Candi Mendut adalah sebuah candi bercorak Buddha. Candi yang terletak di Jalan Mayor Kusen Kota Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah ini, letaknya berada sekitar 3 kilometer dari candi Borobudur.
7°36′17.17″S 110°13′48.01″E
ISI
- 1 Masa pembuatan
- 2 Arsitektur candi
- 3 Hiasan pada candi Mendut
- 3.1 Kronologi penemuan
- 4 Relief-relief
- 4.1 Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting)
- 4.2 Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
- 4.3 Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)
- 4.4 Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)
- 5 Vihara Buddha Mendut
- 6 Referensi
|
1. Masa pembuatan
|
Reruntuhan candi Mendut sebelum dipugar, tahun 1880. |
Candi Mendut didirikan semasa pemerintahan Raja Indra dari dinasti Syailendra. Di dalam prasasti Karangtengah yang bertarikh 824 Masehi, disebutkan bahwa raja Indra telah membangun bangunan suci bernama wenuwana yang artinya adalah hutan bambu. Oleh seorang ahli arkeologi Belanda bernama J.G. de Casparis, kata ini dihubungkan dengan Candi Mendut.
2. Arsitektur candi
Bahan bangunan candi sebenarnya adalah batu bata yang ditutupi dengan batu alam. Bangunan ini terletak pada sebuah basement yang tinggi, sehingga tampak lebih anggun dan kokoh. Tangga naik dan pintu masuk menghadap ke barat-daya. Di atas basement terdapat lorong yang mengelilingi tubuh candi. Atapnya bertingkat tiga dan dihiasi dengan stupa-stupa kecil. Jumlah stupa-stupa kecil yang terpasang sekarang adalah 48 buah.
Tinggi bangunan adalah 26,4 meter.
3. Hiasan pada candi Mendut
|
Tiga arca di dalam candi Mendut, arca Dhyani Buddha Wairocana diapit Boddhisatwa Awalokiteswara dan Wajrapani. |
Hiasan yang terdapat pada candi Mendut berupa hiasan yang
berselang-seling. Dihiasi dengan ukiran makhluk-makhluk kahyangan berupa
dewata gandarwa dan apsara atau bidadari, dua ekor kera dan seekor garuda.
Pada kedua tepi tangga terdapat relief-relief cerita Pancatantra dan jataka.
|
Hariti. |
Dinding candi dihiasi relief Boddhisatwa di antaranya Awalokiteśwara,
Maitreya, Wajrapāṇi dan Manjuśri. Pada dinding tubuh candi terdapat
relief kalpataru, dua bidadari, Harītī (seorang yaksi yang bertobat dan lalu mengikuti Buddha) dan Āţawaka.
|
Buddha dalam posisi dharmacakramudra. |
Di dalam induk candi terdapat arca Buddha besar berjumlah tiga: yaitu Dhyani Buddha Wairocana dengan sikap tangan (mudra) dharmacakramudra.
Di depan arca Buddha terdapat relief berbentuk roda dan diapit sepasang
rusa, lambang Buddha. Di sebelah kiri terdapat arca Awalokiteśwara
(Padmapāņi) dan sebelah kanan arca Wajrapāņi.
3.1. Kronologi penemuan
- 1836 – Ditemukan dan dibersihkan
- 1897 – 1904 kaki dan tubuh candi diperbaiki namun hasil kurang memuaskan.
- 1908 – Diperbaiki oleh Theodoor van Erp. Puncaknya dapat disusun kembali.
- 1925 – sejumlah stupa disusun kembali.
4. Relief-relief
Di bawah ini pembicaran mendetail beberapa relief akan disajikan.
4.1. Relief 1 (Brahmana dan seekor kepiting) =
|
Brahmana dan seekor kepiting. |
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini:
- Maka adalah seorang brahmana yang datang dari dunia bawah dan bernama Dwijeswara. Ia sangat sayang terhadap segala macam hewan.
- Maka berjalanlah beliau untuk bersembahyang di gunung dan
berjumpa dengan seekor kepiting di puncak gunung yang bernama Astapada,
dibawa di pakaiannya. Maka kata sang brahmana: “Kubawanya ke sungai,
sebab aku merasa kasihan.” Maka iapun berjalan dan berjumpa dengan
sebuah balai peristirahatan di tepi sungai. Lalu dilepaslah si kepiting
oleh sang brahmana. Si Astapada merasa lega hatinya. Sedangkan sang
brahmana beristirahat di balai-balai ini. Ia tidur dengan nikmat,
hatinya nyaman.
- Adalah seekor ular yang berteman dengan seekor gagak dan
merupakan ancaman bagi sang brahmana. Maka kata si ular kepada kawannya
si gagak: “Jika ada orang datang ke mari untuk tidur, ceritakan padaku,
aku mangsanya.”
- Si gagak melihat sang brahmana tidur di balai-balai. Segeralah
keluar si ular katanya: “Aku ingin memangsa matanya kawan.” Begitulah
perjanjian mereka.
- Si kepiting yang dibawa oleh sang brahmana mendengar. Lalu kata
si kepiting di dalam hati: “Aduh, sungguh buruk kejahatan si gagak dan
ular. Sama-sama buruk kelakuannya.” Terpikir olehnya bahwa si kepiting
berhutang budi kepada sang brahmana. Ia ingin melunasi hutangnya, maka
pikirnya. “Ada siasatku, aku akan berkawan dengan keduanya.” Maka ujar
si kepiting, “Wahai kedua kawanku, akan kupanjangkan leher kalian,
supaya lebih nikmat kalau kalian ingin memangsa sang brahmana.” – “Aku
setuju dengan usulmu, dengan segera.” Begitulah
kata si gagak dan si ular keduanya. Kedua-keduanya ikut menyerahkan
leher mereka dan disupit di sisi sana dan sini oleh si kepiting dan
keduanya langsung putus seketika. Matilah si gagak dan si ular. ==
4.2. Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
|
Angsa dan kura-kura |
Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal
dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini.
Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan
lukisan di relief ini:
- Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu
sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan
(tunjung) biru.
- Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau
Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa
itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina.
Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati.
- Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina.
- Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati
semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu
berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa.
Katanya:
- “Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi
dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang
musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami
ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan
yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak
mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.”
Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya:
- “Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami kepada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri.
- Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari
air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda.
Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian.
- Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu,
pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan
sini dengan isteriku. Kuatlah kami nanti membawa terbang kamu, [hanya]
janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang
kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda
tegur juga. Jika ada yang bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang
harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda
tidak mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat
tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah kata angsa.
- Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung
dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan
kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga
Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka,
sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan
betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing
jantan, si Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina,
melihat si angsa terbang, keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu
katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal yang amat mustahil.
Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si anjing jantan
menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang
dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau
kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!”
Begitulah kata si anjing jantan.
- Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah
batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering,
sarang karu-karu.
- Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam
jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si
angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan
melayang ke danau Manasasara.
4.3. Relief 3 (Dharmabuddhi dan Dustabuddhi)
|
Dharmabuddhi dan Dustabuddhi |
Cerita ini mengenai dua orang sahabat anak para saudagar. Suatu hari
Dharmabuddhi menemukan uang dan bercerita kepada kawannya Dustabuddhi.
Lalu mereka berdua menyembunyikan uang ini di bawah sebuah pohon. Setiap
kali mereka membutuhkan uang, Dharmabuddhi mengambil sebagian dan
membagi secara adil. Tapi Dustabuddhi tidak puas dan suatu hari
mengambil semua uang yang tersisa. Ia lalu menuduh Dharmabuddhi dan
menyeretnya ke pengadilan. Tetapi akhirnya Dustabuddhi ketahuan dan
dihukum.
4.4. Relief 4 (Dua burung betet yang berbeda)
|
Dua burung betet yang berbeda. |
Relief ini melukiskan cerita dua burung betet bersaudara namun
berbeda kelakuannya karena yang satu dididik oleh seorang penyamun.
Sedangkan yang satu oleh seorang pendeta.
5. Vihara Buddha Mendut
|
Arca Buddha sumbangan Jepang. |
Persis di sebelah candi Mendut terdapat vihara Buddha Mendut. Vihara ini dahulunya adalah sebuah biara Katholik yang kemudian tanahnya dibagi-bagi kepada rakyat pada tahun 1950-an.
Lalu tanah-tanah rakyat ini dibeli oleh sebuah yayasan Buddha dan di
atasnya dibangun vihara. Dalam vihara ini terdapat asrama, tempat
ibadah, taman, dan beberapa patung Buddha. Beberapa di antaranya adalah
sumbangan dari Jepang.
6. Referensi
- (Inggris) Marijke J. Klokke, 1993, The Tantri Reliefs on Ancient Javanese Candi. Leiden: KITLV Press.
- (Belanda) N.J. Krom, 1918, ‘De Boddhisatwa’s van den Mĕndut’, Bijdragen to de Taal-, Land- en Volkenkunde 74:419-37.
- (Indonesia) L. Mardiwarsito, 1983, Tantri Kāmandaka. Ende: Nusa Indah/Kanisius.
Back to
candi
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar