Bendera |
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903),
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan,
terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem
pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa
Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan
pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam
menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.[1]
Luas Kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, 1608-1637. |
Aceh (bahasa Belanda: Atchin atau Acheh, bahasa Inggris: Achin, bahasa Perancis: Achen atau Acheh, bahasa Arab: Asyi, bahasa Portugis: Achen atau Achem, bahasa Tionghoa: A-tsi atau Ache) yang sekarang dikenal sebagai provinsi Aceh diperkirakan memiliki substrat (lapis bawah) dari rumpun bahasa Mon-Khmer dengan pembagian daerah bahasa lain seperti bagian selatan menggunakan bahasa Aneuk Jame sedangkan bagian Tengah, Tenggara, dan Timur menggunakan bahasa Gayo untuk bagian tenggara menggunakan bahasa Alas seterusnya bagian timur lebih ke timur lagi menggunakan bahasa Tamiang demikian dengan kelompok etnis Klut yang berada bagian selatan menggunakan bahasa Klut sedangkan di Simeulue menggunakan bahasa Simeulue
akan tetapi masing-masing bahasa setempat tersebut dapat dibagi pula
menjadi dialek. Bahasa Aceh, misalnya, adalah berbicara dengan sedikit
perbedaan di Aceh Besar, di Pidie, dan di Aceh Utara. Demikian pula,
dalam bahasa Gayo ada Gayo Lut, Gayo Deret, dan dialek Gayo Lues dan
kelompok etnis lainnya Singkil yang berada bagian tenggara (Tanoh Alas) menggunakan bahasa Singkil.
sumber sejarah lainnya dapat diperoleh antara lain seperti dari hikayat
Aceh, hikayat rajah Aceh dan hikayat prang sabii yang berasal dari sejarah narasi yang kemudian umumnya ditulis dalam naskah-naskah aksara Jawi (Jawoe). Namun sebagaimana kelemahan dari sejarah narasi yang berdasarkan pinutur ternyata menurut Prof. Ibrahim Alfian bahwa naskah Hikayat Perang Sabil
mempunyai banyak versi dan satu dengan yang lain terdapat perbedaan
demikian pula dengan naskah Hikayat Perang Sabil versi tahun 1710 yang berada di perpustakaan Universitas Leiden di negeri Belanda.
Rumpun bahasa Mon-Khmer: Bahasa Brao, Bahasa Kreung, Bahasa Tampuan, Bahasa Bunong dan Bahasa Kui. |
Ada yang percaya bahwa asal-usul orang Aceh adalah "suku Mantir" (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang dikaitkan dengan "Mantera" di Malaka dan orang berbahasa Mon-Khmer.] Menurut sumber sejarah narasi
lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh Besar tempat
kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua
Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho
dengan Tangse. Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian
menyebar ke seluruh lembah Aceh tiga segi dan kemudian berpindah-pindah
ke tempat-tempat lain.
1.1. Awal mula
Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru.
Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.[2]
1.2. Masa kejayaan
Sultan Iskandar Muda |
Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636).
Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan
Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand
Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan
pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan) serta
atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan
hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia.
Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis
di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan
60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh
atas Selat Malaka
dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Melaka
dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya
persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah
melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan
utama dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
1.3. Kemunduran
Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh |
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar
Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor,
di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera
dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak,
Tapanuli dan Mandailing, Deli serta Bengkulu kedalam pangkuan penjajahan
Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di
antara pewaris tahta kesultanan.
Traktat London
yang ditandatangani pada 1824 telah memberi kekuasaan kepada Belanda
untuk menguasai segala kawasan British/Inggris di Sumatra sementara
Belanda akan menyerahkan segala kekuasaan perdagangan mereka di India
dan juga berjanji tidak akan menandingi British/Inggris untuk menguasai
Singapura.
Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera,
dimana disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala
unjuk perasaan terhadap perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun
di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat London 1824 mengenai Aceh
dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin santer
disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Setelah melakukan
peperangan selama 40 tahun, Kesultanan Aceh akhirnya jatuh dan
digabungkan sebagai bagian dari negara Hindia Timur Belanda. Pada tahun
1942, pemerintahan Hindia Timur Belanda jatuh di bawah kekuasan Jepang.
Pada tahun 1945, Jepang dikalahkan Sekutu, sehingga tokoh-tokoh
pergerakan kemerdekaan di ibukota Hindia Timur Belanda (Indonesia)
segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Aceh
menyatakan bersedia bergabung ke dalam Republik indonesia atas ajakan
dan bujukan dari Soekarno kepada pemimpin Aceh Tengku Muhammad Daud Beureueh saat itu[r].
1.4. Perang Aceh
Tuanku Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, sultan Aceh yang terakhir. |
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil
merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden
yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh,
kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan
kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, Joannes Benedictus van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendrikus Colijn, merebut sebagian besar Aceh.
Sultan Muhammad Daud akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903
setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap
oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda.
2. Sultan Aceh
Sultan Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh, tidak hanya sultan, di Aceh juga terdapat Sultanah / Sultan Wanita. Daftar Sultan yang pernah berkuasa di Aceh dapat dilihat lebih jauh di artikel utama dari Sultan Aceh.
3. Tradisi kesultanan
Makam Sultan Iskandar Muda |
3.1. Gelar
- Teungku
- Tuanku
- Teuku
- Cut
- Laksamana
- Panglima Sagoe
- Uleebalang
- Meurah
3.2. Lain-lain
- Dalam
- Istana Darud Donya
- Cap Sikureueng (cap sembilan)
- Meuligoe
- Gajah Putih
- Pasukan Gajah
4. Terkait
- Sejarah Aceh
- Sultan Aceh
5. Referensi
5.1. Sumber
5.2. Bacaan lanjutan
- LOMBARD, Denys. Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006. ISBN 979-9100-49-6 ulasan di ruangbaca.com ulasan di pdat.co.id
- REID, Anthony. Asal Usul Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. ISBN 979-461-534-X
- REID, Anthony. An Indonesian Frontier: Acehnese & Other Histories of Sumatra. Singapore: Singapore University Press, 2005. ulasan oleh Taufik Abdullah di Kompas
5.3. Pranala luar
- (Indonesia) Sejarah bertinta emas pernah terukir di Bumi Aceh
- (Indonesia) Sejarah Islam di Indonesia di swaramuslim.net
- (Indonesia) Sedikit Bercerita tentang Atjeh
- (Indonesia) Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com
- (Inggris) Bendera-bendera yang digunakan oleh Kesultanan Aceh
Kembali ke Kerajaan
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar