Aksara (Sanskerta: akshara) adalah istilah untuk menyebut imperishable letter, words syllable, the sacred syllable, sound letter, document, epistle, sebelumnya merupakan sebutan bagi the supreme deity, a supreme creational principle, a term used equivalently to bija. Istilah lain untuk menyebut aksara adalah huruf atau abjad (bahasa Arab) yang dimengerti sebagai lambang bunyi (fonem).
1. Definisi
Aksara dapat bermakna sebagai:- sebuah sistem penulisan suatu bahasa dengan menggunakan tanda-tanda simbol.
- sebuah alfabet
- huruf
2. Manggala
Gerangan tidak keliru jikalau cerdik cendekia sepakat bahwa aksara
merupakan salah satu sarana yang menghantar cakrawala pengetahuan
sejarah suatu bangsa karena dikenalnya aksara oleh suatu bangsa dianggap
yang menandai masa sejarah atau yang lebih populer disebut masa klasik.
Aksara adalah istilah bahasa Sanskerta,
akshara, untuk menyebut imperishable letter, words syllable, the sacred
syllable, sound letter, document, epistle, bahkan semula adalah sebutan
bagi the supreme deity, a supreme creational principle, a term used
equivalently to bija. Istilah lain untuk menyebut aksara adalah huruf
atau abjad (bahasa Arab)
yang dimengerti sebagai lambang bunyi (fonem) sedangkan bunyi itu
sendiri adalah lambang pengertian yang menurut catatan sejarah secara
garis besar terdiri dari kategori (Kartakusuma 2003):
- Piktografik antara lain aksara hieroglif Mesir, Tiongkok Purba;
- Ideografik antara lain aksara Tiongkok masa kemudian yang hasil goresannya tidak lagi dilihat melukiskan benda konkrit;
- Silabik antara lain menggambarkan suku-suku kata seperti nampak pada aksara Dewanagari (Prenagari), Pallawa Jawa, Arab, Katakana dan Hiragana Jepang;
- Fonetik antara lain aksara Latin, Yunani, Cyrilic atau Rusia dan Gothik atau Jerman.
Ada pendapat sebelum hadir aksara Arab dan Latin sekarang, tulisan yang lazim dipergunakan di kawasan Asia Tenggara (kecuali di Vietnam dan sebagian kalangan penduduk Cina Selatan) diduga sebagian besar dari pengaruh India. Begitu pun halnya yang terjadi di Nusantara para sarjana (pribumi dan asing) hampir selalu mengajukan pendapat senada bahwa aksara di Nusantara hadir sejalan dengan berkembangnya unsur (Hindu-Buda) dari India
yang datang dan menetap, melangsungkan kehidupannya dengan menikahi
penduduk setempat. Maka sangat wajar, langsung atau tidak langsung
disamping mengenalkan budaya dari negeri asalnya sambil mempelajari
budaya setempat di lingkungan pemukiman baru, salah satu implikasinya
adalah bentuk aksara (de Casparis 1975).
Namun sejauh fakta yang ada, pendapat itu tidak disertai penjelasan tuntas hingga pada suatu waktu seorang ahli epigrafi yang berkebangsaan Perancis
bernama Louis Charles Damais (l951--55) yang menyatakan bahwa hipotesis
para ahli tersebut belum benar-benar menegaskan darimana dan bagaimana
awal kehadiran serta mengalirnya arus kebudayaan India ke Nusantara kecuali diperkirakan tidak hanya berasal dari satu tempat saja, tetapi juga dari berbagai tempat lainnya.
Walaupun tidak dipungkiri bahwa aksara-aksara di Nusantara memang
menampakkan aliran India selatan atau aliran India utara, namun juga
cukup rumit dan sulit ditentukan darimana kepastian awalnya sebab
meskipun ada pengaruh India, tetapi kebudayaan India tidaklah berperan
sepenuhnya terhadap lahirnya aksara di Nusantara khususnya suku bangsa
yang menghasilkan sumber tertulis dengan mempergunakan aksara-aksara
nasional atau aksara daerah yang tergolong archais itu.
Ada asumsi bahwa kebudayaan India datang ke Nusantara semata karena
peran cendekiawan Nusantara sendiri yang telah turut ambil bagian ke
kancah pergaulan politik internasional. Tetapi tidak berarti bahwa
dikala itu bangsa Nusantara belum mengenal aksara sebagai alat melakukan
interaksi sosial dengan bangsa-bangsa lain. Wujud ataupun bentuk aksara
yang berperan pada periode yang disebut “klasik’ itupun
sesungguh-sungguhnya merupakan hasil dayacipta cendekiawan lokal yang
telah meramu secara selektif atas unsur-unsur asing dari berbagai aliran
yang pada klimaksnya mencapai kesepakatan gaya jenis dan bentuk aksara
sesuai kondisi wilayah budaya. Saat berlangsungnya proses inovasi,
masyarakat Nusantara telah mencapai kondisi siap mental, karena itu
tatkala inovasi asing (luar) tiba, khususnya dari India, masyarakat
Nusantara segera dapat mencerna dan menyesuaikan diri tentu dengan
melalui pengetahuan dan pengalaman kebudayaan setempat (Damais 1952;
1955).
Di masa lampau aksara diwujudkan atau digambarkan dengan cara digores atau dipahat pada berbagai bahan (media) keras seperti batu, logam (emas, perunggu, tembaga), kayu,
juga bahan-bahan lunak seperti daun tal (ron-tal), atau nipah. Alat
menggores atau memahat aksara pun disesuaikan dengan kadar kekerasan
bahan yang dipergunakannya yakni semacam tatah kecil (paku/pasak)
menyudut tajam pada bagian ujungnya, atau semacam pisau kecil dibentuk
melengkung, pipih, sangat tajam. Selain berfungsi untuk menorehkan
aksara, juga untuk mengiris dan menghaluskan bahan (daun) menjadi
lempiran-lempiran tipis dengan ukuran panjang, lebar dan ketebalan
tertentu yang siap pakai. Bahan-bahan keras seperti batu atau jenis
logam tertentu (emas, tembaga, perunggu) dipakai semata karena bahan
tersebut dianggap lebih tahan lama.
Sejumlah besar data tekstual (prasasti/document)
dari masa lampau sebagian besar ditemukan pada batu atau lempeng emas,
perunggu maupun tembaga dan selalu dikeluarkan oleh penguasa (raja).
Oleh karena itu setiap prasasti adalah dokumen resmi pemerintah negara
atau kerajaan dan benar-benar disahkan oleh raja dengan kata lain Surat
Keputusan (SK) Kerajaan yang bersangkutan. Anugrah dari raja kepada
seseorang yang dianggap berjasa atau memutuskan sesuatu perkara hukum
(perdata). Karena itu selain digoreskan pada batu (otentik), dibuat
beberapa copy atau tembusan (tinulad/tiruan otentik) prasasti yang
digoreskan pada lempeng tembaga disebut tamra prasasti (Kartakusuma
2003; 2006).
Pada masa dahulu cara pengawetan sesuatu bahan belum dikenal,
satu-satunya upaya kearah itu disalin kembali, namun teknik penyalinan
kembali lebih sering dilakukan pada sejumlah naskah pada daun tal (rontal), atau daluwang semacam lembaran kertas atau bahan yang diolah dari kulit pohon tertentu, Berbeda dengan negeri Cina,
aksara dituliskan dengan menggunakan kwas dengan cara disapukan setelah
dicelupkan pada cairan berwarna pekat (semacam tinta). Tentu saja
hasilnya jauh berbeda, betapapun hasil goresan berkesan lebih nampak
jikalau dibandingkan hasil sapuan, karena aksara yang digoreskan akan
menampakkan jejak-tekan berbekas dalam dan terasa manakala diraba dan
tidak memerlukan pewarna (tinta) seperti yang dihasilkan oleh sapuan
kwas. Menggores atau memahat aksara dengan alat memang jauh lebih rumit,
memerlukan keahlian dan ketrampilan dengan ketekunan khusus, hasil
latihan dan kebiasaan (secara terus-menerus).
Oleh karena itu pada masa lampau untuk menggoreskan aksara atau
memahat suatu aksara (naskah karyasastra atau prasasti) dipegang oleh
ahli pemahat aksara yang disebut citralekha. Istilah pinjaman dari
bahasa Sanskerta dari kata citra = clear, bright, distinguished given to
image in round with all limbs completely worked out and shown;
sedangkan lekha-laikhani = instrument for writing, reed pen, pencil
(Sircar 1965). Maka itu hasil yang digoreskan atau uang pahatan aksara
yang berkembang pada masa klasik
bentuknya lebih dapat digolongkan sebagai karyaseni kebudayaan
menampilkan kekhasan atau keunikan jejak bekas tersendiri. Tentu saja
setiap aksara tidak pula ter-lepas dari gaya dan tekanan pahatan yang
nampak pada bagian-bagian teks aksara dicirikan oleh tebal, tipis,
dengan posisi tubuh aksara tegak, agak tegak, dan miring, ataupun bentuk
yang persegi, bulat, pipih memanjang, melebar, tambun, dan kokoh tegak.
Hasil pahatan mencerminkan kualitas pengetahuan dan pengalaman
empiris pendukung budaya yang mewakili individu atau kelompok
masyarakat, suku bangsa, negara atau pemerintahan tertentu sesuai zaman.
Karena ternyata khasanah ciri dari bentuk aksara yang berdampak pada
vokalisasi atau tanda yang membunyikan aksara sehingga aksara “mati”
(konsonan) hidup manakala dibubuhi tanda aksara “hidup” (vokal).
Bertali kepada keberadaannya pula, sesuatu yang dipahatkan atau apa
yang digoreskan pada suatu bahan yang kemudian disebut naskah dengan
kategori-kategori prasasti,
karyasastra secara keseluruhan disebut sumber tertulis ke kategori data
tekstual. Maka sesungguhnya batasan pengertian bahwa zaman Klasik
semata ditandai oleh dikenalnya budaya tulis layak ditinjau kembali
sebab pengertian aksara sebagai gambaran bunyi ternyata lebih luas dari
yang dimengerti kalangan umum.
3. Sambandha: Aksara-Aksara di Nusantara (Dwipantara)
Sejarah mencatat bahwa aksara tertua di Nusantara (Asia Tenggara umumnya) disebarluaskan seiring dengan menyebarnya agama Buddha,
jenis aksara yang semula dipergunakan untuk menulis ajaran.
mantra-mantra suci atau teks-teks dengan jenis aksara yang dipakainya
disebut Sidhhamatrika, disingkat Siddham. Tetapi sarjana Belanda lebih menyukai istilah Prenagari (Damais 1995; Sedyawati 1978).
Jenis aksara inilah yang kemudian berkembang di Asia Tenggara
walaupun hanya terbatas atau terpatri, untuk menulis teks-teks keagamaan
pada media tablet, materai atau stupika yang dibuat dari tanah liat
(bakar atau terracotta) atau dijemur dan dikeringkan matahari.
Objek tekstual jenis ini hampir dipastikan tidak atau jarang disertai
unsur pertanggalan, karenanya sulit ditentukan periodenya secara tepat.
Namun melalui analisis palaeografis yakni perbandingan kemiripan tipe,
gaya, bentuk aksara dari zaman ke zaman, maka khusus aksara pada tablet,
meterai atau stupika yang ditemuakan di Asia Tenggara diperkirakan dari
sekitar abad pertama sampai ketiga Masehi (A.D). Di Nusantara
benda-benda seperti ini ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali dengan menggunakan bahasa Sanskrta.
Aksara yang kemudian lebih populer di Nusantara adalah aksara dari (dinasti) Pallava
(India selatan) selanjutnya disebut aksara Pallawa (saja), Juga
memiliki kecenderungan tidak menyertakan unsur pertanggalan, dijumpai
pada prasasti tujuh Yupa (tugu peringatan kurban) kerajaan Kutai (Kalimantan timur) yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi dan sejumlah prasasti dari kerajaan Tarumanagara (Jawa Barat) tahun 450 Masehi.
Kedua kerajaan yang cukup jauh letaknya sama-sama mengggunakan aksara Pallawa-Grantha dan bahasa Sanskrta dengan gaya khas inovasi-nya. Prasasti-prasasti masa Tarumanagara (tujuh) dipahatkan pada batu alam. Khusus prasasti Ciaruteun dan Muara Cianten (Kampung-muara), di tepi (sungai) Cisadane dan Cibungbulang (Bogor), Jawa Barat, disusun dan ditata dengan metrum (sloka) Sanskrta;
ada juga yang berpahatkan pilin, umbi-umbian dan sulur-suluran.
Beberapa sarjana menyebut pahatan pilin, umbi, dan sulur-suluran itu
sebagai bentuk aksara khusus yang disebut kru-letters,
conch-shell-script atau aksara sangkha. Sejauhmana kebenarannya, yang
jelas pilin, pilin gandha ataupun sulur-suluran merupakan citra gaya
seni geometris yang paling tua dikenal manusia di bumi Nusantara,
sebelum dikenal aksara (Djafar 1978).
Ragam hias yang kemudian lebih banyak ditemukan sebagai indegenous khusunya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi
“Garonto Passura” . Karakter-karakter yang memiliki keistimewaan
sebagai hasil dayacipta setempat yang telah sangat tua yang dikembangkan
di alam dan lingkungan kebudayaan yang didasari kemapanan kreativitas
dan berkembang sesuai kondisinya. Ciri perkembangan inilah yang
kemudsian menjadi complicated sebab setiap individu atau kelompok
masyarakat dari suatu lingkungan kebudayaan memiliki konsep-konsep untuk
mengembangkan gaya dan bentuk aksara selanjutnya melahirkan tipe-tipe
khas pendukung budaya. Pada dasarnya aksara yang berkembang di Nusantara
secara visual khususnya pada periode Klasik secara umum terdiri dari 33
dasar ucapan sebagai berikut di bawah:
Dasar Ucapan
Pendek | Panjang | ||
---|---|---|---|
1. | Velar/laringal/guttural | a | ã |
2. | labial | u | û |
3. | palatal | i | î |
4. | lingual/domal | r | ŗ |
5. | dental | l | Ļ |
Semua panjang | |||
---|---|---|---|
1. | gutturo palatal | e | ai |
2. | gutturo labial | o | au |
ö | atau eu |
a. | visagra | [h] |
b. | anusvaraabial | [ŋ] |
1. | velar/laringal guttural | k | kh | g | gh | ng | |||
2. | palatal | c | ch | j | jh | ny | y | š | |
3. | lingual | ţ | ţh | h | ņ | ŗ | ş | ||
4. | dental | t | th | d | dh | n | l | S | |
5. | labial | p | ph | b | bh | m | w | ||
h |
Sejak awal kehadirannya aksara-aksara di kawasan Asia Tenggara hadir
berkembang pada periode-periode yang hampir sama menunjukkan adanya
kemiripan berlangsung hingga abad VIII Masehi. Meskipun dalam beberapa
hal masih memper-lihatkan pengaruh Pallawa
seperti gaya aksara masa sesudahnya yang oleh Boechari disebut aksara
Pasca Pallawa, namun hampir di setiap wilayah Asia Tenggara Daratan dan
kepulauan (Nusantara/Dwipantara) sekurang-kurangnya abad VIII Masehi
telah berkembang aksara yang pada prinsipnya sama tetapi memiliki
corak-corak khusus (tersendiri).
Gaya dan jenis aksara sebagian besar mirip aksara pada sejumlah dokumen (sumber) tertulis di Sumatra dan Jawa mempergunakan jenis bahasa pengantar yang dikenal berkembang pada masing-masing daerah pendukung budaya (a.l. Malayu kuna, Jawa kuna, Sunda kuna dan Bali kuna).
Beberapa pendapat menyatakan bahwa kemungkinan aksara-aksara yang hadir di Nusantara merupakan perkembangan dari aksara Pallawa
namun ciri dan pertaliannya masih belum benar-benar dijelaskan, sebab
difrensiasi ciri atas aksara-aksara lokal dan kaitannya kepada Pallawa
terlampau jauh. Batas antara gaya aksara yang satu (lebih tua) dengan
yang hadir kemudian sulit ditentukan, kemungkinan keduanya berkembang
secara hampir bersamaan (overlapping). Atau gaya yang telah ada
kemungkinan tersilih oleh kehadiran gaya dan jenis aksara yang baru,
peralihan dan pergantian sesuai perkembangan zaman seperti yang terjadi
dengan munculnya aksara pegon dan latin. Yang baru telah berkembang
lebih meluas sedangkan yang lama berkembang secara lokal saja. Perbedaan
tersebut nampak seperti yang kemudian berkembang sebagai aksara Jawa (tengahan atau baru), terdiri 20 aksara [ho-no-co-ro-ko]:
[ha]- [na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [dha]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [tha]- [nga]
Kemudian aksara Sunda yang kerap disebut Ca-ca-ra-kan dengan bunyi yang hampir sama tetapi terdiri dari 18 aksara
[ha]- [na]- [ca]- [ra]- [ka]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]
[da]- [ta]- [sa]- [wa]- [la]
[pa]- [ja]- [ya]- [nya]
[ma]- [ga]- [ba]- [nga]
Kuatnya indegenous yang menjadi ciri aksara di Nusantara adalah untuk
mengatasi kesulitan tatkala penyesuaikan sistem fonetik (bunyi)
bahasa-bahasa Nusantara dalam mengalihaksarakan bunyi pepet/ pepat
(=tanda seperti ) aksara dalam suatu kata untuk menyatakan bunyi è; é;
ê; æ; ë) dan hiatus (bunyi peralihan di antara dua monoftong
berdampingan dan membentuk dua suku berurutan tanpa jeda atau konsonan
antara seperti sia – sya – sya; dua – duwa – dwa), semua unsur bunyi
tersebut hanya dikenal di dalam kosakata (abjad) bahasa-bahasa daerah di
Nusantara (Jawa, Sunda, Bali, Sumatra, atau Malayu) yang tidak dikenal dalam kosakata bahasa
ataupun aksara pengaruh dari India. Ketiadaan inilah yang justru
membedakan antara aksara Nusantara dan India, tanda-tanda bunyi
sepenuhnya milik ”multlak” masyarakat Nusantara dan tentu saja harus
dicantumkan ke bentuk aksara yang disebut diakritis.
Pada sejumlah naskah sumber tertulis dari masa lebih tua yang umumnya menggunakan bahasa Sanskrta,
kesulitan itu tidaklah terasa benar karena tidak mengenal tanda-tanda
bunyi seperti itu sehingga dirasa tidak perlu mencantum-kannya, kecuali
tanda-tanda diakritis. Mengatasi kesulitan itu sedapat-dapatnya tidak
menuliskan pepat pada akhir suku kata pertama pada pokok kata, melainkan
konsonan permulaan sukukata itu dirangkap dengan konsonan permulaan
dari sukukata kedua seperti dmakan, wdihan, si kbo, lmah, wdus, wkas,
kdung pluk dan seterusnya. Meskipun diakui sang citralekha tidaklah
selalu konsekwen pada sukukata yang sulit atau tidak mungkin dirangkap,
maka tanda [ĕ] pepat di sini diganti menjadi bunyi [a] seperti
suket–sukat; mangagem–mangagam; mapeken mapekan dan seterusnya (Boechari
1958)
Inilah kenyataan bahwa gaya dan jenis suatu aksara di Nusantara
memiliki Style dan dari style itu pula tercerna unsur motif, unsur
hubungan, dan unsur kualitas yang seluruhnya itu berakar pada inti
budaya (hoe) sarat ide-ide atau gagasan pendukung budayanya.
4. Aksara-Aksara di Nusantara: Karya Seni Kebudayaan (Garonto Passura)
Selama ini berkembang asumsi pengenalan aksara selalu diasumsi
sebagai yang menandai masa sejarah atau periode klasik yang diidentikan
dengan pengaruh Hindu-Buddha.
Secara umum pula bukti tertulis yang merupakan gambaran bunyi aksara
ditemukan sebagian besar di Nusantara barat, lalu bagaimana dengan
”minimnya” atau boleh dikatakan tidak atau belum ditemukan sumber
tertulis di Nusantara timur yang dapat menggiring perpsepsi bahwa dan
Nusantara timur tidak mengalami masa sejarah? Mungkinkah sepanjang
periode yang disebut klasik berlangsung, justru di wilayah tetap
melangsungkan atau mempertahankan corak budaya prasejarah khususnya
kehidupan perundagian yang berlangsung pada akhir masa Epipaleolitik
sampai awal Neolitik.
Tidak berarti pula dengan ciri budaya seperti itu masyarakatnya tidak
mengenal aksara dan bahasa atau gambaran bunyi yang berfungsi sebagai
alat berkomunikasi. Yang di wilayah ini ditemukan sejumlah sisa
aktivitas budaya yang ditemukan paling menonjol adalah lukisan cadas --
rock art -- (dengan pengecualian Sumatra dan Jawa) antara lain di
Sulawesi Selatan, Muna, Seram, Kei kecil, Flores, Lomblem, Papua,
Kalimantan timur dan barat dan secara kronologi dan motif menunjukkan
ada runutan yang dapat ditelusuri. Motif-motif lukisan-nya adalah
manusia (bagian-bagian tubuh seperti badan, genital telapak tangan, atau
telapak kaki) manusia secara utuh tengah memegang senjata dengan posisi
tengah berperang, binatang (lipan, babi, anoa, ikan, cumi-cumi), kuda
(adakalanya tampil bersama penunggangnya), perahu, dan lambang-lambang
tertentu, secara universal disebut geometris (geometrical ornament)
berupa garis tidak beraturan, pola segitiga (tumpal) a.l. (anyam)kepang,
pilin(berganda) atau double spiral, medalion (bulatan), meander dan
swastika.
Lukisan gambar tersebut ada yang dipahatkan secara disemprot sesuatu
cairan berwarna (negatif), dicap (positif ) dan digores (dipahat).
Sebagian besar tema dipilih mengandung unsur kognitif dan erat kaitannya
dengan unsur-unsur kesuburan, persatuan antar sesama, keselarasan dan
keseimbangan dengan alam dan Sang Cipta.
Tiada lain gambar atau lukisan adalah visualisasi verbal dalam upaya
komunikasi ke generasi sesudahnya diungkapan melalui sentuhan estetika
oleh seniman zamannya. Nyata pula bahwa yang digambarkannya bukan
sesuatu yang ganjil hal-hal atau objek di luar gagasan masyarakatnya
sebagai pendukung budaya. Pengalaman di lingkungan sehari-hari yang
dialami secara empiris telah melahirkan gagasan yang dituangkan kepada
motif-motif lukisan secara langsung dimengerti dan dipahami oleh
keturunannya pada masa kemudian sebagai bagian kebudayaanya. Dengan
demikan lukisan cadas adalah juga alat transformasi yang tiada berbeda
peran dan fungsinya dengan bahasa. Gambar atau lukisan dengan anekaragam
motif-motifnya merupakan bukti paling awal yang menunjukkan telah
disepakati cara komunikasi yang mampu menjalin interaksi di antara
sesama.
Nyata bahwa masyarakat yang konon “tidak mengenal budaya tulis” itu
justru yang mendasari kemampuan di dalam upaya menyampaikan pengetahuan
tentang realitas yang tersimpan di dalam gagasan, selanjutnya dituangkan
melalui lukisan-lukisan cadas sehingga merasakan maknanya dan terbukti
komunikatif melampaui kurun waktu berabad-abad.
Gambar atau lukisan tersebut digolongkan ke dalam kategori jenis
pikto-grafik seperti peradaban Mesir Purba dan Tiongkok kuno berupa
gambar atau lukisan konkrit dan melalui perkembangan waktu beralih
kepada Ideografik berbeda hal dengan Nusantara yang mengambil bentuk
Silabik (suku kata). Rock art diindonesiakan lukisan cadas adalah sakah
satu perwujudan karyaseni manusia masa prasejarah yang sarat simbol dan
lambang yang dapat disejajarkan dengan fungsi bahasa yaitu sebagai media
komunikasi budaya yang bersifat simbolis dengan melalui perlambangan
tertentu yang dipahami masyarakat pendukung budaya. Karena itu selain
arkeologi murni salah satu pendekatan yang dipakai meneliti serangkaian
simbol lukisan cadas yang sarat mengandung pesan-pesan tersembunyi yakni
linguistik struktural sebab bila dikontemplasikan dapat difahami
maknanya. Adakah itu merupakan bukti bahwa peran dan fungsi lukisan
cadas khususnya masyarakat Nusantara tengah dan timur tiada berbeda
dengan peran dan fungsi bahasa tulisan dengan kata lain aksara yang
dikenal lingkungan masyarakat Nusantara bagian barat?
Kemampuan dasar tersebut kian terpupuk tatkala mencerna ragam hias
aksara yang diindikasikan sebagai inovasi asing. Bedanya gambar atau
lukisan tersebut tidak berbunyi sekalipun dapat dibaca, dimengerti dan
dipahami sebab disertai tanda bunyi.
Barangkali lukisan cadas atau rock art dikategorikan piktografik
menandai gejala paling awal melahirkan seni keahlian menggores yang
berkembang di seluruh belahan dunia sesungguhnya prototipe pengetahuan
aksara pada masa-masa kemudian. Motif-motif yang tetap bertahan dan
diimposisi ulang sebagai motif dasar pada kain (tenun) ikat, unsur
ataupun komponen bangunan, alat atau benda upacara pun alat-alat
sehari-hari. Tradisi menggambarkan atau melukiskan sebagai upaya
menuangkan pengalaman empiris secara lebih konkrit ditemukan pada
naskah-naskah prasen masyarakat Bali dengan media daun tal isinya
tentang kisah-kisah klasik sebagai puja-sastra antara lain saduran epos
Mahabharata, Ramayana dan Bharatayuddha oleh para pujangga lokal atau
cerita-cerita rakyat yang bertaut kepada ajaran kehidupan.
Disesalkan bahwa sampai kini kita masih belum ditemukan bukti-bukti
adanya gaya aksara yang termasuk kategori ideografik, sebelum menapaki
aksara jenis silabik yang diwujudkan berupa sukukata. Kategori yang
tergolong aksara ideografik agaknya tertancap sebagai ciri aksara
Tiongkok kuno, ataukah aksara Cina jenis ini tidak sempat berkembang di
Nusantara karena meskipun para musafir Cina kala itu termasuk yang kerap
berkunjung ke Nusantara.
Namun sejarah mencatat pula bahwa mereka datang lebih banyak
bertujuan keagamaan bagi pengetahuan mereka sendiri, yakni mencatat dan
menterjemahkan teks-teks agama Buddha yang terdapat di Nusantara.
Setelah selesai mengerja-kannya naskah itu dibawa pulang kembali ke
negerinya. Itukah sebabnya aksara Tiongkok kuna maupun aksara Cina kuna
tidak memasyarakat di Nusantara seperti aksara pengaruh India. Betapapun
aksara Cina tidak lagi melukis sesuatu benda konkrit seperti pada
awalnya namun berlandaskan kepada kategori silabik seperti halnya aksara
Katakana, Hiragana di Jepang, India dan sebagian Asia Tenggara daratan
termasuk Nusantara.
Sejak awal kehadirannya pada sekitar abad II Masehi di Nusantara
jenis aksara dengan katagori silabik memicu dayacipta (local genius)
dengan kekhasannya dan mencapai puncak perkembangannya pada awal abad
VIII Masehi, termasuk ragam variasinya di dalam kancah perkembangan
lokal, khususnya di bagian barat kepulauan Nusantara. Perkiraan batasan
periode sepenuhnya didasarkan analisis dengan metode palaeografis karena
sebagian besar data sumber tertulis umumnya tidak bertanggal, antara
lain dituliskan pada lempeng atau lembaran kertas emas ataupun perak
pesannya berupa teks-teks pendek berbahasa Sanskerta (mantra) biasanya
ditemukan ditanam pada sumuran-sumuran bangunan suci (peripih).
Pada pertengahan abad VIII Masehi ditemukan beberapa teks-teks yang
mencantumkan pertanggalan dengan menggunakan bahasa Jawa Kuna, kekhasan
itu nampak pada gaya aksara yang cenderung agak membulat dan miring ke
kanan 15°. Abad IX –X Masehi perlahan-lahan gaya itu membulat menjadi
lebih tambun menuju persegi sehingga pertemuan garis yang membentuk
sudut-sudut pada bagian-bagian aksara ter-tentu nampak menonjol.
Gaya pahatan aksara-persegi ini selanjutnya mendasari gaya
aksara-aksara di Jawa Timur (abad XI-Masehi) dengan berbagai variasinya
juga, baik yang dipahatkan tipis dan halus, bahkan berpadu dengan
inovasi gaya Bali sekalipun yang dipahatkan menonjol ke luar, sangat
tebal dengan ukuran cukup besar acapkali raya dengan hiasan
(sulur-suluran) sehingga bentuk aksaranya sulit dipahami yakni aksara
Kwadrat, khusus dipakai menuliskan semboyan-semboyan tertentu, prasasti
yang beraksara kwadrat lebih sering dipahatkan pada prasasti-prasasti
pendek dan sangat khas pada masa Kadiri.
Gaya ini kemudian menjadi dasar menuju perkembangan aksara abad IX
Masehi penanda utama adalah hadirnya serif (=kuncir) yang ditemukan di
bagian kepala aksara-aksara khusus aksara terbuka ke atas. Tanda ini
tidak ditemukan pada aksara aksara di India. Tampaknya remeh namun
kehadiran kuncir di sini justru merupakan petunjuk paling penting yang
secara tegas (significant) tentang inovasi selain pengaruh India yakni
Kamboja. Pemakaiannya mendominasi aksara-aksara prasasti-prasasti yang
ditemukan di Sumatra, Jawa dan Bali bahkan menjadi ciri khas hingga ke
masa Singhasari-Majapahit. Di Asia Tenggara Daratan tanda kuncir dikenal
oleh hampir serempak pada aksara-aksara yang berkembang di Asia Tengara
Daratan seperti Campa, Birma, Kamboja juga Muangthai (Siam), kecuali
Filipina. Tetapi tidak ada di India. Maka dikatakan bahwa tapak walas
aksara di Nusantara atau Dwipantara tiada terlepas landasan pengetahuan
setempat (Kartakusuma 2003).
Aksara adalah seni yang merupakan bagian dari sejarah kesenian bahwa
seni adalah kegiatan yang terjadi oleh proses “cipta-rasa-karsa” tidak
sama tetapi tidak seluruhnya berbeda dengan science dan teknologi, maka
cipta dalam bidang kesenian mengandung pengertian terpadu antara
kreativitas (invention) dan inovasi yang sangat dipengaruhi oleh rasa
(emotion, feeling) (Bandem 1981; Sedyawati 1994) Namun logika, daya
nalar, mengimbangi emosi dari waktu ke waktu dan kadang-kadang dalam
kadar cukup tinggi; rasa, timbul karena dorongan kehendak naluri yang
disebut karsa; tetapi karsa bersifat personal atau kolektif, tergantung
dari lingkungan.
Kesenian berkaitan dengan bahasa, organisasi sosial, sistem ekonomi,
sistem teknologi, sistem kepercayaan dan sistem pengetahuan. Penampilan
ekspresif kesenian yang berhubungan erat dengan kebudayaan adalah aksara
yang pada masa lalu dinyatakan melalui alat gores, alat pahat atau
dengan gambaran-gambaran tertentu. Aksara sebagai salah sebuah karyaseni
berkembang selaras kreativitas zaman, sehingga tiap-tiap jenis dan gaya
aksara tampak memiliki keunikan zaman dimana individu/kelompok
masyarakat pemangku budaya itu hidup.
5. Rujukan
- Bandem, I Made, 1981 “Ethnomusicology Penyelamat Musik Bangsa”, Analisis Kebudayaan. Tahun II. No.1. Diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Kartakusuma, Richadiana, 2003, “Peran dan Fungsi Epigrafis sebagai Bidang Studi Sumber Tertulis dan Permasalahannya” dalam R.Cecep Eka Permana et.al. (penyunting), Cakrawala Arkeologi (Persembahan untuk Prof.Dr. Mundardjito), Diterbitkan oleh Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Depok 2003: 189-199.
- Kartakusuma, Richadiana, 2006, “The Influence of Hindu-Buddhism on Javanese Culture and Socciety (Some Historical Notes From Selected Sources)”, dalam Truman Simanjuntak et.al. (Editors), Archaeology: Indonesian Perspective. R.P. Soejono Festschrift. Indonesian Institute of Science, International Center for Prefistoric and Austronesian Studies.
- de Casparis, J.G., 1975 Indonesian Palaeography (A History of Writing in Indonesia from the Beginning to C.A.D. 1500). Handbuch der Orientalistik. Leiden/Koln.
- Damais, L-Ch, 1952 “Etudes d’Epigraphie Indonesienne: III. Liste des Principales Inscription atees de l’Indonesie” BEFEO XLVI..
- 1955, Epigrafi dan Sejarah Nusantara (Pilihan Karangan). Seri Terjemahan Arkeologi No.3. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bekerjasama dengan EFEO
- Sircar , D.C. , 1965, Indian Epigraphy. Delhi-Varanasi-Patna: Motilal Banarsidass.
- Sedyawati , Edi, 1978, “Tarumanagara Penafsiran Budaya” Diskusi Panel Menggali Kembali Sejarah Tarumanagara. Jakarta: Universitas Tarumanagara.
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar