Mahkamah Konstitusi |
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
1. Sejarah
1.1. Latar Belakang
Lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsel
menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat
secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif
diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu
konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ
ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusu yang
disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court).
1.2. Masa Penyusunan UUD 1945
Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding Undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisah kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan Undang-undang
bukan menguji Undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim untuk
melakukan pengujian Undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide akan pengujian Undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.
1.3. Masa Reformasi 1998
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945
yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal
24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.
1.4. Masa Pembentukan Dasar Hukum
Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78
yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang
membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI.
1.5. Masa Penetapan Hakim Konstitusi
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003,
dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara,
dilakukan rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga
negara, yaitu DPR, Presiden dan MA.
Setalah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada
masing-masing lembaga tersebut, masing-masing lebaga mengajukan tiga
calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR
mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H.
Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden
mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H.
Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.
Pada 15 Agustus 2003,
pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor
147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003.
Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja
menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
1.6. Masa Pemantapan Kelembagaan
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi
membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang
bersifat administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan
hal itu, untuk pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan
oleh Sekretaris Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan
Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap
pelaksanaan tugas konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah
satu wujudnya adalah Kepala Biro Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustsus 2003 hingga 31 Desember 2003. Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif. Dalam perkembangganya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban
tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi
yustisial. Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti
pendaftaran permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan
permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi,
hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan MK. Bertindak
sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK
adalah Marcel Buchari, S.H. yang di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945.
Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan
MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal
III Aturan Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-2008)
telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk.
Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang
(PUU), 10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45
perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim
konstitusi berakhir pada 16 Agustus 2008. Dalam perjalanan sebelum akhir
periode tersebut tiga hakim konstitusi berhenti karena telah memasuki
usia pensiun (berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia pensiun
hakim konstitusi adalah 67 tahun), yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad
Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh Prof. DR. Mohammad Mahfud MD.,
S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H. yang posisinya diganti
oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang
kedudukannya diganti oleh DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum.
Tiga nama yang baru menggantikan tersebut sekaligus meneruskan
jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H.
Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR.
Achmad Sodiki, S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang
diajukan Presiden. Kemudian Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk
yang kedua kali) dan Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan
DPR. Sementara MA mengajukan kembali Maruarar Siahaan, S.H. yang
sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode pertama. Dengan
demikian di periode kedua MK terdapat tina nama lama dan enam nama baru.
Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi yang berlaku efektif mulai
tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H., MCL. yang
mengucapkan sumpah pada tanggal 24 Mare 2009, sedangkan Prof. H. Abdul
Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari
2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H.,
M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan
sumpah pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim konstitusi
inilah yang sekarang menjalankan tuga-stuga konstitusional Mahkamah
Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara
pada 16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan
pelayanan dan dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi.
Demikian pula belum ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim
Konstitusi. Pada saat itu, alamat surat menyurat menggunakan nomor
telepon seluler Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan
tugas-tugas Hakim Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi prioritas
untuk diselesaikan dengan segera. Setelag melalui pembahasan di kalangan
Hakim Konstitusi, akhirnya diputuskan dua hal.
Gedung Mahkamah Kontitusi pada malam hari. |
Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR untuk
memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga administrasi
justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di
Jalan KS. Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor sementara.
Tidak lama kemudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di
gedung Plaza Centris di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta
Selatan, tepatnya di lantai 4 dan lantai 12A. Namun demikian, ruangan
yang tersedia bagi MK di Plaza Centris masih jauh dari memadai. Karena
keterbatasan ruang tersebut, para pegawai MK berkantor di lahan parkir
kendaraan yang disulap menjadi ruang kantor modern. Seiring dengan itu,
Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar sebagai Plt. Sekjen pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1 Oktober 2003 menangkan Marcel Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.
Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan saran masih menjadi
persoalan bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza Centris,
MK harus meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR,
salah satu ruang di Mabes Polri dan salah satu ruang di Kantor RRI
sebagai ruang sidang karena belum memiliki ruang sidang yang
representatif. Hal ini tentu saja menjadi hambatan bagi mobilitas kerja
para Hakim Konstitusi sekaligus ironi bagi lembaga negara sekaliber MK
yang mengawal konstitusi sebagai hukum tertinggi di negeri ini. Karena
itu, ketika merumuskan Cerak Biru "Membangun Mahkamah Konstitusi sebagai
Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya", gagasan
pembangunan gedung MK mendapat penekanan tersendiri.
Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta
Pusat milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada
tahun 2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di kantor sendiri.
Meski demikian, ruangan dan fasilitas yang tersedia di gedung tersebut
masih belum memadai, terutama ketika MK harus menangani perkara yang
menumpuk dan membutuhkan peralatan-peralatan canggih sebagaimana terjadi
pada Pemilu 2004. Ketika melakukan pemeriksaan perkara perselisihan
hasil pemilihan umum Legislatif 2004, ruang persidangan yang ada di
gdung MK tidak mencukupi sehingga MK meminjam ruang di gedung RRI yang
terletak tidak jauh dari kantor MK. Begitu juha ketika haru menggelar
persidangan jarak jauh, MK harus meminjam ruang dan fasilitas
teleconference di Ma
2. Kewajiban dan wewenang
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahNya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah
Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain
Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan,
sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara
tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945.[1]
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UUD 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, berdasarkan Pasal
7 ayat (1) sampai dengan (5) dan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 yang
ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24/2003, kewajiban Mahkamah
Konstitusi adalah memberikan keputusan atas pendapat DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau
perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.[2]
3. Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi
untuk masa jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang
diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim
Konstitusi sendiri adalah 5 tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan
kedua Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum
waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006
dengan Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Maerzuki, SH. Bersama tujuh
anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga
baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan
modern dan terpercaya di Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly
sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu ikon
keberhasilan reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan
Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada
para hakim generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera
Adipradana bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini
terbentuk dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun
dengan megah dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan
gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour. Pada 19 Agustus 2008,
Hakim Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013),
melakukan pemilihan untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3
tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar
sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan
Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH mengunduran diri dari anggota
MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas
Indonesia.
4. Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5
tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:[3]
- Mohammad Mahfud MD (Ketua)
- Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009)
- Maria Farida Indrati
- Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan (2008-2009)
- Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008-2009)
- Muhammad Alim
- Achmad Sodiki
- Muhammad Arsyad Sanusi
- Muhammad Akil Mochtar
Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru, yakni Hamdan Zoelva yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar dan Fadlil Sumadi yang menggantikan Maruarar Siahaan.
4.1. Daftar Hakim Konstitusi
Berikut adalah nama-nama yang pernah menduduki jabatan hakim konstitusi :- Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H.
- Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.
- I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
- Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M.
- Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.
- DR. Harjono, S.H., MCL.
- Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H.
- Soedarsono, S.H.
- Maruarar Siahaan, S.H.
- Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H.
- DR. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum.
- DR. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum.
- Prof. DR. Achmad Sodiki, S.H.
- Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H.
- Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H.
- DR. Harjono, S.H., MCL.
- DR. Hamdan Zoelva, S.H., M.H.
- Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
5. Susunan Organisasi
5.1. Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan
dukungan administrasi umum kepada para hakim konstitusi. Sekretaris
Jenderal dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan di bawahnya
terdapat empar biro dan satu pusat, yaitu :
- Bagian Perencanaan
- Subbagian Program dan Anggaran
- Subbagian Evaluasi dan Laporan
- Bagian Keuangan
- Subbagian Kas
- Subbagian Akuntansi dan Verifikasi
- Bagian Tata Usaha
- Subbagian Persuratan
- Subbagian Arsip dan Dokumentasi
- Bagian Kepegawaian
- Subbagian Tata Usaha
- Subbagian Pembinaan dan Pengembangan Pegawai
- Bagian Perlengkapan
- Subbagian Pengadaan, Penyimpanan dan Inventarisasi
- Subbagian Rumah Tangga
- Bagian Hubungan Masyarakat
- Subbagian Hubungan Antar Lembaga dan Masyarakat
- Subbagian Media Massa
- Bagian Protokol dan Tata Usaha Pimpinan
- Subbagian Protokol
- Subbagian Tata Usaha Pimpinan
- Bagian Administrasi Perkara
- Subbagian Registrasi
- Subbagian Penyusunan Kaidah Hukum dan Dokumentasi Perkara
- Bagian Persidangan
- Subbagian Pelayanan Persidangan
- Subbagian Pemanggilan
- Bagian Pelayanan Risalah dan Putusan Perkara
- Subbagian Pelayanan Risalah dan Pelayanan Putusan
5.2. Kepaniteraan
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang
administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri dari
sejumlah jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting
unit hakim konstitusi dalam penanganan perkara di MK.
6. Persidangan
6.1. Sidang Panel
Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri dari tiga orang hakim
konstitusi yang diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan
pendahuluan. Persidangan ini diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan
hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim konstitusi dapat memberi nasihat
perbaikan permohonan.
6.2. Rapat Permusyawaratan Hakim
Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH) bersipat tertutup dan
rahasia. Rapat ini hanya dapat diikuti oleh Hakim konstitusi dan
Panitera. Dalam rapat inilah perkara dibahas secara mendalam dan rinci
serta putusan MK diambil yang harus dihadiri sekurang-kurangnya tujuh
hakim konstitusi. Pada saat RPH, Panitera mencatat dan merekam setiap
pokok bahasan dan kesimpulan.
6.3. Sidang Pleno
Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim
konstitusi minimal dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi. Persidangan ini
dilakukan terbuka untuk umum dengan agenda pemeriksaan persidangan atau
pembacaan putusan. Pemeriksaan persidangan meliputi mendengarkan
pemohon, keterangan saksi, ahli dan pihak terkait serta memeriksa
alat-alat bukti.
7. Anggaran
Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman, pelaksanaan
tugas-tugas MK berikut aktivitas dukungan yang diberikan oleh
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK dibiayai oleh Anggaaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dalam setiap tahunnya, MK mendapat
anggaran berdasarkan Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau
Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan
Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan MK tahun
anggaran 2006. Kemudian pada laporan keuangan tahun 2007, 2008 dan 2009 MK kembali meraih predikat WTP berturut-turut dari BPK.
8. Referensi
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar