Lambang |
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi
dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung
membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara.
Kantor Mahkama Agung |
1. Sejarah
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa
penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana
terbukti dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian
waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris
dan terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan
peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu
tersebut.
1.1. Hindia Belanda
Pada tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi Gubernur
Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan jajahan-jajahan
Belanda di Indonesia terhadap serangan-serangan pihak Inggris. Deandels
banyak sekali mengadakan perubahan-perubahan di lapangan peradilan
terhadap apa yang diciptakan oleh VOC, diantaranya pada tahun 1798 telah
mengubah Raad van Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian tahun 1804
Betaafse Republiek telah menetapkan suatu Piagam atau Regeringsreglement
buat daerah-daerah jajahan di Asia. Dalam Pasal 86 Piagam tersebut,
yang merupakan perubahan-perubahan nyata dari zaman pemerintahan
Daendels terhadap peradilan di Indonesia, ditentukan sebagai berikut :
“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal
menurut hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga
dengan alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang
langsung ada dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda
sedapat-dapatnya dibersihkan segala kecurangan-kecurangan, yang masuk
dengan tidak diketahui, yang bertentangan dengan tidak diketahui, yang
bertentangan degan hukum serta adat anak negeri, lagi pula supaya
diusahakan agar terdapat keadilan dengan jalan yang cepat dan baik,
dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri ataupun dengan
mangadakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula mengadakan
pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk dari
kekuasaan politik apapun juga.”
Piagam tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek
segera diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan di dalam
“Piagam” tidak sedikit memengaruhi Deandels di dalam menjalankan
tugasnya.
1.2. Inggris
Sir Thomas Stamford Raffles, yang pada tahun 1811 diangkat
menjadi Letnan Gubernur untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya,
mengadakan perubahan-perubahan antara lain :
Di kota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad van Justitie, didirikan Court Of Justice, yang mengadili perkara perdata maupun pidana. Court of Justice yang ada di Batavia merupakan juga Supreme Court of Justice, pengadilan banding terhadap putusan-putusan Court onvoeldoende gemotiveerd Justitie yang ada di Semarang dan Surabaya.
1.3. Kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah peperangan di Eropa berakhir dengan jatuhnya Kaisar Napoleon,
maka menurut Konvensi London 1814, semua daerah-daerah jajahan Belanda
yang diduduki oleh Inggris, dikembalikan kepada negeri Belanda.
Penyerahan kembali Pemerintahan Belanda tersebut di atur dalam
Staatsblad 1816 No.5, yang berisi ketetapan bahwa akan dibuat Reglement
yang mengatur acara pidana dan acara perdata yang berlaku bagi seluruh
Jawa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah
sekitarnya. Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya dengan daerah sekitarnya
untuk perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan Raad van
Justitie. Dengan demikian ada perbedaan dalam susunan pengadilan buat
Bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di kota-kota dan sekitarnya dan
bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di “desa-desa” (di pedalaman).
Untuk bangsa Eropa, berlaku susunan Pengadilan sebagai berikut :
- Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van Justitie yaitu masing-masing di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Dengan Keputusuan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 No.2a
(St.1847 No.23 yo No.57) yang diperlakukan tanggal 1 Mei 1948 (R.O)
ditetapkan bahwa Susunan Peradilan di Jawa dan Madura sebagai berikut :
- Districtgerecht
- Regentschapsgerecht
- Landraad
- Rechtbank van Omgang
- Raad van Justitie
- Hooggerechtshof
Dalam fungsi judisialnya, Hooggrechtshof memutus perkara-perkara
banding mengenai putusan–putusan pengadilan wasit tingkat pertama di
seluruh Indonesia, jikalau nilai harganya lebih dari £.500 dan mengenai
putusan-putusan residentiegerechten – di luar Jawa dan Madura.
1.4. Pendudukan Jepang
Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh Bala tentara
Jepang, maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.1 tanggal 8 Maret 1942,
yang menentukan bahwa buat sementara segala Undang-Undang dan
peraturan-peraturan dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu terus
berlaku, asal tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara
Jepang.
Mengenai peradilan sipil, maka dengan Undang-Undang 1942 No.14
ditetapkan “Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentera Dai Nippon”.
Atas dasar peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil yang akan
mengadili perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping itu dibentuk
juga Kejaksaan.
Pengadilan-pengadilan bentukan Dai Nippon adalah sebagai berikut :
- Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtsgerecht dahulu.
- Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschapgerecht dahulu.
- Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu.
- Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)lanjutan Landraad dahulu, akan tetapi hanya dengan seorang hakim saja (tidak lagi majelis ), kecuali terhadap perkara tertentu apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus diadili dengan 3 orang Hakim.
Dengan dicabutnya Undang-Undang 1942 No.14 dan diganti dengan
Undang-Undang 1942 No.34, maka ada penambahan badan pengadilan
diantaranya Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van
Justitie dahulu dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung), lanjutan dari
Hooggerechtshof dahulu.
2. Susunan
Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan
seorang sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah
hakim agung. jumlah hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) orang.
2.1. Pimpinan
Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil
ketua, dan beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri
atas wakil ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial.
wakil ketua bidang yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua
muda pidana, ketua muda agama, dan ketua muda tata usaha negara
sedangkan wakil ketua bidang nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan
dan ketua muda pengawasan.
Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh Presiden.
Daftar Ketua Mahkamah Agung Indonesia
2.2. Hakim Agung
Pada Mahkamah Agung terdapat hakim agung sebanyak maksimal 60 orang. Hakim agung dapat berasal dari sistem karier atau sistem non karier.
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk kemudian mendapat persetujuan dan ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.
Tugas Hakim Agung adalah Mengadili dan memutus perkara pada tingkat Kasasi.
3. Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
- Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang
- Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
- Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi
4. Terkait
- Mahkamah Agung
- Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia
- Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia
5. Pranala luar
- (Indonesia) Situs resmi Mahkamah Agung RI
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar