arifuddinali.blogspot.com - Mani adalah pendiri agama Manikheisme yang hidup pada abad ketiga.[1] Ia dilahirkan di desa Mardinu, di gurun Nahr Kuta, Babilonia Selatan pada 14 April 216.[2] Mani tidak sekadar pendiri agama Manikheisme, ia juga seorang fisuf, astrolog, dan pelukis dari Persia.[3] Pada 277 M, ia harus meninggal karena dieksekusi oleh pemerintahan Persia, tetapi agama yang didirikannya terus bertumbuh dan berkembang.[4]
Kehidupan
Menurut sumber-sumber Arab Islam, ayahnya bernama Fatak, seorang bangsawan Persia yang kemudian pindah ke Ktesifon.[3] Disana ia mendapatkan pendidikan yang baik.[3] Pada mulanya ia masuk anggota sekte Gnostik Yahudi, tetapi itu segera ditinggalkannya setelah mendapat wahyu ilahi pada tahun 228.[3] Pada tahun 241, ia mulai mengajarkan wahyu yang didapatkannya pada banyak orang.[3] Ia pergi ke Barat Daya India
karena ajaran yang disebarkannya tidak terlalu berhasil di tanah
kelahirannya sendiri, tetapi justru disitulah ia kemudian berhasil
memasukkan penguasa lokal ke dalam agama Mani.[1] pada tahun 242, ia kembali ke Persia dan berhasil mendapatkan perhatian raja Shapur I.[1]
Kekagumannya pada agama Mani membuat agama Mani dapat berkembang karena
Mani diberikan izin untuk menyebarkan ajarannya di seluruh Imperium
Persia/Sassanid.[1] Pengikut agama Mani pun semakin banyak sehingga mampu mengutus penginjil keluar daerah.[1] Tetapi hal ini menimbulkan kecemburuan dari para pendeta Zoroaster yang merupakan agama negara Persia di bawah dinasti Sassanid.[1] Pada tahun 276, setelah raja Bahram I naik takhta, Mani ditangkap dan dipenjara.[1] Ia akhirnya harus tewas karena mengalami penyiksaan yang begitu berat.[1]
Selama hidupnya, ia menulis beberapa buku; satu dalam bahasa Persia dan
yang lain dalam bahasa Syriac (bahasa Semit yang dekat dengan bahasa
Aramaik dari zaman Yesus).[1] Buku inilah yang menjadi sumber utama agama Manikheisme.[1]
Sepeninggal Mani, pengikut-pengikutnya mengungsi ke beberapa tempat
sehingga tersebarlah ajaran Mani di Mesopotamia, Afrika Utara, Sisilia,
Italia dan Spanyol.[3] Tetapi Manikheisme hilang pada abad ke-6.[3]
Ajarannya
Manikheisme mengajarkan bahwa terdapat dua kerajaan besar, yaitu
kerajaan Terang dan kerajaan Gelap yang sudah berperang sejak awal.[5]
Dunia ini muncul sebagai hasil dari peperangan tersebut, karena itulah
dunia kemudian dianggap memiliki dua unsur yaitu terang dan gelap atau
baik dan jahat.[5]
Setiap orang adalah anak terang sekaligus anak gelap, dalam artian jiwa
manusia yang baik terjebak dalam tubuh manusia yang sebenarnya jahat.[5] Keselamatan dipahami sebagai tindakan pembebasan jiwa dari genggaman tubuh dengan mempraktekkan askese.[5]
Dalam hal ini, penderitaan Yesus dianggap sebagai sesuatu yang semu
karena merupakan lambang dari terbelenggunya jiwa dalam tubuh.[5] Agama Mani merupakan gabungan dari Zoroaster, Budha dan Kristen, tetapi ia mengklaim kalau pewahyuannya lebih lengkap dari tiga agama besar ini.[1]
Ibadahnya
Tata ibadah agama Mani sangat sederhana karena hanya mengulangi rumusan doa tertentu, berpuasa, dan mengakui dosa.[5] Mereka berdoa empat kali sehari yang didahului dengan pembasuhan kaki.[5] Pada waktu beribadah, mereka memandang ke arah matahari atau bulan sebagai sumber terang.[5] Ibadah pada hari Minggu dipandang sebagai penyembahan terhadap terang atau matahari.[5] Puasanya terbagi atas mingguan, bulanan, tahunan.[5] Sakramenpun hanya diikuti oleh orang yang dianggap sebagai golongan sempurna, juga tidak menggunakan anggur karena bagi mereka Kristus tidak berdarah.[5] Ekaristi merupakan peringatan dari terbelenggunya jiwa pada materi (kejahatan).[5]
Referensi
- Michael H. Hart. 2009. 100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah. Jakarta: Penerbit Hikmah. Hlm 433-435.
- Eddy Kristiyanto. 2007. Selilit sang Nabi: Bisik-bisik tentang Aliran Sesat. Yogyakarta: Kanisius. Hlm 40-44.
- F.D. Wellem. 2003. Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 130.
- Dale T. Irvin dan Scott W. Sunquist. 2001. History of the Worl Christian Movement. New York: Orbis Books.
- F.D. Wellem. 2006. Kamus Sejarah Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hlm 274.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar