Kesultanan Asahan berdiri tahun 1630 di wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Asahan. Kesultanan ini ditundukkan Belanda pada tahun 1865. Kerajaan ini melebur ke dalam negara Indonesia pada tahun 1946.
Raja Abdul Jalil, Sultan pertama Asahan merupakan putra Sultan Iskandar Muda. Asahan menjadi bawahan Aceh sampai awal abad ke-19.
Bendera Kesultanan Asahan |
Sejarah
Awal mula
Perjalanan Sultan Aceh, Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Malaka tahun 1612 dapat dikatakan sebagai awal dari sejarah Asahan. Dalam perjalanan tersebut, rombongan Sultan Iskandar Muda beristirahat di kawasan sebuah hulu sungai yang kemudian dinamakan Asahan. Perjalanan dilanjutkan ke sebuah "Tanjung" yang merupakan pertemuan antara sungai Asahan dengan sungai Silau,
kemudian bertemu dengan Raja Simargolang. Di tempat itu juga Sultan
Iskandar Muda mendirikan sebuah pelataran sebagai "Balai" untuk tempat
menghadap, yang kemudian berkembang menjadi perkampungan. Perkembangan
daerah ini cukup pesat sebagai pusat pertemuan perdagangan dari Aceh dan Malaka, sekarang ini dikenal dengan "Tanjung Balai".[1]
Sultan pertama
Dari hasil perkawinan Sultan Iskandar Muda
dengan Siti Ungu Selendang Bulan, anak dari Raja Pinang Awan yang
bergelar “Marhum Mangkat di Jambu” lahirlah seorang putera yang bernama
Abdul Jalil yang menjadi cikal bakal dari kesultanan Asahan. Abdul Jalil
dinobatkan menjadi Sultan Asahan I. Pemerintahan kesultanan Asahan
dimulai tahun 1630 yaitu sejak dilantiknya Sultan Asahan yang I s/d XI.[1]
Asahan adalah kerajaan kecil yang menjadi bawahan Aceh, maka secara otomatis, struktur kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan Aceh. Di daerah Asahan sendiri, terlepas dari relasinya dengan Aceh, kekuasaan tertinggi berada di tangan Sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Besar/Sri Paduka Raja. Jabatan yang lebih rendah adalah Yang Dipertuan Muda. Untuk daerah Kawasan Batubara dan kawasan yang lebih kecil, pemerintahan dijalankan oleh para datuk.[2]
Dikuasai oleh Belanda
Pada tanggal 12 September 1865, kesultanan Asahan berhasil dikuasai Belanda.
Sejak itu, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh Belanda. Kekuasaan
pemerintahan Belanda di Asahan/Tanjung Balai dipimpin oleh seorang
Kontroler, yang diperkuat dengan Gouverments Besluit tanggal 30 September 1867,
Nomor 2 tentang pembentukan Afdeling Asahan yang berkedudukan di
Tanjung Balai dan pembagian wilayah pemerintahan dibagi menjadi tiga,
yaitu:[1]
- Onder Afdeling Batubara
- Onder Afdeling Asahan
- Onder Afdeling Labuhan Batu
Sultan Asahan
Sultan Muhammad Husain Rahmad Shah II (memerintah 1888-1915) |
Sampai sekarang Kesultanan Asahan sudah memiliki 13 orang Sultan yang berkuasa, walaupun Sultan terakhir lebih merupakan Kepala Keluarga dari kerabat kerajaan yang masih ada. Sultan Asahan I, Sultan Abdul Jalil adalah putera Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh yang menikah dengan Siti Ungu Putri Berinai (Siti Unai), puteri Raja Halib (al-Marhum Mankat di-Jambu), dari Pinangawan.[3]
Kehidupan Sosial Budaya
Sebagai kesultanan yang berada dalam pengaruh kebuadayaan Islam,
maka di Asahan juga berkembang kehidupan keagamaan yang cukup baik.
Bahkan, ada seorang ulama terkenal yang lahir dari Asahan, yaitu Syeikh Abdul Hamid. Ia lahir tahun 1880 (1298 H), dan wafat pada 18 Februari 1951 (10 Rabiul Awal 1370 H). Datuk, nenek dan ayahnya berasal dari Talu, Minangkabau. Syekh Abdul hamid belajar agama di Mekkah, karena itu, ia sangat disegani oleh para ulama zaman itu.[2]
Dalam perkembangannya, murid-murid Syekh Abdul Hamid inilah yang
kelak mendirikan organisasi Jamiyyatul Washliyyah. Sebuah organisasi
yang berbasis pada aliran sunni dan mazhab Syafi'i.
Dalam banyak hal, organisasi ini memiliki persamaan dengan Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang didirikan oleh para ulama Minangkabau.
Adanya banyak persamaan ini, karena memang para ulama tersebut saling
bersahabat baik sejak mereka menuntut ilmu di Mekkah. Pandangan para
tokoh agama ini sangat berbeda dengan paham reformis yang dibawa oleh
para ulama muda Minangkabau, seperti Dr. Haji Abdul Karim Amrullah. Oleh
sebab itu, sering terjadi polemik di antara para pengikut kedua paham
yang berbeda ini.[2]
Di paruh pertama abad ke-20, sekitar tahun 1916,
di Asahan telah berdiri sebuah sekolah yang disebut Madrasah Ulumul
Arabiyyah. Sebagai direktur pertama, ditunjuk Syekh Abdul Hamid. Dalam
perjalanannya, madrasah Ulumul Arabiyah ini kemudian berkembang menjadi
salah satu pusat pendidikan Islam yang penting di Asahan, bahkan
termasuk di antara madrasah yang terkenal di Sumatera Utara, sebanding
dengan Madrasah Islam Stabat, Langkat, Madrasah Islam Binjai dan
Madrasah al-Hasaniyah Medan. Di antara ulama terkenal lulusan sekolah Asahan ini adalah Syeikh Muhammad Arsyad Thalib Lubis (1908-1972).[2]
Peninggalan tertulis warisan Kerajaan Asahan hanya berkaitan dengan
buku-buku di bidang keagamaan yang dikarang oleh para ulama untuk
kepentingan pengajaran. Berikut ini beberapa buah buku yang dikarang
oleh Syeikh Abdul Hamid di Asahan, yaitu:
- Ad-Durusul Khulasiyah
- Al-Mathalibul Jamaliyah
- Al-Mamlakul `Arabiyah.
- Nujumul Ittiba.
- Tamyizut Taqlidi Minal Ittiba.
- Al-Ittiba.
- Al-Mufradat.
- Mi`rajun Nabi.
Referensi
Pranala luar
- (Indonesia) Sejarah singkat Kabupaten Asahan
- (Indonesia) Sejarah Kerajaan Asahan di MelayuOnline.com
- (Inggris) Royal Ark: Asahan
- (Inggris) Kesultanan Asahan oleh University of Queensland
back to kerajaan
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar