Brigadir Jenderal TNI Anumerta Ignatius Slamet Rijadi (EYD: Riyadi; lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Juli 1927 – meninggal di Ambon, Maluku, 4 November 1950 pada umur 23 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia. Anak dari Idris Prawiropralebdo, seorang perwira anggota legiun Kasunanan Surakarta, ini sangat menonjol kecakapan dan keberaniannya, terutama setelah Jepang
bertekuk lutut dan kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Ia merupakan
pencetus pasukan khusus TNI yang dikemudian hari dikenal dengan nama Kopassus.
1. Kepahlawanan
Pada suatu peristiwa saat akan diadakannya peralihan kekuasaan di Solo
oleh Jepang yang dipimpin oleh Sutjokan (Walikota) Watanabe yang
merencanakan untuk mengembalikan kekuasaan sipil kepada kedua kerajaan
yang berkedudukan di Surakarta, yaitu Kasunanan dan Praja Mangkunagaran,
akan tetapi rakyat tidak puas. Para pemuda telah bertekad untuk
mengadakan perebutan senjata dari tangan Jepang, maka rakyat mengutus Muljadi Djojomartono dan dikawal oleh pemuda Suadi untuk melakukan perundingan di markas Kempeitai
(polisi militer Jepang) yang dijaga ketat. Tetapi sebelum utusan
tersebut tiba di markas, seorang pemuda sudah berhasil menerobos kedalam
markas dengan meloncati tembok dan membongkar atap markas Kempeitai,
tercenganglah pihak Jepang, pemuda itu bernama Slamet Rijadi.
2. Karier militer
Papan nama jalan Slamet Riyadi di Surakarta |
Pada tahun 1940, ia menyelesaikan pendidikan di HIS, ke Mulo
Afd. B dan kemudian dilanjutkan ke Pendidikan Sekolah Pelayaran Tinggi,
dan memperoleh ijasah navigasi laut dengan peringkat pertama dan
mengikuti kursus tambahan dengan menjadi navigator pada kapal kayu yang
berlayar antar pulau Nusantara. Setelah pasukan Jepang, mendarat di
Indonesia melalui Merak, Indramayu dan dekat Rembang pada tanggal 1
Maret 1942 dengan kekuatan 100.000 orang, dan walaupun memperoleh
perlawanan dari Hindia Belanda, tetapi dalam waktu singkat yaitu pada
tanggal 5 dan 7 Maret 1942, kota Solo dan Yogjakarta jatuh ke tangan
Jepang.
Slamet Rijadi merasa terpanggil membela ibu pertiwi, dan menjelang
proklamasi 1945, ia mengobarkan pemberontakan dan melarikan sebuah kapal
kayu milik Jepang, usaha Kempeitai untuk menangkapnya tidak pernah
berhasil, bahkan setelah Jepang bertekuk lutut. Slamet Rijadi berhasil
menggalang para pemuda, menghimpun kekuatan pejuang dari pemuda-pemuda
terlatih eks Peta/Heiho/Kaigun dan merekrutnya dalam kekuatan setingkat
Batalyon, yang dipersiapkan untuk mempelopori perebutan kekuasaan
politik dan militer di kota Solo dari tangan Jepang (Slamet Rijadi
diangkat sebagai Komandan Batalyon Resimen I Divisi X).
Dalam perkembangannya terjadi pergantian pimpinan militer, Divisi X
diubah menjadi Divisi IV, dengan Panglimanya Mayor Jenderal Soetarto dan
divisi ini dikenal dengan nama Divisi Panembahan Senopati,
yang membawahi 5 Brigade tempur. Diantaranya Brigade V dibawah pimpinan
Suadi dan mempunyai Batalyon XIV dibawah komando Mayor Slamet Rijadi,
yang merupakan kesatuan militer yang dibanggakan. Pasukannya terkenal
dengan sebutan anak buah "Pak Met". Selama agresi Belanda II, pasukannya
sangat aktif melakukan serangan gerilya terhadap kedudukan militer
Belanda, pertempuran demi pertempuran membuat sulit pasukan Belanda
dalam menghadapi taktik gerilya yang dijalankan Slamet Rijadi. Namanya
mulai disebut-sebut karena hampir di-setiap peristiwa perlawanan di kota
Solo selalu berada dalam komandonya.
Sewaktu pecah pemberontakan PKI-Madiun, batalyon Slamet Rijadi sedang
berada diluar kota Solo, yang kemudian diperintahkan secara langsung
oleh Gubernur Militer II - Kolonel Gatot Subroto untuk melakukan
penumpasan ke arah Utara, berdampingan dengan pasukan lainnya, operasi
ini berjalan dengan gemilang.
Dalam palagan perang kemerdekaan II, Slamet Rijadi dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Kolonel, dengan jabatan baru Komandan "Wehrkreise I"
(Panembahan Senopati )yang meliputi daerah gerilya Karesidenan
Surakarta, dan dibawah komando Gubernur Militer II pada Divisi II,
Kolonel Gatot Subroto.
Dalam perang kemerdekaan II inilah Let.Kol. Slamet Rijadi, membuktikan kecakapannya sebagai prajurit yang tangguh dan sanggup mengimbangi kepiawaian komandan Belanda lulusan Sekolah Tinggi Militer di Breda Nederland. Siang dan malam anak buah Overste (setingkat Letnan Kolonel) J.H.M.U.L.E. van Ohl digempur habis-habisan, dengan penghadangan, penyergapan malam, dan sabotase. Puncaknya ketika Letkol. Slamet Rijadi mengambil prakarsa mengadakan serangan umum Surakarta yang dimulai tanggal 7 Agustus 1949, selama empat hari empat malam. Serangan itu membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ketengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kaveleri, persenjataan berat-artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Dalam pertempuran selama empat hari tersebut, 109 rumah penduduk porak poranda, 205 penduduk terbunuh karena aksi teror Belanda, 7 serdadu Belanda tertembak dan 3 orang tertawan sedangkan dipihak TNI 6 orang gugur.
Perwira menengah yang sangat muda ini (bdk. Letkol Soeharto - kelak
Presiden RI - saat itu berusia 29 tahun) adalah ahli taktik dan
strategi, dia sangat agresif menyerang namun selalu menghindari kontak
senjata yang merugikan, dia gemar membaca dan gemar menulis [1]. Salah satu petunjuk perang gerilya pertama TNI yang tertulis adalah buah karyanya. Dalam tulisan itu dia menyebutkan [2] pentingnya agresivitas, taktik regu kecil, menghormati rakyat, menghemat amunisi, dan cara membiayai gerilya.
Setelah terjadi gencatan senjata dan penyerahan kota Solo kepangkuan
Republik Indonesia, Overste Van Ohl yang mewakili pihak Belanda demikian
terharu begitu mengetahui bahwa Letkol. Slamet Rijadi—sebagai wakil
pihak RI— yang selama ini dicari-carinya ternyata masih sangat muda. Ia
dilaporkan berkata, " Oooh ... Overste tidak patut menjadi musuh-ku ...
Overste lebih pantas menjadi anakku, tetapi kepandaiannya seperti
ayahku".
3. Memerangi Westerling dan APRA
Ketika terjadi peristiwa APRA, brigade Slamet Riyadi dipanggil naik
kereta api ke Bandung untuk memerangi. Karena peristiwa APRA sangat
singkat, brigade Slamet Riyadi akhirnya disalurkan memerangi DI/TII.
Personel APRA adalah KNIL kompi (baret merah) pasukan payung dan
batalion komando (baret hijau). Dua pasukan ini adalah musuh Slamet
Riyadi sejak Agresi militer ke-2 di Yogyakarta dan waktu serangan umum
Solo. Dua pasukan ini menolak bergabung ke dalam APRIS, kelak mereka
menyusup keluar Bandung dan membantu RMS [1].
4. Memerangi RMS
Pada tanggal 10 Juli 1950, Letnan Kolonel Slamet Rijadi, berangkat
dengan kapal Waikalo dan memimpin batalyon 352 untuk bergabung dengan
pimpinan umum operasi - Panglima TT VII - Kolonel Kawilarang, dalam penugasan menumpas pemberontakan Kapten Andi Aziz di Makasar dan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang dipelopori oleh Dr. Soumokil
dan kawan-kawan. Dalam tugas inilah ia gugur muda dalam usia 23 tahun.
Ia tertembak di depan benteng Victoria setelah berusaha merebutnya.
Slamet Riyadi tidak membawa seluruh brigadenya melainkan ditunjuk
sebagai komandan bridage ex-KNIL dari Sulawesi. Dia melatih dan
berkoordinasi dengan komandan operasi, Kolonel Kawilarang. Operasi
menumpas RMS berkekuatan 2 brigade, 10 kapal perang, dan 2 B-25. TNI-AL
dipimpin Mayor John Lie,
pelaut handal yang berjasa menyelundupkan beberapa kali senjata dan
amunisi selama melawan Belanda. Brigade I melakukan pendaratan amfibi di
utara Pulau Ambon dan Brigade II dipimpin Slamet Riyadi mendarat di
timur. Pasukan RMS adalah pasukan ex-KNIL pasukan payung, pasukan
komando, panser, dan sekitar 1000 milisi lokal.
Pendaratan dilakukan mulai awal Oktober namun sampai akhir Oktober,
TNI belum bisa mencapai Ambon karena musuh yang dihadapi sangat
terampil. RMS bersembunyi di banyak bunker ex-Jepang. Slamet Riyadi yang
sering di kompi terdepan pernah terluka lengan kirinya akibat tembakan
musuh. Tanggal 3 November, 1 brigade Siliwangi mendarat amfibi langsung
di Ambon, dengan koordinasi brigade I dan Brigade II Slamet Riyadi
diperkuat panser dan artileri. Tanggal 4 November sore, Siliwangi
berhasil merebut benteng Victoria disertai Brigade Slamet Riyadi sudah
mencapai pinggir kota Ambon. Mendengar keberhasilan Siliwangi, Slamet
Riyadi dan hanya 3 panser maju untuk berkoordinasi. Sisa brigade
ditinggal di pinggir kota untuk mencegah baku tembak tak sengaja antara
Siliwangi dan Brigade II dalam situasi kacau.
Sayang sekali, pasukan payung KNIL berhasi memukul mundur Siliwangi
dari benteng Victoria, Slamet Riyadi yang mengira benteng masih dikuasi
Siliwangi turun dari panser. Ada 2 versi tertembaknya [1]:
- Satu tembakan sniper selanjutnya Slamet Riyadi diseret ajudannya dan naik jip dilanjutkan sampan ke KRI yang menjadi klinik.
- Diberondong senapan mesin, selanjutnya 1 panser mengevakuasi ke sampan dan dibawa ke KRI yang menjadi klinik.
Saat sampai di KRI, Slamet Riyadi masih hidup tapi tidak sadar dan
dalam kondisi kritis. Beliau meninggal tanggal 4 November malam.
5. Kehidupan Pribadi
Slamet Riyadi merupakan pengantin baru, istrinya Ny. Soerachmi bagian
kesehatan TNI-AD, baru saja dinikahi saat cuti operasi menumpas RMS.
Slamet Riyadi dimakamkan di Ambon di tengah makam anak buahnya yang
gugur.
6. Pasukan Komando TNI
Kolonel Kawilarang yang selanjutnya memimpin Siliwangi di Jawa Barat
memerangi DI/TII, membentuk 1 peleton komando dari divisi Siliwangi. Hal
ini merupakan hasil diskusi beliau dengan Slamet Riyadi saat memerangi
RMS. Melihat keberhasilan peleton komando Siliwangi, TNI-AD membentuk
kompi komando yang juga berkualifikasi pasukan payung. Kompi ini
memerangi DI/TII, PRRI dan Permesta dan merupakan cikal bakal Resimen
Para Komando AD (RPKAD) selanjutnya Komando Pasukan Khusus.
7. Riwayat Perjuangan
Patung Slamet Rijadi di depan Rumah Sakit AD Slamet Riyadi, Surakarta |
Karier,Pangkat,Jabatan | Kegiatan, Pendidikan ,Operasi Militer | Waktu |
---|---|---|
Siswa, MULO Afd.B | Pertahanan Bumi Putra | 1940 |
Sekolah Tinggi Pelayaran | Rekrutmen Pemuda oleh tentara Jepang | 1943 |
Navigator kapal kayu | Pemberontakan kapal,milik Jepang | 1945 |
Dan.Yon.Res.I, Divisi I | Perang di Krsd. Solo melawan Jepang & Belanda | 1945 |
Dan.Yon.Res.I, Divisi I | Penumpasan pemberontakan PKI Madiun | 1948 |
Dan.Wehrkreise I | Perang Kemerdekaan II, Serangan Umum Solo | 1949 |
Wakil Pemerintah RI | Penyerahan Kota Solo | 29-12-1949 |
Komando Yon.352 | Mendukung Div.Siliwangi menumpas APRA di Jabar. | 1949 |
Wakil.Panglima TT VII. | Penumpasan Pemberontakan di Makasar, RMS Ambon | 1950 |
Wakil.Panglima TT VII. | Gugur di gerbang benteng Victoria, Ambon | 4-11-1950 |
Brigadir Jendral Anumerta | Kenaikan pangkat atas jasa almarhum | 1950 |
8. Referensi
- Pour, Julius. Slamet Rijadi, dari Mengusir Kempetai sampai RMS. Gramedia. Jakarta. 2008
- Nasution. Dasar-dasar Perang Gerilya. Djambatan. Jakarta. 1955
- Suhadi, Slamet Rijadi, Penerbit PT.INALTU, Jakarta, 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar