Perjanjian Lama adalah bagian pertama dalam Alkitab Kristen yang dibagi dalam dua bagian. Bagian keduanya disebut Perjanjian Baru.
Perjanjian Lama yang terdiri dari 39 kitab itu dapat dibagi dalam
kategori hukum, sejarah, puisi dan nubuatan. Semua kitab tersebut
ditulis sebelum kelahiran Yesus, dimana 97% isinya ditulis dalam Bahasa Ibrani dan sisanya dalam Bahasa Aram.
Isi Perjanjian Lama identik dengan kanon Alkitab Ibrani, yaitu kitab suci Yahudi yang juga disebut Tanakh, tetapi dengan urutan yang berbeda. Susunan urutan kanon Tanakh berakhir dengan Kitab Tawarikh, sedangkan Perjanjian Lama berakhir dengan Kitab Maleakhi.
1. Teks-teks Perjanjian Lama
1.1. Teks Masoret
Teks tulisan tangan Perjanjian Lama kuno yang utuh sekarang ini adalah Kodeks B19 yang saat ini berada di Perpustakaan di St. Petersburg. Teks ini dikenal dengan nama Kodeks Leningradensis, yang juga dikenal dengan nama Kodeks Petropolitanus, ditulis pada tahun 1008 di Kairo dan merupakan teks tulisan tangan terbaik, sehingga para ilmuan Alkitab banyak mengacu kepada teks ini.
Kodeks Leningradensis berasal dari tradisi penulisan teks Alkitab
Ibrani yang sangat rumit, yaitu berasal dari para Masoret dari abad ke-8 sampai ke-10 M di Tiberias di pantai danau Genesaret.
Oleh karena itu orang menyebut teks yang berasal dari tradisi penulisan
ini sebagai teks Masoret. Terdapat dua keluarga Yahudi dalam tradisi
penulisan ini, yaitu Ben Asyer dan Ben Naftali. Pada dasarnya huruf-huruf Ibrani
adalah konsonan semua. Hal ini juga berlaku kepada teks Perjanjian
Lama. Teks Perjanjian Lama yang ditulis dengan huruf konsonan semua
disebut teks konsonan. Pembacaan teks konsonan ini didasarkan pada
tradisi pembacaan kitab suci yang turun temurun. Kodeks Aleppo, yang merupakan teks konsonan, yang menjadi teks dasar, diberi tanda vokal (vokalisasi) oleh Harun ben Asyer,
lalu hasil dari vokalisasi yang dilakukan oleh Harun ben Asyer disalin
lagi oleh Samuel ben Yakub. Kodeks Leningradensis yang telah disebutkan
di atas adalah hasil salinan yang dikerjakan oleh Samuel ben Yakub.
Yang menjadi pendorong pemberian tanda vokal pada teks konsonan Ibrani yang dilakukan oleh Ben Asyer dan Ben Naftali adalah Sekte Kareer ("Para Pengikut Kitab Suci"), yang pada abad ke-8 berkembang di daerah Babilonia. Sekte ini mengabaikan penafsiran rabi-rabi Yahudi yang didasarkan pada tradisi Talmud,
dan mereka lebih mengarahkan pengajaran mereka hanya pada Kitab Suci.
Sehingga pada waktu itu berkembang pemikiran, bahwa jika tradisi
pembacaan ini terputus dan hilang, maka anak-cucu mereka tidak dapat
membaca Kitab Suci lagi serta tidak dapat memahaminya, karena teks Kitab
Sucinya adalah berbentuk konsonan. Kebutuhan yang mendesak ini juga
dipikirkan oleh para Masoret yang adalah para rabi (bukan berasal dari Sekte Kareer!), sehingga dua keluarga yang telah disebutkan di atas mengerjakan vokalisasi teks konsonan.
1.2. Teks Pentateukh Samaritan
Tradisi penyalinan teks kitab suci yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi
tersebut di atas yang biasa disebut teks masoret bukanlah satu-satunya
tradisi penyalinan teks kitab suci Ibrani. Di samping tradisi penyalinan
ini terdapat juga tradisi penyalinan yang dilakukan oleh orang-orang Samaria. Tradisi penyalinan yang dilakukan oleh orang-orang Samaria ini dimulai sejak keterpisahan (skisma) jemaat Yahudi dan Samaria
pada tahun yang tidak diketahui lagi, tetapi yang pasti pada zaman
setelah pembuangan. Orang-orang Samaria adalah penduduk yang tinggal di
wilayah Israel utara setelah pada tahun 722 SM ditaklukkan oleh bangsa Asyur.
Mereka adalah campuran antara Israel dan bangsa-bangsa lain yang
tinggal di daerah tersebut. Mereka hanya mengakui Pentateukh sebagai
Kitab Suci mereka. Teks tulisan tangan yang tertua dari tradisi ini yang
masih ada berasal dari abad ke-12 M yang sekarang ini berada di Perpustakaan Universitas Leipzig.
1.3. Teks Qumran
Antara tahun 1947 dan 1956 ditemukan fragmen-fragmen teks Perjanjian Lama dalam bentuk lebih dari 190 gulungan dari dalam 11 gua di Qumran, yang terletak di pantai Laut Mati, yaitu sekitar 15 km sebelah selatan dari kota Yerikho.
Dimulai dari ketidak sengajaan pada tahun 1947, yaitu ketika seorang
gembala muda dari suku Badui, yang mencoba untuk mencari dombanya yang
hilang di sekitar gua-gua di Qumran, dan ketika dia mencoba untuk
mencari dombanya di sebuah gua, dia secara tidak sengaja menemukan
gulungan-gulungan kitab. Penemuan ini merupakan penemuan pertama
gulungan-gulungan kitab Qumran, dan sejak saat itu para arkeolog
meneliti di Qumran dan menemukan gulungan-gulungan kitab yang lainnya.
Sebagian besar fragmen tersebut berasal dari abad ke-2 SM dan ke-1 SM,
namun ada juga sebagian kecil yang berasal dari abad ke-3 SM. Setiap
bagian dari kitab-kitab Perjanjian Lama (kecuali kitab Ester) ditemukan di Qumran. (Lihat Naskah Laut Mati) Gambar 1: Qumran
1.4. Teks Yunani
Tradisi penerjemahan Alkitab Ibrani ke Yunani juga merupakan sumber yang sangat penting, yang disebut Septuaginta. Nama ini berasal dari bahasa Latin yang berarti "tujuh puluh" dan biasanya disingkat dengan huruf romawi LXX. Legenda tentang Septuaginta ini didasarkan pada Surat Aristeas pada abad ke-1 SM: Demetrius dari Phaleron, ketua Perpustakaan di Alexandria, mengusulkan kepada Raja Ptolemeus II Philadelphus (285-246 SM) untuk memasukkan kitab Taurat Yahudi ke dalam Perpustakaan Alexandria.
Untuk melaksanakan proyek ini, maka 72 tua-tua Yahudi (enam dari
masing-masing suku Israel/ 6 x 12 = 72), dikirim oleh Imam Besar Eliezer
ke Alexandria untuk menerjemahkan kitab Taurat, dan penerjemahan itu
memakan waktu selama 72 hari dan hasil dari penerjemahan ini digunakan
oleh jemaat Yahudi yang saat itu berada di Diaspora Mesir. Legenda ini
didasarkan pada motif mujizat munculnya Septuaginta. Namun dari legenda
ini kita dapat memperoleh informasi, bahwa kitab Taurat dalam bahasa
Yunani pada awalnya dipergunakan oleh jemaat Yahudi yang berada di Diaspora Mesir
yang tidak bisa berbahasa Ibrani lagi, yaitu pada pertengahan abad ke-3
SM. Satu abad setelah itu, yaitu sekitar pertengahan abad ke-2 SM,
seluruh Alkitab telah diterjemahkan dalam bahasa Yunani. Hal ini
didasarkan pada Prolog kitab Sirakh (sekitar 132 SM), bahwa "Taurat, para Nabi, dan kitab-kitab lain" (mengacu kepada tiga bagian dari kitab Ibrani, yaitu Torah, Nebi'im dan Ketubim) telah diterjemahkan dalam "bahasa lain" (tentunya dalam hal ini bahasa Yunani).
Tradisi Septuaginta sangat berbeda dengan tradisi Masoret, baik dari
sisi bahasa maupun teksnya. Nampaknya teks Ibrani yang digunakan oleh
para penerjemah adalah teks yang berbeda dengan teks dari tradisi Masoret. Hal ini didasarkan pada bukti: bahwa (1) Septuaginta memuat beberapa kitab di luar kitab Ibrani, (2) bahwa kitab Daniel dan Ester
di Septuaginta lebih panjang dari versi kitab Ibrani, dan juga kitab
Yeremia versi Septuaginta lebih pendek dari versi kitab Ibrani, secara
khusus perbedaan bentuk teks antara teks Ibrani yang digunakan oleh
Septuaginta dan teks Ibrani Masoret akan nampak jika kita
membandingkannya secara mendetail dari kitab Daniel.
Pada awalnya tradisi Septuaginta menjadi teks yang sangat penting bagi orang Yahudi pada waktu itu. Namun setelah konsili Yamnia
(sekitar 95 M) tradisi ini menduduki peranan yang tidak penting lagi.
Hal ini mungkin karena teks Septuaginta menjadi pegangan penting bagi
orang Kristen mula-mula, dan teks ini mendapat tandingan dari terjemahan
Yunani yang baru, yaitu Aquila (130 M), Theodotion (abad ke-2 M) dan Symmakus
(abad ke-3 M). Namun tradisi ini mendapat tempat yang sangat penting
dalam tradisi Kristen. Kemudian Septuaginta direvisi oleh para ahli
Kristen:
- oleh Origenes (antara 232-254 di Kaisarea dalam edisi teks kritik Septuaginta),
- oleh Uskup Mesir Hesikhius (meninggal sekitar 310),
- oleh Tua-Tua Lukian di Antiokhia (meninggal sekitar 311).
Menurut keterangan Hieronimus, orang Kristen di Alexandria dan Mesir menggunakan Septuaginta versi Hesikhius; sedangkan orang Kristen di Konstantinopel sampai Antiokhia menggunakan Septuaginta versi Lukian Sang Martir; dan di samping itu orang Kristen di Palestina menggunakan Septuaginta versi Origenes.
Kemudian berdasarkan Septuaginta diterjemahan Alkitab Perjanjian Lama
dalam beberapa bahasa lain, yaitu pada abad ke-3 M ke dalam bahasa Koptik, salah satu dialek bahasa Mesir; lalu pada abad ke-4 M ke dalam bahasa Ethiopia;
di samping itu pada abad ke-4 M ke dalam bahasa Gotik oleh Uskup Gotik
Ulfias. Berdasarkan versi Origenes Alkitab Perjanjian Lama diterjemahkan
ke dalam bahasa Armenia pada sekitar tahun 440 M.
1.5. Targum
Ketika bahasa Ibrani bukan lagi menjadi bahasa pengantar di
Palestina, banyak orang yang tidak mengerti isi kitab suci, karena kitab
suci tertulis dalam bahasa Ibrani. Oleh karena itu diambil inisiatif,
bahwa dalam ibadah di Sinagoga,
setelah dibacakannya kitab suci dalam bahasa Ibrani, teks Ibrani
tersebut diterjemahkan (dalam tradisi lisan) ke dalam bahasa Aram.
Terjemahan kitab suci ke dalam bahasa Aram dalam tradisi lisan tersebut
(targum, jamak: targumim) baru mulai sekitar tahun 300 M ditulis oleh
ahli-ahli kitab suci. Oleh karena itu banyak terjadi kesalahan
penerjemahan dan ketidak-tentuan, karena penerjemahannya sendiri lebih
berdasarkan interpretasi. Namun di sisi lain, dalam kritik teks, Targum
kadang juga menjadi penting untuk diperhatikan, karena dia merupakan
terjemahan dari teks yang lebih tua dari teks Masoret. Terdapat dua
Targum yang terkenal dan penting, yaitu Targum Palestina dan Targum Babilonia.
1.6. Pesyitta
Pesyitta merupakan terjemahan Perjanjian Lama dalam tradisi Kristen.
Penerjemahannya sangat bergantung dengan Targum, sehingga kedudukannya
dalam kritik teks tidaklah menduduki tempat yang penting. Selain
bergantung dengan Targum, Pesyitta juga menggunakan LXX.
1.7. Terjemahan-terjemahan dalam Bahasa Latin
Sampai sekitar tahun 250 M bahasa Yunani merupakan bahasa pengantar
resmi di seluruh kerajaan Romawi. Namun di beberapa provinsi, misalnya
di Afrika Utara,
bahasa Latin masih menjadi bahasa pergaulan masyarakat, sehingga
dibutuhkan penerjemahan kitab suci ke dalam bahasa Latin untuk
masyarakat yang berdiam di provinsi-provinsi tersebut.
Terjemahan-terjemahan kitab suci ke dalam bahasa Latin tersebut mulai
muncul pada awal abad ke-2 M. Tradisi penerjemahan yang tertua adalah
terjemahan dari Afrika, dan yang lebih muda adalah terjemahan dari
bahasa Italia.
Terjemahan-terjemahan Latin ini disebut dengan nama "Vetus Latina" atau
oleh orang Galia-Selatan disebut dengan nama "Itala" (versio Itala).
Penerjemahan-penerjemahan ini berdasarkan teks LXX.
Paus Damasus
(366-384) memutuskan untuk merevisi Alkitab latin dan hasil dari
perevisian ini akan menjadi teks resmi gereja Katolik. Untuk
mewujudkannya, dia memerintahkan kepa-da Sophronius Eusebius Hieronimus
(347-419) untuk menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa latin atau
sedikitnya merevisi teks-teks latin yang sudah ada. Hieronimus
menyelesaikan penerjemahannya pada tahun 406. Terjemahan Alkitab ke
dalam bahasa latin tersebut disebut Vulgata. Pada tahun 801 Vulgata
kembali direvisi oleh Abt Alkuin.
Melalui keputusan pada Konsili Vatikan II, Vulgata direvisi kembali dan revisi tersebut selesai pada tahun 1979. Hasil revisi Vulgata tersebut disebut Nova Vulgata.
2. Kanonisasi Perjanjian Lama
Umat Yahudi mengakui 39 kitab (atau menurut mereka 22 kitab, karena kedua kitab Samuel (1 Samuel dan 2 Samuel); kedua kitab Raja-raja (1 Raja-raja dan 2 Raja-raja); kedua kitab Tawarikh (1 Tawarikh dan 2 Tawarikh); kitab Ezra dan kitab Nehemia; dan 12 kitab nabi-nabi kecil: masing-masing dihitung satu kitab; dan kitab Rut digabungkan dengan kitab Hakim-Hakim; dan kitab Ratapan digabungkan dengan kitab Yeremia) yang ditulis dalam bahasa Ibrani (veritas hebraica) sebagai kanon.
Penetapan ke-39 kitab tersebut sebagai kanon terjadi pada sekitar tahun 95 M dalam sebuah konsili yang diadakan di Yamnia (sekarang ini bernama Yabne, terletak di dekat pantai Laut Tengah, di sebelah barat daya Israel.
Setelah Yerusalem dihancurkan oleh tentara Roma pada tahun 70 M, kota
ini menjadi pusat umat Yahudi yang sangat penting). Penetapan ini
memberikan legitimasi, bahwa 39 kitab ini tergolong Kitab Suci.
Orang-orang Yahudi dewasa ini masih tetap mengakui kanonisasi
berdasarkan penetapan di konsili Yamnia. Tradisi Protestan juga menganut tradisi ini.
Di samping tradisi kanonisasi Ibrani terdapat juga di kalangan Yahudi
kuno kanonisasi yang didasarkan pada kitab-kitab Yunani yang terdapat
dalam Septuaginta. Kitab-kitab Yunani tersebut di kalangan Yahudi kuno
(juga pada zaman Yesus dan jemaat Kristen perdana) diakui sebagai
kanonis. Tradisi kanonisasi Yunani pada awalnya mempunyai wibawa di
kalangan umat Yahudi, tetapi setelah tradisi ini dipegang oleh jemaat
Kristen perdana dan setelah kanonisasi di Yamnia, maka tradisi
kanonisasi Yunani tidak lagi diakui oleh umat Yahudi.
Tradisi kanonisasi ini kemudian diambil alih atau diteruskan oleh Hieronimus dalam menyusun Vulgata. Gereja Katolik
mengakui tradisi ini. Jumlah kitab yang diakui sebagai kanonik adalah
46 kitab. Jumlah ini 7 kitab lebih banyak dari tradisi Protestan, yaitu:
Kitab Tobit, Yudit, 1 dan 2 Makabe, Kebijaksanaan Salomo, Yesus Sirakh, Surat Barukh, dan Tambahan-tambahan pada Kitab Ester, Daniel, dan Tawarikh). Tujuh kitab ini disebut dalam tradisi Katolik sebagai “Deuterokanonika”, sementara ke-39 kitab Ibrani disebut sebagai Protokanonika. Kitab-kitab ini oleh kalangan Protestan dahulu disebut “Apokrif”. Menurut Luther kitab-kitab ini baik dan berguna untuk dibaca, tetapi tidak dapat dianggap sebagai kitab suci.
3. Bahasa Kitab Perjanjian Lama
Kitab Perjanjian Lama sebagian besar ditulis dalam bahasa Ibrani dan ada beberapa bagian ditulis dalam bahasa Aram. Sebagian kecil yang ditulis dalam bahasa Aram tersebut terdapat dalam kitab Daniel dan Ezra.
4. Komposisi Perjanjian Lama
- Eneateukh
- Tetrateukh
- Karya Sejarah Deuteronomis
- Pentateukh & Kitab Nabi-Nabi Awal
- Kitab Nabi-Nabi Akhir
- Kitab-Kitab
5. Pranala luar
- (Indonesia) Ilmu bumi Perjanjian Lama
- (Indonesia) Zaman di antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar