Anak perempuan Toraja pada upacara pernikahan |
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[3] Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan
dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial
yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung
selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka
masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal
tahun 1900-an, misionaris Belanda
datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada
dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.[4]
Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya,
dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi
masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.[5]
1. Identitas etnis
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri
mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda
dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran
tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai
kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di
antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial,
dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3] Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di
wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan
bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4]
Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku
Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar
(pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]
2. Sejarah
Letak Toraja (hijau) di antara Makassar (kuning) dan Bugis (merah). |
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku Toraja.[7] Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuture bahasa Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie
(VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi
Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan
hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19,
Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam
di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis.
Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang
potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama
Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.[2]
Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan
menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah
Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.[2]
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari
suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan
Toraja.[9]
Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa
oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang
tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat.
Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya
Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.[10] Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.[9]
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun
1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan
Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan
politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951
dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami
kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam,
yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang
gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan
semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.[11]
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk
Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.[12] Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
3. Masyarakat
3.1. Keluarga
Sebuah perkampungan suku Toraja |
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan
memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut
memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat
dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku
Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu
ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13]
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian
bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam
ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.[14]
Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya,
termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar
kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah
meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama
ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja,
masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi
tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah
mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang,
bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara
keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah
leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun
hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan
masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak,
siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap
orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau
dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk
masing-masing orang.[15]
3.2. Kelas sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda).
Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi
perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan
status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan
terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan
martabat keluarga.[5]
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,[16] tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan
milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para
bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga
kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan
perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status
keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.[13] Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga.
Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan
membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang,
dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan
mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak
diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
3.3. Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk,
atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos
Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga
yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan
dengan Puang Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9]
Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan,
pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang
dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh
empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di
atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya
adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.[18]
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk
bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum
adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan.
Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah
jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19] Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
4. Kebudayaan
4.1. Tongkonan
Tiga tongkonan di desa Toraja. |
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas
tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan
kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang
berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual
suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut
serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur
mereka.[15]
Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga
dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru
rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya
dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan.
Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan
sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota
keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat
dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan
batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang
seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan
di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa
pun mampu membangun tongkonan yang besar.
4.2. Ukiran kayu
Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik. |
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[21] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong
yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran
kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah
melambangkan kerbau
atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak
kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar
semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti
barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas
dan kanan atas melambangkan hewan air,
menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti
hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya
kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu
Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga
abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen
Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika
dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja
membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
4.3. Upacara pemakaman
Tempat penguburan Toraja yang diukir. |
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang
paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang,
maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk,
hanya keluarga bangsawan
yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman
seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung
selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante
biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai
tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan
berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan
ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja
tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin,
dan orang kelas rendah.[23]
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah
berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian
yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.[24]
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah
dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan.
Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara
pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.[25]
Sebuah makam. |
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok.
Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu
pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa
arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih
cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi
merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para
pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian
daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu
akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.[26]
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing.
Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di
beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh
anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.[27]
Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing.
Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan
membuat petinya terjatuh.
4.4. Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam
upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan
untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang
arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama,
sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam
untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).[6][26] Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing
ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa
orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit
kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki
dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut
Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'. |
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan,
ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan
tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat
musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.[29]
5. Bahasa
Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30]
Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk
banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya
pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi
terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.[6]
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka
cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat
bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses
berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.[23] Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis
bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari
peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga
ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.
6. Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai
berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan
minyak dan pertambangan Multinasional
membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi
muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka
pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.[2]
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal
pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja
memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia
pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah
menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja lalu dkenal
sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama dijalankan oleh pengusaha kecil.
7. Komersialisasi
Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja. |
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan
barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja.
Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang
dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa.[2] Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.[31] "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".[5]
Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat
150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000
turis domestik),[4] dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2]
Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan
restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara
baru pada tahun 1981.[15]
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah
petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil.
Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".[2] Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan
dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk
keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal
ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan
pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku
Toraja.[4]
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
(sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah
menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai
"objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada
daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah
tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh
beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan
tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun
1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai
"objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini
hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit
bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.[4]
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat
sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang),
dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan.
Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan
telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat,[5]
sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya.
Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka
sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu
menikahi perempuan bangsawan.
8. Filosofi Tau
Secara sadar atau tidak sadar, masyarakat toraja hidup dan tumbuh
dalam sebuah tatanan masyarakat yang menganut filosofi tau. Filosofi tau
dibutuhkan sebagai pegangan dan arah menjadi manusia (manusia="tau"
dalam bahasa toraja) sesungguhnya dalam konteks masyarakat toraja.
Filosofi tau memiliki empat pilar utama yang mengharuskan setiap
masyarakat toraja untuk menggapainya, antara lain: - Sugi' (Kaya) -
Barani (Berani) - Manarang (Pintar) - Kinawa (memiliki nilai-nilai
luhur, agamis, bijaksana) Keempat pilar di atas tidak dapat di tafsirkan
secara bebas karena memiliki makna yang lebih dalam daripada pemahaman
kata secara bebas. Seorang toraja menjadi manusia yang sesungguhnya
ketika dia telah memiliki dan hidup sebagai Tau.
9. Catatan kaki
- "Tana Toraja official website" (dalam bahasa Indonesia). Diakses pada 4 Oktober 2006.
- Volkman, Toby Alice (February 1990). "Visions and Revisions: Toraja Culture and the Tourist Gaze". American Ethnologist 17 (1): 91–110. doi:. Diakses pada 18 Mei 2007.
- Nooy-Palm, Hetty (1975). "Introduction to the Sa'dan People and their Country". Archipel 15: 163–192.
- Adams, Kathleen M. (January 31, 1990). "Cultural Commoditization in Tana Toraja, Indonesia". Cultural Survival Quarterly 14 (1). Diakses pada 18 Mei 2007.
- Adams, Kathleen M. (Spring 1995). "Making-Up the Toraja? The Appropriate of Tourism, Anthropology, and Museums for Politics in Upland Sulawesi, Indonesia". Ethnology 34 (2): 143. doi: . ISSN 0014-1828. Diakses pada 18 Mei 2007.
- Sutton, R. Anderson (1995). "Performing arts and cultural politics in South Sulawesi" (PDF). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151 (4): 672–699.
- Kruyt, A.C. (1938) (dalam bahasa Bahasa Belanda). De West-Toradjas op Midden-Celebes. Amsterdam: Noord-Hollandsche Uitgevers-Maatschappij.
- Schrauwers, Albert (1997). "Houses, hierarchy, headhunting and exchange; Rethinking political relations in the Southeast Asian realm of Luwu’" (PDF). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 153 (3): 356–380. Diakses pada 18 Mei 2007.
- cf. Kis-Jovak et al. (1988), Ch. 2, Hetty Nooy-Palm, The World of Toraja, hal. 12–18.
- Ngelow, Zakaria J. (Summer 2004). "Traditional Culture, Christianity and Globalization in Indonesia: The Case of Torajan Christians" (PDF). Inter-Religio 45. Diakses pada 18 Mei 2007.
- Volkman, Toby Alice (December 31, 1983). "A View from the Mountains" ([pranala nonaktif] – Scholar search). Cultural Survival Quarterly 7 (4). Diakses pada 18 Mei 2007.
- Yang, Heriyanto (August 2005). "The history and legal position of Confucianism in postindependence Indonesia" (PDF). Marburg Journal of Religion 10 (1). Diakses pada 18 Mei 2007.
- Waterson, Roxana (1986). "The ideology and terminology of kinship among the Sa’dan Toraja" (PDF). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 142 (1): 87–112. Diakses pada 18 Mei 2007.
- Waterson, Roxana (1995). "Houses, graves and the limits of kinship groupings among the Sa’dan Toraja" (PDF). Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 151 (2): 194–217. Diakses pada 18 Mei 2007.
- Volkman, Toby Alice (February 1984). "Great Performances: Toraja Cultural Identity in the 1970s". American Ethnologist 11 (1): 152. doi:. Diakses pada 21 Mei 2007.
- Wellenkamp, Jane C. (1988). "Order and Disorder in Toraja Thought and Ritual". Ethnology 27 (3): 311–326. doi: .
- toraja.go.id, diakses pada 18 Mei 2007.
- Toraja Religion. Overview of World Religion. St. Martin College, Britania Raya. Diakses pada 6 September 2009.
- cf. Wellenkamp (1988).
- "Toraja Architecture". Ladybamboo Foundation. Diakses pada 4 September 2009.
- Palmer, Miquel Alberti (2006). "The Kira-kira method of the Torajan woodcarvers of Sulawesi to divide a segment into equal parts" (doc). Third International Conference on Ethnomathematics: Cultural Connections and Mathematical Manipulations, Auckland, New Zealand: University of Auckland. Diakses pada 2007-05-18.
- Sande, J.S. (1989). "Toraja Wood-Carving Motifs". Ujung Pandang. Diakses pada 18 Mei 2007.
- Jane C. Wellenkamp (August 1988). "Notions of Grief and Catharsis among the Toraja". American Ethnologist 15 (3): 486–500. doi: .
- Pada tahun 1992, seorang pemuka Toraja, mantan bupati Tana Toraja, meninggal, dan keluarganya meminta sebanyak US$125,000 dari sebuah stasiun televisi Jepang sebagai lisensi untuk merekam upacara pemakaman tersebut. Cf. Yamashita (1994).
- Hollan, Douglas (December 1995). "To the Afterworld and Back: Mourning and Dreams of the Dead among the Toraja". Ethos 23 (4): 424–436. doi:. Diakses pada 18 Mei 2007.
- Yamashita, Shinji (October 1994). "Manipulating Ethnic Tradition: The Funeral Ceremony, Tourism, and Television among the Toraja of Sulawesi" ([pranala nonaktif] – Scholar search). Indonesia 58: 69–82. doi:. Diakses pada 18 Mei 2007.
- Tau tau sring dicuri dan dijual sebagai barang antik, contohnya adalah tau tau' yang dipamerkan di pameran di museum Brooklyn pada tahun 1981 serta di Galeri Arnold Herstand di New York pada 1984. Cf. Volkman Volkman (1990).
- "Toraja Dances". www.batusura.de. Diakses pada 2 Mei 2007.
- "Toraja Music". www.batusura.de. Diakses pada 2 Mei 2007.
- Gordon, Raymond G. (2005) (online version). Ethnologue: Languages of the World. Dallas, Tex.: SIL International. Diakses pada 17 Oktober 2006.
back to suku
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar