Khulafaur Rasyidin (bahasa Arab: الخلفاء الراشدون) atau Khalifah Ar-Rasyidin adalah empat orang khalifah (pemimpin) pertama agama Islam, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Nabi Muhammad setelah ia wafat. Empat orang tersebut adalah para sahabat dekat Muhammad
yang tercatat paling dekat dan paling dikenal dalam membela ajaran yang
dibawanya di saat masa kerasulan Muhammad. Keempat khalifah tersebut
dipilih bukan berdasarkan keturunannya, melainkan berdasarkan konsensus
bersama umat Islam[1]
Sistem pemilihan terhadap masing-masing khalifah tersebut berbeda-beda, hal tersebut terjadi karena para sahabat menganggap tidak ada rujukan yang jelas yang ditinggalkan oleh Nabi Muhammad tentang bagaimana suksesi kepemimpinan Islam akan berlangsung. Namun penganut paham Syi'ah meyakini bahwa Muhammad dengan jelas menunjuk Ali bin Abi Thalib,
khalifah ke-4 bahwa Muhammad menginginkan keturunannyalah yang akan
meneruskan kepemimpinannya atas umat Islam, mereka merujuk kepada salah
satu Hadits Ghadir Khum[r].
Secara resmi istilah Khulafaur Rasyidin merujuk pada empat orang khalifah pertama Islam, namun sebagian ulama menganggap bahwa Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang memperoleh petunjuk
tidak terbatas pada keempat orang tersebut di atas, tetapi dapat
mencakup pula para khalifah setelahnya yang kehidupannya benar-benar
sesuai dengan petunjuk al-Quran dan Sunnah Nabi. Salah seorang yang oleh kesepakatan banyak ulama dapat diberi gelar khulafaur rasyidin adalah Umar bin Abdul-Aziz, khalifah Bani Umayyah ke-8[r].
Isi
|
1. Abu Bakar
Abu Bakar ash-Shiddiq (573 - 634 M, menjadi khalifah 632 - 634 M) lahir dengan nama Abdus Syams, adalah khalifah pertama Islam setelah kematian Muhammad. Ia adalah salah seorang petinggi Mekkah dari suku Quraisy. Setelah memeluk Islam namanya diganti oleh Muhammad menjadi Abu Bakar. Ia digelari Ash- Shiddiq yang berarti yang terpercaya setelah ia menjadi orang pertama yang mengakui peristiwa Isra' Mi'raj.
Ia juga adalah orang yang ditunjuk oleh Muhammmad untuk menemaninya hijrah ke Yatsrib.
Ia dicatat sebagai salah satu Sahabat Muhammad yang peling setia dan
terdepan melindungi para pemeluk Islam bahkan terhadap sukunya sendiri.
Ketika Muhammad sakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk olehnya untuk menggantikannya menjadi Imam dalam Salat.
Hal ini menurut sebagian besar ulama merupakan petunjuk dari Nabi
Muhammad agar Abu Bakar diangkat menjadi penerus kepemimpinan Islam,
sedangkan sebagian kecil kaum Muslim saat itu, yang kemudian membentuk
aliansi politik Syiah, lebih merujuk kepada Ali bin Abi Thalib karena ia
merupakan keluarga Nabi. Setelah sekian lama perdebatan akhirnya
melalui keputusan bersama umat islam saat itu, Abu Bakar diangkat
sebagai pemimpin pertama umat islam setelah wafatnya Muhammad. Abu Bakar
memimpin selama dua tahun dari tahun 632 sejak kematian Muhammad hingga
tahun 634 M.
Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat Arab di
bawah Islam mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan
penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil
memperluas daerah kekuasaan islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia
meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan
dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa
Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa
perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wasallam, dengan sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wasallam wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap
keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan
pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang
disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid
adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar,
sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam, bersifat
sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di
tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga
melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi
wasallam, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya
bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar
mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan
dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim
ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu Ubaidah ibnul
Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya
pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid yang masih berusia 18 tahun. Untuk
memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan
Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
2. Umar bin Khattab
Umar bin Khattab (586-590 - 644 M, menjadi khalifah 634 - 644 M)
adalah khalifah ke-2 dalam sejarah Islam. pengangkatan umar bukan
berdasarkan konsensus tetapi berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan
oleh Abu Bakar. Hal ini tidak menimbulkan pertentangan berarti di
kalangan umat islam saat itu karena umat Muslim sangat mengenal Umar
sebagai orang yang paling dekat dan paling setia membela ajaran Islam.
Hanya segelintir kaum, yang kelak menjadi golongan Syi'ah, yang tetap
berpendapat bahwa seharusnya Ali yang menjadi khalifah. Umar memerintah
selama sepuluh tahun dari tahun 634 hingga 644.
Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia
bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar bin
Khatthab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan
terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam.
Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang
segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya
Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan
istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama
terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun
kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh
daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria
sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn
'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandariah
(Alexandria, sekarang Istanbul),
ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh
ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq,
jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota
Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M,
Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar
Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah
Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur
administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan
wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah,
Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu
didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran
gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan
lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan
ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan
umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat
tahun hijiah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa
jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang
Zoroastrianis, budak Fanatik dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk
menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu
Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk
memilih salah seorang di antaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut
adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman
ibn 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil
menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan
Ali ibn Abi Thalib.
3. Utsman bin Affan
Utsman bin Affan (menjadi khalifah 644-655 M) adalah
khalifah ke-3 dalam sejarah Islam. Umar bin Khattab tidak dapat
memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya.
Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi
persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih pengganti sebagaimana
dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk meninggalkan wasiat
seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar menunjuk enam
orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah
baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan
bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil
direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir
masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan
umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman memang sangat berbeda dengan
kepemimpinan Umar. Ini karena fitnah dan hasutan dari Abdullah bin
Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang berpura-pura masuk islam. Ibnu
Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya
untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang baru masa
keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman dibunuh oleh kaum
pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil dihasut oleh
Abdullah bin Saba’ itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka
terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga
dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting di antaranya adalah Marwan ibn
Hakam Rahimahullah. Dialah pada dasarnya yang dianggap oleh orang-orang
tersebut yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Utsman hanya
menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk
dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan
kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah
terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan.
Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol
oleh Utsman sendiri. Itu semua akibat fitnah yang ditebarkan oleh
Abdullah bin Saba’, meskipun Utsman tercatat paling berjasa membangun
bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian
air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan,
masjid-masjid dan memperluas masjid Nabi di Madinah.
4. Ali bin Abi Thalib
Para pemberontak terus mengepung rumah Utsman. Ali memerintahkan
ketiga puteranya, Hasan, Husain dan Muhammad bin Ali al-Hanafiyah
mengawal Utsman dan mencegah para pemberontak memasuki rumah. Namun
kekuatan yang sangat besar dari pemberontak akhirnya berhasil menerobos
masuk dan membunuh Khalifah Utsman.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi
Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa
pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa
sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah
menduduki jabatan khalifah, Ali menon-aktifkan para gubernur yang
diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan
terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang
dihadiahkan Utsmankepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya
kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di
antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib menghadapi pemberontakan
Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali tidak mau menghukum para
pembunuh Utsman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman yang
telah ditumpahkan secara zhalim. Ali sebenarnya ingin sekali menghindari
perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar keduanya mau
berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan
tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat pun berkobar.
Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah dalam
pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil mengalahkan lawannya.
Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah ditawan dan dikirim
kembali ke Madinah.
Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga
mengakibatkan timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus,
Mu'awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa
kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan
pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju
Damaskus dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan
pasukan Mu'awiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal
dengan nama Perang Shiffin.
Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata
tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan
ketiga, kaum Khawarij,
orang-orang yang keluar dari barisan Ali. Akibatnya, di ujung masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga
kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah (pengikut Abdullah bin Saba’
al-yahudu) yang menyusup pada barisan tentara Ali, dan al-Khawarij
(orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak
menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Khawarij menyebabkan tentaranya
semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20
ramadhan 40 H (660 M), Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij
yaitu Abdullah bin Muljam.
5. Setelah Khulafaur Rasyidin
Kedudukan sebagai khalifah kemudian dijabat oleh purta Ali yaitu Hasan
selama beberapa bulan. Namun, karena Hasan menginginkan perdamaian dan
menghindari pertumpahan darah, maka Hasan menyerahkan jabaran
kekhalifahan kepada Mu’awiyah. Dan akhirnya penyerahan kekuasaan ini
dapat mempersatukan umat Islam kembali dalam satu kepemimpinan politik,
di bawah Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Di sisi lain, penyerahan itu juga
menyebabkan Mu'awiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun 41 H
(661 M), tahun persatuan itu, dikenal dalam sejarah sebagai tahun
jama'ah ('am jama'ah)! Dengan demikian berakhirlah masa yang disebut
dengan masa Khulafa'ur Rasyidin, dan dimulailah kekuasaan Bani Umayyah
dalam sejarah politik Islam.
Ketika itu wilayah kekuasaan Islam sangat luas. Ekspansi ke
negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaannya dalam waktu tidak
lebih dari setengah abad, merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu
bangsa yang sebelumnya tidak pernah mempunyai pengalaman politik yang
memadai. Faktor-faktor yang menyebabkan ekspansi itu demikian cepat
antara lain adalah:
- Islam, disamping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
- Dalam dada para sahabat, tertanam keyakinan tebal tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Semangat dakwah tersebut membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat Islam.
- Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu, mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
- Pertentangan aliran agama di wilayah Bizantium mengakibatkan hilangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan aliran yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan melawan Persia.
- Islam datang ke daerah-daerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya untuk masuk Islam.
- Bangsa Sami di Syria dan Palestina dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
- Mesir, Syria dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Mulai dari masa Abu Bakar sampai kepada Ali dinamakan periode
Khilafah Rasyidah. Para khalifahnya disebut al-Khulafa' al-Rasyidun,
(khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk). Ciri masa ini adalah para
khalifah betul-betul menurut teladan Nabi. Setelah periode ini,
pemerintahan Islam berbentuk kerajaan. Kekuasaan diwariskan secara turun
temurun. Selain itu, seorang khalifah pada masa khilafah Rasyidah,
tidak pernah bertindak sendiri ketika negara menghadapi kesulitan;
Mereka selalu bermusyawarah dengan pembesar-pembesar yang lain.
Sedangkan para penguasa sesudahnya sering bertindak otoriter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar