila ada hal-hal yang sulit untuk dipecahkan. Tentang pemberian gelar “Kajao” yang menurut bahasa Bugis, hanya diperuntukkan bagi nenek perempuan, hal ini menimbulkan analisis, bahwa selama hidupnya Kajao Lalliddong berperan sebagai “Bissu” (Rohaniawan) di mana pada saat itu Kerajaan Bone masih dipengaruhi oleh agama Hindu. Dengan peranannya sebagai Bissu, maka tingkah lakunya selalu nampak bagai seorang perempuan.

Terdapat beberapa versi tentang meninggalnya ahli pikir kerajaan Bone itu. Versi pertama menyebutkan, bahwa Kajao Lalliddong diakhir hidupnya “mallajang” (menghilang) bersama anjing kesayangannya. Pada saat itu, Kajao Lalliddong bersama anjingnya berjalan-jalan di Kampung Katumpi, namun setelah dilakukan pencarian, ternyata Kajao Lalliddong bersama anjingnya tidak dapat ditemukan.

Versi yang lain menyatakan bahwa Kajao Lalliddong menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang disaat usia yang bertambah uzur. Tidak disebutkan bagaimana proses pemakamannya, apakah mengikuti prosesi animisme, atau agama Hindu, yakni dibakar atau dimakamkan sebagaimana kebiasaan orang Bugis saat itu.

Ada juga cerita bahwa Kajao Lalliddong telah menikah dan mendiami tempat yang tak begitu ramai di kawasan Kerajaan Bone, dengan harta pemberian dari Raja sebagai penghargaan dan usahanya, ia hidup bahagia bersama istri dan anaknya. Ia diperkirakan mangkat pada tahun 1586.
 
Referensi :
– Berdikarionline.com
– Makassarnolkm.com
– Ensoklopediabugismakassar.wordpress.com


Sumber : koranmakassaronline.com

Sabtu, 18 Oktober 2014

Mesir Kuno

Mesir pada puncak kejayaannya pada masa Kerajaan Baru (1450 SM)
arifuddinali.blogspot.com - Mesir merupakan salah satu daerah tersubur di Afrika, dan salah satu negara tersubur di Mediterania. Karena kesuburannya, Mesir menjadi salah satu tempat terawal yang dihuni oleh manusia, sekitar 40.000 tahun lalu. Pada awalnya tidak ada begitu banyak orang di Mesir, namun seiring waktu Mesir menjadi semakin padat, sehingga diperlukan suatu pemerintahan bersatu. Untuk sementara waktu tampaknya ada dua kerajaan, yang disebut Mesir Hulu (di selatan) dan Mesir Hilir (di utara). Sekitar 3000 SM, pada awal Zaman Perunggu, raja Mesir Hulu menaklukan raja Mesir Hilir dan membuat Mesir menjadi satu kerajaan, yang disebut Mesir. Pemimpin kerajaan ini kemudian disebut Firaun.

Sejak masa tersebut hingga sekita 525 SM, ketika Mesir ditaklukan oleh Persia, sejarah Mesir dibagi menjadi enam periode. Pada Kerajaan Lama (2686-2160 SM), bangsa Mesir mulai membangun piramida sebagai makam bagi para firaun. Kemudian pada 2200 SM tampaknya ada perubahan iklim, dan Mesir terpecah menjadi banyak kerajaan kecil. Ini disebut Periode Pertengahan Pertama (2160-2040 SM). Pada 2040 SM, para firaun berhasil menyatukan kembali Mesir untuk kemudian mendirikan Kerajaan Pertengahan (2040-1633 SM), namun para firaun Kerajaan Pertengahan tak sekuat para firaun Kerajaan Lama, dan mereka tidak lagi membangun piramida. Sekitar 1800 SM, para firaun Kerajaan Pertengahan kembali kehilangan kekuasaan. Ini disebut Periode Pertengahan Kedua (1786-1558 SM). Selama Periode Pertengahan Kedua, bangsa Hyksos dari utara menginvasi Mesir dan menguasai Mesir Hilir untuk sementara waktu. Bangsa Hyksos memiliki kuda dan kereta perang, dan dengan cepat pasukan Mesir juga belajar cara menggunakan kuda dan kereta perang. Sekitar 1500 SM, para firaun Mesir dari Mesir Hulu berhasil mengusir bangsa Hyksos dan menyatukan kembali Mesir dalam satu negara yang disebut Kerajaan Baru (1558-1085 SM). Masa ini disebutkan dalam Injil dan Al Qur'an, yaitu tentang penindasan Bani Israel (bangsa Yahudi) oleh bangsa Mesir. Pada akhir Zaman Perunggu, terjadi krisis umum di seluruh Mediterania Timur dan Asia Barat. Bersama dengan hancurnya peradaban Mykenai dan Het, pemerintahan Mesir juga runtuh, berujung pada Periode Pertengahan Ketiga (1085-525 SM). Selama periode ini, para raja Afrika timur dari sebelah selatan Mesir, tepatnya dari Nubia, menguasai sebagian besar wilayah Mesir.

Setelah itu pada 525 SM, Kambyses, raja Persia, memimpin pasukan menuju Mesir dan menaklukannya. Ia menjadikan Mesir bagian dari Kekaisaran Persia. Bangsa Mesir tidak suka diperintah oleh Persia, namun mereka tak cukup kuat untuk melawan. Ketika Aleksander Agung menaklukan Kekaisaran Persia pada 332 SM, ia juga merebut Mesir pada tahun yang sama, dan para penerus Aleksander yang beretnis Yunani berkuasa di Mesir setelah kematiannya pada 323 SM. Masa ini disebut pula periode Hellenistik. Pada masa ini, ratu Kelopatra, yang merupakan perempuan Yunani dan Firaun Mesir, berkuasa. Setelah Kelopatra meninggal, Romawi menaklukan Mesir dan menjadikannya bagian dari Kekaisaran Romawi selama ratusan tahun (30 SM-700 SM). Akhirnya sekitar 660 SM, pasukan Umayyah yang menyerbu Mesir berhasil menaklukan wilayah ini dan menjadikan Mesir bagian dari Kekhalifahan Islam, menggantikan kekuasaan Romawi di Mesir.
 
Pembagian periode dalam sejarah Mesir:
  • Zaman Batu
  • Kerajaan Lama (2686-2160 SM)
  • Periode Pertengahan Pertama (2160-2040 SM)
  • Kerajaan Pertengahan (2040-1633 SM)
  • Periode Pertengahan Kedua (1786-1558 SM)
  • Kerajaan Baru (1558-1085 SM)
  • Periode Pertengahan Ketiga (1085-525 SM)
  • Kekuasaan Persia (525-332 SM)
  • Kekuasaan Yunani (Hellenistik) (332-30 SM)
  • Kekuasaan Romawi (30 SM-700 M)
  • Kekuasaan Islam (700 M-sekarang)

Zaman Batu

Kegiatan agrikultur orang Mesir kuno
Sekitar 10000 SM, penduduk Mesir sudah amat banyak sehingga orang-orang terpaksa menghasilkan makanan mereka sendiri alih-alih berburu dan mengumpulkan makanan. Pada masa yang sama, orang-orang di Asia Barat juga mulai bercocok tanam. Kemungkinan orang sudah lama mengetahui cara bercocok tanam namun lebih suka pergi ke luar dan mencari makanan liar, karena lebih mudah. Akan tetapi ketika jumlah penduduk sudah terlalu banyak, makanan liar mulai tidak mencukupi kebutuhan bagi semua orang, dan dengan demikian orang-orang harus mulai bercocok tanam. Proses ini disebut Revolusi Agrikultur.

Kerajaan Lama

Patung pualam Ankhesenpepi II dan putranya Pepi II
Setelah Mesir pertama kali disatukan sekitar tahun 3000 SM di bawah Firaun dari Mesir Hulu, para Firaun dengan cepat memperoleh kekuasaan yang besar atas rakyatnya. Ibukota Firaun adalah di Memphis.

Prasasti yang disebut Palet Narmer menunjukkan ukiran yang kemungkinan menggambarkan Firaun Mesir Hulu yang sedang berdiri dan mengalahkan Firaun Mesir Hilir.

Karena Kerajaan Lama berlangsung pada masa yang amat lampau, tidak banyak yang diketahi mengenai periode ini. Tampaknya para Firaun Kerajaan Lama menjalankan irigasi sisteamtis pertama dari sungai Nil, yang memungkinkan lebih banyak orang untuk tinggal di Mesir tanpa mengalami kelaparan. Piramida dibangun pada periode ini sebagai makam besar bagi para Firaun. Kemungkinan piramida dibangun oleh orang-orang yang biasanya menjadi petani, seperti kebanyakan orang pada masa itu. Mereka mungkin membangun sedikit bagian piramida setiap tahun, selama sungai Nil meluap sehingga kegiatan bercocok tanam tidak dapat dijalankan. Temuan arkeologis terkini menunjukkan bahwa para Firaun awal juga terlibat dalam kurban manusia. Pada masa yang sama, peradaban besar lainnya juga sedang muncul di Sumeria.

Firaun terakhir di Kerajaan Lama adalah Pepi II, yang baru berusia enam tahun ketika dinobatkan sebagai Firaun. Ibunya, Ankhesenpepi II, barangkali adalah yang sebenarnya memegang kekuasaan atas nama putranya. Ia kemungkinan telah terbiasa pada gagasan mengenai perempuan yang berkuasa. Ibu Ankhesenpepi II, Nebet, menjadi wazir bagi kakek Pepy II, Pepi I. Ankhesenpepi II mungkin berkuasa hingga Pepi II tumbuh dewasa, atau setelah ia meninggal. Setelah kematiannya, Pepi II secara berangsur-angsur kehilangan kekuasaannya, dan orang-irabf kaya lainnya di Mesir mulai mengendalikan wilayah mereka sendiri layaknya raja. Ini disebut Periode Pertengahan Pertama.

Periode Pertengahan Pertama

Intef II, salah satu penguasa di Mesir pada Periode Pertengahan Pertama
Berakhirnya Kerajaan Lama, sekitar 2100 SM, tampaknya disebabkan oleh pemberontakan orang-orang dari kalangan yang kaya. Mereka merasa bahwa Firaun memiliki kekuasaan yang terlalu besar. Secara berangsur-angsur Firaun menjadi semakin bergantung pada para pejabat pemerintahan, dan orang-orang ini pun merebut kekuasaan. Beberapa pengelolaan negara mulai terhenti. Piramida tak lagi dibangun. Sumber-sumber tertulis menggambarkan masa-masa anarki, para bangsawan bekerja di ladang, anak membunuh orang tua, sesama saudara saling bertikai, dan makam-makam dihancurkan. Beberapa sejarawan berpendapat bahwa kekacauan ini mungkin disebabkan oleh perubahan iklim besar yang memicu kondisi kekeringan di Mesir.
 

Kerajaan Pertengahan

Patung Mentuhotep II, Firaun pertama di Kerajaan Pertengahan
Kerajaan Pertengahan berdiri setelah serangkaian peperangan antara penguasa Mesir Hulu (Selatan) melawan Mesir Hilir (Utara). Penguasa Mesir Hulu menang, dan mereka menyatukan kembali negara ini sekitar 2000 SM, dengan ibukota pertamanya di Thebes di selatan, dan ibukota lainnya adalah sebuah kota baru di sebelah selatan memphis.

Para Firaun pada periode ini tidak memiliki kekuasaan sebesar sebelumnya. Mereka lebih menampilkan diri sebagai penguasa yang memeprhatikan rakyatnya, alih-alih sebagai raja-dewa di Kerajaan Lama. Adalah para Nomark (pejabat lokal) yang memiliki kekuasaan cukup besar pada masa ini.
Pada periode ini, para Firaun pertama kali mulai menguasai wilayah di luar Mesir, seperti Yerusalem, Yerikho dan Suriah. Selain itu banyak terjadi perdagangan antara Mesir dengan Byblos, dekat beirut modern

Periode Pertengahan Kedua

Patung Ahmose I, salah satu tokoh yang berperan dalam mengakhiri kekuasaan bangsa Hyksos atas Mesir
Sekitar 176 SM suatu bangsa yang disebut Hyksos menginvasi Mesir, mengakhiri Kerajaan Pertengahan dan memulai Periode Pertengahan Kedua. Bangsa Hyksos, yang datang dari Asia Barat, merebut bagian timur dari Delta Nil (Mesir timur laut, bagian yang terdekat dengan Asia), dan menetapkan ibukota di Memphis.

Tidak diketahui siapa sebenarnya bangsa Hyksos, namun mereka kemungkinan merupakan etnis Amori, yang menuturkan bahasa Semit (terkait dengan bahasa Ibrani dan Arab) dan datang dari daerah di sekitar Suriah dan Israel, suatu daerah yang banyak melakukan perdagangan dengan bangsa Mesir selama Kerajaan Pertengahan.

Bangsa Hyksos berkuasa selama sekitar seratus tahun, namun kemudian para penguasa selatan dari Thebes lagi-lagi mulai menaklukan kembali daerah Mesir utara. Dalam perang pembebasan ini, kedua bersaudara Kahmose dan Ahmose memerangi bansga Hyksos dan bangsa Nubia, yaitu etnis Afrika yang tinggal di sebelah selatan Mesir. Pada akhirnya mereka berhasil dan menyatukan kembali seluruh Mesir di bawah Kerajaan Baru

Kerajaan Baru

Dengan reunifikasi Mesir oleh Ahmose (Kamose meninggal sebelum Mesir benar-benar bersatu) dan diusirnya bangsa Hyksos, Mesir memulai periode baru yang makmur di bawah dinasti ke-18. Pada masa ini banyak terjadi perdagangan dengan Asia Barat, dan pasukan Mesir bahkan menaklukan sebagian besar Israel dan Suriah, meskipun mereka terus-menerus berperang dengan Het dan Asyyria demi kendali atas daerah tersebut. Kuil-kuil besar dibangun di seluruh Mesir. Para ratu Mesir memiliki kekuasaan yang besar pada masa ini, dan pada 1490 SM salah satu ratu yang bernama Hatshepsut menjadi Firaun. Pemerintahan Hatshepsut berlangsung lama dan damai. Ia membuat banyak kesepakatan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan Afrika, yang membuat Mesir semakin kaya
 
Patung Hatshepsut
Pada tahun 1363 SM ada seorang Firaun terkenal bernama Akhenaten, yang mendirikan ibukota baru di Amarna da tampaknya menyembah satu dewa matahari baru, serta mengembangkan gaya seni baru. Istrinya bernama Nefertiti. Akhenaten tak memiliki putra, dan penerusnya adalah menantunya Tutankhamon. Akan tetapi pada 1333 SM para Firaun kembali ke agama lama.

Patung Akhenaten

Patung Nefertiti

openg mumi Tutankhamon
Pada 1303 SM sebuah dinasti baru dari utara merebut kekuasaan, yaitu dinasti Mesir ke-19. Raja pertamanya, Firaun Ramesses, memindahkan ibukota kembali ke Memphis di utara. Pada masa pemerintahan dinasti ini, pendeta menjadi amat berkuasa. Peperangan dengan bangsa Het di Asia Barat terus berlanjut, namun perdagangan juga banyak terjadi. Ini adalah masa yang dalam Kitab Injil dan Al Qur'an disebutkan bahwa bangsa Yahudi (Bani Israil) diperbudak di Mesir

Patung Ramesses I, pendiri dinasti ke-19
Dinasti Firaun ke-20, sekitar 1200 SM, meneruskan kebijakan yang sama, dan semua Firaunnya disebut Ramesses. Banyak terjadi serangan terhadap Mesir, yang pertama dari Libya di arah barat dan kemudian dari Asia Barat, oleh suatu kelompok yang oleh bangsa Mesir disebut Bangsa Laut. Kekaisaran Het dimusnahkan, meskipun sekitar 1100 SM bangsa Mesir memerangi Bangsa Laut dalam suatu pertempuran laut yang besar. Akan tetapi permasalahan di Asia Baat tampaknya menyebabkan keruntuhan ekonomi besar-besaran di seluruh Mediterania Timur dan Asia Barat dan tidak lama setelahnya Kerajaan Baru runtuh.
 

Periode Pertengahan Ketiga

Perpecahan politik di Mesir pada Periode Pertengahan Ketiga
Setelah meninggalnya Ramesses terakhir pada 1085 SM, Mesir terpecah. Tidak diketahui apa yang sebenarnya terjadi tapi kemungkinan terjadi wabah kekeringan yang parah.

Peradaban Het dan Mykenai runtuh pada masa yang sama, dan banyak orang dari kedua daerah tersebut menginvasi Mesir, dimana mereka kemudian disebut Bangsa Laut, yang kemungkinan terdiri atas bangsa Filistin, Lykia, Akhaia, Troya, dll. Mesir berhasil menghalau serbuan Bangsa Laut, namun tidak lama setelahnya Mesir juga ikut runtuh.

Mesir kehilangan kendali atas Israel, Lebanon, Suriah, dan lagi-lagi dikuasai oleh berbagai raja dari utara dan selatan. Selain itu Nubia berhasl merdeka kembali dari kekuasaan Mesir.

Wilayah Mesir utara menjadi lebih kaya daripada selatan, dan kota-kotanya berkembang pesat. Namun Mesir tetap menjadi lebih lemah daripada sebelumnya, sehingga Lybia mampu beberapa kali melakukan invasi dan menguasai Mesir utara untuk sementara waktu. Di selatan, di Thebes, para pendeta Amon terus memperoleh kekuasaan yang besar

Sekitar 715 SM, seorang raja Sudan (atau Kush) hitam dari sebelah selatan Mesir, yang bernama Piye atau Piankhi, menginvasi dan menaklukan sebagian besar wilayah Mesir. Ia mendirikan Dinasti Firaun ke-25.


Shabaka, penerus Piye
Dinasti tersebut tidak berlangsung lama, karena suatu bangsa baru dari Asia Barat, yaitu bangsa Assyria, menaklukan Mesir dalam serangkaian perang yang berakhir pada 664 SM. Mereka mengusir bangsa Sudan dari Mesir. Meskipun demikian, Assyria tidak benar-benar mampu memerintah wilayah yang begitu jauh dari ibukota mereka di Nineveh, sehingga tidak lama kemudian para raja Lybia menguasa Mesir dan mendirikan Dinasti ke-26, dengan bantuan para tentara bayaran dari Yunani dan Lykia. Para raja ini disebut orang Sais, karena menetapkan ibukota di Sais, di utara Mesir.

Pada 609 SM Kekaisaran Assyria runtuh, dan para raja Sais berhasil menaklukan sejumlah wilayah di Israel dan Suriah. Akan tetapi pada 605 SM, Kekaisaran Babilonia di bawah seorang raja bernama Nebukhadnezzar mengalahkan Mesir dan merebut kembali Israel dan Suriah. Pada 525 SM, sebuah kekaisaran baru di Asia Barat, yaitu Kekaisaran Persia, menyerang dan menaklukan Mesir. Kali ini mereka sukses dalam memerintah Mesir.

Kambyses II, raja Persia, menangkap Psamtik III, Firaun terakhir dari Dinasti ke-26

Kekuasaan Persia

Nektabeno II atau Nakhthorheb, Firaun Mesir terakhir sebelum Mesir ditaklukan oleh Persia

Patung Aleksander Agung, raja Makedonia yang merebut Mesir dari kekuasaan Persia dan memasukan Mesir ke dalam kekuasaan Makedonia
Persia menguasai Mesir sejak 525 SM, setelah berhasil mengalahkan bangsa Libya. Akan tetapi, setelah Persia mengalami kekalahan atas pasukan Yunani di Marathon pada 490 SM, bangsa Mesir memebrontak (pada 484 serta pada 460 SM) dengan bantuan Athena, namun gagal.

Pada 404 SM Mesir berhasil merdeka, berkat melemahnya Persia. Mesir mendirikan Dinasti ke-28, yang dilanjutkan oleh Dinasti ke-29 dan 30. Dinasti ke-28 berlangsung pendek dan hanya terdiri atas satu Firaun. Pada Dinasti ke-29, Mesir menjalin persekutuan dengan Sparta dan berhenti bekerjasama dengan Athena, karena Athena amat melemah seusai Perang Peloponnesos melawan Sparta. Dalam kesepakatan ini, Sparta membantu Mesir melawan Persia, dan Mesir mengirim banyak gandum sebagai balasannya. Sayangnya, Persia menangkap kapal-kapal gandum Mesir dalam perjalanan menuju Sparta sehingga hal ini tak berjalan baik.

Para Firaun pada Dinasti ke-30 berupaya mempertahankan Mesir sebagai neagra merdeka. Mereka memerangi invasi-invasi Persia. Suatu ketika, Persia menyerang Mesir namun harus mundur kembali karena Sungai Nil sedang meluap. Seperti para Firaun lainnya, mereka menjalin persekutuan dengan Sparta dan Athena serta kota-kota Yunani lainnya untuk dapat menghalau Persia. Beberapa dari mereka bahkan berusaha mengembalikan Mesir ke masa kejayaannya seperti pada Kerajaan Baru dengan cara menyerbu Suriah.

Akan tetapi pada akhirnya Mesir tidak sanggup terus-menerus bertahan menghadapi serbuan Persia, dan Persia berhasil menaklukan Mesir kembali pada 341 SM, setelah Mesir mengalami kermedekaan selama enam puluh tiga tahun. Pada 332 SM, Aleksander Agung menaklukan Mesir sebagai bagian dari usahanya menaklukan seluruh Kekaisaran Persia.

Kekuasaan Yunani

Patung Ptolemaios I Soter, pendiri Dinasti Ptolemaik di Mesir
Pada 332 SM Aleksander Agung dari Makedonia menaklukan Mesir dengan pasukan Yunani. Pada awalnya, bangsa Mesir mengira bahwa Aleksander akan membiarkan Mesir merdeka. Akan tetapi, Aleksander justru menjadikan Mesir sebagian bagian dari kekaisarannya sendiri.

Setelah Aleksander meninggal pada 323 SM, kekaisarannya dibagi-bagi di antara para jenderalnya, dan salah satu jenderalnya yang bernama Ptolemaios memperoleh Mesir. Ptolemaios berkuasa di Mesir dan mendirikan Dinasti Ptolemaios atau Ptolemaik. Para Firaun Ptolemaios berhasil menaklukan kembali banyak wilayah di Israel dan Suriah. Mereka membawa serta bahasa dan kebudayaan Yunani ke Mesir, meskipun rakyat jelata di Mesir tetap menuturkan bahasa Mesir dan menyembah dewa-dewi Mesir.

Ptolemaios dan para keturuannya memerintah Mesir hingga Octavianus Augustus dari Romawi mengalahkan Firaun Mesir terakhir, yaitu Ratu Kleopatra, pada 30 SM. Sejak itu Mesir menjadi bagian dari Romawi.

Kekuasaan Romawi

Kleopatra dan Julius Caesar
Ketika Julius Caesar memperoleh kekuasaan di Romawi, sekitar 50 SM, para Firaun Ptolemaik, yaitu para raja Mesir dari etnis Yunani, amat sangat lemah dibanding Romawi.

Ketika Julius Caesar mengunjungi Mesir, ratu Mesir Ptolemaik, Kleopatra VII, meminta Caesar membantunya dalam perang saudara melawan saudara sekaligus suaminya yang masih remaja, Ptolemaios XIII.

Julius Caesar setuju dan membantu Kleopatra berkuasa, tapi kemudian menempatkan pasukan Romawi di Mesir, serta membawa Kleopatra ke Roma sebagai kekasih. Ketika Julius Caesar dibunuh di Roma pada 44 SM, Kleopatra pulang ke Mesir bersama pemimpin Romawi lainnya, Marcus Antonius, yang kemudian menjadi kekasihnya juga. Kleopatra memerintah Mesir selama empat belas tahun, memperoleh empat anak dan memimpin negaranya dengan sukses sambil melakukan manuver-manuver politik terhadap Romawi supaya Mesir bisa tetap merdeka.

Akan tetapi, dalam perang saudara antara keponakan Julius Caesar, Augustus, melawan Marcus Antonius, pihak Mesir yang dipimpin Antonius dan Kleopatra mengalami kekalahan. Mereka bunuh diri (atau dibunuh) pada 30 SM, dan setelah itu Mesir dikuasai penuh oleh Romawi.

Romawi menganggap Mesir amat berharga karena daerah tersebut amat subur dan menghasilkan begitu banyak bahan pangan. Sejumlah banyak makanan, terutama gandum (untuk dibuat menjadi roti), dikirim dari Mesir ke Roma sebagai pajak dalam kapal-kapal besar. Untuk memudahkan pengumpulan dan pengiriman pajak ini, Romawi mendirikan pemerintahan bergaya Romawi di Mesir, meskipun bahasa utama pemerintahan di Mesir tetap bahasa Yunni ali-alih bahasa Latin. Pada masa ini, rakyat jelata di Mesir juga memahami sejumlah perkataan Yunani.

Sekitar 300-400 M, sebagian besar orang Mesir menerima agama Kristen. Ada petikaian mengenai jenis Kristen apa, entah Arian atau Katolik, yang dianggap benar di Mesir.

Setelah Roma ditaklukan oleh Ostrogoth pada 476 M, pengiriman gandum dari Mesir dialihkan ke ibukota baru Romawi di Konstantinopel, dekat Laut Hitam, di tempat yang kini menjadi Turki.
Romawi menguasai Mesir hingga sekitar 700 M, selama kira-kira 700 tahun, hingga bangsa Arab menyerbu dan menaklukan Mesir.


Kekuasaan Islam

Seiring bangkitnya agama baru, Islam, di Asia Barat, bangsa Arab mendirikan suatu negara bernama Kekhalifahan Umayyah yang berpusat di Suriah. Mereka dengan cepat menaklukan Mesir juga, sehingga, seperti halnya dulu Mesir dukuasai oleh Assyria, Persia, Yunani, dan Romawi, kini Mesir dikuasai oleh bangsa Arab Islam. Akibat penaklukan ini, secara berangsur-angsur, sebagian besar bangsa Mesir berpindah agama dri Kristen menjadi Islam, dan mereka juga mulai menuturkan bahasa Arab. Sementara orang Mesir Kristen disebut Koptik. Ibukota baru juga didirikan di Mesir utara, tepatnya di Kairo.

Peta penaklukan Muslim di Mesir

Untuk sementara waktu pada tahun 1000-1300, Mesir merdeka dari Kekhalifahan Islam yang berpusat di Asia Barat dan mendirikan dinasti tersendiri yang beraliran Syi'ah dan disebut Fatimiyah. Pada masa ini banyak terjadi kemajuan di Mesir.

Akan tetapi Mesir kemudian ditaklukan oleh dinasti Ayyubiyah yang Sunni, dan kemudian oleh Mamluk. Sekitar tahun 1500, Mesir dikuasai oleh Kesultanan Utsmaniyah, hingga akhirnya Mesir merdeka pada masa modern.


Salahudin Al Ayyubi, pendiri dinasti Ayyubiyah

---wiki ---
 

Bebas Bayar

bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

gif maker

Arifuddin Ali