Berita diambil dari berbagai sumber
DAFTAR ISI :
DAFTAR ISI :
- Korupsi Pengadaan Tanah Nunukan
- Warkop pun Laris
- Mantan Bupati Nunukan Didakwa Korupsi
- Didakwa Korupsi, Mantan Bupati Nunukan Sampaikan Keberatan
- Eksepsi Mantan Bupati Nunukan Ditolak
- Pekan Depan Mantan Bupati Nunukan Dituntut
- Mantan Bupati Nunukan dituntut penjara enam tahun
- Dua Mantan Napi Korupsi Pasti Diberhentikan
- JPU Diduga Buatkan Pledoi Mantan Bupati Nunukan
- Kejari Nunukan Siapkan Kontra Memori Banding Kasus Haifd
1. Korupsi Pengadaan Tanah Nunukan
Tiga Mantan Koruptor Dimintai Keterangan
NUNUKAN- Penyidik Kejaksaan Negeri (Kejari) Nunukan
sejak beberapa hari terakhir telah melakukan pemanggilan terhadap
saksi-saksi untuk dimintai keterangan atas kasus korupsi pengadaan tanah
Pemda Nunukan tahun 2004 lalu.
Kepala Kejari (Kajari) Nunukan, Azwar mengatakan, bahwa pihaknya telah meminta keterangan dari tiga mantan nara pidana korupsi pengadaan tanah tersebut. Di antaranya, mantan Wakil Ketua dan Anggota Tim Sembilan Pengadaan Tanah Pemda Nunukan, Darmin Djemadil dan Arifuddin serta mantan Bendahara Setda Nunukan, Simon Sili.
“Penyidikan sedang berjalan dengan pemeriksaan saksi-saksi. Kita sudah meminta keterangan tiga orang yang terkait ini, yakni Darmin, Arifuddin dan Simon Sili,” kata Azwar, Senin (27/6). Kejari Nunukan memang saat ini membuka kembali kasus tersebut setelah sempat mandeg sekitar dua setengah tahun karena pihaknya terkendala izin Presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap Abdul Hafid Achmad saat masih menjabat sebagai Bupati Nunukan.
Setelah meminta keterangan terhadap tiga mantan napi korupsi
tersebut, dalam waktu dekat pihaknya akan memanggil mantan Bupati
Nunukan, Abdul Hafid Achmad, selaku ketua tim pengadaan tanah tersebut.
“Mungkin bisa kita panggil Haji Hafid, nanti pada gilirannya akan kita
mintai keterangan,” ujarnya.
Sebelumnya, selain Darmin Djemadil, Simon Sili dan Arifuddin, menurut
Azwar, Abdul Hafid Achmad sebagai ketua tim pengadaan tanah tersebut
dinilai harus bertanggungjawab atas pembebasan lahan tersebut yang telah
merugikan negara itu. “Apalagi jabatannya ketua tim sembilan, secara
kepanitiaan tim di situ memang kalau menurut kami, (Abdul Hafid Achmad)
layak untuk ikut bertanggungjawab,” ungkapnya.
Sebagai ketua tim Sembilan, Hafid dinilai tidak teliti dalam
memeriksa kelengkapan berkas saat proses pembebasan lahan tersebut.
“Kalau menurut saya keterlibatan itu hanya tidak meneliti dengan seksama
proses pembebasan tanah, itu aja,” ujarnya. (kh)
sumber: Koran Kaltim
2. Warkop pun Laris |
Jumat, 05 Desember 2008 13:59 |
Geger
penangkapan dan penahanan tiga oknum pejabat Setkab Nunukan yang
disangka korupsi masih menjadi perbincangan di sejumlah warung kopi. SEJUMLAH
warung kopi (Warkop) atau tempat kongko kongko warga Nunukan seolah
panen rezeki. Laris, sebab warung mereka hampir setiap pagi, siang
dan malam, selalu disesaki pengunjung -- terutama sejak
terbongkarnya penangkapan dan penahanan tiga oknum pejabat Setkab
Nunukan -- yang disangka terlibat korupsi pembebasan tanah negara
seluas 62 hektar dengan nilai Rp 7 miliar itu. Perbincangan tokoh masyarakat memang lebih terfokus ke penahanan tiga oknum pejabat Setkab Nunukan yang ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Nunukan sejak 5 November 2008. Mereka itu adalah Bendahara Setkab Nunukan Simon Sili, Arifuddin (Pj Camat Nunukan Selatan) dan Darmin Jumadil (Kepala BPN). Ketiga tersangka ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sungai Jepun, Nunukan, sebagai tahanan titipan pihak Kejaksaan. Namun, pemantauan BONGKAR! di lapangan menyimpulkan, perbincangan hangat yang berkembang dan semakin santer bukan hanya tertuju kepada Darmin Jumadil dkk. Mereka ramai membicarakan kemungkinan akan diperiksanya sejumlah oknum pejabat lainnya yang patut diduga terlibat, termasuk ‘orang nomor satu’ Nunukan sendiri, yakni Bupati H Abdul Hafid Achmad. . Kapan mereka itu diperiksa? Belum diketahui pasti. Tapi, ramainya warga membincangkan heboh kasus ini membuat pemilik Warkop pun kecipratan rezeki. Itu tidak ditampik oleh Rina, seorang kasir warung kopi di persimpangan jalan Pasir Putih, Nunukan. ‘’Sejak ditahannya oknum pejabat itu, hampir tiap hari pengunjung selalu membicarakan mereka. Memang benar, omset penjualan warung pun ada kenaikan tiga sampai empat kali lipat dari hari hari biasanya,’’ ucap Rina ketika ditanya BONGKAR! Rina sendiri seperti bersyukur. Dagangannya memang laris. Tapi, wanita ini belum merinci peningkatan omset penjualannya setiap hari. Rina mengaku warungnya memang tak pernah sepi pengunjung sejak terkuaknya kasus itu. Sedang sebagian pengunjung sendiri seolah sreg kalau tidak ikut duduk untuk sekadar minum secangkir kopi dan mengikuti informasi terbaru tentang para tersangka. “Saya lihat, penangkapan itu sebagai terobosan aparat penegak hukum yang terbilang baru dan berani di Nunukan ini,’’ ujar Erwin “Julak” Wahab, seorang tokoh LSM di Nunukan. Di ibukota Nunukan sendiri sedikitnya terdapat enam buah warung kopi. Rinciannya dua buah di pasar Yamaker, satu di pasar Lama, dua di bilangan Simpang Jalan Pasir Putih dan satunya lagi di gerbang masuk pintu pelabuhan Tunon Taka Nunukan. Namun, Warkop yang paling favorit adalah Warkop Restoran Milo II di Jalan Simpang Pasir Putih, Nunukan Utara. Di sejumlah Warkop itu pula mangkal para LSM, aktifis, sejumlah Ormas, dan warga lainnya, termasuk wartawan. Kondisi ini agak kontras dengan oknum PNS dan sejumlah pejabat dinas terkait. Biasanya, mereka juga mangkal di sana. Tapi, paska penangkapan dan penahanan Darmin Jumadil dkk, mereka seolah membatasi diri, tidak ikut ikutan menguping tentang kemungkinan adanya pejabat lain yang bakal digelandang kejaksaan. Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Nunukan sendiri, Suleman Hadjarati mengaku terus akan menyelidiki sejumlah proyek pembangunan fisik lainnya. Tak hanya terkait geger kasus ‘Tim Sembilan’ yang sudah memakan ‘tumbal’ tiga oknum pejabat itu melainkan juga dugaan kasus reklamasi pantai Lamijung, reboisasi, dugaan mark-up mantan oknum pejabat Dispenda, proyek pencetakan sawah dan lainnya. “Kita seleseikan dulu satu kasus ini baru beranjak ke kasus lainnya, maklum personel kita juga kan relatif terbatas,” ucap Hadjarati dalam kesempatan terpisah kepada BONGKAR!. Sumber: Bongkar |
Jum'at, 11 November 2011 | 23:00 WIB
TEMPO.CO, Samarinda - Mantan
Bupati Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, Abdul Hafid Ahmad kali
pertama menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
Samarinda, Jum'at, 11 November 2011. Bupati dua periode di daerah
perbatasan RI-Malaysia itu didakwa korupsi atas kasus pembebasan lahan
seluas 62 hektare (ha) dengan kerugian negara Rp 7 miliar.
Jaksa Penuntut Umum, Makrun, mendakwa Hafid, ketua tim pembebasan
tanah pada tahun 2004 lalu itu, bertanggungjawab atas timbulnya kerugian
keuangan daerah. "Sebagai Ketua Panitia Pembebasan tanah seharusnya
lebih teliti," kata Makrun usai sidang kepada wartawan, Jum'at, 11
November 2011.
Dalam dakwaan jaksa disebutkan bahwa tanah yang dibebaskan tidak
bersertifikat. Para pemilik tanah hanya bisa menunjukkan Surat
Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT) bukan sertifikat tanah. Tapi,
pemerintah membeaskan tanah dengan membayar kepada pemiliknya senilai
Rp7.006.000.000 untuk tanah seluas 62 ha.
Makrun menjelaskan, pembebasan tanah bisa dilakukan jika diatas
tanah terdapat bangunan atau tanaman tumbuh. Faktanya, saat dibebaskan
tanah tersebut berupa semak belukar dan sebagian ada bekas tambak.
"Harusnya tidak ada pembebasan, mungkin tali asih saja," ungkapnya.
Jaksa mendakwa Hafid dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun.
Hafid Ahmad, kepada majelis hakim yang diketuai Casmaya dengan
hakim anggota Rajali dan Poster Sitorus (hakim ad hoc), menolak dakwaan
jaksa. Kepada majelis hakim Hafid akan mengajukan eksepsi atau
pembelaan.
Dalam kasus ini, sebelumnya, tiga orang anggota panitia pembebasan
lahan, masing-masing Darmin Djemadil (Ketua BPN Nunukan), Arifudin
(Lurah Nunukan Selatan) dan Simon Sili (Bendahara Kegiatan) sudah
diputus bersalah dengan vonis 2-4 tahun penjara.
Sidang lanjutan dalam kasus ini dengan agenda pembacaan eksepsi dari terdakwa akan digelar Senin, 21 November 2011.
sumber: TEMPO
Sidang perkara dugaan korupsi pengadaan tanah seluas 62 hektare di Kabupaten Nunukan Kalimantan Timur yang merugikan negara Rp 7 miliar dengan terdakwa H Abdul Hafid Achmad, mantan Bupati Nunukan kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Samarinda, Senin (21/11/2011).
Sidang dengan agenda penyampaian eksepsi (keberatan) terdakwa atas dakwaan JPU (jaksa penuntut umum) itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Casmaya SH didampingi dua hakim adhoc Rajali SH dan Poster Sitorus SH.
Dalam eksepsinya yang dibacakan Tim Penasehat Hukum Thorkis Pane dan Agung Fatahillah, terdakwa menilai surat dakwaan JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap mengenai unsur tindak pidana yang dilakukan.
Hal ini kata Thorkis seperti terlihat pada surat dakwaan jaksa di halaman 1, yang menyatakan bahwa terdakwa "telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum ,melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara."
Begitupun pada surat dakwaan halaman 7, JPU menyatakan terdakwa "telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perewkonomian negara."
Dari rumusan dakwaan itu, kata Thorkis jelas terlihat bahwa JPU mengkategorikan dua kualitas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa yakni melakukan pleger (orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggungjawab atas kejahatan, dan medepleger (orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu).
Jadi, tegas Thorkis secara prinsipil terdapat perbedaan karakteristik dan peranan dari keduanya, namun dalam surat dakwaan, JPU tidak menguraikan secara jelas kualitas perbuatan terdakwa apakah sebagai pleger atau medepleger.
"Ini tentu menimbulkan kerancuan dan akan merugikan klien kami dalam melakukan pembelaan," tegas dia.
Kemudian lanjut Thorkis, pada dakwaan jaksa di halaman 5 dan 6, JPU mengatakan, bahwa saksi Simon Sili membayarkan ganti rugi dengan cek kepada saksi H Ramli, Sumiati dan Hamdani.
"Dengan telah diterimanya pembayaran harga tanah itu maka telah memperkaya ketiga saksi tersebut," katanya.
Tapi persoalannya adalah penentuan kualitas perbuatan dari ketiga saksi tersebut oleh JPU hanya dikualifikasikan sebagai saksi, padahal dalam surat dakwaan JPU menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dapat digantirugi.
Karena tanah itu tidak dapat digantirugi, maka seharusnya menurut hukum, uang yang diterima H Ramli, Sumiati dan Hamdani adalah uang haram (memperkaya diri sendiri), sehingga ketiganya tidak dapat dikualifikasi sebagai saksi, melainkan sebagai terdakwa, tandasnya.
Atas ketidakjelasan dakwaan JPU tersebut tambah Thorkis, memohon kepada majelis hakim agar menerima eksepsi ini dan menyatakan surat dakwaan JPU tidak jelas tidak cermat dan tidak lengkap, pungkasnya. (*)
Sidang dengan agenda penyampaian eksepsi (keberatan) terdakwa atas dakwaan JPU (jaksa penuntut umum) itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Casmaya SH didampingi dua hakim adhoc Rajali SH dan Poster Sitorus SH.
Dalam eksepsinya yang dibacakan Tim Penasehat Hukum Thorkis Pane dan Agung Fatahillah, terdakwa menilai surat dakwaan JPU tidak jelas, tidak cermat dan tidak lengkap mengenai unsur tindak pidana yang dilakukan.
Hal ini kata Thorkis seperti terlihat pada surat dakwaan jaksa di halaman 1, yang menyatakan bahwa terdakwa "telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum ,melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara."
Begitupun pada surat dakwaan halaman 7, JPU menyatakan terdakwa "telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perewkonomian negara."
Dari rumusan dakwaan itu, kata Thorkis jelas terlihat bahwa JPU mengkategorikan dua kualitas perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa yakni melakukan pleger (orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi perumusan delik dan dipandang paling bertanggungjawab atas kejahatan, dan medepleger (orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu).
Jadi, tegas Thorkis secara prinsipil terdapat perbedaan karakteristik dan peranan dari keduanya, namun dalam surat dakwaan, JPU tidak menguraikan secara jelas kualitas perbuatan terdakwa apakah sebagai pleger atau medepleger.
"Ini tentu menimbulkan kerancuan dan akan merugikan klien kami dalam melakukan pembelaan," tegas dia.
Kemudian lanjut Thorkis, pada dakwaan jaksa di halaman 5 dan 6, JPU mengatakan, bahwa saksi Simon Sili membayarkan ganti rugi dengan cek kepada saksi H Ramli, Sumiati dan Hamdani.
"Dengan telah diterimanya pembayaran harga tanah itu maka telah memperkaya ketiga saksi tersebut," katanya.
Tapi persoalannya adalah penentuan kualitas perbuatan dari ketiga saksi tersebut oleh JPU hanya dikualifikasikan sebagai saksi, padahal dalam surat dakwaan JPU menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dapat digantirugi.
Karena tanah itu tidak dapat digantirugi, maka seharusnya menurut hukum, uang yang diterima H Ramli, Sumiati dan Hamdani adalah uang haram (memperkaya diri sendiri), sehingga ketiganya tidak dapat dikualifikasi sebagai saksi, melainkan sebagai terdakwa, tandasnya.
Atas ketidakjelasan dakwaan JPU tersebut tambah Thorkis, memohon kepada majelis hakim agar menerima eksepsi ini dan menyatakan surat dakwaan JPU tidak jelas tidak cermat dan tidak lengkap, pungkasnya. (*)
Sumber : Tribun Kaltim
5. Eksepsi Mantan Bupati Nunukan Ditolak
Selasa, 06 Desember 2011
SAMARINDA- Eksepsi mantan Bupati Nunukan Abdul Hafid
Ahmad dalam kasus pembebasan tanah di Nunukan tahun 2004 seluas 62
hektare ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda,
kemarin. Hakim diketuai Casnaya SH serta hakim adhoc Medan Parulian
Nababan dan Abdul Gani itu memerintahkan persidangan dilanjutkan kembali
Senin pekan depan dengan agenda pemeriksaan saksi.
“Menyatakan, eksepsi atau keberatan yang disampaikan terdakwa melalui
penasehat hukumnya tidak dapat diterima. Apa yang menjadi keberatan
terdakwa sudah masuk dalam pokok perkara,” ujar Casnaya membacakan
putusan selanya, kemarin.
Persidangan sebelumnya, Hafid mengajukan keberatan atas dakwaan
jaksa. Eksepsi yang dibacakan penasehat hukumnya Agung Fatahillah
menyatakan, sejumlah pihak yang mestinya jadi saksi kunci tidak
dijadikan saksi dalam perkara ini. Seperti, Haji Ramli yang menerima
pembayaran atas tanah sesuai jumlah yang dibahas oleh tim sembilan tanpa
pernah dilaporkan kepada Hafid selaku bupati.
“Semestinya para penerima dana atas pembayaran itu dijadikan saksi
bahkan tersangka pula dalam perkara ini. Namanya disebut-sebut namun tak
disebutkan sebagai orang yang mestinya turut serta,” ujar Fatahillah.
Selain itu, masih ada lagi pihak lain yang tak dijadikan saksi pula
dalam perkara ini. Dia adalah mantan Sekda Nunukan yang kini menjabat
Bupati Bulungan Budiman Arifin.
Pihak Abdul Hafid keberatan atas dakwaan jaksa karena para saksi
kunci itu tak dibuat menjadi saksi dalam perkara tersebut. “Perkara ini
dipaksakan untuk dimasukan ke pengadilan. Kalau majelis hakim mau fair,
pak Hafid dibebaskan atau eksepsi ini diterima,” kata Fatahillah.
Oleh JPU, pria kelahiran Bone 1947 tersebut didakwa bersama-sama
melakukan tindak pidana korupsi pengadaan tanah karena ia adalah ketua
panitia dengan kerugian negara Rp7 miliar. Ia mengeluarkan SK Bupati
Nunukan Nomor 319 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004 untuk pembebasan tanah
62 hektare di Jl Ujung Dewa Sedadap Nunukan.
Tanah negara tersebut dibebaskan dengan harga Rp11 ribu per meter
persegi. Dalam kwitansi, dana diterima oleh Haji Ramli selaku pemilik
tanah dengan empat cek untuk mencairkan dana Rp7 miliar tersebut.
Semestinya lahan tersebut tidak perlu dibebaskan tapi cukup diberikan
tali asih karena statusnya tanah negara. Surat menyuratnya pun hanya
berupa SPPT (Surat Pernyataan Penguasaan Tanah) bukan berupa sertifikat.
“Terdakwa menandatangani berita acara pembebasan lahan tersebut
selaku ketua panitia. Padahal jelas dalam berita acara tersebut
disebutkan tanah yang dibebaskan adalah tanah negara yang tidak perlu
diberikan ganti rugi tapi hanya berupa tali asih. Apalagi di lahan itu
tidak ada tanam tumbuhnya, hanya semak belukar dan sebagian bekas
tambak. Hal ini melanggar pasal 15 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum,” ujar jaksa Makrun sebelumnya. (al)
Sumber: Koran Kaltim 6. Pekan Depan Mantan Bupati Nunukan Dituntut
Jumat, 27 April 2012 16:09 WITA
NUNUKAN,tribunkaltim.co.id-
Jaksa Penutut Umum Kejari Nunukan pekan depan akan menyampaikan surat
tuntutan pidana terhadap mantan Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad,
terdakwa dugaan korupsi penggadaan tanah seluas 62 hektare di Kecamatan
Nunukan Selatan.
Kepala Kejaksaan Negeri
Nunukan Azwar mengatakan, surat tuntutan pidana disampaikan setelah
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang diketuai Casmaya, pekan
ini memeriksa terdakwa dipersidangan.
“Agenda
persidangan terdakwa mantan Bupati Nunukan Haji Abdul Hafid Achmad sudah
memasuki pembacaan surat tuntutan pidana. Ini kita perkirakan minggu
depan, mungkin kita sudah menyampaikan surat tuntutan pidana,” ujarnya.
Setelah disampaikan tuntutan, terdakwa atau melalui penasehat hukumnya diberikan kesempatan menyampaikan pledoi atau pembelaan.
"Mungkin
setelah itu hakim memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum
untuk menyampaikan replik dan tentu kesempatan terakhir diberikan kepada
terdakwa untuk memberikan jawaban kembali yaitu duplik. Setelah itu
hakim menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa,” ujarnya.
Ia memperkirakan, akhir Mei putusan terhadap Abdul Hafid Achmad sudah dijatuhkan majelis hakim.
Abdul
Hafid didakwa bersalah menyalahgunakan wewenang dan melanggar
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi. Dalam surat dakwannya JPU
menyatakan, terdakwa Abdul Hafid Achmad selaku Ketua Panitia Pengadaan
Tanah terbukti bersalah menyalahgunakan kewenangan dengan menerbitkan SK
(surat keputusan) Bupati Nunukan No 319 tahun 2004 tertanggal 15 Juni
tentang Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah.
Terdakwa
telah melakukan pembebasan atas tanah negara seluas 62 hektare yang
semestinya tanah tersebut tidak perlu dibebaskan dan tidak diganti rugi,
melainkan hanya diberikan uang tali asih atau santunan. Perbuatan
terdakwa tersebut telah mengakibatkan kerugian negara Rp 7 miliar lebih.
Sumber: Tribun Kaltim -
7. Mantan Bupati Nunukan dituntut penjara enam tahun
Mon Apr 30, 11:39 pm
SAMARINDA: Mantan Bupati Nunukan, Abdul Hafid
Achmad, dituntut enam tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider enam
bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada sidang pembacaan
tuntutan kasus tindak pidana korupsi, Senin.
Dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Samarinda,
Kalimantan Timur, JPU juga mewajibkan Abdul Hafid Achmad mengganti
kerugian negara Rp7,06 miliar subsider satu tahun enam bulan penjara
dalam kasus pembebasan lahan seluas 62 hektare.
JPU menilai, Abdul Hafid Achmad yang saat itu selaku ketua panitia
pembebasan lahan untuk ruang terbuka hijau seluas 62 hektare di Sei
Jepun, Kecamatan Nunukan Selatan, pada 2004, secara sah dan meyakinkan
terbukti melanggar dakwaan subsider seperti yang diatur pada pasal 3
junto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi junto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Namun, kata JPU, Makrun, menilai dakwaan primer yakni pasal 2 ayat
(1) junto Pasal 18 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak terbukti.
Selaku Ketua Panitia Pengadaan Tanah, katanya, terdakwa terbukti
bersalah menyalahgunakan kewenangan dengan menerbitkan SK (surat
keputusan) Bupati Nunukan No 319 tahun 2004 tertanggal 15 Juni tentang
Pembentukan Panitia Pengadaan Tanah.
“Kami menilai, perbuatan terdakwa dengan membebaskan lahan yang
berstatus milik negara tersebut bertentangan dengan pasal 16
Undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Agraria sebab melakukan pembebasan
hanya dengan berdasarkan surat penguasaan atas tanah dan bukan surat
kepemilikan,” ungkap Makrun, yang ditemui usai pembacaan tuntutan di
Pengadilan Negeri Samarinda.
Pada sidang pembacaan putusan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan tersebut hanya terlihat dihadiri beberapa pengunjung.
Bahkan, tidak terlihat adanya penjagaan khusus dari pihak kepolisian
seperti pada sidang tipikor yang selama ini berlangsung di Pengadilan
Negeri Samarinda.
“Jika kewajiban mengganti nilai kerugian negara Rp7,06 miliar itu
tidak dilakukan maka harus diganti dengan hukuman satu tahun enam bulan
penjara. Kewajiban mengganti uang kerugian negara tersebut harus dibayar
terdakwa satu bulan setelah ada putusan berkekuatan hukum tetap,”
ungkap Makrun.
Kasus dugaan korupsi pembebasan lahan untuk ruang terbuka hijau
seluas 62 hektare itu telah menvonis tiga orang lainnya yakni wakil
ketua panitia pengadaan Darmin Djemadil yang juga menjabat sebagai Ketua
BPN divonis dua tahun enam bulan penjara, Lurah Nunukan Selatan,
Arifuddin serta mantan Bendahara Pembayaran Setkab Nunukan, Simon Sili,
masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara.
Sementara, Abdul Hafid Achmad saat ditemui usai sidang, tidak bersedia memberikan komentar terkait tuntutan JPU tersebut.
Sidang dugaan korupsi pembebasan lahan untuk ruang terbuka hijau
seluas 62 hektare itu akan dilanjutkan pada Senin (7/5) dengan agenda
pembacaan ‘pledoi’ atau pembelaan dari penasehat hukum terdakwa.
Sumber: Regional Timur
8. Dua Mantan Napi Korupsi Pasti Diberhentikan
Tribun Kaltim - Jumat, 4 Mei 2012 13:58 WITA
Bupati
Nunukan Basri memastikan, dua pegawai negeri sipil (PNS) mantan
narapidana kasus korupsi di Nunukan pasti akan diberhentikan. Saat ini
pemberhentian Simon Sili dan Arifuddin hanya menunggu proses.
Basri mengatakan, pemberhentian itu juga bentuk loyalitasnya terhadap Gubernur Kaltim yang sebelumnya telah mengirimkan surat kepada Bupati Nunukan, untuk membatalkan surat keputusan Bupati Nunukan yang mengaktifkan kembali dua mantan narapidana tindak pidana korupsi di Nunukan.
“Yang pasti harus diberhentikan sesuai arahan Gubernur. Saya harus loyal pada pimpinan,” kata Basri, Jumat (4/5/2012) kepada wartawan di ruangan kerjanya.
Basri mengatakan, saat ini Tim Pemkab Nunukan masih bekerja, memproses pemberhentian dimaksud.
“Kita juga tidak boleh gegabah memberhentikan sembarangan. Harus ada mekanisme yang dilalui,” ujarnya.
Sebelumnya mantan Pj Camat Nunukan Selatan Arifuddin dan mantan Bendahara Pembayaran Setkab Nunukan Simon Sili dalam kasus korupsi pengadaan tanah seluas 62 hektare di Sedadap, dihukum masing-masing dua tahun penjara. Pada era Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad, keduanya tidak diberhentikan melainkan diberikan sanksi penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun.
Sekretaris Kabupaten Nunukan Zainuddin HZ mengatakan, dua mantan napi itu tidak diberhentikan karena bukan pelaku utama dalam kasus korupsi tersebut.
"Kenapa Bupati Nunukan tidak memberhentikan? Karena menurut pertimbangan keduanya hanya turut serta. Jadi kita anggap kelalaian yang masih bisa diperbaiki lagi. Makanya kita lakukan pembinaan saja. Mereka sudah kita aktifkan, jadi ini perlu dipahami kalau pemberhentian dan pengangkatannya itu menjadi kewenangan Bupati, " ujarnya beberapa waktu lalu.
Selain itu, kata Sekkab, hukuman keduanya di bawah empat tahun. "Jadi kita melihat ke sini, bahwa diaturan apabila PNS dijatuhi hukuman empat tahun ke atas otomatis diberhentikan. Mereka tidak sampai empat tahun," ujarnya.
Basri mengatakan, pemberhentian itu juga bentuk loyalitasnya terhadap Gubernur Kaltim yang sebelumnya telah mengirimkan surat kepada Bupati Nunukan, untuk membatalkan surat keputusan Bupati Nunukan yang mengaktifkan kembali dua mantan narapidana tindak pidana korupsi di Nunukan.
“Yang pasti harus diberhentikan sesuai arahan Gubernur. Saya harus loyal pada pimpinan,” kata Basri, Jumat (4/5/2012) kepada wartawan di ruangan kerjanya.
Basri mengatakan, saat ini Tim Pemkab Nunukan masih bekerja, memproses pemberhentian dimaksud.
“Kita juga tidak boleh gegabah memberhentikan sembarangan. Harus ada mekanisme yang dilalui,” ujarnya.
Sebelumnya mantan Pj Camat Nunukan Selatan Arifuddin dan mantan Bendahara Pembayaran Setkab Nunukan Simon Sili dalam kasus korupsi pengadaan tanah seluas 62 hektare di Sedadap, dihukum masing-masing dua tahun penjara. Pada era Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad, keduanya tidak diberhentikan melainkan diberikan sanksi penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun.
Sekretaris Kabupaten Nunukan Zainuddin HZ mengatakan, dua mantan napi itu tidak diberhentikan karena bukan pelaku utama dalam kasus korupsi tersebut.
"Kenapa Bupati Nunukan tidak memberhentikan? Karena menurut pertimbangan keduanya hanya turut serta. Jadi kita anggap kelalaian yang masih bisa diperbaiki lagi. Makanya kita lakukan pembinaan saja. Mereka sudah kita aktifkan, jadi ini perlu dipahami kalau pemberhentian dan pengangkatannya itu menjadi kewenangan Bupati, " ujarnya beberapa waktu lalu.
Selain itu, kata Sekkab, hukuman keduanya di bawah empat tahun. "Jadi kita melihat ke sini, bahwa diaturan apabila PNS dijatuhi hukuman empat tahun ke atas otomatis diberhentikan. Mereka tidak sampai empat tahun," ujarnya.
9. JPU Diduga Buatkan Pledoi Mantan Bupati Nunukan
Tribun Kaltim - Senin, 4 Juni 2012 21:36 WITA
SAMARINDA, tribunkaltim.co.id-
Ada fakta baru yang terungkap dalam sidang lanjutan kasus dugaan
korupsi pengadaan tanah seluas 62 hektare untuk ruang terbuka hijau
(RTH) di Kabupaten Nunukan, yang digelar di Pengadilan Tipikor, Senin
(4/6/2012).
Dalam sidang yang beragendakan pembacaan duplik (jawaban) dari terdakwa Abdul Hafid Achmad (mantan Bupati Nunukan) kemarin, Thorkis Pane selaku Penasehat Hukum terdakwa tiba-tiba menyerahkan satu berkas pledoi (pembelaan) pribadi terdakwa kepada majelis hakim. Pledoi (pribadi) terdakwa itu diduga dibuatkan oleh JPU dengan menggunakan tulisan tangan.
Meski isi berkas pledoi itu tidak dibacakan langsung dalam sidang, namun hal itu cukup membuat kaget majelis hakim dan menarik perhatian pengunjung sidang serta sejumlah wartawan yang memantau jalannya persidangan.
Selain menyerahkan kepada majelis hakim yang diketuai Casmaya, penasihat hukum terdakwa juga menyerahkan kopian berkas pledoi itu kepada JPU Makrun SH. Ketika menerima berkas pledoi yang diduga dibikin JPU itu, Makrun tidak langsung membantah, sehingga sidang pembacaan duplik pun dilanjutkan.
Namun ketika ditemui wartawan usai sidang, Makrun membantah tudingan bahwa JPU membuatkan nota pledoi (pribadi) terdakwa Abdul Hafid Achmad. "Tidak ada, tidak ada, apa untungnya sama saya. Memangnya pledoi itu sama dengan pledoi yang dibacakan pak Hafid?," ujar Makrun menanyakan balik tentang tudingan penasehat hukum terdakwa.
Makrun mengaku, dirinya tidak pernah membikin pledoi. Dia juga tidak pernah bertemu dengan terdakwa. "Intinya saya merasa tidak pernah bikin pledoi, ya selanjutnya terserah mereka," cetus dia.
Sementara itu, Penasehat Hukum terdakwa Abdul Hafid Achmad, Thorkis Pane sangat yakin bahwa pledoi terdakwa yang ditulis tangan itu adalah dibuat JPU. Namun pledoi itu tidak dipakai oleh terdakwa.
"Ini surat yang membuat adalah JPU, substansinya adalah pledoi yang diberikan anak buah dia (JPU,Red), kepada klien saya. Tapi bukan klien saya langsung yang menerima, yang menerima anak klien saya," beber Thorkis usai sidang.
Menurut Thorkis, adanya fakta baru ini membuktikan bahwa jaksa tidak yakin dengan tuntutan dan pembuktiannya dipersidangan. Dan jika ini nantinya terbukti benar, maka jaksa sangatlah keterlaluan.
"Tanpa permintaan dan tanpa izin saya, kok dia (JPU) melemparkan ini (membikin pledoi terdakwa), berarti yang mahakuasa mulai menunjukan kebenaran dalam kasus ini," tutur dia.
Adanya pledoi terdakwa yang diduga dibuat JPU tersebut, lanjut Thorkis, sangat keterlaluan, terlebih itu dilakukan tanpa seizin dirinya selaku pengacara terdakwa.
"Hak-hak saya sebagai pengacara itu sudah dilanggar oleh JPU, dan kasus seperti ini baru kali ini saya pernah alami semenjak saya jadi pengacara tahun 1984. Ironisnya lagi kejadian ini terjadi di era reformasi," kata dia.
Atas temuan ini, pihaknya berencana akan melaporkan JPU ke institusinya.dan ke aparat hukum, dengan dugaan penyalagunaan kewenangan.
"Saya yakin temuan ini bisa dibuktikan, karena ada saksi yang menerima surat pledoi itu. Karena itu kita berencana akan melaporkan JPU ke Komisi Kejaksaan dan Jaksa Muda Bidang Pengawasan. Kami juga punya rencana melaporkan kasus ini ke KPK dengan dugaan indikasi ada titipan dibalik kasus ini," ancam Thorkis.
Dalam sidang yang beragendakan pembacaan duplik (jawaban) dari terdakwa Abdul Hafid Achmad (mantan Bupati Nunukan) kemarin, Thorkis Pane selaku Penasehat Hukum terdakwa tiba-tiba menyerahkan satu berkas pledoi (pembelaan) pribadi terdakwa kepada majelis hakim. Pledoi (pribadi) terdakwa itu diduga dibuatkan oleh JPU dengan menggunakan tulisan tangan.
Meski isi berkas pledoi itu tidak dibacakan langsung dalam sidang, namun hal itu cukup membuat kaget majelis hakim dan menarik perhatian pengunjung sidang serta sejumlah wartawan yang memantau jalannya persidangan.
Selain menyerahkan kepada majelis hakim yang diketuai Casmaya, penasihat hukum terdakwa juga menyerahkan kopian berkas pledoi itu kepada JPU Makrun SH. Ketika menerima berkas pledoi yang diduga dibikin JPU itu, Makrun tidak langsung membantah, sehingga sidang pembacaan duplik pun dilanjutkan.
Namun ketika ditemui wartawan usai sidang, Makrun membantah tudingan bahwa JPU membuatkan nota pledoi (pribadi) terdakwa Abdul Hafid Achmad. "Tidak ada, tidak ada, apa untungnya sama saya. Memangnya pledoi itu sama dengan pledoi yang dibacakan pak Hafid?," ujar Makrun menanyakan balik tentang tudingan penasehat hukum terdakwa.
Makrun mengaku, dirinya tidak pernah membikin pledoi. Dia juga tidak pernah bertemu dengan terdakwa. "Intinya saya merasa tidak pernah bikin pledoi, ya selanjutnya terserah mereka," cetus dia.
Sementara itu, Penasehat Hukum terdakwa Abdul Hafid Achmad, Thorkis Pane sangat yakin bahwa pledoi terdakwa yang ditulis tangan itu adalah dibuat JPU. Namun pledoi itu tidak dipakai oleh terdakwa.
"Ini surat yang membuat adalah JPU, substansinya adalah pledoi yang diberikan anak buah dia (JPU,Red), kepada klien saya. Tapi bukan klien saya langsung yang menerima, yang menerima anak klien saya," beber Thorkis usai sidang.
Menurut Thorkis, adanya fakta baru ini membuktikan bahwa jaksa tidak yakin dengan tuntutan dan pembuktiannya dipersidangan. Dan jika ini nantinya terbukti benar, maka jaksa sangatlah keterlaluan.
"Tanpa permintaan dan tanpa izin saya, kok dia (JPU) melemparkan ini (membikin pledoi terdakwa), berarti yang mahakuasa mulai menunjukan kebenaran dalam kasus ini," tutur dia.
Adanya pledoi terdakwa yang diduga dibuat JPU tersebut, lanjut Thorkis, sangat keterlaluan, terlebih itu dilakukan tanpa seizin dirinya selaku pengacara terdakwa.
"Hak-hak saya sebagai pengacara itu sudah dilanggar oleh JPU, dan kasus seperti ini baru kali ini saya pernah alami semenjak saya jadi pengacara tahun 1984. Ironisnya lagi kejadian ini terjadi di era reformasi," kata dia.
Atas temuan ini, pihaknya berencana akan melaporkan JPU ke institusinya.dan ke aparat hukum, dengan dugaan penyalagunaan kewenangan.
"Saya yakin temuan ini bisa dibuktikan, karena ada saksi yang menerima surat pledoi itu. Karena itu kita berencana akan melaporkan JPU ke Komisi Kejaksaan dan Jaksa Muda Bidang Pengawasan. Kami juga punya rencana melaporkan kasus ini ke KPK dengan dugaan indikasi ada titipan dibalik kasus ini," ancam Thorkis.
Sumber : Tribun Kaltim
10. Kejari Nunukan Siapkan Kontra Memori Banding Kasus Haifd
Tribun Kaltim - Selasa, 3 Juli 2012 19:09 WITA
NUNUKAN,tribunkaltim.co.id -
Kepala Kejaksaan Negeri Nunukan Azwar memastikan, pihaknya mengajukan
banding terhadap putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor) Samarinda yang menghukum mantan Bupati Nunukan Haji Abdul
Hafid Achmad, 2 tahun penjara dengan denda Rp50 juta subsider 1 bulan
kurungan.
Hukuman itu dinilai jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Nunukan yang menuntut 6 tahun penjara, denda Rp200 juta serta mengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp7 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah seluas 62 hektare di Jalan Ujang Dewa, Sedadap, Kecamatan Nunukan Selatan.
"Kami sudah mengajukan banding pada Jumat (29/6/2012) lalu. Kita menyatakan sikap banding dan sekarang kita persiapan menyusun memori banding," ujarnya.
Sebelumnya, terdakwa Abdul Hafid Achmad lebih dulu menyatakan banding atas putusan majelis hakim dimaksud.
Hukuman itu dinilai jauh dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Nunukan yang menuntut 6 tahun penjara, denda Rp200 juta serta mengganti kerugian keuangan negara sebesar Rp7 miliar dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah seluas 62 hektare di Jalan Ujang Dewa, Sedadap, Kecamatan Nunukan Selatan.
"Kami sudah mengajukan banding pada Jumat (29/6/2012) lalu. Kita menyatakan sikap banding dan sekarang kita persiapan menyusun memori banding," ujarnya.
Sebelumnya, terdakwa Abdul Hafid Achmad lebih dulu menyatakan banding atas putusan majelis hakim dimaksud.
Sumber : Tribun Kaltim
Kejari Nunukan Resmi Ajukan BandingNUNUKAN- Kejaksaan Negeri (Kejari) Nunukan resmi menyatakan banding terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Samarinda atas terpidana korupsi mantan Bupati Nunukan Abdul Hafid Achmad yang dijatuhi pidana penjara dua tahun dan denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan.Kepala Kejari Nunukan, Azwar menjelaskan bahwa upaya hukum diajukan ke Pengadilan Tinggi (PT) Kaltim karena putusan yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor dianggap tidak mencerminkan keadilan. “Intinya kita merasa keputusan Pengadilan Tipikor belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, belum mempunyai dampak pencegahan maupun penjagaan karena hukuman yang dijatuhkan itu dinilai ringan dan belum membawa dampak jera,” kata Azwar, Senin (23/7) kemarin. Putusan Pengadilan Tipikor di Samarinda memang jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa yang menuntut Hafid dengan enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara karena dianggap bersalah dalam proses pembebasan lahan seluas 62 hektare di Sei Jepun, Nunukan Selatan tahun 2004 lalu. “Sehingga kita juga menuntut supaya pengadilan tinggi dilakukan putusan sesuai dengan apa yang kita tuntut,” ujarnya. Memori banding sudah diajukan sekitar seminggu lalu. Dalam memori banding yang diajukannya, salah satu yang dijelaskan bahwa dalam pembebasan lahan senilai Rp7,06 miliar itu terdapat kerugian Negara sehingga yang diakui majelis hakim Pengadilan Tipikor, sehingga seharusnya terpidana juga diberikan hukuman membayar uang pengganti sebagaimana dalam tuntutannya. “Hakim tidak menjatuhkan uang pengganti padahal Hakim sudah membuktikan, sudah berkesimpulan bahwa dalam kasus ini timbul kerugian keuangan Negara. Seyogyanya kalau sudah berpendapat ada kerugian Negara, harusnya berupaya untuk menyelamatkan keuangan Negara dengan cara membebankan uang pengganti kepada para terdakwa,” jelasnya. Dalam kasus ini diketahui bahwa tanah yang dibebaskan masih merupakan tanah Negara karena hanya dibuktikan dengan Surat Pernyataan Penguasaan Tanah (SPPT), bukan bukti kepemilikan tanah sehingga seharusnya tanah bukan dibebaskan melainkan hanya diberikan semacam tali asih. “Terdakwa selaku ketua tim 9 sangat bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pembebasan lahan ini,” ujarnya. Sumber: Koran Kaltim |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar