Sejarah berdirinya Partai Amanat Nasional (PAN) tidak lepas dari hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah, 5-7 Juni 1998 di Semarang, Jawa Tengah. Dalam sidang itu, Komisi C merekomendasikan kepada Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah agar mempersiapkan partai politik baru. Pada penutupan sidang, Amien Rais mengumumkan akan membentuk partai politik baru. Sejak itulah pertautan sejarah Muhammadiyah-PAN terukir.
PAN yang lahir dari rahim reformasi memang tidak semata melibatkan unsur Muhammadiyah. Unsur lainnya juga terlibat secara intens, antara lain kelompok Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang didirikan pada 14 Mei 1998 oleh beberapa intelektual prodemokrasi seperti Goenawan Mohamad, Faisal Basri, Th Sumartana, Albert Hasibuan, Toety Herawaty dan sebagainya. Sedangkan para intelektual muslim kelompok Tebet Society juga ikut memberikan kontribusi terhadap proses pendirian PAN. Di antaranya Amin Azis, AM Fatwa, Dawam Rahardjo, AM Luthfi, Abdillah Thoha, dan lain-lain. Eksponen Tebet Society ini juga para aktivis Muhamadiyah.
Setelah PAN dideklarasikan 23 Agustus 1998, dilanjutkan dengan pembentukan PAN di wilayah dan daerah di seluruh pelosok nusantara. Karena para inisiator dan yang terlibat di komite pendirian PAN lebih banyak aktivis dan fungsionaris Muhammadiyah. Tidak heran bila perluasan infrastruktur PAN di seluruh pelosok negeri berjalan karena dibantu jaringan infrastruktur Muhammadiyah.Akar historis ini membuat pernak-pernik kehidupan PAN semakin berwarna.
Secara organisatoris, tidak ada hubungan antara PAN dan Muhammadiyah. Namun secara historis, adanya PAN karena adanya Muhammadiyah. Situasi PAN seperti ini mirip dengan keberadaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Nahdlatul Ulama (NU): adanya PKB karena adanya NU.
Akar masalah
Dalam pemilihan umum (pemilu) yang diikuti PAN, sebagian eksponen Muhammadiyah menilai PAN tidak lagi memperhatikan kader dan suara Muhammadiyah. Kritik itu datangnya dari kaum muda progresif Muhammadiyah. Dalam penyusunan struktur calon anggota legislatif (caleg) pada 2004 lalu, misalnya, kader Muhammadiyah tidak ditempatkan dalam posisi signifikan. Akibatnya, sangat sedikit kader muda Muhammadiyah yang berhasil lolos ke parlemen.
Kasus ini hanyalah salah satu pemicu dari pola hubungan yang belum tertata secara baik antara PAN dan Muhammadiyah. Komunikasi yang tidak lancar menyebabkan adanya kemacetan interaksi. Tidak heran pada bulan Maret lalu kaum muda progresif Muhammadiyah mendirikan Perhimpunan Amanat Muhammadiyah (PAM) di kantor Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya No 62 Jakarta. Meskipun mengundang pro-kontra, PAM telah berdiri.
Di samping itu, format hubungan antara akar historis pendirian PAN dengan identitas PAN sebagai partai plural, juga menjadi akar persoalan tersendiri. Sebagai partai terbuka, plural, nonsektarian, dan nondiskriminatif, PAN akan mengakomodasi seluruh anak bangsa dari berbagai suku, agama, ras, status sosial, gender, dan golongan. Namun, ketika identitas PAN dikaitkan dengan nilai historis pendirian PAN dan juga dihubungkan dengan basis sosial PAN yang merupakan warga Muhammadiyah, timbul persoalan yang hingga kini bak awan gelap yang menutupi sinar matahari.
Persoalan Kultural dan Struktural
Berdirinya PAN merupakan ijtihad politik Muhammadiyah untuk membentuk partai politik baru dengan Amien Rais, mantan ketua PP Muhammadiyah, menjadi ketua umumnya. Inilah yang menyebabkan basis sosial PAN sebagian besar terakumulasi dari warga Muhammadiyah. Sebagian besar fungsionaris PAN, terutama di wilayah dan daerah adalah warga Muhammadiyah.
Tapi sampai saat ini masih ada sejumlah perbedaan pendapat di internal Muhammadiyah dalam menyikapi kondisi itu. Antara lain, pertama, Muhammadiyah harus mengambil jarak dengan seluruh partai politik, termasuk PAN. Agar Muhammadiyah tak sampai tersubordinasi atau terkooptasi oleh kekuatan partai politik. Jarak itu akan menjaga persepsi publik terhadap Muhammadiyah sebagai institusi sosial keagamaan yang bersikap netral serta tetap bersifat otonom.
Bila tak ada jarak, hal itu akan berakibat negatif terhadap eksistensi masing-masing. Muhammadiyah bisa ditarik ke wilayah politik praktis yang bisa mereduksi citranya sebagai lembaga dakwah. Bahkan akan semakin mengentalkan citra publik bahwa PAN adalah ‘Partai Muhammadiyah’. Untuk beberapa daerah tertentu yang berbasis Muhammadiyah, tentu tidak jadi masalah. Namun bagi daerah yang tidak memiliki basis sosial warga Muhammadiyah, itu jadi faktor penghambat masuknya kelompok sosial non-Muhammadiyah.
Kedua, Muhammadiyah secara lembaga harus secara jelas mem-back up keberadaan PAN. Sebab Muhammadiyah harus mempunyai partai politik utama yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Namun back up hanya bersifat aspiratif. Artinya, warga Muhammadiyah tetap akan menjadikan PAN sebagai partai utama Muhammadiyah untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya.
Dua pendapat itu sampai hari ini masih tumbuh subur sebagai wacana. Secara kultural, PAN memang tidak dapat dilepaskan dari Muhammadiyah. Banyaknya warga Muhammadiyah yang menjadi fungsionaris PAN di wilayah dan daerah, juga menandai ikatan kultural ini. Tapi, hal itu ternyata masih pula menyisakan sejumlah persoalan baru ketika berbicara soal komposisi struktural kepengurusan partai.
Komposisi struktural di wilayah dan daerah tidak ada masalah. Namun di pusat, sebagian eksponen Muhammadiyah mempersoalkan PAN yang dianggap tidak mengakomodasi dan mempertimbangkan kader-kader terbaik Muhammadiyah untuk memperkuat di struktur kekuasaan partai. Hal itu ‘diperparah’ persoalan caleg, karena banyak yang ditempatkan di ‘nomor sepatu’ dan gagal ke parlemen.
Perlu dijernihkan
Menghadapi persoalan tersebut, hubungan Muhammadiyah-PAN perlu dijernihkan.
Pertama, Muhammadiyah secara institusional tetap sebagai ‘payung politik’ (political umbrella) bagi semua partai politik. Sebab warga peryarikatan tidak hanya melakukan pengabdian politik di PAN, tapi juga di partai-partai lain. Posisi ini akan mengayomi seluruh partai politik. Meski secara kultural, kenyataannya warga Muhammadiyah lebih dekat ke PAN, bahkan hingga terbentuk basis sosial sebagai pemilih tradisional PAN.
Kedua, karena secara kultural warga Muhammadiyah lebih dekat ke PAN (atau PAN lebih dekat ke Muhammadiyah), PAN mesti dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan politik warga Muhammadiyah di parlemen agar menjadi kebijakan publik.
Ketiga sebagai partai plural, maka komposisi struktur PAN penuh dengan warna-warni. Tapi, perlu juga dipikirkan bagaimana Muhammadiyah secara organisasional melakukan seleksi internal terhadap kader terbaiknya untuk ‘direkomendasikan’ masuk di struktur partai secara lebih proporsional. Namun jangan sampai terkesan PAN hanya milik Muhammadiyah. Sebab dalam usaha memperbesar basis sosial, partai harus pula merambah kelompok sosial lainnya. PAN bukan partai agama. Azas dan platform partai lebih cenderung mencerminkan nilai-nilai kebangsaan. Meskipun posisi ideologi politik PAN berada pada kutub tengah, namun memang cenderung ke kanan. Posisi ini jelas menyiratkan bahwa PAN itu dekat dengan umat dan dalam pengalaman empirisnya selalu memperjuangkan aspirasi umat.
Keempat, PAN mesti mengembangkan wacana keumatan dan wacana kebangsaan dalam menegakkan eksistensinya. Mungkin ini akan mendorong citra PAN sebagai partai plural-inklusif, sekaligus partai nasionalis-religius. Selanjutnya, wacana ini diturunkan menjadi program aksi, tanpa membesar-besarkan perdebatan unsur Muhammadiyah-nonMuhammadiyah. Rasanya, itu merupakan alternatif untuk keluar dari perdebatan internal yang terkadang punya motif kepentingan pribadi, tapi mengatasnamakan unsur Muhammadiyah-nonMuhammadiyah.
Bila persoalan di atas dapat diselesaikan secara struktural maupun kultural, maka upaya PAN untuk melakukan dialog peradaban dengan Muhammadiyah akan berjalan dengan baik, tanpa menutup peluang untuk mengembangkan citra PAN yang pluralis, inklusif, dan nondiskriminatif.
PAN yang lahir dari rahim reformasi memang tidak semata melibatkan unsur Muhammadiyah. Unsur lainnya juga terlibat secara intens, antara lain kelompok Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang didirikan pada 14 Mei 1998 oleh beberapa intelektual prodemokrasi seperti Goenawan Mohamad, Faisal Basri, Th Sumartana, Albert Hasibuan, Toety Herawaty dan sebagainya. Sedangkan para intelektual muslim kelompok Tebet Society juga ikut memberikan kontribusi terhadap proses pendirian PAN. Di antaranya Amin Azis, AM Fatwa, Dawam Rahardjo, AM Luthfi, Abdillah Thoha, dan lain-lain. Eksponen Tebet Society ini juga para aktivis Muhamadiyah.
Setelah PAN dideklarasikan 23 Agustus 1998, dilanjutkan dengan pembentukan PAN di wilayah dan daerah di seluruh pelosok nusantara. Karena para inisiator dan yang terlibat di komite pendirian PAN lebih banyak aktivis dan fungsionaris Muhammadiyah. Tidak heran bila perluasan infrastruktur PAN di seluruh pelosok negeri berjalan karena dibantu jaringan infrastruktur Muhammadiyah.Akar historis ini membuat pernak-pernik kehidupan PAN semakin berwarna.
Secara organisatoris, tidak ada hubungan antara PAN dan Muhammadiyah. Namun secara historis, adanya PAN karena adanya Muhammadiyah. Situasi PAN seperti ini mirip dengan keberadaan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan Nahdlatul Ulama (NU): adanya PKB karena adanya NU.
Akar masalah
Dalam pemilihan umum (pemilu) yang diikuti PAN, sebagian eksponen Muhammadiyah menilai PAN tidak lagi memperhatikan kader dan suara Muhammadiyah. Kritik itu datangnya dari kaum muda progresif Muhammadiyah. Dalam penyusunan struktur calon anggota legislatif (caleg) pada 2004 lalu, misalnya, kader Muhammadiyah tidak ditempatkan dalam posisi signifikan. Akibatnya, sangat sedikit kader muda Muhammadiyah yang berhasil lolos ke parlemen.
Kasus ini hanyalah salah satu pemicu dari pola hubungan yang belum tertata secara baik antara PAN dan Muhammadiyah. Komunikasi yang tidak lancar menyebabkan adanya kemacetan interaksi. Tidak heran pada bulan Maret lalu kaum muda progresif Muhammadiyah mendirikan Perhimpunan Amanat Muhammadiyah (PAM) di kantor Gedung Dakwah Muhammadiyah, Jl Menteng Raya No 62 Jakarta. Meskipun mengundang pro-kontra, PAM telah berdiri.
Di samping itu, format hubungan antara akar historis pendirian PAN dengan identitas PAN sebagai partai plural, juga menjadi akar persoalan tersendiri. Sebagai partai terbuka, plural, nonsektarian, dan nondiskriminatif, PAN akan mengakomodasi seluruh anak bangsa dari berbagai suku, agama, ras, status sosial, gender, dan golongan. Namun, ketika identitas PAN dikaitkan dengan nilai historis pendirian PAN dan juga dihubungkan dengan basis sosial PAN yang merupakan warga Muhammadiyah, timbul persoalan yang hingga kini bak awan gelap yang menutupi sinar matahari.
Persoalan Kultural dan Struktural
Berdirinya PAN merupakan ijtihad politik Muhammadiyah untuk membentuk partai politik baru dengan Amien Rais, mantan ketua PP Muhammadiyah, menjadi ketua umumnya. Inilah yang menyebabkan basis sosial PAN sebagian besar terakumulasi dari warga Muhammadiyah. Sebagian besar fungsionaris PAN, terutama di wilayah dan daerah adalah warga Muhammadiyah.
Tapi sampai saat ini masih ada sejumlah perbedaan pendapat di internal Muhammadiyah dalam menyikapi kondisi itu. Antara lain, pertama, Muhammadiyah harus mengambil jarak dengan seluruh partai politik, termasuk PAN. Agar Muhammadiyah tak sampai tersubordinasi atau terkooptasi oleh kekuatan partai politik. Jarak itu akan menjaga persepsi publik terhadap Muhammadiyah sebagai institusi sosial keagamaan yang bersikap netral serta tetap bersifat otonom.
Bila tak ada jarak, hal itu akan berakibat negatif terhadap eksistensi masing-masing. Muhammadiyah bisa ditarik ke wilayah politik praktis yang bisa mereduksi citranya sebagai lembaga dakwah. Bahkan akan semakin mengentalkan citra publik bahwa PAN adalah ‘Partai Muhammadiyah’. Untuk beberapa daerah tertentu yang berbasis Muhammadiyah, tentu tidak jadi masalah. Namun bagi daerah yang tidak memiliki basis sosial warga Muhammadiyah, itu jadi faktor penghambat masuknya kelompok sosial non-Muhammadiyah.
Kedua, Muhammadiyah secara lembaga harus secara jelas mem-back up keberadaan PAN. Sebab Muhammadiyah harus mempunyai partai politik utama yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Namun back up hanya bersifat aspiratif. Artinya, warga Muhammadiyah tetap akan menjadikan PAN sebagai partai utama Muhammadiyah untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingannya.
Dua pendapat itu sampai hari ini masih tumbuh subur sebagai wacana. Secara kultural, PAN memang tidak dapat dilepaskan dari Muhammadiyah. Banyaknya warga Muhammadiyah yang menjadi fungsionaris PAN di wilayah dan daerah, juga menandai ikatan kultural ini. Tapi, hal itu ternyata masih pula menyisakan sejumlah persoalan baru ketika berbicara soal komposisi struktural kepengurusan partai.
Komposisi struktural di wilayah dan daerah tidak ada masalah. Namun di pusat, sebagian eksponen Muhammadiyah mempersoalkan PAN yang dianggap tidak mengakomodasi dan mempertimbangkan kader-kader terbaik Muhammadiyah untuk memperkuat di struktur kekuasaan partai. Hal itu ‘diperparah’ persoalan caleg, karena banyak yang ditempatkan di ‘nomor sepatu’ dan gagal ke parlemen.
Perlu dijernihkan
Menghadapi persoalan tersebut, hubungan Muhammadiyah-PAN perlu dijernihkan.
Pertama, Muhammadiyah secara institusional tetap sebagai ‘payung politik’ (political umbrella) bagi semua partai politik. Sebab warga peryarikatan tidak hanya melakukan pengabdian politik di PAN, tapi juga di partai-partai lain. Posisi ini akan mengayomi seluruh partai politik. Meski secara kultural, kenyataannya warga Muhammadiyah lebih dekat ke PAN, bahkan hingga terbentuk basis sosial sebagai pemilih tradisional PAN.
Kedua, karena secara kultural warga Muhammadiyah lebih dekat ke PAN (atau PAN lebih dekat ke Muhammadiyah), PAN mesti dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingan politik warga Muhammadiyah di parlemen agar menjadi kebijakan publik.
Ketiga sebagai partai plural, maka komposisi struktur PAN penuh dengan warna-warni. Tapi, perlu juga dipikirkan bagaimana Muhammadiyah secara organisasional melakukan seleksi internal terhadap kader terbaiknya untuk ‘direkomendasikan’ masuk di struktur partai secara lebih proporsional. Namun jangan sampai terkesan PAN hanya milik Muhammadiyah. Sebab dalam usaha memperbesar basis sosial, partai harus pula merambah kelompok sosial lainnya. PAN bukan partai agama. Azas dan platform partai lebih cenderung mencerminkan nilai-nilai kebangsaan. Meskipun posisi ideologi politik PAN berada pada kutub tengah, namun memang cenderung ke kanan. Posisi ini jelas menyiratkan bahwa PAN itu dekat dengan umat dan dalam pengalaman empirisnya selalu memperjuangkan aspirasi umat.
Keempat, PAN mesti mengembangkan wacana keumatan dan wacana kebangsaan dalam menegakkan eksistensinya. Mungkin ini akan mendorong citra PAN sebagai partai plural-inklusif, sekaligus partai nasionalis-religius. Selanjutnya, wacana ini diturunkan menjadi program aksi, tanpa membesar-besarkan perdebatan unsur Muhammadiyah-nonMuhammadiyah. Rasanya, itu merupakan alternatif untuk keluar dari perdebatan internal yang terkadang punya motif kepentingan pribadi, tapi mengatasnamakan unsur Muhammadiyah-nonMuhammadiyah.
Bila persoalan di atas dapat diselesaikan secara struktural maupun kultural, maka upaya PAN untuk melakukan dialog peradaban dengan Muhammadiyah akan berjalan dengan baik, tanpa menutup peluang untuk mengembangkan citra PAN yang pluralis, inklusif, dan nondiskriminatif.
(DPRku Com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar