Arifuddinali.blogspot.com - Suku Kaili adalah suku bangsa di Indonesia yang secara turun-temurun tersebar mendiami sebagian besar dari Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Kabupaten Donggala, Kabupaten Sigi, dan Kota Palu, di seluruh daerah di lembah antara Gunung Gawalise, Gunung Nokilalaki, Kulawi, dan Gunung Raranggonau. Mereka juga menghuni wilayah pantai timur Sulawesi Tengah, meliputi Kabupaten Parigi-Moutong, Kabupaten Tojo-Una Una dan Kabupaten Poso.
Masyarakat suku Kaili mendiami kampung/desa di Teluk Tomini yaitu
Tinombo,Moutong,Parigi, Sausu, Ampana, Tojo dan Una Una, sedang di
Kabupaten Poso mereka mendiami daerah Mapane, Uekuli dan pesisir Pantai
Poso.[]
Untuk menyatakan "orang Kaili" disebut dalam bahasa Kaili dengan menggunakan prefix "To" yaitu To Kaili.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan etimologi dari kata Kaili,
salah satunya menyebutkan bahwa kata yang menjadi nama suku Kaili ini
berasal dari nama pohon dan buah Kaili yang umumnya tumbuh di
hutan-hutan dikawasan daerah ini, terutama di tepi Sungai Palu dan Teluk Palu.
Pada zaman dulu, tepi pantai Teluk Palu letaknya menjorok l.k. 34 km
dari letak pantai sekarang, yaitu di Kampung Bangga. Sebagai buktinya,
di daerah Bobo sampai ke Bangga banyak ditemukan karang dan rerumputan
pantai/laut. Bahkan di sana ada sebuah sumur yang airnya pasang pada
saat air di laut sedang pasang demikian juga akan surut pada saat air
laut surut.
Menurut cerita (tutura), dahulu kala, di tepi pantai dekat
Kampung Bangga tumbuh sebatang pohon kaili yang tumbuh menjulang tinggi.
Pohon ini menjadi arah atau panduan bagi pelaut atau nelayan yang
memasuki Teluk Palu untuk menuju pelabuhan pada saat itu, Bangga.
Bahasa
Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa
yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari.
Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan
bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili
memiliki lingua franca,
yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak".
Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili
lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para
pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara,
bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya
sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para
pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu.
Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,Lasoani,Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".
Kehidupan
Mata pencaharian utama masyarakat Kili adalah bercocok tanam
disawah,diladang dan menanam kelapa. Disamping itu masyarakat suku Kaili
yang tinggal didataran tinggi mereka juga mengambil hasil bumi dihutan
seperti rotan,damar dan kemiri, dan beternak. Sedang masyarakat suku
Kaili yang dipesisir pantai disamping bertani dan berkebun, mereka juga
hidup sebagai nelayan dan berdagang antar pulau ke kalimantan.
Makanan asli suku Kaili pada umumnya adalah nasi, karena sebagian
besar tanah dataran dilembah Palu, Parigi sampai ke Poso merupakan
daerah persawahan. Kadang pada musim paceklik masyarakat menanam jagung,
sehingga sering juga mereka memakan nasi dari beras jagung (campuran
beras dan jagung giling).
Alat pertanian suku Kaili diantaranya : pajeko (bajak), salaga
(sisir), pomanggi (cangkul), pandoli(linggis), Taono(parang); alat
penangkap ikan diantaranya: panambe, meka, rompo, jala dan tagau.
Budaya
Sebagaimana suku-suku lainnya diwilayah persada Nusantara, Suku Kaili
juga mempunyai adat istiadat sebagai bagian kekayaan budaya di dalam
kehidupan sosial, memiliki Hukum Adat sebagai aturan dan norma yang
harus dipatuhi, serta mempunyai aturan sanksi dalam hukum adat.
Penyelenggaraan upacara adat biasanya dilaksanakan pada saat pesta
perkawinan (no-Rano, no-Raego, kesenian berpantun muda/i),pada upacara
kematian (no-Vaino,menuturkan kebaikan orang yg meninggal), pada upacara
panen (no-Vunja, penyerahan sesaji kepada Dewa Kesuburan), dan upacara
penyembuhan penyakit (no-Balia, memasukkan ruh untuk mengobati orang yg
sakit); pada masa sebelum masuknya agama Islam dan Kristen,
upacara-upacara adat seperti ini masih dilakuan dengan mantera-mantera
yang mengandung animisme.
Setelah masuknya agama Islam dan Kristen, pesta perkawinan dan
kematian sudah disesuaikan antara upacara adat setempat dengan upacara
menurut agama penganutnya. Demikian juga upacara yang mengikuti ajaran
Islam seperti: Khitan (Posuna), Khatam (Popatama) dan gunting rambut
bayi usia 40 hari (Niore ritoya), penyelenggaraannya berdasarkan ajaran
agama Islam.
Beberapa instrumen musik yang dikenal dalam kesenian suku Kaili
antara lain : Kakula (disebut juga gulintang,sejenis gamelan
pentatonis),Lalove (serunai), nggeso-nggeso (rebab berdawai dua), gimba
(gendang), gamba-gamba (gamelan datar/kecil), goo(gong), suli (suling).
Salahsatu kerajinan masyarakat suku Kaili adalah menenun sarung. Ini
merupakan kegiatan para wanita didaerah Wani,Tavaili, Palu, Tipo dan
Donggala. Sarung tenun ini dalam bahasa Kaili disebut Buya Sabetetapi
oleh masyarakat umum sekarang dikenal dengan Sarung Donggala. Jenis
Buya Sabe inipun mempunyai nama-nama tersendiri berdasarkan motif
tenunannya, seperti Bomba, Subi atau Kumbaja. Demikian juga sebutan
warna sarung Donggala didasarkan pada warna alam,seperti warna
Sesempalola / kembang terong (ungu), Lei-Kangaro/merah betet
(merah-jingga), Lei-pompanga (merah ludah sirih).
Didaerah Kulawi masih ditemukan adanya pembuatan bahan pakaian yang
diproses dari kulit kayu yang disebut Katevu. Pakaian dari kulit Kayu
Katevu ini sebagian besar dipakai oleh para wanita dalam bentuk rok dan
baju adat.
Sebelum masuknya agama ke Tanah Kaili, masyarakat suku Kaili masih
menganut animisme, pemujaan kepada roh nenek moyang dan dewa sang
Pencipta (Tomanuru), dewa Kesuburan (Buke/Buriro)dan dewa Penyembuhan
(Tampilangi). Agama Islam masuk ke Tanah kaili, setelah datangnya
seorang Ulama Islam, keturunan Datuk/Raja yang berasal dari Minangkabau
bernama Abdul Raqi. Ia beserta pengikutnya datang ke Tanah Kaili setelah
bertahun-tahun bermukim belajar agama di Mekkah. Di Tanah kaili, Abdul
Raqi dikenal dengan nama Dato Karama (Datuk Keramat), karena masyarakat
sering melihat kemampuan beliau yang berada diluar kemampuan manusia
pada umumnya. Makam Dato Karama sekarang merupakan salah satu cagar
budaya yang dibawah pengawasan Pemerinta Daerah.
Hubungan kekerabatan masyarakat suku Kaili sangat nampak kerjasama
pada kegiatan-kegiatan pesta adat, kematian, perkawinan dan kegiatan
bertani yang disebut SINTUVU (kebersamaan/gotong royong).
Pemerintahan
Pemerintahan pada masa dahulu, sudah dikenal adanya struktur
organisasi pemerintahan di dalam suatu Kerajaan (KAGAUA) yaitu:
- MAGAU (Raja),
- MADIKA MALOLO (Raja Muda).
Didalam penyelenggaraan
pemerintahan Magau dibantu oleh
1. LIBU NU MARADIKA (Dewan Pemerintahan
Kerajaan) yang terdiri dari:
- MADIKA MATUA (Ketua Dewan Kerajaan/Perdana Menteri)
- PUNGGAWA (Pengawas Pelaksana Adat/ Urusan Dalam Negeri),
- GALARA (Hakim Adat),
- PABICARA (Juru Bicara),
- TADULAKO (Urusan Keamanan/ Panglima Perang) dan
- SABANDARA (Bendahara dan Urusan Pelabuhan).
2. LIBU NTO DEYA (Dewan
Permusyawaratan Rakyat) yang merupakan perwakilan Rakyat berbentuk KOTA
PITUNGGOTA (Dewan yg Mewakili Tujuh Penjuru Wilayah) atau KOTA
PATANGGOTA (Dewan yg Mewakili Empat Penjuru Wilayah). Bentuk Kota
Pitunggota atau Kota Patanggota berdasarkan luasnya wilayah kerajaan
yang memiliki banyaknya perwakilan Soki (kampung)dari beberapa penjuru.
Ketua Kota Pitunggota atau Kota Patanggota disebut BALIGAU.
Strata sosial masyarakat Kaili dahulu mengenal adanya beberapa
tingkatan yaitu MADIKA/MARADIKA, (golongan keturunan raja atau
bangsawan),TOTUA NUNGATA (golongan keturunan tokoh-tokoh masyarakat), TO
DEA (golongan masyarakat biasa), dan BATUA (golongan hamba/budak).
Pada zaman sebelum penjajahan Belanda, daerah Tanah Kaili mempunyai
beberapa raja-raja yang masing2 menguasai daerah kekuasaanya, seperti
Banawa, Palu, Tavaili, Parigi, Sigi dan Kulavi. Raja-raja tersebut
mempunyai pertalian kekeluargaan serta tali perkawinan antara satu
dengan lainnya, dengan maksud untuk mencegah pertempuran antara satu
dengan lainnya serta mempererat kekerabatan.
Pada saat Belanda masuk kedaerah Tanah Kaili, Belanda mencoba mengadu
domba antara raja yang satu dengan raja lainnya agar mempermudah
Belanda menguasai seluruh daerah kerajaan di Tanah kaili. Tetapi
sebagian besar daripada raja-raja tersebut melakukan perlawanan terhadap
tentara Belanda, mereka bertempur dan tidak bersedia dijajah Belanda.
Tetapi dengan kelicikan Belanda setelah mendapat bala bantuan dari Jawa
akhirnya beberapa raja berhasil ditaklukan, bahkan ada diantaranya yang
ditangkap dan ditawan oleh Belanda kemudian dibuang ke Pulau Jawa.
Beberapa alat senjata perang yang digunakan oleh suku Kaili
diantaranya : Guma (sejenis parang), Pasatimpo (sejenis keris), Toko
(tombak), Kanjai (tombak trisula), Kaliavo (perisai).
Sumber: wikipedia
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar