arifuddinali.blogspot.com - Kesultanan Kutai atau lebih lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) merupakan kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Agung Dewa Sakti di Kutai Lama dan berakhir pada 1960. Kemudian pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai Keraton.
Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.
Sejarah
Pendirian
Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada awal abad ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), yaitu salah satu daerah taklukan di negara bagian Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].
Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain. |
Pada abad ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan antara dua kerajaan tersebut.
Pada abad ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Mulia Alam. Setelah beberapa puluh tahun, sebutan Raja diganti dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris
(1735-1778) merupakan sultan Kutai Kartanegara pertama yang menggunakan
nama Islami. Dan kemudian sebutan kerajaan pun berganti menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai merupakan salah satu tanah di atas angin
(sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja
Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada abad ke-14 hingga kerajaan ini
digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai berada di
bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Perjanjian VOC dan Kesultanan Banjar
tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan
Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya
karena Banjarmasin sudah memiliki kekuatan militer yang memadai untuk
menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh
Kalimantan dan sudah menduduki wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin merupakan vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit),
tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim
upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum perjanjian Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar
Kulan) sebagai tempat berdagang kepada Sultan Banjar IV Mustain
Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin.
Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan
mengadakan perjanjian dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng
Pattingalloang Sultan Mahmud yaitu Raja Tallo yang menjabat mangkubumi bagi Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].
Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai
Sultan Banjar padahal yang sebenarnya dia hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan perjanjian 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo)
yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang
sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha merebut
tahta tetapi mengalami kegagalan.
Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Alam
membuat perjanjian dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai
daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan
yang dahulu kala pada abad ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin
diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778
Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio
kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kemudian
wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah
dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin
sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah
Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda
dan kemudian Belanda memperbaharui perjanjian dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Perjanjian berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 antara Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].
Secara hukum Kutai dianggap negara bagian di dalam negara Banjar.
Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia
Belanda di Kalimantan menurut Perjanjian Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].
Pemindahan ibukota kerajaan
Peta Perpindahan Ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara antara tahun 1300-1960. |
La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris merupakan raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang berada dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut bertempur melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].
Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu masih kecil kemudian dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kemudian meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan menggunakan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.
Setelah dewasa, Aji Imbut
sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara
kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang
setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan
Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.
Perlawanan berlangsung dengan siasat embargo yang ketat oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado meminta bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].
Pada tahun 1780,
Aji Imbut berhasil merebut kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi
dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin
di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].
Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kemudian diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].
Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.
Serangan kapal Inggris
Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris
memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk berdagang
dan meminta tanah untuk mendirikan pos dagang serta hak eksklusif untuk
menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk berdagang hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah beberapa hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam
ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun
tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray akhirnya kalah dan
melarikan diri menuju laut lepas. Lima orang terluka dan tiga orang
tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di antara
yang tewas tersebut[6].
Insiden pertempuran di Tenggarong
ini sampai ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris hendak melakukan
serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda
bahwa Kutai adalah salah satu bagian dari wilayah Hindia Belanda dan
Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri.
Kemudian Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan
yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana
Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangun. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani bertempur melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6].
Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan
Kesultanan Kutai Kartanegara akhirnya kalah dan takluk pada Belanda.
Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan. |
Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani perjanjian
dengan Belanda yang menyatakan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan
Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang berkedudukan di Banjarmasin.[7]
Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6].
Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah
Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]
Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menempatkan J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu kekuatan politik dan ekonomi masih berada dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bagian dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863,
kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan perjanjian dengan
Belanda. Dalam perjanjian itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai
Kartanegara menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda.
Pembukaan tambang batubara pertama
Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin. |
Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibuka di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletakkan dasar bagi eksploitasi
minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak
semakin nyata sehingga membuat Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi
sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya
alam di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].
Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.
Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kemudian, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.
Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget masih belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.
Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit
namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena ada beberapa
kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit
Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1
lah yang berhak diangkat menjadi Sultan Kutai. dalam beberapa media juga
di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua
saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak
kontroversi dari berbagai pihak.
Sejak awal abad ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat
sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada
tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap
melalui surplus yang dihasilkan tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - jumlah yang sangat fantastis untuk masa itu.
Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit mendirikan istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.
Kedatangan Jepang
Ketika Jepang menduduki wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.
Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kemudian, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kemudian pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.
Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang merupakan daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.
Pada tahun 1959,
berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah
Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi
3 Daerah Tingkat II, yakni:
- Daerah Tingkat II Kutai dengan ibukota Tenggarong
- Kotapraja Balikpapan dengan ibukota Balikpapan
- Kotapraja Samarinda dengan ibukota Samarinda
Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto
yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama
Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3
kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:
- A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
- Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
- A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan
Sehari kemudian, pada tanggal 21 Januari 1960
bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong diadakan Sidang
Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari acara ini adalah serah
terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji
Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah
Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid
Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai
Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berakhir, dan beliau
pun hidup menjadi rakyat biasa[6].
Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara
Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais
berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing
Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud
untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.
Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta
untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan
merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan
Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.
Pada tanggal 22 September 2001,
Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe
Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara
dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.
Wilayah
Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua) |
Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara
ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah
kekuasaannya meliputi beberapa wilayah otonom yang ada di propinsi
Kalimantan Timur saat ini, yakni:
- Kabupaten Kutai Kartanegara
- Kabupaten Kutai Barat
- Kabupaten Kutai Timur
- Kota Balikpapan
- Kota Bontang
- Kota Samarinda
- Kecamatan Penajam
Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.
Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah
Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II,
yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan
sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah
disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melalui UU
No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.
Keraton Kesultanan
Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara yang sekarang menjadi Museum Mulawarman. |
Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya ada pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman
yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa
melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada abad ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah berkebangsaan Norwegia
yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membuat
ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada
masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.
Setelah Sultan Sulaiman
wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kemudian dipimpin
oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami
keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman.
Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat
dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai
Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920,
keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan
kerajaan.
Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini
dibongkar karena akan digantikan dengan bangunan beton yang lebih kokoh.
Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kemudian
menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton
baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij )
Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk
menyelesaikan istana ini. Setelah fisik bangunan keraton rampung pada
tahun 1937, baru setahun kemudian yakni pada tahun 1938
keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta
keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah
dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu,
dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan
Sultan Sulaiman kemudian dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas
keraton lama ini telah diganti dengan sebuah bangunan baru yakni gedung
Serapo LPKK.
Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berakhir pada tahun 1960, bangunan keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kemudian diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971.
Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri
dengan nama Museum Mulawarman.
Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan
kesultanan Kutai Kartanegara, di antaranya singgasana, arca, perhiasan,
perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik
kuno dari China, dan lain-lain.
Dalam lingkungan keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan
keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan
keluarga kerajaan ini kebanyakan terbuat dari kayu besi yang dapat tahan
lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang
dimakamkan disini di antaranya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di lingkungan keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.
Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II.
Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai
upaya untuk melestarikan warisan budaya Kerajaan Kutai sebagai kerajaan
tertua di Indonesia agar tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten
Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton bagi Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki konsep rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.
Gelar kebangsawanan
Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji.
Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam
gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai
berikut:
- Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan.
- Aji Ratu : gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan.
- Aji Pangeran : gelar bagi putera Sultan.
- Aji Puteri : gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
- Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
- Aji Bambang : gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
- Aji : gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.
Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai
sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka
putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji
menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka
putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji
tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).
Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:
- Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
- Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji
biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.
Referensi
- Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
- M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
- Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
- (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian antara Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
- (Indonesia)Poesponegoro (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di abad ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.ISBN 9789794074107
- Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
- (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0.ISBN 978-602-8397-21-6
- (Belanda) (1849) Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n..
- (Belanda) {1853) Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde. 13. hlm. 358.
- (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz. 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242.
Pranala luar
- http://dualmode.kemenag.go.id/acis10/file/dokumen/7.AnisMaskhur.pdf
- (Indonesia)Sejarah Kerajaan Kutai di MelayuOnline.com
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar