Krisis finansial Asia adalah krisis finansial yang dimulai pada Juli 1997 di Thailand, dan memengaruhi mata uang, bursa saham dan harga aset lainnya di beberapa negara Asia, sebagian Macan Asia Timur. Peristiwa ini juga sering disebut krisis moneter ("krismon") di Indonesia.
Indonesia, Korea Selatan dan Thailand adalah negara yang paling parah terkena dampak krisis ini. Hong Kong, Malaysia dan Filipina juga terpengaruh. Daratan Tiongkok, Taiwan dan Singapura hampir tidak terpengaruh. Jepang tidak terpengaruh banyak tapi mengalami kesulitan ekonomi jangka panjang.
1. Sejarah
Sampai 1996, Asia menarik hampir setengah dari aliran modal negara berkembang. Tetapi, Thailand, Indonesia dan Korea Selatan memiliki "current account deficit" dan perawatan kecepatan pertukaran pegged
menyemangati peminjaman luar dan menyebabkan ke keterbukaan yang
berlebihan dari risiko pertukaran valuta asing dalam sektor finansial
dan perusahaan.
Pelaku ekonomi telah memikirkan akibat Daratan Tiongkok pada ekonomi
nyata sebagai faktor penyumbang krisis. RRT telah memulai kompetisi
secara efektif dengan eksportir Asia lainnya terutaman pada 1990-an setelah penerapan reform orientas-eksport. Yang paling penting, mata uang Thailand dan Indonesia adalah berhubungan erat
dengan dollar, yang naik nilainya pada 1990-an. Importir Barat mencari
pemroduksi yang lebih murah dan menemukannya di Tiongkok yang biayanya
rendah dibanding dollar.
Krisis Asia dimulai pada pertengahan 1997
dan memengaruhi mata uang, pasar bursa dan harga aset beberapa ekonomi
Asia Tenggara. Dimulai dari kejadian di Amerika Selatan, investor Barat
kehilangan kepercayaan dalam keamanan di Asia Timur dan memulai menarik
uangnya, menimbulkan efek bola salju.
Banyak pelaku ekonomi, termasuk Joseph Stiglitz dan Jeffrey Sachs,
telah meremehkan peran ekonomi nyata dalam krisis dibanding dengan
pasar finansial yang diakibatkan kecepatan krisis. Kecepatan krisis ini
telah membuat Sachs dan lainnya untuk membandingkan dengan pelarian bank klasik yang disebabkan oleh shock risiko
yang tiba-tiba. Sach menunjuk ke kebijakan keuangan dan fiskal yang
ketat yang diterapkan oleh pemerintah pada saat krisis dimulai,
sedangkan Frederic Mishkin menunjuk ke peranan informasi asimetrik
dalam pasar finansial yang menuju ke "mental herd" di antara investor
yang memperbesar risiko yang relatif kecil dalam ekonomi nyata. Krisis
ini telah menimbulkan keinginan dari pelaksana ekonomi perilaku tertarik di psikologi pasar.
2. Thailand
pertukaran uang Baht-dollar |
Dari 1985 ke 1995, Ekonomi Thailand tumbuh rata-rata 9%. Pada 14 May dan 15 May 1997, mata uang baht, terpukul oleh serangan spekulasi besar. Pada 30 Juni, Perdana Mentri Chavalit Yonchaiyudh berkata bahwa dia tidak akan mendevaluasi baht, tetapi administrasi Thailand akhirnya mengambangkan mata uang lokal tersebut pada 2 Juli.
Pada 1996, "dana hedge
Amerika telah menjual $400 juta mata uang Thai. Dari 1985 sampai 2 Juli
1997, baht dipatok pada 25 kepada dolar. Baht jatuh tajam dan hilang
setengah harganya. Baht jatuh ke titik terendah di 56 ke dolar pada
Januari 1998. Pasar saham Thailand jatuh 75% pada 1997. Finance One, perusahaan keuangan Thailand terbesar bangkrut. Pada 11 Agustus, IMF
membuka paket penyelamatan dengan lebih dari 16 miliar dolar AS
(kira-kira 160 trilyun Rupiah). Pada 20 Agustus IMF menyetujui, paket
"bailout" sebesar 3,9 miliar dolar AS.
3. Filipina
Bank sentral Filipina menaikkan suku bunga sebesar 1,75 persentasi
point pada Mei dan 2 point lagi pada 19 Juni. Thailand memulai krisis
pada 2 Juli. Pada 3 Juli, bank sentral Filipina dipaksa untuk campur
tangan besar-besaran untuk menjaga peso Filipina, menaikkan suku bunga dari 15 persen ke 24 persen dalam satu malam.
4. Hong Kong
Pada Oktober 1997, dolar Hong Kong,
yang dipatok 7,8 ke dolar AS, mendapatkan tekanan spekulatif karena
inflasi Hong Kong lebih tinggi dibanding AS selama bertahun-tahun.
Pejabat keuangan menghabiskan lebih dari US$1 miliar untuk
mempertahankan mata uang lokal. Meskipun adanya serangan spekulasi, Hong Kong masih dapat mengatur mata uangnya dipatok ke dolar AS. Pasar saham menjadi tak stabil, antara 20 sampai 23 Oktober, Index Hang Seng menyelam 23%. Otoritas Moneter Hong Kong berjanji melindungi mata uang. Pada 15 Agustus 1997, suku bunga Hong Kong naik dari 8 persen ke 23 persen dalam satu malam.
5. Korea Selatan
Korea Selatan adalah ekonomi terbesar ke-11 dunia. Dasar makroekonominya
bagus namun sektor banknya dibebani pinjaman tak-bekerja. Hutang
berlebihan menuntun ke kegagalan besar dan pengambil-alihan. Contohnya,
pada Juli, pembuat mobil ketiga terbesar Korea, Kia Motors meminta pinjaman darurat. Di awal penurunan pasar Asia, Moody's menurunkan rating kredit
Korea Selatan dari A1 ke A3 pada 28 November 1997, dan diturunkan lagi
ke Baa2 pada 11 Desember. Yang menyebabkan penurunan lebih lanjut di
saham Korea sejak jatuhnya pasar saham di November. Bursa saham Seoul
jatuh 4% pada 7 November 1997. Pada 8 November, jatuh 7%, penurunan
terbesar yang pernah tercatat di negara tersebut. Dan pada 24 November,
saham jatuh lagi 7,2 persen karena ketakutan IMF akan meminta reform
yang berat. Pada 1998, Hyundai Motor mengambil alih Kia Motors.
6. Malaysia
Pada 1997, Malaysia memiliki defisit akun mata uang besar lebih dari 6 persen dari GDP. Pada bulan Juli, ringgit Malaysia diserang oleh spekulator. Malaysia mengambangkan mata uangnya pada 17 Agustus 1997 dan ringgit jatuh secara tajam. Empat hari kemudian Standard and Poor's menurunkan rating hutang Malaysia. Seminggu kemudian, agensi rating menurunkan rating Maybank,
bank terbesar Malaysia. Di hari yang sama, Bursa saham Kuala Lumpur
jatuh 856 point, titik terendahnya sejak 1993. Pada 2 Oktober, ringgit
jatuh lagi. Perdana Mentri Mahathir bin Mohamad memperkenalkan kontrol modal. Tetapi, mata uang jatuh lagi pada akhir 1997 ketika Mahathir bin Mohamad mengumumkan bahwa pemerintah akan menggunakan 10 miliar ringgit di proyek jalan, rel dan saluran pipa.
Pada 1998, pengeluaran di berbagai sektor menurun. Sektor konstruksi
menyusut 23,5 persen, produksi menyusut 9 persen dan agrikultur 5,9
persen. Keseluruhan GDP negara ini turun 6,2 persen pada 1998. Tetapi
Malaysia merupakan negara tercepat yang pulih dari krisis ini dengan
menolak bantuan IMF.
7. Indonesia
Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti
Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus
lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih
dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.
Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketika rupiah
menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk
perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya
finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.
Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia
melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai
terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating
teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih
dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah
jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan,
penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham
Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's
menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini
menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul
pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus
menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah,
dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah,
menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan
kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat
Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur
pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak.
8. Singapura
Ekonomi Singapura
berhasil mengatur performa yang relatif sehat dibandingkan dengan
negara lain di Asia selama dan setelah krisis finansial, meskipun
hubungan erat dan ketergantungan ekonomi regional tetap membawa efek
negatif terhadap ekonominya. Tetapi, secara keseluruhan kemampuannya
menghilangkan krisis diperhatikan secara luas, dan meningkatkan
penelitian kebijakan fiskal Singapura sebagai pelajaran bagi negara
tetangganya.
Sebagai ekonomi terbuka, dolar Singapura terbuka terhadap tekanan spekulatif seperti telah terjadi pada 1985.
Ekonomi sangat penting dalam keberlangsungan Singapura sebagai negara
merdeka, pemerintah Singapura berhasil mengatur suku pertukaran mata
uangnya untuk menghindari potensi penyerangan speklulatif.
9. Tiongkok daratan
Republik Rakyat Cina tidak terpengaruh oleh krisis ini karena renminbi
yang tidak dapat ditukar dan kenyataan bahawa hampir semua investasi
luarnya dalam bentuk pabrik dan bukan bidang keamanan. Meskipun RRT
telah dan terus memiliki masalah "solvency" parah dalam sistem
perbankannya, kebanyakan deposit di bank-bank RRT adalah domestik dan
tidak ada pelarian bank.
10. Amerika Serikat dan Jepang
"Flu Asia" juga memberikan tekanan kepada Amerika Serikat dan Jepang. Ekonomi mereka tidak hancur, tetapi terpukul kuat.
Pada 27 Oktober 1997, Industri Dow Jones jatuh 554-point, atau 7,2 persen, karena kecemasan ekonomi Asia. Bursa Saham New York menunda sementara perdagangan. Krisis ini menuju ke jatuhnya konsumsi dan keyakinan mengeluarkan uang.
Jepang terpengaruh karena ekonominya berperan penting di wilayah Asia. Negara-negara Asia biasanya menjalankan defisit perdagangan
dengan Jepang karena ekonomi Jepang dua kali lebih besar dari
negara-negara Asia lainnya bila dijumlahkan, dan tujuh kali lipat RRT.
Sekitar 40 persen ekspor Jepang ke Asia. Pertumbuhan nyata GDP melambat
di 1997, dari 5 persen ke 1,6 persen dan turun menjadi resesi pada 1998.
Krisis Finansial Asia juga menuntun ke kebangkrutan di Jepang.
11. Laos
Laos terpengaruh ringan oleh krisis ini dengan nilai tukar Kip dari 4700 ke 6000 terhadap satu dolar AS.
12. Konsekuensi
Krisis Asia berpengaruh ke mata uang, pasar saham, dan harga aset
lainnya di beberapa negara Asia. Indonesia, Korea Selatan dan Thailand
adalah beberapa negara yang terpengaruh besar oleh krisis ini.
Krisis ekonomi ini juga menuju ke kekacauan politk, paling tercatat dengan mundurnya Suharto di Indonesia dan Chavalit Yongchaiyudh di Thailand. Ada peningkatan anti-Barat, dengan George Soros dan IMF khususnya, keluar sebagai kambing hitam.
Secara budaya, krisis finansial Asia mengakibatkan kemunduran terhadap ide adanya beberapa set "Asian value",
yaitu Asia Timur memiliki struktur ekonomi dan politik yang superior
dibanding Barat. Krisis Asia juga meningkatkan prestise ekonomi RRC.
Krisis Asia menyumbangkan ke krisis Rusia dan Brasil pada 1998, karena setelah krisis Asia bank tidak ingin meminjamkan ke negara berkembang.
Krisis ini telah dianalisa oleh para pakar ekonomi karena
perkembangannya, kecepatan, dinamismenya; dia memengaruhi belasan
negara, memiliki efek ke kehidupan berjuta-juta orang, terjadi dalam
waktu beberapa bulan saja. Mungkin para pakar ekonomi lebih tertarik
lagi dengan betapa cepatnya krisis ini berakhir, meninggalkan ekonomi
negara berkembang tak berpengaruh. Keingintahuan ini telah menimbulkan
ledakan di pelajaran tentang ekonomi finansial dan "litani" penjelasan mengapa krisis ini terjadi. Beberapa kritik menyalahkan tindakan IMF dalam krisis, termasuk oleh pakar ekonomi Bank Dunia Joseph Stiglitz.
13. Referensi
13.1. Buku
- (Inggris)(Indonesia)Berbagai Laporan Bank Dunia Mengenai Perkembangan Ekonomi Indonesia Sejak Krisis Moneter 1997
- Kaufman, GG., Krueger, TH., Hunter, WC. (1999) The Asian Financial Crisis: Origins, Implications and Solutions. Springer. ISBN 0-7923-8472-5
- Pettis, Michael (3 Januari 2001). The Volatility Machine: Emerging Economies and the Threat of Financial Collapse. Oxford University Press. ISBN 0-19-514330-2.
- Blustein, Paul (3 Januari 2001). The Chastening: Inside the Crisis that Rocked the Global Financial System and Humbled the IMF. PublicAffairs. ISBN 1-891620-81-9.
- Noland, Markus, Li-gang Liu, Sherman Robinson, and Zhi Wang. (1998) Global Economic Effects of the Asian Currency Devaluations. Policy Analyses in International Economics, no. 56. Washington, DC: Institute for International Economics.
- Pempel, T. J. (1999) The Politics of the Asian Economic Crisis. Ithaca, NY: Cornell University Press.
- Ries, Philippe. (2000) The Asian Storm: Asia's Economic Crisis Examined.
13.2. Surat kabar
- Ngian Kee Jin (March 2000). Coping with the Asian Financial Crisis: The Singapore Experience. Institute of Southeast Asian Studies. ISSN 0219-3582
- Tiwari, Rajnish (2003). Post-crisis Exchange Rate Regimes in Southeast Asia, Seminar Paper, University of Hamburg.
- Kilgour, Andrea (1999). The changing economic situation in Vietnam: A product of the Asian crisis?
- S. Radelet, J.D. Sachs, R.N. Cooper, B.P. Bosworth (1998). The East Asian Financial Crisis: Diagnosis, Remedies, Prospects. Brookings Papers on Economic Activity.
- Stiglitz, Joseph (1996). Some Lessons From The East Asian Miracle. The World Bank Research Observer.
- Weisbrot, Mark (August 2007). Ten Years After: The Lasting Impact of the Asian Financial Crisis. Center for Economic and Policy Research.
13.3. Lainnya
- The Crash (transcript only), from the PBS series Frontline
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar