Zainul Arifin |
Kiai Haji Zainul Arifin (lahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909 – meninggal di Jakarta, 2 Maret 1963 pada umur 53 tahun) adalah seorang politisi Nahdlatul Ulama (NU) terkemuka yang sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi kepemudaan NU, GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960 - 1963.
1. Riwayat hidup
1.1. Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan
Zainul Arifin lahir sebagai anak tunggal dari keturunan raja
Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan
dengan perempuan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru
Nasution. Ketika Zainul masih balita kedua orangtuanya bercerai dan ia
dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci, Jambi. Di
sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah calon guru, Normal School.
Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di Madrasah di
surau dan saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin
juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara
musikal melayu, Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain
biola. Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung
sandiwara modern Indonesia. Dalam usia 16 tahun Zainul merantau ke
Batavia (Jakarta).
1.2. Dari Gemeente ke GP Ansor
Berbekal ijazah HIS Arifin diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente)
sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan Jakarta
Pusat. Di sana ia sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya
terkena PHK saat resesi global yang bermula di AS dan berdampak hingga
ke wilayah Hindia Belanda. Keluar dari gemeente Arifin kemudian
memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan pula balai
pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis
(Jatinegara sekarang). Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi
masyarakat Betawi yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu,
pengacara tanpa latar belakang pendidikan Hukum namun menguasai Bahasa
Belanda. Selain itu ia pun aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara
musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu, Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok samrah bernama Tonil Zainul.
Dari kegiatan kesenian ini ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab
bersahabat dengan tokoh perfilman nasional, Jamaluddin Malik yang kala
itu juga bergiat dalam kegiatan Samrah. Kedua mereka kemudian bergabung
dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang ketika itu memang aktif merekrut
tenaga-tenaga muda.
Selama menjadi anggota GP Ansor inilah Arifin kemudian semakin
meningkatkan pengetahuan agama dan ketrampilan berdakwahnya sebagai
muballigh muda lewat pelatihan-pelatihan khas Ansor. Kepiawaian Zainul
dalam berpidato, berdebat dan berdakwah ternyata menarik perhatian
tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk Ansor termasuk: Wahid
Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid. Hanya dalam
beberapa tahun saja, Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU
Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia. dan
bekerja di perusahaan air minum (PAM) pemerintah kotapraja (gemeente).
Di kota ini ia juga sempat menjadi guru sekolah di daerah-daerah
Jatinegara dan Bukit Duri Tanjakan. Selain itu Arifin pernah pula
menjalani profesi pokrol bambu, pengacara bumiputra yang tidak
memerlukan pendidikan hukum formal. Tahun 1930-an
ia mulai bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor dan beberapa tahun
kemudian sudah aktif di organisasi induk NU, mula-mula sebagai Ketua
Cabang Jatinegara dan akhirnya diamanahi sebagai ketua Majelis Konsul NU
Jakarta hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.
1.3. Menjadi Panglima Hizbullah Masyumi
Selama era pendudukan militer Jepang, Zainul Arifin ikut mewakili NU
dalam kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan
terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah.
Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi
Islam (utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam
pemerintahan di bawah pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin
ditugaskan untuk membentuk model kepengurusan tonarigumi, cikal
bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian dibentuk pula hingga
ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik
semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi
militer rakyat. Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi
membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima
Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi
militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan perang
guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
1.4. Paska Proklamasi Kemerdekaan
Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja
Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil
terus memegang tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi
pasukan bersenjata. Selama masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang
BP KNIP yang berpindah-pindah tempat karena kegawatan situasi, Arifin
juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah
dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. Dalam memimpin Laskar
Hizbullah Zainul menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga yang
dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi
Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan
Yogyakarta dan menawan Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP
praktis tidak berfungsi. Arifin lantas terlibat sebagai anggota
Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan
Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi,
Sumatera Barat.
Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan
yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman.
Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah
Tentara Nasional Indonesia, Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai
Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun akhirnya, ketika banyak mantan
anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi
anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan
Madrasah, ia memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan
perjuangan sipil di jalur politik.
1.5. Berkiprah di Legislatif dan Eksekutif
Setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949,
Zainul Arifin kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS
dan kemudian wakil Partai NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis
ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952. Setahun sesudahnya, Arifin
berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil perdana
menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua
tahun penuh (1953-1955).
Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri
(sebelumnya NU selalu hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja)
dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin sebagai tokoh NU pertama
menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri sukses menyelenggarakan
Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul
berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama
Presiden Sukarno. Di sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh
Raja Arab Saudi, Raja Saud. Sekembalinya dari sana Zainul merupakan
salah satu tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam
"tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi NU di DPR
meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen
sebagai wakil ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili
NU dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Sukarno
lewat dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru.
Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era
Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri
Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis,
Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak
ingin Partai Komunis Indoesia (PKI) berkembang di Indonesia.
1.6. Salat Id Berdarah
Dalam situasi politik yang semakin memanas di seluruh negeri, Sukarno
sempat bersitegang dengan DPR hingga akhirnya Presiden membubarkan
lembaga perwakilan rakyat hasil pemilu tersebut dan membentuk DPR-GR
(Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Partai Islam Masyumi juga
diberangus sehingga praktis tinggal NU partai besar Islam yang tinggal.
Zainul Arifin menerima penunjukan sebagai Ketua DPRGR karena yakin untuk
mengadang gerakan komunisme di pemerintahan adalah dengan tetap berada
di dalam sistem pemerintahan yang sedang berlangsung. Hingga 14 Mei
1962, ketika sedang melakukan salat Idul Adha berjamaah sederetan dengan
Presiden di lapangan terbuka depan Istana Negara, Arifin terkena
tembakan di dadanya oleh pemberontak DI/TII yang mencoba membunuh
Sukarno. Meskipun media massa dalam melaporkan kejadian itu menyatakan
Arifin hanya "terluka sangat ringan", namun nyatanya kesehatan Zainul
tidak pernah pulih sejak insiden tersebut. Berkali-kali ia keluar masuk
rumah sakit dan sepuluh bulan kemudian, tepatnya 2 Maret 1963, akhirnya
meninggal dunia setelah mengalami koma selama beberapa hari sebelumnya
karena berbagai komplikasi. Keesokan harinya di bawah guyuran hujan
lebat, jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di
Jakarta.(*)
Sumber: Biografi KH Zainul Arifin: Berdzikir Menyiasati Angin, oleh: Ario Helmy (Jakarta : Pucuk Pimpinan Taklif wan Nasyr (LTN) NU, 2009.)
Hingga menjelang penyerahan kedaulatan pada 1949 Zainul memimpin
pasukan tempur golongan Islam tersebut bergerilya di pelosok-pelosok
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI)
akhirnya menyatukan seluruh kekuatan militer Indonesia ia sempat
diangkat sebagai sekertaris pucuk pimpinan TNI sebelum akhirnya
mengundurkan diri dari dinas ketentaraaan untuk berkonsentrasi di jalur
politik sipil pada 1950.
2. Karier politik
Zainul Arifin bersama Sukarno di Mesjid Leningrad Russia 1960 |
Sejak proklamasi
kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR.
Hingga akhir hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi
dan kemudian partai NU setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952.
Hanya selama 1953-1955 ketika menjabat sebagai wakil perdana menteri
dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) Zainul terlibat
dalam badan eksekutif. Kabinet di era Demokrasi Parlementer ini sukses
menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.
Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Memasuki
era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai DPR Gotong
Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai
Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak dalam percobaannya membunuh presiden. Zainul Arifin akhirnya wafat 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama sepuluh bulan.
3. Pranala luar
- (Indonesia) Biodata pada Kepustakaan Presiden RI
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar