Kiai Haji Mas Mansoer (lahir di Surabaya, 25 Juni 1896 – meninggal di Surabaja, 25 April 1946 pada umur 49 tahun) adalah seorang tokoh Islam dan pahlawan nasional Indonesia.
1. Keluarga
Ibunya bernama Raudhah, seorang wanita kaya yang berasal dari
keluarga Pesantren Sidoresmo Wonokromo Surabaya. Ayahnya bernama KH. Mas
Achmad Marzoeqi, seorang pionir Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa
Timur pada masanya. Dia berasal dari keturunan bangsawan Astatinggi
Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai imam tetap dan khatib di Masjid Ampel, suatu jabatan terhormat pada saat itu.
2. Pendidikan
2.1. Nyantri pada Kyai Kholil Bangkalan
Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di
samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo, dengan Kiai
Muhammad Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur
berusia sepuluh tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren
Demangan, Bangkalan, Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur'an
dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik kepada Kiai Khalil. Belum lama
dia belajar di sana kurang lebih dua tahun, Kia Khalil meninggal dunia,
sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan pulang ke Surabaya.
2.2. Belajar di Mekkah dan Mesir
Sepulang dari Pondok Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang
tuanya disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah
pada Kiai Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas Pacitan Jawa
Timur. Setelah kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi
politik di Saudi memaksanya pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Syarif Hussen,
mengeluarkan instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah
supaya tidak terlibat sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansoer tidak
mengizinkannya ke Mesir, karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik
di mata ayahnya, yaitu sebagai tempat bersenang-senang dan maksiat.
Meskipun demikian, Mas Mansoer tetap melaksanakan keinginannya tanpa
izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan hidup karena tidak
mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya sekolah dan biaya
hidup harus dijalaninya. Oleh karena itu, dia sering berpuasa Senin dan
Kamis dan mendapatkan uang dan makanan dari masjid-masjid. Keadaan ini
berlangsung kurang lebih satu tahun, dan setelah itu orang tuanya
kembali mengiriminya dana untuk belajar di Mesir.
Di Mesir, dia belajar di Perguruan Tinggi Al-Azhar
pada Syaikh Ahmad Maskawih. Suasana Mesir pada saat itu sedang
gencar-gencarnya membangun dan menumbuhkan semangat kebangkitan
nasionalisme dan pembaharuan. Banyak tokoh memupuk semangat rakyat
Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas Mansoer juga
memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang tersebar di
media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir
selama kurang lebih dua tahun. Sebelum pulang ke tanah air, terlebih
dulu dia singgah dulu di Makkah selama satu tahun, dan pada tahun 1915
dia pulang ke Indonesia.
3. Menikah
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri
Haji Arif yaitu Siti Zakijah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya.
Dari hasil pernikahannya itu, mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu
Nafiah, Ainoerrafiq, Aminah, Mohammad Noeh, Ibrahim dan Loek-loek. Di
samping menikah dengan Siti Zakijah, dia juga menikah dengan Halimah.
Dia menjalani hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya
dua tahun, karena pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
4. Bergabung dengan Sarekat Islam
Langkah awal Mas Mansoer sepulang dari belajar di luar negeri ialah bergabung dalam Sarekat Islam.
Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di Makkah, yaitu terjadinya
pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh Oemar Said Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
5. Taswir Al-Afkar
Di samping itu, Mas Mansoer juga membentuk majelis diskusi bersama Wahab Hasboellah
yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran). Terbentuknya
majelis ini diilhami oleh Masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut
kekolotan. Masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima
pemikiran baru yang berbeda dengan tradisi yang mereka pegang. Taswir
al-Afkar merupakan tempat berkumpulnya para ulama Surabaya yang
sebelumnya mereka mengadakan kegiatan pengajian di rumah atau di surau
masing-masing. Masalah-masalah yang dibahas berkaitan dengan
masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni sampai masalah politik
perjuangan melawan penjajah.
Aktivitas Taswir al-Afkar itu mengilhami lahirnya berbagai aktivitas
lain di berbagai kota, seperti Nahdhah al-Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
yang menitikberatkan pada pendidikan. Sebagai kelanjutan Nahdhah
al-Wathan, Mas Mansur dan Abdul Wahab Hasbullah mendirikan madrasah yang
bernama Khitab al-Wathan (Mimbar Tanah Air), kemudian madrasah Ahl
al-Wathan (Keluarga Tanah Air) di Wonokromo, Far'u al-Wathan (Cabang
Tanah Air) di Gresik dan Hidayah al-Wathan (Petunjuk Tanah Air) di Jombang.
Kalau diamati dari nama yang mereka munculkan, yaitu wathan yang
berarti tanah air, maka dapat diketahui bahwa kecintaan mereka terhadap
tanah air sangat besar. Mereka berusaha mencerdaskan bangsa Indonesia
dan berusaha mengajak mereka untuk membebaskan tanah air dari belenggu
penjajah. Pemerintahan sendiri tanpa campur tangan bangsa lain itulah
yang mereka harapkan.
Taswir al-Afkar merupakan wadah yang diskusinya mau tidak mau
permasalahan yang mereka diskusikan merembet pada masalah khilafiyah,
ijtihad, dan madzhab. Terjadinya perbedaan pendapat antara Mas Mansoer
dengan Abdoel Wahab Hasboellah mengenai masalah-masalah tersebut yang menyebabkan Mas Mansoer keluar dari Taswir al-Afkar.
6. Kepenulisan
Mas Mansoer juga banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot.
Pikiran-pikiran pembaharuannya dituangkannya dalam media massa. Majalah
yang pertama kali diterbitkan bernama Soeara Santri. Kata santri
digunakan sebagai nama majalah, karena pada saat itu kata santri sangat
digemari oleh masyarakat. Oleh karena itu, Soeara Santri mendapat sukses yang gemilang. Djinem
merupakan majalah kedua yang pernah diterbitkan oleh Mas Mansoer.
Majalah ini terbit dua kali sebulan dengan menggunakan bahasa Jawa
dengan huruf Arab. Kedua majalah tersebut merupakan sarana untuk
menuangkan pikiran-pikirannya dan mengajak para pemuda melatih
mengekspresikan pikirannya dalam bentuk tulisan. Melalui majalah itu Mas
Mansoer mengajak kaum muslimin untuk meninggalkan kemusyrikan dan
kekolotan. Di samping itu, Mas Mansoer juga pernah menjadi redaktur Kawan Kita di Surabaya.
Tulisan-tulisan Mas Mansur pernah dimuat di Siaran dan Kentoengan di Surabaya; Penagandjoer dan Islam Bergerak di Jogjakarta; Pandji Islam dan Pedoman Masyarakat di Medan dan Adil di Solo. Di samping melalui majalah-majalah, Mas Mansoer juga menuliskan ide dan gagasannya dalam bentuk buku, antara lain yaitu Hadits Nabawijah; Sjarat Sjahnja Nikah; Risalah Tauhid dan Sjirik; dan Adab al-Bahts wa al-Munadlarah.
7. Kegiatan di Muhammadiyah
7.1. Mulai aktif di Muhammadiyah
Di samping aktif dalam bidang tulis-menulis, dia juga aktif dalam
organisasi, meskipun aktivitasnya dalam organisasi menyita waktunya
dalam dunia jurnalistik. Pada tahun 1921, Mas Mansoer masuk organisasi
Muhammadiyah. Aktivitas Mas Mansoer dalam Muhammadiyah membawa angin
segar dan memperkokoh keberadaan Muhammadiyah sebagai organisasi
pembaharuan. Tangga-tangga yang dilalui Mas Mansur selalu dinaiki dengan
mantap. Hal ini terlihat dari jenjang yang dilewatinya, yakni setelah
Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, kemudian menjadi Konsul Muhammadiyah
Wilayah Jawa Timur. Puncak dari tangga tersebut adalah ketika Mas
Mansur menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah pada tahun 1937-1943.
7.2. Terpilih menjadi Ketua PB Muhammadiyah
Mas Mansoer dikukuhkan sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di Jogjakarta pada bulan Oktober 1937.
Banyak hal pantas dicatat sebelum Mas Mansoer terpilih sebagai Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah. Suasana yang berkembang saat itu ialah
ketidakpuasan angkatan muda Muhammadiyah terhadap kebijakan Pengurus
Besar Muhammadiyah yang terlalu mengutamakan pendidikan, yaitu hanya
mengurusi persoalan sekolah-sekolah Muhammadiyah, tetapi melupakan
bidang tabligh (penyiaran agama Islam). Angkatan Muda Muhammadiyah saat
itu berpendapat bahwa Pengurus Besar Muhammadiyah hanya dikuasai oleh
tiga tokoh tua, yaitu KH. Hisjam (Ketua Pengurus Besar), KH. Moechtar
(Wakil Ketua), dan KH. Sjuja' sebagai Ketua Majelis PKO (Pertolongan
Kesedjahteraan Oemoem).
Situasi bertambah kritis ketika dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 di
Jogjakarta pada tahun 1937, ranting-ranting Muhammadiyah lebih banyak
memberikan suara kepada tiga tokoh tua tersebut. Kelompok muda di
lingkungan Muhammadiyah semakin kecewa. Namun setelah terjadi dialog,
ketiga tokoh tersebut ikhlas mengundurkan diri.
Setelah mereka mundur lewat musyawarah, Ki Bagoes Hadikoesoemo
diusulkan untuk menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, namun ia
yang menolak. Kiai Hadjid juga menolak ketika ia dihubungi untuk menjadi
Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah. Perhatian pun diarahkan kepada Mas
Mansoer (Konsul Muhammadiyah Daerah Surabaya). Pada mulanya Mas Mansoer
menolak, tetapi setelah melalui dialog panjang ia bersedia menjadi Ketua
Pengurus Besar Muhammadiyah.
Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua kepada kelompok muda dalam
Pengurus Besar Muhammadiyah tersebut menunjukkan bahwa Muhammadiyah saat
itu sangat akomodatif dan demokratis terhadap aspirasi kalangan muda
yang progresif demi kemajuan Muhammadiyah, bukan demi kepentingan
perseorangan. Bahkan Pengurus Besar Muhammadiyah pada periode Mas
Mansoer juga banyak didominasi oleh angkatan muda Muhammadiyah yang
cerdas, tangkas, dan progresif.
7.3. Gaya kepemimpinan
Terpilihnya Mas Mansoer sebagai Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah
meniscayakannya untuk pindah ke Jogjkarta bersama keluarganya. Untuk
menopang kehidupannya, Muhammadiyah tidak memberikan gaji, melainkan ia
diberi tugas sebagai guru di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, sehingga
ia mendapatkan penghasilan dari sekolah tersebut. Sebagai Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, Mas Mansoer juga bertindak disiplin dalam
berorganisasi. Sidang-sidang Pengurus Besar Muhammadiyah selalu diadakan
tepat pada waktunya. Demikian juga dengan para tamu Muhammadiyah dari
daerah-daerah. Berbeda dari Pengurus Besar Muhammadiyah sebelumnya yang
seringkali menyelesaikan persoalan Muhammadiyah di rumahnya
masing-masing, Mas Mansoer selalu menekankan bahwa kebiasaan seperti itu
tidak baik bagi disiplin organisasi, karena Pengurus Besar Muhammadiyah
telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan
perlengkapannya. Namun ia tetap bersedia untuk menerima silaturrahmi
para tamu Muhammadiyah dari daerah-daerah itu di rumahnya untuk urusan
yang tidak berkaitan dengan Muhammadiyah.
Kepemimpinannya ditandai dengan kebijaksanaan baru yang disebut
Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Ada duabelas langkah yang
dicanangkannya. Selain itu, Mas Mansoer juga banyak membuat gebrakan
dalam hukum Islam dan politik ummat Islam saat itu. Yang perlu untuk
pula dicatat, Mas Mansoer tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum
bank, yakni haram, tetapi diperkenankan, dimudahkan, dan dimaafkan,
selama keadaan memaksa untuk itu. Ia berpendapat bahwa secara hukum
bunga bank adalah haram, tetapi ia melihat bahwa perekonomian ummat
Islam dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, sedangkan ekonomi
perbankan saat itu sudah menjadi suatu sistem yang kuat di masyarakat.
Oleh karena itu, jika ummat Islam tidak memanfaatkan dunia perbankan
untuk sementara waktu, maka kondisi perekonomian ummat Islam akan
semakin turun secara drastis. Dengan demikian, dalam kondisi
keterpaksaan tersebut dibolehkan untuk memanfaatkan perbankan guna
memperbaiki kondisi perekonomian ummat Islam.
8. Kegiatan politik
Dalam perpolitikan ummat Islam saat itu, Mas Mansoer juga banyak
melakukan gebrakan. Sebelum menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah,
Mas Mansoer sebenarnya sudah banyak terlibat dalam berbagai aktivitas
politik ummat Islam. Setelah menjadi Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah,
ia pun mulai melakukan gebrakan politik yang cukup berhasil bagi ummat
Islam dengan memprakarsai berdirinya Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI)
bersama Hasyim Asy'ari dan Wahab Hasboellah yang keduanya dari
Nahdlatul Ulama (NU). Ia juga memprakarsai berdirinya Partai Islam
Indonesia (PII) bersama Dr. Sukiman Wiryasanjaya sebagai perimbangan
atas sikap non-kooperatif dari Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Demikian juga ketika Jepang berkuasa di Indonesia, Mas Mansoer termasuk dalam empat orang tokoh nasional yang sangat diperhitungkan, yang terkenal dengan empat serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Mas Mansur.
Keterlibatannya dalam empat serangkai mengharuskannya pindah ke
Jakarta, sehingga Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah diserahkan kepada Ki
Bagoes Hadikoesoemo. Namun kekejaman pemerintah Jepang yang luar biasa
terhadap rakyat Indonesia menyebabkannya tidak tahan dalam empat
serangkai tersebut, sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Surabaya,
dan kedudukannya dalam empat serangkai digantikan oleh Ki Bagoes
Hadikoesoemo.
9. Meninggal dunia
Ketika pecah perang kemerdekaan, Mas Mansoer belum sembuh benar dari
sakitnya. Namun ia tetap ikut berjuang memberikan semangat kepada
barisan pemuda untuk melawan kedatangan tentara Belanda (NICA). Akhirnya ia ditangkap oleh tentara NICA dan dipenjarakan di Kalisosok.
Di tengah pecahnya perang kemerdekaan yang berkecamuk itulah, Mas
Mansur meninggal di tahanan pada tanggal 25 April 1946. Jenazahnya
dimakamkan di Gipo Surabaya.
10. Pahlawan nasional
Atas jasa-jasanya, oleh Pemerintah Republik Indonesia ia diangkat
sebagai Pahlawan Nasional bersama teman seperjuangannya, yaitu KH.
Fakhruddin.
11. Pranala luar
- (Indonesia) Biografi Mas Mansyur di Muhammadiyah.com
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar