Sejarah
Majelis Mujahidin lahir berawal dari keprihatinan para tokoh gerakan Islam yang pernah digembleng di “pesantren Orde Baru” seperti Irfan Suryahardi, Deliar Noer, Syahirul Alim, Mursalin Dahlan, Mawardi Noor dan lain-lain. Mereka terdorong untuk mengadakan forum kecil, berdiskusi yang ujungnya menggagas lahirnya suatu lembaga yang bisa menyatukan visi kaum muslimin yang hendak memperjuangkan tegaknya syariat Islam, yaitu Majelis Mujahidin.(Awwas,2001:331).
Untuk menandai lahirnya institusi tersebut diadakan kongres I Majelis Mujahidin di Yogyakarta tanggal 5-7 Agustus 2000.
Saat itu hadir kira-kira 1500 orang dari berbagai gerakan di seluruh
tanah air, bahkan hadir pula beberapa perwakilan dari negara sahabat,
seperti Moro, Malaysia, dan Arab Saudi.(Awwas,2001;336).
Keanggotaan
Dilihat dari kacamata ekonomi, kader-kader Mujahidin adalah kaum yang
masuk dalam strata ekonomi menengah kebawah. Jika dilihat dari jenis
pekerjaan, maka memiliki variasi yang sangat banyak, ada pedagang, buruh
bangunan, pedagang kaki lima dll.
Aktivitas
Aliansi Gerakan
Pada Kongres I di Yogyakarta,
diputuskan bahwa Majelis Mujahidin merupakan organisasi aliansi gerakan
(tansiq amal) yang bersifat universal, tidak dibatasi suku, bangsa
maupun negara.
Memang format tansiq ini memang masih menjadi bahan perdebatan yang
cukup panjang di antara aktivis Majelis Mujahidin. Namun yang pasti,
tansiq ini bisa saja diikuti oleh organisasi maupun personal. Meskipun
tidak atau belum ada aturan tertulis mengenai syarat menjadi anggota
Majelis Mujahidin, namun cukup dimaklumi bahwa anggota Majelis Mujahidin
adalah muslim yang taat.
Konsekuensi lain dari format aliansi adalah adanya kesiapan
anggota-anggotanya untuk berbeda pendapat dengan anggota yang lainnya.
Inilah barangkali yang menjadi ciri khusus Majelis Mujahidin,
dibandingkan dengan kelompok muslim
“fundamentalis” yang pada umumnya tertutup tetapi justru di sini
kader-kadernya harus siap menghadapi perbedaan-perbedaan. Namun ternyata
jika diselami lebih jauh, aliansi Mujahidin ini masih mempersyaratkan,
yaitu keshahihan aqidah, dalam timbangan mujadihin, yaitu dalam
prespektif aqidah salaf. Dengan mereka yang sama-sama beraqidah salaf
bisa melakukan aliansi lebih terbuka, sedangkan dengan mereka yang tidak
beraqidah salaf, aliansinya dilakukan hanya dalam wilayah perjuangan
penegakan syariah. Jadi di sini semacam ada kaidah “kita beramal dalam masalah yang kita sepakati” (Qardlawi,1997;141)
Selain konsekuensi tersebut, format keanggotaan seperti ini cukup
rawan menghadapi penyusupan pihak luar yang tidak merasa nyaman dengan
kehadiran majelis Mujahidin. Tahun 2000 – 2002
di Majelis Mujahidin bahkan telah disusupi pihak intelijen nasional,
dan menjadi pengurus Lajnah Tanfidziyah bidang hubungan antar Mujahid.
Diketahuinya satu orang telah menyusup ke tubuh Majelis Mujahidin
berkaitan dengan hilangnya “pengurus” ini tanpa sebab setelah kasus bom Bali.
Setelah diusut, dicari-cari, akhirnya diketahuilah bahwa Mr. X,
tersebut aslinya adalah seorang perwira militer. Namun karena majelis
Mujahidin tidak pernah memiliki niat untuk melakukan bughat
(memberontak) maka penyusupan itupun tak ada gunanya. Kalau yang
ditemukan hanya aktivitas kajian-kajian, di luar Mujahidin banyak juga
kajian, bahkan yang radikal dibandingkan dengan Mujahidin.
Kajian
Kajian-kajian untuk kader Majelis Mujahidin, umumnya metekankan
pemahaman tauhid. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar Majelis Mujahidin,
yang menjadikan tauhid sebagai dasar visi dan misinya. Selain materi
tauhid disampaikan pula materi tafsir, hadis dan ahkam syar’iyyah.
Materi-materi kajian umumnya cukup berbobot, mengingat aktivis Majelis
Mujahidin rata-rata cukup berpendidikan dan memiliki semangat
religiusitas tinggi. Kebanyakan di antara aktivisnya adalah sarjana,
meskipun demikian ada juga yang hanya lulus tingkat SLTA.
Dakwah
Tuntutan formalisasi syari’ah di Indonesia bagi Majelis Mujahidin
adalah final. Dalam sejarah perjuangan umat Islam, usaha menegakkan
syariah ini telah ditempuh beberapa metode. Pertama adalah metode
konstitusional yaitu perjuangan dengan masuk ke dalam lembaga seperti
MPR dan DPR. Kedua dilakukan dengan da’wah, seperti yang dilakukan oleh
DDII. Ketiga dengan pendidikan, seperti yang dilakukan oleh
Muhammadiyah. Keempat, dengan bersenjata seperti yangn dilakukan oleh
Kartosuwiryo.
Sejauh ini Majelis Mujahidin berusaha mewujudkan cita citanya melalui
da’wah, baik da’wah secara politik, ataupun dakwah kemasyarakatan.
Da’wah politik dilakukan dengan mengirimkan surat kepada pejabat-pejabat
dan lembaga-lembaga tinggi negara. Beberapa jenis surat yang dikirim
kepada pejabat dan instansi bisa dilihad dalam buku Da’wah dan jihad Abu
Bakar Ba’asyir. Selain mengirim surat, Mujahidin juga mengadakan
audiens dengan pejabat tinggi, DPR atau organisasi massa untuk
merealisasikan visi dan misinya itu.
Demonstrasi Damai
Kadang-kadang dilakukan juga demontrasi untuk sosialisasi penegakan
syari’ah Islam. Dan da’wah sosial kemasyarakatan dilakukan dengan
menyelenggarakan pesantren kilat, I’tikaf, pengajian dan lain-lain.
Khusus untuk menghadapi kaum cendekiawan Majelis Mujahidin juga
mengambil langkah jidal (diskusi), baik dengan sesama kaum muslimin
maupun dengan non-muslim. Singkat kata, upaya-upaya yang ditempuh oleh
Majelis Mujahidin ini akan senantiasa di dalam koridor konstitusi negara
Republik Indonesia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sobarin Syakur,
Sekretaris Lajnah Tanfidziyah, “Majelis Mujahidin akan terus
menda’wahkan dan memperjuangkan cita-cita menegakkan syari’at Islam
dengan cara yang konstitusional”. Masih dalam kaitan ini, bahkan di
dalam kongres Mujahidin II di Donohudan ditegaskan bahwa Mujahidin
menolak aksi terorisme yang bertentangan dengan syari’at, baik yang
dilakukan oleh individu maupun kelompok (Iskandar, 2003;70)
Realitas ini menegaskan bahwa meskipun Mujahidin dalam beberapa
prisipnya bisa disebut sebagai kelompok muslim fundamentalis, namun
dalam bertindak tetap dalam koridor konstitusi. Hal ini jauh dari
anggapan sementara pihak yang selalu mengaitkan Mujahidin dengan jama’ah
Islamiyah, seperti yang dilakukan oleh Maftuh Abegebriel di dalam
tulisannya yang dimuat dalam buku Negara Tuhan, “...maka sebenarnya
Al-Jama’ah al-Islamiyah ini bukan tidak mungkin sudah “nikah” dengan
Majelis Mujahidin yang berpusat di Jogjakarta lewat sebuah khithbah yang
berlabel “tansiq baina al-jama a’ah” (2004;864).
Lebih dalam lagi, setelah membandingkan bebarapa prinsip organisasi
maka Abegebriel menyatakan “Tidak begitu salah jika disimpulkan bahwa JI
dan MM adalah Muhtalifah al-Asma’ wa al-Lughat Muttahidah al-Asykal wa
al-Aghrad ( مختلفة الأسماء واللغة متحدة الأشكال والأغراض )–berbeda dalam
nama dan bahasa tetapi sama dalam bentuk dan tujuan. (899).
Abegebriel ini berlebih-lebihan dalam menyimpulkan adanya persamaan
antara MM dengan JI, padahal hanya melihat beberapa kesamaan saja.
Kenyataan di lapangan, meskipun Majelis Mujahidin membuka diri untuk
aliansi dengan siapapun, selama memiliki sens untuk menegakkan syari’ah,
dan tetap dalam kerangka ahlus sunnah wal jama’ah tetapi beberapa
organisasi Islam dengan tegas menolak. Di antara mereka yang menolak
kehadiran Majelis Mujahidin adalah PKS dan mereka yang diindikasikan
sebagai anggota Jama’ah Islamiyah. Sejak koordinasi awal pra kongres
Mujahidin I di antara mereka yang ditangkap polisi karena terindikasi
sebagai anggota Jamaah Islamiyah ini telah menolak Majelis Mujahidin.
Bahkan dalam pengajian mereka ustadz Abu Bakar Ba’asyir sering menjadi
sasaran lontaran caci maki mereka. Maka jika para tahanan Bom Bali dalam
kesaksiannya tentang keterlibatan ustadz Abu mereka nyatakan tidak
tahu, itu adalah pengakuan yang apa adanya.
Adapun PKS menolak bergabung dengan MM agaknya karena menjaga
soliditas organisasi dalam rangka pemenangan pemilu tahun 2004. Karena
dalam pemilu 1999 PK sudah terdegradasi. Hal ini dikuatkan dengan sikap
Majelis Mujahidin yang menolak untuk terlibat aktif ke dalam politik
praktis. Adapun sikap Majelis Mujahidin ini didasari oleh dua
pertimbangan, pertama Indonesia menggunakan system politik demokrasi
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dimana dalam demokrasi suara
terbanyak menjadi pemenangnya. Padahal di sisi lain secara kuantitas,
jumlah mereka yang memperjuangkan syariat Islam sangat kecil. Kedua,
keikutsertaan Majelis Mujahidin di suatu partai tertentu akan
menyebabkan terpecahnya umat Islam, sementara di sisi lain hasil yang
bisa diperoleh dari keterlibatan aktif ke dalam politik praktis belum
tentu signifikan. Karena itulah Majelis Mujahidin tidak pernah melarang
aktivisnya aktif di suatu partai, tetapi secara organisatoris tidak akan
melibatkan diri dalam suatu partai pula.
Selain program-program penegakan syari’ah secara langsung di atas,
Majelis Mujahidin memiliki program sosial. Program sosial ini yang
paling akhir dilakukan adalah pengiriman relawan ke Aceh dalam upaya
pembinaan rohani. Di sini ada dua tugas yang dilakukan pertama
mengembalikan mental dan gairah hidup masyarakat aceh yang sedang
tertimpa musibah dan kedua, memompakan semangat untuk hidup di bawah
naungan syari’at. Terlebih Aceh adalah satu-satunya wilayah yang sudah
mendapatkan izin memberlakukan syariat Islam.
Mereka yang dikirim ke aceh ini kebanyakan adalah dari anggota laskar
Mujahidin. Dan di sinilah peran lascar dalam majelis Mujahidin bisa
disamakan dengan peran barisan Anshar di NU. Laskar Mujahidin menjadi
barisan serba bisa, bisa difungsikan sebagai pengamanan kegiatan,
bantuan social, ataupun pembinaan masyarakat.
Adanya tuduhan bahwa Laskar Mujahidin berlatih perang seperti yang
pernah terjadi di Tawangmangu, menurut Salman al-Farisi, komandan Laskar
Mujahidin Solo adalah tidak benar. Peristiwa itu sebenarnya terjadi
karena perijinan yang belum beres tetapi kemudian informasi keluar
dipelintir oleh pihak-pihak yang tidak senang terhadap Majelis
Mujahidin. Sebenarnya, kegiatan itu adalah kegiatan latihan kepemimpinan
yang dikemas dalam bentuk out-bond, seperti yang biasa dilakukan dalam
kepramukaan.
Pranala luar
back to islamArief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar