JAKARTA - Upaya pemerintah untuk menghapus atau melenyapkan tindakan
korupsi di Indonesia dengan melakukan reformasi birokrasi dinilai tidak
berhasil. Bahkan, hingga saat ini tindakan korupsi kian merajalela dan
berkembang di daerah.
Alasan itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD pesimis bahwa pemerintah bisa menuntaskan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Alasan itu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD pesimis bahwa pemerintah bisa menuntaskan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Menurutnya, hingga saat pemberantasan korupsi hanyalah wacana dan teori
belaka. Bahkan, setelah kepemimpinan lima presiden pun tak terbukti
mampu menghapuskan korupsi di Indonesia. “Banyak orang berbicara hapus
korupsi, dan itu hanya teorinya saja. Sekarang itu kuncinya bertindak,
bukan teori. Jujur saja, saya malu bicara masalah birokrasi dan korupsi
seperti ini. Karena, lima orang Presiden saja tidak mampu
menghapuskannya,” terang Mahfud tadi malam.
Mahfud mengungkapkan, hingga saat ini banyak orang yang selalu aktif menyuarakan anti korupsi dan secara tegas memberikan opini dan solusi penghapusan korupsi. Namun, lanjut Mahfud, itu hanya omong kosong. “Buktinya, orang-orang yang dulunya lantang dan tegas anti korupsi dan hapuskan korupsi, namun ketika diberi jabatan memimpin suatu lembaga ternyata ia pun korupsi. Maka itu, jangan hanya ngomong dan teori. Harus bertindak juga,” tegasnya.
Ia sempat mengakui bahwa dirinya enggan untuk hadir dalam acara Deklarasi ini. Itu disebabkan sudah tidak ada teori lagi yang harus diungkapkan karena korupsi pun tetap berjalan.
“Saya sudah tidak tahu harus berteori seperti apa lagi. Sekarang ini, tugas saya hanya mengetok pejabat atau siapapun yang melakukan korupsi,” imbuhnya.
Begitu pun dengan adanya deklarasi ini, Mahfud berharap agar jalannya reformasi birokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Masalahnya, kesalahan bukan pada penyuap, melainkan pada yang meminta suap. “Para penyuap tidak akan menyuap jika tidak ada yang minta disuap. Di birokrasi kita saat ini, justru pejabat birokrasinya yang minta disuapin. Jika tidak disuapin, maka akan dipersulit. Kuncinya, harus ditindak saja,” jelas Mahfud.
Dalam kesempatan yang sama Pengamat Hukum sekaligus penggiat anti korupsi, Teten Masduki mengakui korupsi di Indonesia sulit dihapus. “Di dalam reformasi birokrasi ini tidak bisa menghapus suatu predatory yang menguasai perekonomisan, politik dan lainnya di dalam pemerintahan. Saya melihat justru yang lahir saat ini adalah sebuah oligarki hybrid baru dan sangat mengganggu birokrasi kita. Ini menjadi problem nasional,” tukasnya.
Dari kondisi demikian, lanjut Teten, mengakibatkan demokratis di Indonesia mengalami kemunduran. Menurutnya, dulu masyarakat menilai bahwa korupsi tumbuh dari kepemimpinan yang otoriter. Akan tetapi sekarang ini tindakan korupsi justru bersandingan dengan demokrasi. “Banyak sekali kasus yang terjadi. Misalnya, proses pengangkatan Kepala Sekolah (Kepsek) saat ini hampir mirip jaman kolonial. Reformasi birokrasi gagal menyingkirkan elit birokrasi yang dikembangkan elit yang korup,” ungkapnya.
Contoh lainnya, saat ini banyak sekali tindakan suap menyuap dan korupsi di Pengadilan, Kejaksaaan dan lainnya. Bukti tersebut, terang Teten, adalah salah satu faktor penghambat jalannya proses reformasi birokrasi. Namun, yang terpenting dan dibutuhkan saat ini adalah leadership dari sang pemimpin negara yakni Presiden.
“Presiden tidak berani dan tidak tegas dalam menghapus kotornya lembaga-lembaga yang terbukti korupsi. Dulu jaman Presiden Soeharto, beliau berani menyingkirkan oknum-oknum di Ditjen Bea Cukai yang terkenal kotor luar biasa dan mengerahkan 1500 anggota BPKP untuk mengaudit. Nah, kenapa kasus Nazarudin tak kunjung selesai? Kenapa Presiden tidak berani mengambil langkah seperti Presiden terdahulu? Tetapi ya sudah lah, kita jangan berharap banyak deh, karena kita pasti kecewa,” serunya.
Editor: PRAWIRA SETIABUDIMahfud mengungkapkan, hingga saat ini banyak orang yang selalu aktif menyuarakan anti korupsi dan secara tegas memberikan opini dan solusi penghapusan korupsi. Namun, lanjut Mahfud, itu hanya omong kosong. “Buktinya, orang-orang yang dulunya lantang dan tegas anti korupsi dan hapuskan korupsi, namun ketika diberi jabatan memimpin suatu lembaga ternyata ia pun korupsi. Maka itu, jangan hanya ngomong dan teori. Harus bertindak juga,” tegasnya.
Ia sempat mengakui bahwa dirinya enggan untuk hadir dalam acara Deklarasi ini. Itu disebabkan sudah tidak ada teori lagi yang harus diungkapkan karena korupsi pun tetap berjalan.
“Saya sudah tidak tahu harus berteori seperti apa lagi. Sekarang ini, tugas saya hanya mengetok pejabat atau siapapun yang melakukan korupsi,” imbuhnya.
Begitu pun dengan adanya deklarasi ini, Mahfud berharap agar jalannya reformasi birokrasi di Indonesia menjadi lebih baik. Masalahnya, kesalahan bukan pada penyuap, melainkan pada yang meminta suap. “Para penyuap tidak akan menyuap jika tidak ada yang minta disuap. Di birokrasi kita saat ini, justru pejabat birokrasinya yang minta disuapin. Jika tidak disuapin, maka akan dipersulit. Kuncinya, harus ditindak saja,” jelas Mahfud.
Dalam kesempatan yang sama Pengamat Hukum sekaligus penggiat anti korupsi, Teten Masduki mengakui korupsi di Indonesia sulit dihapus. “Di dalam reformasi birokrasi ini tidak bisa menghapus suatu predatory yang menguasai perekonomisan, politik dan lainnya di dalam pemerintahan. Saya melihat justru yang lahir saat ini adalah sebuah oligarki hybrid baru dan sangat mengganggu birokrasi kita. Ini menjadi problem nasional,” tukasnya.
Dari kondisi demikian, lanjut Teten, mengakibatkan demokratis di Indonesia mengalami kemunduran. Menurutnya, dulu masyarakat menilai bahwa korupsi tumbuh dari kepemimpinan yang otoriter. Akan tetapi sekarang ini tindakan korupsi justru bersandingan dengan demokrasi. “Banyak sekali kasus yang terjadi. Misalnya, proses pengangkatan Kepala Sekolah (Kepsek) saat ini hampir mirip jaman kolonial. Reformasi birokrasi gagal menyingkirkan elit birokrasi yang dikembangkan elit yang korup,” ungkapnya.
Contoh lainnya, saat ini banyak sekali tindakan suap menyuap dan korupsi di Pengadilan, Kejaksaaan dan lainnya. Bukti tersebut, terang Teten, adalah salah satu faktor penghambat jalannya proses reformasi birokrasi. Namun, yang terpenting dan dibutuhkan saat ini adalah leadership dari sang pemimpin negara yakni Presiden.
“Presiden tidak berani dan tidak tegas dalam menghapus kotornya lembaga-lembaga yang terbukti korupsi. Dulu jaman Presiden Soeharto, beliau berani menyingkirkan oknum-oknum di Ditjen Bea Cukai yang terkenal kotor luar biasa dan mengerahkan 1500 anggota BPKP untuk mengaudit. Nah, kenapa kasus Nazarudin tak kunjung selesai? Kenapa Presiden tidak berani mengambil langkah seperti Presiden terdahulu? Tetapi ya sudah lah, kita jangan berharap banyak deh, karena kita pasti kecewa,” serunya.
(dat03/jppn)
Sumber; WSAPADA ONLINE
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar