Bani Umayyah (bahasa Arab: بنو أمية, Banu Umayyah, Dinasti Umayyah) atau Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan sekitarnya; serta dari 756 sampai 1031 di Kordoba, Spanyol sebagai Kekhalifahan Umayyah Al-Andalus. Nama dinasti ini dirujuk kepada Umayyah bin 'Abd asy-Syams, kakek buyut dari khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan atau kadangkala disebut juga dengan Muawiyah I.
Wilayah kekuasan terluas Bani Umayyah 660–750 |
1. Masa Keemasan
Kubah Batu di Masjidil Aqsa yang dibangun Bani Ummayyah |
Masa ke-Khilafahan Bani Umayyah hanya berumur 90 tahun yaitu dimulai pada masa kekuasaan Muawiyah bin Abu Sufyan, yaitu setelah terbunuhnya Ali bin Abi Thalib, dan kemudian orang-orang Madinah membaiat Hasan bin Ali
namun Hasan bin Ali menyerahkan jabatan kekhalifahan ini kepada
Mu’awiyah bin Abu Sufyan dalam rangka mendamaikan kaum muslimin yang
pada masa itu sedang dilanda bermacam fitnah yang dimulai sejak
terbunuhnya Utsman bin Affan, pertempuran Shiffin, perang Jamal dan penghianatan dari orang-orang Khawarij dan Syi'ah,[r] dan terakhir terbunuhnya Ali bin Abi Thalib.
Pada masa Muawiyah bin Abu Sufyan perluasan wilayah yang terhenti
pada masa khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dilanjutkan
kembali, dimulai dengan menaklukan Tunisia, kemudian ekspansi ke sebelah timur, dengan menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Oxus dan Afganistan sampai ke Kabul. Sedangkan angkatan lautnya telah mulai melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium, Konstantinopel. Sedangkan ekspansi ke timur ini kemudian terus dilanjutkan kembali pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan. Abdul Malik bin Marwan mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukkan Balkanabad, Bukhara, Khawarizm, Ferghana dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan menguasai Balukhistan, Sind dan daerah Punjab sampai ke Maltan.
Ekspansi ke barat secara besar-besaran dilanjutkan di zaman Al-Walid bin Abdul-Malik.
Masa pemerintahan al-Walid adalah masa ketenteraman, kemakmuran dan
ketertiban. Umat Islam merasa hidup bahagia. Pada masa pemerintahannya
yang berjalan kurang lebih sepuluh tahun itu tercatat suatu ekspedisi
militer dari Afrika Utara menuju wilayah barat daya, benua Eropa, yaitu pada tahun 711 M. Setelah Aljazair dan Maroko dapat ditundukan, Tariq bin Ziyad, pemimpin pasukan Islam, dengan pasukannya menyeberangi selat yang memisahkan antara Maroko (magrib) dengan benua Eropa, dan mendarat di suatu tempat yang sekarang dikenal dengan nama Gibraltar (Jabal Thariq). Tentara Spanyol dapat dikalahkan. Dengan demikian, Spanyol menjadi sasaran ekspansi selanjutnya. Ibu kota Spanyol, Cordoba, dengan cepatnya dapat dikuasai. Menyusul setelah itu kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo yang dijadikan ibu kota Spanyol yang baru setelah jatuhnya Cordoba. Pasukan Islam
memperoleh kemenangan dengan mudah karena mendapat dukungan dari rakyat
setempat yang sejak lama menderita akibat kekejaman penguasa.
Di zaman Umar bin Abdul-Aziz, serangan dilakukan ke Perancis melalui pegunungan Pirenia. Serangan ini dipimpin oleh Aburrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Bordeaux, Poitiers. Dari sana ia mencoba menyerang Tours. Namun, dalam peperangan yang terjadi di luar kota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol. Disamping daerah-daerah tersebut di atas, pulau-pulau yang terdapat di Laut Tengah (mediterania) juga jatuh ke tangan Islam pada zaman Bani Umayyah ini.
Dengan keberhasilan ekspansi ke beberapa daerah, baik di timur maupun
barat, wilayah kekuasaan Islam masa Bani Umayyah ini betul-betul sangat
luas. Daerah-daerah itu meliputi Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Jazirah Arab, Irak, sebagian Asia Kecil, Persia, Afganistan, daerah yang sekarang disebut Pakistan, Turkmenistan, Uzbekistan, dan Kirgistan di Asia Tengah.
Disamping ekspansi kekuasaan Islam, Bani Umayyah juga banyak berjasa
dalam pembangunan di berbagai bidang. Muawiyah bin Abu Sufyan mendirikan
dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang
lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha
menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya,
jabatan khusus seorang hakim (qadhi) mulai berkembang menjadi profesi
tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Abdul Malik bin
Marwan mengubah mata uang Bizantium dan Persia
yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia
mencetak uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab
sebagai bahasa resmi administrasi pemerintahan Islam. Keberhasilan ini
dilanjutkan oleh puteranya Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M)
meningkatkan pembangunan, diantaranya membangun panti-panti untuk orang
cacat, dan pekerjanya digaji oleh negara secara tetap. Serta membangun
jalan-jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya,
pabrik-pabrik, gedung-gedung pemerintahan dan masjid-masjid yang megah.
Meskipun keberhasilan banyak dicapai daulah ini, namun tidak berarti
bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Pada masa Muawiyah bin
Abu Sufyan inilah suksesi kekuasaan bersifat monarchiheridetis
(kepemimpinan secara turun temurun) mulai diperkenalkan, dimana ketika
dia mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap
anaknya, yaitu Yazid bin Muawiyah. Muawiyah bin Abu Sufyan dipengaruhi oleh sistem monarki yang ada di Persia dan Bizantium, istilah khalifah tetap digunakan, namun Muawiyah bin Abu Sufyan memberikan interprestasi sendiri dari kata-kata tersebut dimana khalifah Allah dalam pengertian penguasa yang diangkat oleh Allah.
Dan kemudian Muawiyah bin Abu Sufyan dianggap tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan bin Ali
ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian
kepemimpinan diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi
pengangkatan anaknya Yazid bin Muawiyah
sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di
kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa
kali dan berkelanjutan.
Ketika Yazid bin Muawiyah naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid bin Muawiyah kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husain bin Ali Ibnul Abu Thalib dan Abdullah bin Zubair Ibnul Awwam. Bersamaan dengan itu, kaum Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’ al-Yahudi) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali, dan menghasut Husain bin Ali melakukan perlawanan.
Husain bin Ali sendiri juga dibait sebagai khalifah di Madinah,
Pada tahun 680 M, Yazid bin Muawiyah mengirim pasukan untuk memaksa
Husain bin Ali untuk menyatakan setia, Namun terjadi pertempuran yang
tidak seimbang yang kemudian hari dikenal dengan Pertempuran Karbala[1], Husain bin Ali terbunuh, kepalanya dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya dikubur di Karbala sebuah daerah di dekat Kufah.
Kelompok Syi'ah sendiri bahkan terus melakukan perlawanan dengan lebih gigih dan diantaranya adalah yang dipimpin oleh Al-Mukhtar di Kufah
pada 685-687 M. Al-Mukhtar (yang pada akhirnya mengaku sebagai nabi)
mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali (yaitu umat Islam
bukan Arab, berasal dari Persia, Armenia
dan lain-lain) yang pada masa Bani Umayyah dianggap sebagai warga
negara kelas dua. Namun perlawanan Al-Mukhtar sendiri ditumpas oleh
Abdullah bin Zubair yang menyatakan dirinya secara terbuka sebagai
khalifah setelah Husain bin Ali terbunuh. Walaupun dia juga tidak
berhasil menghentikan gerakan Syi'ah secara keseluruhan.
Abdullah bin Zubair membina kekuatannya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid bin Muawiyah. Tentara Yazid bin Muawiyah kembali mengepung Madinah dan Mekkah.
Dua pasukan bertemu dan pertempuran pun tak terhindarkan. Namun,
peperangan ini terhenti karena taklama kemudian Yazid bin Muawiyah wafat
dan tentara Bani Umayyah kembali ke Damaskus.
Perlawanan Abdullah bin Zubair baru dapat dihancurkan pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang kemudian kembali mengirimkan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dan berhasil membunuh Abdullah bin Zubair pada tahun 73 H/692 M.
Setelah itu gerakan-gerakan lain yang dilancarkan oleh kelompok Khawarij dan Syi'ah
juga dapat diredakan. Keberhasilan ini membuat orientasi pemerintahan
Bani Umayyah mulai dapat diarahkan kepada pengamanan daerah-daerah
kekuasaan di wilayah timur (meliputi kota-kota di sekitar Asia Tengah) dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol (Al-Andalus). Selanjuytnya hubungan pemerintah dengan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz
(717-720 M), dimana sewaktu diangkat sebagai khalifah, menyatakan akan
memperbaiki dan meningkatkan negeri-negeri yang berada dalam wilayah Islam
agar menjadi lebih baik daripada menambah perluasannya, dimana
pembangunan dalam negeri menjadi prioritas utamanya, meringankan zakat,
kedudukan mawali disejajarkan dengan muslim Arab. Meskipun masa pemerintahannya sangat singkat, namun berhasil menyadarkan golongan Syi'ah, serta memberi kebebasan kepada penganut agama lain untuk beribadah sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.
2. Penurunan
Sepeninggal Umar bin Abdul-Aziz, kekuasaan Bani Umayyah dilanjutkan oleh Yazid bin Abdul-Malik
(720- 724 M). Masyarakat yang sebelumnya hidup dalam ketenteraman dan
kedamaian, pada masa berubah menjadi kacau. Dengan latar belakang dan
kepentingan etnis politis, masyarakat menyatakan konfrontasi terhadap
pemerintahan Yazid bin Abdul-Malik cendrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan kehidupan rakyat. Kerusuhan terus berlanjut hingga masa
pemerintahan khalifah berikutnya, Hisyam bin Abdul-Malik
(724-743 M). Bahkan pada masa ini muncul satu kekuatan baru dikemudian
hari menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan
itu berasal dari kalangan Bani Hasyim
yang didukung oleh golongan mawali. Walaupun sebenarnya Hisyam bin
Abdul-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi,
karena gerakan oposisi ini semakin kuat, sehingga tidak berhasil
dipadamkannya.
Setelah Hisyam bin Abdul-Malik
wafat, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil berikutnya bukan
hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini semakin memperkuat
golongan oposisi. Dan akhirnya, pada tahun 750 M, Daulah Umayyah
digulingkan oleh Bani Abbasiyah yang merupakan bahagian dari Bani Hasyim itu sendiri, dimana Marwan bin Muhammad,
khalifah terakhir Bani Umayyah, walaupun berhasil melarikan diri ke
Mesir, namun kemudian berhasil ditangkap dan terbunuh di sana. Kematian
Marwan bin Muhammad menandai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah di timur
(Damaskus) yang digantikan oleh Daulah Abbasiyah, dan dimulailah era
baru Bani Umayyah di Al-Andalus.
3. Bani Umayyah di Andalus
Al-Andalus atau (kawasan Spanyol dan Portugis sekarang) mulai ditaklukan oleh umat Islam pada zaman khalifah Bani Umayyah, Al-Walid bin Abdul-Malik (705-715 M), dimana tentara Islam yang sebelumnya telah menguasai Afrika Utara dan menjadikannya sebagai salah satu propinsi dari dinasti Bani Umayyah.
Dalam proses penaklukan ini dimulai dengan kemenangan pertama yang dicapai oleh Tariq bin Ziyad membuat jalan untuk penaklukan wilayah yang lebih luas lagi. Kemudian pasukan Islam dibawah pimpinan Musa bin Nushair juga berhasil menaklukkan Sidonia, Karmona, Seville, dan Merida serta mengalahkan penguasa kerajaan Goth, Theodomir di Orihuela, ia bergabung dengan Thariq di Toledo. Selanjutnya, keduanya berhasil menguasai seluruh kota penting di Spanyol, termasuk bagian utaranya, mulai dari Zaragoza sampai Navarre.
Gelombang perluasan wilayah berikutnya muncul pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz tahun 99 H/717 M, dimana sasaran ditujukan untuk menguasai daerah sekitar pegunungan Pirenia dan Perancis Selatan. Pimpinan pasukan dipercayakan kepada Al-Samah, tetapi usahanya itu gagal dan ia sendiri terbunuh pada tahun 102 H. Selanjutnya, pimpinan pasukan diserahkan kepada Abdurrahman bin Abdullah al-Ghafiqi. Dengan pasukannya, ia menyerang kota Bordeaux, Poitiers dan dari sini ia mencoba menyerang kota Tours, di kota ini ia ditahan oleh Charles Martel, yang kemudian dikenal dengan Pertempuran Tours, al-Ghafiqi terbunuh sehingga penyerangan ke Perancis gagal dan tentara muslim mundur kembali ke Spanyol.
Pada masa penaklukan Spanyol oleh orang-orang Islam,
kondisi sosial, politik, dan ekonomi negeri ini berada dalam keadaan
menyedihkan. Secara politik, wilayah Spanyol terkoyak-koyak dan
terbagi-bagi ke dalam beberapa negeri kecil. Bersamaan dengan itu
penguasa Goth bersikap tidak toleran terhadap aliran agama yang dianut
oleh penguasa, yaitu aliran Monofisit, apalagi terhadap penganut agama
lain, Yahudi. Penganut agama Yahudi yang merupakan bagian terbesar dari penduduk Spanyol dipaksa dibaptis menurut agama Kristen. Yang tidak bersedia disiksa, dan dibunuh secara brutal.
Buruknya kondisi sosial, ekonomi, dan keagamaan tersebut terutama
disebabkan oleh keadaan politik yang kacau. Kondisi terburuk terjadi
pada masa pemerintahan Raja Roderic, Raja Goth terakhir yang dikalahkan pasukan Muslimin. Awal kehancuran kerajaan Visigoth adalah ketika Roderic memindahkan ibu kota negaranya dari Seville ke Toledo, sementara Witiza, yang saat itu menjadi penguasa atas wilayah Toledo, diberhentikan begitu saja. Keadaan ini memancing amarah dari Oppas dan Achila, kakak dan anak Witiza. Keduanya kemudian bangkit menghimpun kekuatan untuk menjatuhkan Roderic. Mereka pergi ke Afrika Utara dan bergabung dengan kaum muslimin. Sementara itu terjadi pula konflik antara Raja Roderick dengan Ratu Julian, mantan penguasa wilayah Septah. Julian juga bergabung dengan kaum muslimin di Afrika Utara dan mendukung usaha umat Islam untuk menguasai Spanyol, Julian bahkan memberikan pinjaman empat buah kapal yang dipakai oleh Tharif, Tariq dan Musa.
Hal menguntungkan tentara Islam lainnya adalah bahwa tentara Roderic
yang terdiri dari para budak yang tertindas tidak lagi mempunyai
semangat perang, selain itu, orang Yahudi yang selama ini tertekan juga
mengadakan persekutuan dan memberikan bantuan bagi perjuangan kaum
Muslimin.
Sewaktu penaklukan itu para pemimpin penaklukan tersebut terdiri dari
tokoh-tokoh yang kuat, yang mempunyai tentara yang kompak, dan penuh
percaya diri. Yang tak kalah pentingnya adalah ajaran Islam
yang ditunjukkan para tentara Islam, yaitu toleransi, persaudaraan, dan
tolong menolong. Sikap toleransi agama dan persaudaraan yang terdapat
dalam pribadi kaum muslimin itu menyebabkan penduduk Spanyol menyambut kehadiran Islam di sana.
4. Genealogi Bani Umayyah
Umayyah pendiri Bani UmayyahHarb
Abu al-'Ash
5. Kronologi Bani Ummayyah
- 661 M- Muawiyah menjadi khalifah dan mendirikan Bani Ummayyah.
- 670 M- Perluasan ke Afrika Utara. Penaklukan Kabul.
- 677 M- Penaklukan Samarkand dan Tirmiz. Serangan ke Konstantinopel.
- 680 M- Kematian Muawiyah. Yazid I menaiki takhta. Peristiwa pembunuhan Husain.
- 685 M- Khalifah Abdul-Malik menegaskan Bahasa Arab sebagai bahasa resmi.
- 700 M- Kampanye menentang kaum Barbar di Afrika Utara.
- 711 M- Penaklukan Spanyol, Sind, dan Transoxiana.
- 713 M- Penaklukan Multan.
- 716 M- Serangan ke Konstantinopel.
- 717 M- Umar bin Abdul-Aziz menjadi khalifah. Reformasi besar-besaran dijalankan.
- 725 M- Tentara Islam merebut Nimes di Perancis.
- 749 M- Kekalahan tentara Ummayyah di Kufah, Iraq terhadap tentara Abbasiyyah.
- 750 M- Damsyik direbut oleh tentara Abbasiyyah. Kejatuhan Kekhalifahan Bani Ummaiyyah.
- 756 M- Abdurrahman Ad-Dakhil menjadi khalifah Muslim di Kordoba.Memisahkan diri dari Abbasiyyah.
5.1. Kekhalifahan Utama di Damaskus
- Muawiyah I bin Abu Sufyan, 41-61 H / 661-680 M
- Yazid I bin Muawiyah, 61-64 H / 680-683 M
- Muawiyah II bin Yazid, 64-65 H / 683-684 M
- Marwan I bin al-Hakam, 65-66 H / 684-685 M
- Abdullah bin Zubair bin Awwam, (peralihan pemerintahan, bukan Bani Umayyah).
- Abdul-Malik bin Marwan, 66-86 H / 685-705 M
- Al-Walid I bin Abdul-Malik, 86-97 H / 705-715 M
- Sulaiman bin Abdul-Malik, 97-99 H / 715-717 M
- Umar II bin Abdul-Aziz, 99-102 H / 717-720 M
- Yazid II bin Abdul-Malik, 102-106 H / 720-724 M
- Hisyam bin Abdul-Malik, 106-126 H / 724-743 M
- Al-Walid II bin Yazid II, 126-127 H / 743-744 M
- Yazid III bin al-Walid, 127 H / 744 M
- Ibrahim bin al-Walid, 127 H / 744 M
- Marwan II bin Muhammad (memerintah di Harran, Jazira), 127-133 H / 744-750 M
5.2. Keamiran di Kordoba
- Abdur-rahman I, 756-788
- Hisyam I, 788-796
- Al-Hakam I, 796-822
- Abdur-rahman II, 822-888
- Abdullah bin Muhammad, 888-912
- Abdur-rahman III, 912-929
5.3. Kekhalifahan di Kordoba
- Abdur-rahman III, 929-961
- Al-Hakam II, 961-976
- Hisyam II, 976-1008
- Muhammad II, 1008-1009
- Sulaiman, 1009-1010
- Hisyam II, 1010-1012
- Sulaiman, dikembalikan, 1012-1017
- Abdur-rahman IV, 1021-1022
- Abdur-rahman V, 1022-1023
- Muhammad III, 1023-1024
- Hisyam III, 1027-1031
6. Referensi
- Britannica Encyclopedia, Battle of Karbalāʾ
- HODGSON, Marshall G.S.; THE VENTURE OF ISLAM, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. Jakarta: PARAMADINA, 1999. ISBN 979-8321-32-4
7. Buku Pedoman
- Al-Bidaayah Wan Nihaayah, Ibn Katsir.
- Tarikh Khulafa', As-Suyuthi.
- Tarikh Bani Umayyah, Al-Mamlakah Su'udiyyah.
- Tarikh Islamy, Ibn Khaldun.
- Sejarah Bani Umayyah, Muhammad Syu'ub, Penerbit PT.Bulan Bintang.
8. Terkait
- Khalifah
- Bani Abbasiyah
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar