"HANYA ada satu macam dosa. Hanya satu, yaitu mencuri.
Dosa-dosa lain adalah variasi dari dosa itu. Tak ada tindakan yang lebih
buruk daripada mencuri." Demikianlah penggalan percakapan antara Baba
dengan Amir dalam novel The Kite Runner karya Khaled Hosseini (2003).
Prinsipnya, mencuri adalah sumber dari segala keburukan.
Kondisi
bangsa hari ini menjadi bukti sahih betapa dahsyatnya dampak mencuri.
Mudah saja menafsirkan 'mencuri' dalam bahasa Indonesia yang paling
umum: mengambil yang bukan haknya. Meski pada akhirnya bahasa hukum
memetakan tindakan 'mencuri' ke dalam beberapa rumusan pasal. Mencuri
sandal, kakao, dan semangka masuk dalam delik pencurian yang diatur
dalam pasal 362-367 KUHP, sementara mencuri uang negara distempel dengan
tindak pidana korupsi dan diancam sesuai dengan ketentuan UU 31/1999 jo
UU 20/2001. Kita semua tahu perbedaan mendasar keduanya sehingga
'mencuri' perlu diatur dengan cara yang berbeda.
Berbagai
kegaduhan penegakan hukum ternyata 'hanya' mampu menempatkan Indonesia
pada urutan 100 negara terbersih dari korupsi menurut survei
Transparency International dengan indeks persepsi 3.00 dari indeksi
tertinggi 10. Meski terdapat kenaikan dan patut diapresiasi, tentunya
hasil tersebut tidak cukup sebanding dengan hiruk-pikuk negara yang
segenap pemimpin, birokrat, dan aparat hukumnya menyatakan diri sebagai
garda depan pemberantasan korupsi.
Celakanya, penegak hukum
seperti tidak bisa membedakan makna 'mencuri' yang telah disepakati tak
sama. Kegagalan menempatkan prioritas adalah gambaran bobroknya daya
serap dan daya tangkap aparat dalam memaknai suatu tindak pidana.
Rekening gendut jenderal polisi dan pemukulan aktivis antikorupsi tak
pernah selesai kasusnya sampai hari ini, serta berbagai vonis bebas bagi
terdakwa korupsi bak jamur di musim hujan, sementara AAL si bocah
pencuri sandal dinyatakan bersalah meski banyak keganjilan dalam
perkaranya. Hal tersebut melengkapi kasus-kasus serupa yang
menjustifikasi bahwa hukum bukan untuk mereka yang lemah.
Atau
jangan-jangan pemaknaan korupsi hari ini diartikan tidak lebih buruk
daripada tindakan AAL si pencuri sandal, sehingga tidak perlu dilakukan
penanganan yang luar biasa untuk mencegah dan memberantasnya? Atau
bahasa hukum memang terlalu rumit menafsirkan korupsi yang 'hanya
mencuri' itu? Atau memang materi telah membungkus keadilan dengan
sesuatu yang lain? Jika hukum memang tak mampu memberikan jawaban,
lantas tinggallah bangsa ini menunggu hadiah dari Tuhan, meski hadiah
itu tak akan pernah hadir jika tak diperjuangkan. Dicarilah mereka, atau
kita: pejuang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar