arifuddinali.blogspot.com - Salah satu kuliner Makassar yang terkenal adalah mie kering. Sajian mie halus yang digoreng kering dan disajikan dengan kuah kental berisi daging baso, sayuran dan kadang sea food. Makanan ini sangat populer di Makassar, menjadi sajian pilihan di malam hari atau ketika cuaca sedang tidak bersahabat karena hujan.
Orang Makassar harus berterima kasih pada warga Tionghoa karena merekalah yang memungkinkan hadirnya mie kering yang nikmat itu. Makanan hanya salah satu jejak Tionghoa yang hadir di kota Makassar. Dalam dunia kesusatraan dan hiburan, jejak Tionghoa juga terlihat. Salah satunya adalah lagu daerah berbahasa Makassar “Ati Raja”.
Tidak ada keterangan pasti kapan orang Tionghoa mendarat di tanah Makassar, tapi sebuah literatur menyatakan kalau orang Tionghoa sudah menjejakkan kaki di Makassar pada masa abad ke 15 atau pada pemerintahan Dinasti Tang. Ketika itu kerajaan Gowa sedang berada dalam masa kejayaannya dan menjadi sebuah pusat maritim yang ramai di Nusantara.
Namun jejak historis lainnya berupa teks pada nisan di pekuburan Tionghoa di Makassar (sekarang kawasan pasar sentral) menyebutkan kalau orang Tionghoa sudah datang ke Makassar sejak abad ke 14.
Ada 3 rumpun Tionghoa yang datang ke Makassar, rumpun Hokkian, Hakka dan Kanton. Ketiga rumpun ini punya bahasa yang berbeda dan tidak saling mengerti satu sama lain. Orang Hokkian dipercaya sebagai rumpun Tionghoa pertama yang datang ke Makassar. Mereka datang secara besar-besaran hingga pada abad ke-19.
Selain Hokkian, rumpun Hakka (kek) juga adalah rumpun terbesar yang datang ke Makassar. Mereka rata-rata datang karena faktor ekonomi, di tanah Tiongkok mereka termasuk rumpun orang-orang Tionghoa yang melarat. Sebagian besar berasal dari propinsi Kwang Tung.
Orang-orang Kanton (Kwan Foe) datang belakangan sekitar abad ke-19, hampir bersamaan dengan orang Hakka. Selain ketiga rumpun itu masih ada beberapa rumpun bangsa Tionghoa lainnya yang datang ke Makassar yang berasal dari propinsi seperti Hainan atau propinsi lainnya. Tapi jumlah mereka relatif lebih kecil.
Kampung China Di Makassar
Orang-orang Tionghoa awalnya tidak datang ke kota Makassar. Mereka masuk melalui daerah benteng Somba Opu yang waktu itu menjadi pusat kerajaan Gowa yang ditandai dengan ramainya pelabuhan niaga di sungai Jeneberang.
Orang-orang Tionghoa ini datang dan bermukim di sekitar benteng Somba Opu. Sebagian besar dari mereka hidup dari perdagangan, sisanya melaut dan bertani. Kerajaan Gowa yang sedang mencapai puncak kejayaannya membuat mereka betah hidup sebagai perantau dan perlahan-lahan mulai melebur dengan penduduk asli.
Ketika kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda, pusat keramaianpun berpindah. Perlahan-lahan benteng Somba Opu mulai melemah dan ditinggalkan oleh para pedagang. Pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan daerah Fort Rotterdam sebagai pusat keramaian yang baru. Inilah cikal bakal lahirnya kota Makassar yang ada sekarang.
Orang-orang Tionghoapun ikut berpindah, dari kawasan benteng Somba Opu ke kota baru yang sedang berbenah. Oleh pemerintah Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa itu ditempatkan dalam satu kawasan khusus yang disebut Chineese Wijk (Kampung China). Mereka tidak diperbolehkan berinteraksi dengan warga sekitar. Kehidupan mereka diatur dan diawasi dengan sangat ketat.
Sampai sekarang kawasan Kampung China itu masih ada dan disebut sebagai kawasan Pecinan di kota Makassar. Kawasan Kampung China ini berbatasan dengan Kampung Melayu dan Kampung Arab tempat pemerintah Hindia Belanda menempatkan warga Melayu dan warga Arab.
Pada masa itu jalan Pasaarstraat atau sekarang bernama jalan Nusantara adalah pusat perdagangan dan pemerintahan. Kantor-kantor pemerintahan Hindia Belanda berhadap-hadapan dengan toko-toko milik orang Tionghoa. Dalam pemukiman orang Tionghoa tersebut terdapat beberapa kuil yang bukan digunakan sebagai tempat ibadah namun sebagai tempat meminta berkah, meminta keturunan atau tempat mengucap syukur.
Pembatasan wilayah untuk orang Tionghoa ini kemudian dihapuskan pemerintah Hindia-Belanda. Ini menjadi awal penyebaran orang-orang Tionghoa ke seluruh penjuru kota Makassar dan kabupaten-kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan.
Tionghoa Keturunan dan Tionghoa Totok
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Makassar awalnya sebagian besar hanya kaum pria tanpa didampingi oleh istri-istri mereka. Ketika sudah merasa nyaman di tempat barunya, barulah istri-istri mereka menyusul. Sebagian dari mereka menikah dengan penduduk lokal. Inilah cikal-bakal Tionghoa keturunan. Sementara yang menjaga kemurnian darah Tionghoa mereka dengan menikah hanya sesama Tionghoa disebut sebagai Tionghoa totok.
Tionghoa peranakan hadir lebih dulu daripada Tonghoa totok. Ini dikarenakan kaum wanita Tionghoa baru datang belakangan. Perkembangan Tionghoa peranakan lebih pesat dari Tionghoa totok, mereka bahkan membentuk kelompok tersendiri. Budaya mereka adalah perpaduan antara budaya Tionghoa dengan budaya lokal. Banyak kebiasaan mereka yang dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat lokal seperti adat istiadat dalam perkawinan.
Sebagian besar Tionghoa peranakan ini sudah tidak bisa berbahasa Mandarin lagi. Mereka lahir dan besar di Indonesia dan tidak pernah menengok tanah leluhur mereka di Tiongkok. Orang-orang Tionghoa peranakan lebih gampang diterima oleh masyarakat lokal karena memang mereka sudah banyak terpengaruh oleh budaya lokal, berbeda dengan Tionghoa totok yang cenderung lebih eksklusif dan menjaga pergaulan hanya dengan sesama orang Tionghoa.
Perpaduan budaya yang berlangsung selama ratusan tahun ini tidak selamanya berjalan mulus. Bagaimanapun lekatnya kaum Tionghoa (utamanya peranakan) dengan masyarakat lokal, persinggungan tetap ada. Beberapa kejadian begitu membekas dalam ingatan warga keturunan ketika mereka harus menjadi korban amuk massa hanya karena perbuatan salah satu dari mereka. Kadang kita memang tidak sadar bahwa meski mereka berbeda dari segi tampilan fisik, mereka sudah menjadi bagian penting dalam sejarah panjang bangsa ini. Di Makassar sendiri mereka termasuk orang-orang pertama yang datang dan bergabung dengan penduduk asli, jauh sebelum orang-orang Bugis atau suku dari Nusantara lainnya datang ke kota Makassar.
Orang Makassar harus berterima kasih pada warga Tionghoa karena merekalah yang memungkinkan hadirnya mie kering yang nikmat itu. Makanan hanya salah satu jejak Tionghoa yang hadir di kota Makassar. Dalam dunia kesusatraan dan hiburan, jejak Tionghoa juga terlihat. Salah satunya adalah lagu daerah berbahasa Makassar “Ati Raja”.
Tidak ada keterangan pasti kapan orang Tionghoa mendarat di tanah Makassar, tapi sebuah literatur menyatakan kalau orang Tionghoa sudah menjejakkan kaki di Makassar pada masa abad ke 15 atau pada pemerintahan Dinasti Tang. Ketika itu kerajaan Gowa sedang berada dalam masa kejayaannya dan menjadi sebuah pusat maritim yang ramai di Nusantara.
Namun jejak historis lainnya berupa teks pada nisan di pekuburan Tionghoa di Makassar (sekarang kawasan pasar sentral) menyebutkan kalau orang Tionghoa sudah datang ke Makassar sejak abad ke 14.
Ada 3 rumpun Tionghoa yang datang ke Makassar, rumpun Hokkian, Hakka dan Kanton. Ketiga rumpun ini punya bahasa yang berbeda dan tidak saling mengerti satu sama lain. Orang Hokkian dipercaya sebagai rumpun Tionghoa pertama yang datang ke Makassar. Mereka datang secara besar-besaran hingga pada abad ke-19.
Selain Hokkian, rumpun Hakka (kek) juga adalah rumpun terbesar yang datang ke Makassar. Mereka rata-rata datang karena faktor ekonomi, di tanah Tiongkok mereka termasuk rumpun orang-orang Tionghoa yang melarat. Sebagian besar berasal dari propinsi Kwang Tung.
Orang-orang Kanton (Kwan Foe) datang belakangan sekitar abad ke-19, hampir bersamaan dengan orang Hakka. Selain ketiga rumpun itu masih ada beberapa rumpun bangsa Tionghoa lainnya yang datang ke Makassar yang berasal dari propinsi seperti Hainan atau propinsi lainnya. Tapi jumlah mereka relatif lebih kecil.
Kampung China Di Makassar
Orang-orang Tionghoa awalnya tidak datang ke kota Makassar. Mereka masuk melalui daerah benteng Somba Opu yang waktu itu menjadi pusat kerajaan Gowa yang ditandai dengan ramainya pelabuhan niaga di sungai Jeneberang.
Orang-orang Tionghoa ini datang dan bermukim di sekitar benteng Somba Opu. Sebagian besar dari mereka hidup dari perdagangan, sisanya melaut dan bertani. Kerajaan Gowa yang sedang mencapai puncak kejayaannya membuat mereka betah hidup sebagai perantau dan perlahan-lahan mulai melebur dengan penduduk asli.
Ketika kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda, pusat keramaianpun berpindah. Perlahan-lahan benteng Somba Opu mulai melemah dan ditinggalkan oleh para pedagang. Pemerintah Hindia Belanda mulai mengembangkan daerah Fort Rotterdam sebagai pusat keramaian yang baru. Inilah cikal bakal lahirnya kota Makassar yang ada sekarang.
Orang-orang Tionghoapun ikut berpindah, dari kawasan benteng Somba Opu ke kota baru yang sedang berbenah. Oleh pemerintah Hindia Belanda, orang-orang Tionghoa itu ditempatkan dalam satu kawasan khusus yang disebut Chineese Wijk (Kampung China). Mereka tidak diperbolehkan berinteraksi dengan warga sekitar. Kehidupan mereka diatur dan diawasi dengan sangat ketat.
Sampai sekarang kawasan Kampung China itu masih ada dan disebut sebagai kawasan Pecinan di kota Makassar. Kawasan Kampung China ini berbatasan dengan Kampung Melayu dan Kampung Arab tempat pemerintah Hindia Belanda menempatkan warga Melayu dan warga Arab.
Pada masa itu jalan Pasaarstraat atau sekarang bernama jalan Nusantara adalah pusat perdagangan dan pemerintahan. Kantor-kantor pemerintahan Hindia Belanda berhadap-hadapan dengan toko-toko milik orang Tionghoa. Dalam pemukiman orang Tionghoa tersebut terdapat beberapa kuil yang bukan digunakan sebagai tempat ibadah namun sebagai tempat meminta berkah, meminta keturunan atau tempat mengucap syukur.
Pembatasan wilayah untuk orang Tionghoa ini kemudian dihapuskan pemerintah Hindia-Belanda. Ini menjadi awal penyebaran orang-orang Tionghoa ke seluruh penjuru kota Makassar dan kabupaten-kabupaten lainnya di Sulawesi Selatan.
Tionghoa Keturunan dan Tionghoa Totok
Orang-orang Tionghoa yang datang ke Makassar awalnya sebagian besar hanya kaum pria tanpa didampingi oleh istri-istri mereka. Ketika sudah merasa nyaman di tempat barunya, barulah istri-istri mereka menyusul. Sebagian dari mereka menikah dengan penduduk lokal. Inilah cikal-bakal Tionghoa keturunan. Sementara yang menjaga kemurnian darah Tionghoa mereka dengan menikah hanya sesama Tionghoa disebut sebagai Tionghoa totok.
Tionghoa peranakan hadir lebih dulu daripada Tonghoa totok. Ini dikarenakan kaum wanita Tionghoa baru datang belakangan. Perkembangan Tionghoa peranakan lebih pesat dari Tionghoa totok, mereka bahkan membentuk kelompok tersendiri. Budaya mereka adalah perpaduan antara budaya Tionghoa dengan budaya lokal. Banyak kebiasaan mereka yang dipengaruhi oleh kebiasaan masyarakat lokal seperti adat istiadat dalam perkawinan.
Sebagian besar Tionghoa peranakan ini sudah tidak bisa berbahasa Mandarin lagi. Mereka lahir dan besar di Indonesia dan tidak pernah menengok tanah leluhur mereka di Tiongkok. Orang-orang Tionghoa peranakan lebih gampang diterima oleh masyarakat lokal karena memang mereka sudah banyak terpengaruh oleh budaya lokal, berbeda dengan Tionghoa totok yang cenderung lebih eksklusif dan menjaga pergaulan hanya dengan sesama orang Tionghoa.
Perpaduan budaya yang berlangsung selama ratusan tahun ini tidak selamanya berjalan mulus. Bagaimanapun lekatnya kaum Tionghoa (utamanya peranakan) dengan masyarakat lokal, persinggungan tetap ada. Beberapa kejadian begitu membekas dalam ingatan warga keturunan ketika mereka harus menjadi korban amuk massa hanya karena perbuatan salah satu dari mereka. Kadang kita memang tidak sadar bahwa meski mereka berbeda dari segi tampilan fisik, mereka sudah menjadi bagian penting dalam sejarah panjang bangsa ini. Di Makassar sendiri mereka termasuk orang-orang pertama yang datang dan bergabung dengan penduduk asli, jauh sebelum orang-orang Bugis atau suku dari Nusantara lainnya datang ke kota Makassar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar