Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan pada bulan Mei yang terjadi di Indonesia pada tanggal 13 Mei hinga 15 Mei 1998, khususnya di ibu kota Jakarta yang menelan korban cukup banyak dan juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan
dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa[1]. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut[2][3].
Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis,
kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia
keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono,
yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa,
dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus
pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya
sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut
ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi"
atau "Pro-reformasi". Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini
dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil
tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa
kerusuhan Mei 1998. Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan
bahwa bukti-bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus
pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan
dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya masyarakat
Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah
lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama
pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (genosida)
terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah
kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis
oleh pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga
menyebar ke masyarakat.
1. Pengusutan dan penyelidikan
Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan yang dikenal dengan "Laporan TGPF" [4]
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan
seksual, TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar
penampilannya diduga berlatarbelakang militer[5]. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini[6][7][8].
Pada 2004 Komnas HAM mempertanyakan kasus ini kepada Kejaksaan Agung namun sampai 1 Maret 2004 belum menerima tanggapan dari Kejaksaan Agung.[9]
1.1 Penuntutan Amandemen KUHP
Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta supaya dilakukan amandemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Menurut Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan
berupa penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun
pada kasus Mei 1998, bentuk kekerasan seksual yang terjadi sangat
beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim Pencari Fakta Tragedi Mei
1998), disiksa alat kelaminnya dengan benda tajam, anal, dan oral.
Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur dalam pasal perkosaan
Kitab UU Hukum Pidana.[10]
2. Rujukan
- http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/kerusuhan.html
- Hamid, Usman. MENATAP WAJAH KORBAN. Solidaritas Nusa Bangsa, Jakarta, 2005
- http://groups.yahoo.com/group/bhinneka/message/2249
- Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998, Situs SemanggiPeduli.com, 23 Oktober 1998. Diakses pada 15 Mei 2010.
- Ester Indahyani Jusuf, dkk. KERUSUHAN MEI 1998 – FAKTA, DATA&ANALISA. 2005. Jakarta. Kerjasama Solidaritas Nusa Bangda, APHI, dan TIFA.
- Femi Adi Soempeno& AA Kunto A. PERANG PANGLIMA – SIAPA MENGKHIANATI SIAPA?. 2009. GALANG PRESS, Yogyakarta.
- http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=14&jenis=itk
- Meicky Shoreamanis Panggabean. 2008. KEBERANIAN BERNAMA MUNIR-Mengenal Sisi-Sisi Personal Munir. Bandung: Mizan
- Komnas HAM Pertanyakan Kasus Mei 1998. Tempo Interaktif, 1 Maret 2004. Diakses pada 15 Mei 2010.
- Tempo Interaktif, Perempuan Korban Mei 1998 Butuh Amandeman KUHP
3. Pranala luar
- (Indonesia) Sejarah Reformasi - Semanggi Peduli
- (Indonesia) "Komnas HAM Pertanyakan Kasus Mei 1998", Tempo Interaktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar