arifuddinali.blogspot.com - Pemerintah sibuk fokus terhadap apa yang dilakukan oleh FPI, sebaliknya tidak fokus dan konsentrasi terhadap apa sebab FPI melakukan aktifitas yang selalu dibicarakan orang?
SEJAK sebelum hingga disahkan pun UU Ormas menuai pro kontra. Yang hangat dibicarakan saat ini adalah tentang FPI bisakah dibubarkan dengan UU Ormas yg baru. Fenomena ini semakin memperlihatkan kelompok-kelompok kepentingan yang getol agar UU Ormas disahkan. Semakin jelas juga salah satu arah tujuan kelompok ormas mana yang dijadikan sasaran tembak UU Ormas.
Tidak satupun produk legislasi di negeri ini, yang tidak memiliki tujuan kekuasaan. Bahkan banyak juga produk legislasi dalam sistem demokratik sekuler yang berlaku di negeri ini lahir dari apa yang disebut dengan "proyek legislasi".
Pemerintah seolah lupa bahwa apa yang dilakukan oleh FPI sebetulnya membantu tanggung jawab negara. Pemerintah sibuk fokus terhadap apa yang dilakukan oleh FPI, sebaliknya tidak fokus dan konsentrasi terhadap apa sebab FPI melakukan aktifitas yang dikenal sebagai "perjuangan nahi munkar" itu.
Pemerintah mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh FPI itu dengan berbagai istilah yang menyudutkan. Main hakim sendiri. Menggantikan tanggung jawab polisi. Melakukan tindakan anarkis. Dan berbagai sebutan untuk melakukan "pembunuhan karakter" kepada FPI.
Pemerintah sibuk membahas persoalan cara-cara yang dianggap anarkis tetapi tidak konsen membedah tuntas akar munculnya beragam kebobrokan kehidupan sosial budaya masyarakat yang penuh dengan gelimang kemaksiatan. Hampir tidak ada satupun sudut lokasi di negeri ini yang tidak penuh dengan kemaksiatan. Pantas memang jika negeri ini disebut dengan "immoral country" (negeri kemaksiatan).
Di antara yang mendesak agar FPI dibubarkan dengan menggunakan UU Ormas adalah Ruhut Sitompul dari Fraksi Demokrat, anggota Komisi III DPR RI.
Menurut dia, mestinya polisi tak lagi sungkan untuk menindak FPI karena saat ini sudah ada UU Ormas. "Mendagri juga sebagai pembina politik harus tegas, kalau (FPI) berlaku seperti ini harus dibubarkan, jangan ragu-ragulah, kita negara hukum," ujarnya.
Selain Ruhut juga anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari, minta aparat kepolisian tegas menindak anggota Front Pembela Islam (FPI) yang terlibat kekerasan. Menurutnya, arogansi FPI harus dilawan dan diakhiri.
"Ini ironi negara hukum yang patut ditangisi ketika aparat hukum tidak melaksanakan hukum dalam menjaga keamanan dan ketertiban," kata Eva, Jumat 19 Juli 2013.
Lebih lanjut Eva menjelaskan "Pembiaran Polri atas tindakan premanisme FPI berdampak pisau bermata dua yaitu makin menjadi-jadinya. Tindakan preman FPI dan makin frustasinya masyarakat sehingga muncul model perlawanan street justice dari rakyat terhadap premanisme FPI," kata politikus PDIP itu. (VIVAnews, 20 Juli 2013).
Kedua politisi itu baik Ruhut maupun Eva terlihat jelas pertentangannya terhadap ormas-ormas Islam. Ini bisa dilihat dari jejak rekam sepak terjang yang dilakukannya selama ini. Si Ruhut pernah terjadi perang adu mulut dengan Bachtiar Nasir (ulama muda MIUMI).
Si Eva sangat getol memperjuangkan untuk menolak RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Dan Eva salah satu tokoh sentral perjuangan gerakan gender di Indonesia. Kedua tokoh politisi itu benar-benar menunjukkan sikap perlawanannya terhadap Ormas-ormas Islam yang getol memperjuangkan Islam.
Sebaliknya pernyataan bertolak belakang, disampaikan oleh Indra dari F-PKS anggota pansus RUU Ormas DPR RI pada saat menanggapi insiden Kendal baru-baru ini. Politisi PKS itu menilai, tindakan Front Pembela Islam (FPI) Kendal yang mobilnya dituduh menabrak seorang warga hingga tewas, tidak serta merta bisa dijerat pasal-pasal dalam aturan tersebut. Saat kejadian pada Kamis (18/7) malam itu, kata dia, FPI hanya bisa dijerat oleh KUHP. "Itu kelalaian, itu domainnya (KUHP)," kata Indra, Jumat (19/7/2013).
Menurut Indra, aksi sweeping dan kericuhan itu baru bisa dijerat dengan UU Ormas jika diserukan oleh organisasinya. Atau menyerukan untuk makar. (INILAH.COM, 19 Juli 2013).
Senada dengan Indra adalah pernyataan Yusuf Kalla, mantan politisi Golkar, mantan Wakil Presiden itu mengatakan, meski melakukan razia di sejumlah tempat, Front Pembela Islam (FPI) belum bisa dijerat dengan pasal dalam Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Sebab, UU yang baru disahkan itu belum efektif berlaku.
"Saya kira UU-nya belum diberlakukan. Belum efektif," kata pria yang karib disapa JK ini, di Kompleks Gedung DPR, Jakarta, Jumat (19/7/2013). (Liputan6.Com, 19 Juli 2013). Kalau Indra lebih menjelaskan material aktifitas apa yang termasuk kategori pelanggaran terhadap pasal-pasal UU Ormas, Yusuf Kalla lebih menekankan pada aspek kronologis sebuah undang-undang itu efektif berlaku setelah penandatanganan oleh Presiden.
Konstelasi Kepentingan di balik UU Ormas
Ibarat sebuah "bandil" maka UU Ormas bisa digerakkan sesuai dengan kepentingan yang menghendaki kelahirannya. Bagaimana sebenarnya tarik ulur kepentingan di tubuh parlemen atas UU Ormas ini ? Paling tidak ada beberapa kepentingan yang menonjol antara lain :
Pertama, UU Ormas yang di dalamnya juga diatur bentuk badan hukum yayasan sepertinya keberadaannya dikehendaki untuk menganulir UU Yayasan yang telah menginspirasi lahirnya yayasan-yayasan yang digerakkan oleh intervensi asing, seperti munculnya gerakan-gerakan separatisme di Papua.
Kedua, UU Ormas dikehendaki keberadaannya sebagai sistem kontrol yang efektif terhadap semua pergerakan Ormas-ormas di Indonesia agar tetap bisa dikendalikan sesuai dengan koridor kepentingan penguasa. Ini nampak dengan rencana pemberlakuan sistem informasi ormas di bawah pengendalian Kemendagri sebagaimana amanah UU Ormas baru ini.
Sistem informasi Ormas itu ke depan memungkinkan pemerintah melakukan monitoring data base ormas mulai dari pergerakan dana dan pergerakan kadernya. Ini sangat penting sebagai tambahan dari kebutuhan informasi intelijen negeri ini. Sehingga menjadi terpetakan secara detil bagaimana wajah pengelolaan internal berbagai ormas.
Ketiga, kalaulah substansi UU Ormas yang sudah disahkan melalui paripurna DPR RI ini masih memiliki kelemahan-kelemahan sebagai alat enforcement bagi ormas-ormas yang dianggap melakukan pelanggaran, paling tidak dalam perspektif penguasa negeri ini telah lahir sebuah alat dengan pendekatan represif dan intervensif melalui legitimasi legislasi yang elegan. Ini akan menjadi pintu masuk yang efektif untuk mengendalikan beberapa ormas yang dianggap “subversif” atau melakukan “makar” terhadap eksistensi NKRI. Ormas yang jelas-jelas mempropagandakan seruan yang secara tekstual melakukan “subversif” atau “makar” sudah barang tentu walaupun melalui proses pemberlakuan sanksi berjenjang akan bisa dijerat dengan UU ini.
Jebakan UU Ormas
Dalam konteks perjuangan Islam di Indonesia maka perjuangan Islam yang tidak diarahkan untuk mengganti sistem dan rezim di negeri ini akan bisa ditelorir dengan perspektif UU Ormas ini.
Mengganti rezim saja tidak masalah tetapi pada saat perjuangan Islam itu diarahkan untuk merubah rezim dan sistem yang diterapkan di negeri ini dengan rezim dan sistem Islam maka di sinilah letak persoalannya.
Munculnya wacana perjuangan NKRI Bersyariah adalah sebuah formulasi kontekstual perjuangan di Indonesia untuk tidak secara langsung berbenturan secara vis a vis dengan koridor piliar-pilar negara (Pancasila, NKRI, UUD 1945, dll) yang disepakati untuk dilindungi dan dijaga oleh para penyelenggara negara negeri ini.
Perjuangan Islam dengan manhaj perjuangan yang diyakini untuk merubah negeri ini menjadi lebih islami cepat atau lambat ada kemungkinan melahirkan zona “turbulence” (pergolakan).
Masalahnya, ketika hal itu terjadi, apakah ada di antara pengemban yang memilih jalan perjuangan ini siap lahir dan batin menolong agama Allah dengan penuh keikhlasan dan keistiqomahan untuk memperjuangkan kebenaran Islam secara terang-terangan atau justru memilih jalan abu-abu? Wallahu a’lam bis shawab.*
Penulis adalah aktifis Gerakan Revivalis Islam di Indonesia
Sumber: hidayatullah.com - Minggu, 21 Juli 2013SEJAK sebelum hingga disahkan pun UU Ormas menuai pro kontra. Yang hangat dibicarakan saat ini adalah tentang FPI bisakah dibubarkan dengan UU Ormas yg baru. Fenomena ini semakin memperlihatkan kelompok-kelompok kepentingan yang getol agar UU Ormas disahkan. Semakin jelas juga salah satu arah tujuan kelompok ormas mana yang dijadikan sasaran tembak UU Ormas.
Tidak satupun produk legislasi di negeri ini, yang tidak memiliki tujuan kekuasaan. Bahkan banyak juga produk legislasi dalam sistem demokratik sekuler yang berlaku di negeri ini lahir dari apa yang disebut dengan "proyek legislasi".
Pemerintah seolah lupa bahwa apa yang dilakukan oleh FPI sebetulnya membantu tanggung jawab negara. Pemerintah sibuk fokus terhadap apa yang dilakukan oleh FPI, sebaliknya tidak fokus dan konsentrasi terhadap apa sebab FPI melakukan aktifitas yang dikenal sebagai "perjuangan nahi munkar" itu.
Pemerintah mengklaim bahwa apa yang dilakukan oleh FPI itu dengan berbagai istilah yang menyudutkan. Main hakim sendiri. Menggantikan tanggung jawab polisi. Melakukan tindakan anarkis. Dan berbagai sebutan untuk melakukan "pembunuhan karakter" kepada FPI.
Pemerintah sibuk membahas persoalan cara-cara yang dianggap anarkis tetapi tidak konsen membedah tuntas akar munculnya beragam kebobrokan kehidupan sosial budaya masyarakat yang penuh dengan gelimang kemaksiatan. Hampir tidak ada satupun sudut lokasi di negeri ini yang tidak penuh dengan kemaksiatan. Pantas memang jika negeri ini disebut dengan "immoral country" (negeri kemaksiatan).
Di antara yang mendesak agar FPI dibubarkan dengan menggunakan UU Ormas adalah Ruhut Sitompul dari Fraksi Demokrat, anggota Komisi III DPR RI.
Menurut dia, mestinya polisi tak lagi sungkan untuk menindak FPI karena saat ini sudah ada UU Ormas. "Mendagri juga sebagai pembina politik harus tegas, kalau (FPI) berlaku seperti ini harus dibubarkan, jangan ragu-ragulah, kita negara hukum," ujarnya.
Selain Ruhut juga anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari, minta aparat kepolisian tegas menindak anggota Front Pembela Islam (FPI) yang terlibat kekerasan. Menurutnya, arogansi FPI harus dilawan dan diakhiri.
"Ini ironi negara hukum yang patut ditangisi ketika aparat hukum tidak melaksanakan hukum dalam menjaga keamanan dan ketertiban," kata Eva, Jumat 19 Juli 2013.
Lebih lanjut Eva menjelaskan "Pembiaran Polri atas tindakan premanisme FPI berdampak pisau bermata dua yaitu makin menjadi-jadinya. Tindakan preman FPI dan makin frustasinya masyarakat sehingga muncul model perlawanan street justice dari rakyat terhadap premanisme FPI," kata politikus PDIP itu. (VIVAnews, 20 Juli 2013).
Kedua politisi itu baik Ruhut maupun Eva terlihat jelas pertentangannya terhadap ormas-ormas Islam. Ini bisa dilihat dari jejak rekam sepak terjang yang dilakukannya selama ini. Si Ruhut pernah terjadi perang adu mulut dengan Bachtiar Nasir (ulama muda MIUMI).
Si Eva sangat getol memperjuangkan untuk menolak RUU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Dan Eva salah satu tokoh sentral perjuangan gerakan gender di Indonesia. Kedua tokoh politisi itu benar-benar menunjukkan sikap perlawanannya terhadap Ormas-ormas Islam yang getol memperjuangkan Islam.
Sebaliknya pernyataan bertolak belakang, disampaikan oleh Indra dari F-PKS anggota pansus RUU Ormas DPR RI pada saat menanggapi insiden Kendal baru-baru ini. Politisi PKS itu menilai, tindakan Front Pembela Islam (FPI) Kendal yang mobilnya dituduh menabrak seorang warga hingga tewas, tidak serta merta bisa dijerat pasal-pasal dalam aturan tersebut. Saat kejadian pada Kamis (18/7) malam itu, kata dia, FPI hanya bisa dijerat oleh KUHP. "Itu kelalaian, itu domainnya (KUHP)," kata Indra, Jumat (19/7/2013).
Menurut Indra, aksi sweeping dan kericuhan itu baru bisa dijerat dengan UU Ormas jika diserukan oleh organisasinya. Atau menyerukan untuk makar. (INILAH.COM, 19 Juli 2013).
Senada dengan Indra adalah pernyataan Yusuf Kalla, mantan politisi Golkar, mantan Wakil Presiden itu mengatakan, meski melakukan razia di sejumlah tempat, Front Pembela Islam (FPI) belum bisa dijerat dengan pasal dalam Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Sebab, UU yang baru disahkan itu belum efektif berlaku.
"Saya kira UU-nya belum diberlakukan. Belum efektif," kata pria yang karib disapa JK ini, di Kompleks Gedung DPR, Jakarta, Jumat (19/7/2013). (Liputan6.Com, 19 Juli 2013). Kalau Indra lebih menjelaskan material aktifitas apa yang termasuk kategori pelanggaran terhadap pasal-pasal UU Ormas, Yusuf Kalla lebih menekankan pada aspek kronologis sebuah undang-undang itu efektif berlaku setelah penandatanganan oleh Presiden.
Konstelasi Kepentingan di balik UU Ormas
Ibarat sebuah "bandil" maka UU Ormas bisa digerakkan sesuai dengan kepentingan yang menghendaki kelahirannya. Bagaimana sebenarnya tarik ulur kepentingan di tubuh parlemen atas UU Ormas ini ? Paling tidak ada beberapa kepentingan yang menonjol antara lain :
Pertama, UU Ormas yang di dalamnya juga diatur bentuk badan hukum yayasan sepertinya keberadaannya dikehendaki untuk menganulir UU Yayasan yang telah menginspirasi lahirnya yayasan-yayasan yang digerakkan oleh intervensi asing, seperti munculnya gerakan-gerakan separatisme di Papua.
Kedua, UU Ormas dikehendaki keberadaannya sebagai sistem kontrol yang efektif terhadap semua pergerakan Ormas-ormas di Indonesia agar tetap bisa dikendalikan sesuai dengan koridor kepentingan penguasa. Ini nampak dengan rencana pemberlakuan sistem informasi ormas di bawah pengendalian Kemendagri sebagaimana amanah UU Ormas baru ini.
Sistem informasi Ormas itu ke depan memungkinkan pemerintah melakukan monitoring data base ormas mulai dari pergerakan dana dan pergerakan kadernya. Ini sangat penting sebagai tambahan dari kebutuhan informasi intelijen negeri ini. Sehingga menjadi terpetakan secara detil bagaimana wajah pengelolaan internal berbagai ormas.
Ketiga, kalaulah substansi UU Ormas yang sudah disahkan melalui paripurna DPR RI ini masih memiliki kelemahan-kelemahan sebagai alat enforcement bagi ormas-ormas yang dianggap melakukan pelanggaran, paling tidak dalam perspektif penguasa negeri ini telah lahir sebuah alat dengan pendekatan represif dan intervensif melalui legitimasi legislasi yang elegan. Ini akan menjadi pintu masuk yang efektif untuk mengendalikan beberapa ormas yang dianggap “subversif” atau melakukan “makar” terhadap eksistensi NKRI. Ormas yang jelas-jelas mempropagandakan seruan yang secara tekstual melakukan “subversif” atau “makar” sudah barang tentu walaupun melalui proses pemberlakuan sanksi berjenjang akan bisa dijerat dengan UU ini.
Jebakan UU Ormas
Dalam konteks perjuangan Islam di Indonesia maka perjuangan Islam yang tidak diarahkan untuk mengganti sistem dan rezim di negeri ini akan bisa ditelorir dengan perspektif UU Ormas ini.
Mengganti rezim saja tidak masalah tetapi pada saat perjuangan Islam itu diarahkan untuk merubah rezim dan sistem yang diterapkan di negeri ini dengan rezim dan sistem Islam maka di sinilah letak persoalannya.
Munculnya wacana perjuangan NKRI Bersyariah adalah sebuah formulasi kontekstual perjuangan di Indonesia untuk tidak secara langsung berbenturan secara vis a vis dengan koridor piliar-pilar negara (Pancasila, NKRI, UUD 1945, dll) yang disepakati untuk dilindungi dan dijaga oleh para penyelenggara negara negeri ini.
Perjuangan Islam dengan manhaj perjuangan yang diyakini untuk merubah negeri ini menjadi lebih islami cepat atau lambat ada kemungkinan melahirkan zona “turbulence” (pergolakan).
Masalahnya, ketika hal itu terjadi, apakah ada di antara pengemban yang memilih jalan perjuangan ini siap lahir dan batin menolong agama Allah dengan penuh keikhlasan dan keistiqomahan untuk memperjuangkan kebenaran Islam secara terang-terangan atau justru memilih jalan abu-abu? Wallahu a’lam bis shawab.*
Penulis adalah aktifis Gerakan Revivalis Islam di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar