Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi[1] ataupun penolakan terhadap teisme.[2][3] Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.[4][5]
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis.[6] Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).[7]
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).[8] Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana.[9] Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik.[10] Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,[11] rasionalisme, dan naturalisme,[12] tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.[13]
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (átheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis.[6] Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia.[7] Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).[7]
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).[8] Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana.[9] Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik.[10] Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme,[11] rasionalisme, dan naturalisme,[12] tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.[13]
1. Asal Istilah
Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani Kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.[14]
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.[15] Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)".[16] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.[16][17][18]
Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός "tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi "memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa". Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani Kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.[14]
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan tersendiri" pada akhir abad ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.[15] Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)".[16] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.[16][17][18]
2. Definisi dan pembedaan
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme,[19] yakni apakah ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada kepercayaan, dan apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.
2.1. Ruang lingkup
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ateisme. Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis, orang-orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.[20]
Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[21]
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ateisme. Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis, orang-orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.[20]
Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[21]
2.2. Implisit dan eksplisit
Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai ateis.
Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan."[22] George H. Smith (1979) juga menyugestikan bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu yang terlibat, tapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis."[23] Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri.[24] Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes)."[25] Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik. Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang benar-benar berada di lubang perlindungan perang."[26]
Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai ateis.
Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan."[22] George H. Smith (1979) juga menyugestikan bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu yang terlibat, tapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis."[23] Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri.[24] Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes)."[25] Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik. Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang benar-benar berada di lubang perlindungan perang."[26]
2.3. Kuat dan lemah
Para filsuf seperti Antony Flew,[27] Michael Martin,[16] dan William L. Rowe[28] membedakan antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun kuat.[29] Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi[27] dan apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda).[30] Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.
Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,[16] kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme.[31] Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya,[32] dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.[33] Filsuf Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa "kadang-kadang seseorang yang benar-benar ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika formal."[34] Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).[35]
3. Dasar pemikiran
Para filsuf seperti Antony Flew,[27] Michael Martin,[16] dan William L. Rowe[28] membedakan antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun kuat.[29] Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi[27] dan apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda).[30] Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.
Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,[16] kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme.[31] Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya,[32] dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.[33] Filsuf Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa "kadang-kadang seseorang yang benar-benar ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika formal."[34] Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).[35]
3. Dasar pemikiran
"Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli
astronomi siapa ayah yang membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan
tersebut menunjuk langit dan seorang tua yang sedang duduk, dan berkata: 'Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah jiwamu.' Anak lelaki tersebut membalas: 'Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya malu menjadi anak dari orang setua itu!' 'Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan adalah penciptamu!' [36] Ilustrasi ateisme praktis dan asosiasi historisnya dengan amoralitas, judul "Supreme Impiety: Atheist and Charlatan", dari Picta poesis, oleh Barthélémy Aneau, 1552 |
Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang tuhan/dewa.
3.1. Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memengaruhi kehidupan sehari-hari.[37] Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau memercayainya."[38]
Ateisme praktis dapat berupa:
3.2. Ateisme teoretis
Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memengaruhi kehidupan sehari-hari.[37] Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau memercayainya."[38]
Ateisme praktis dapat berupa:
- Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
- Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;
- Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan
- Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.[39]
3.2. Ateisme teoretis
Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.
Argumen epistemologis dan ontologis
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.[37]
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.[37]
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.
Argumen metafisika
!Informasi lebih lanjut: Monisme, Fisikalisme
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah homogen dan tidak dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme, sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus. Ateis metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan tertentu didasarkan pada ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.[40]
Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi
Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach[42] dan Sigmund Freud berargumen bahwa Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis.[43] Karl Marx dan Friedrich Engels, dipengaruhi oleh karya Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin, "pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas, dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka adalah perlu untuk menghapusnya."[44]
Epikouros sering disebut sebagai orang yang pertama menguraikan secara terperinci masalah kejahatan. David Hume dalam bukunya Dialogues Concerning Natural Religion (1779) mengutip argumen Epikouros dalam bentuk sederet pertanyaan:[41]
"Apakah [Tuhan] berniat mencegah kejahatan, namun tidak dapat? maka
apakah ia impoten. Apakah ia dapat, namun tidak berniat? Maka apakah ia
berhati dengki. Apakah ia dapat dan berniat? maka darimanakah
kejahatan?" |
Argumen logis dan berdasarkan bukti
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.[45]
Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan welas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang.[46] Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.[47
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan, seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan, kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi, kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.[45]
Ateis teodisi percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan welas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang.[46] Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.[47
Argumen antroposentris
!Informasi lebih lanjut: Antropologi filosofis, Humanisme
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.[37]
Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki dasar etika,[48] atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.[49] Blaise Pascal memaparkan argumen ini pada tahun 1669.[50]
4. Demografi
Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden survei dapat mendefinisikan "ateisme" secara berbeda-beda ataupun menarik garis batas yang berbeda antara ateisme, kepercayaan non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual.[53] Selain itu, masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis untuk menghindari stigma sosial, diskriminasi, dan penganiayaan. Survei tahun 2005 yang dipublikasi dalam Encyclopædia Britannica menunjukkan bahwa kelompok non-religius mencapai sekitar 11,9% populasi dunia, dan ateis sekitar 2,3%. Jumlah ini tidak termasuk orang-orang yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha.[6]
Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa. Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik.[54]
Survei resmi Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk harus atau roh", manakala 52% percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65% pada orang-orang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras.[55]
Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah di antara para anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara umumnya.[56] Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi Massachusetts dan Michael Shermer dari California State University melakukan sebuah kajian yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka yang terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan terdapat sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.[57]
Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam Majalah Mensa.[58] Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford. Ia menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran kecerdasan pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan sebagian peran penting.[59]
Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.[60] Pada sensus Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.[61]
5. Ateisme, agama, dan moralitas
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan dewa pencipta yang personal.[62] Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya Yahudi ateis atau Yahudi humanis[63][64] dan Kristen ateis.[65][66][67]
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.[68]
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik.[69][70][71] Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.[72]
Filsuf Susan Neiman[73] dan Julian Baggini[74] menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.[75]
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.[76] Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.[77]
Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme.[78] Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan)[79] berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.[80] Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.[81]
!Informasi lebih lanjut: Antropologi filosofis, Humanisme
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan. Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu untuk menyelesaikan permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud, dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.[37]
Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki dasar etika,[48] atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan.[49] Blaise Pascal memaparkan argumen ini pada tahun 1669.[50]
4. Demografi
Kadar ateisme dan agnostisisme di seluruh dunia[51][52] |
Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan dipublikasi di Financial Times menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya kepada tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang Eropa. Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah yang paling banyak percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32% lainnya mengaku sebagai agnostik.[54]
Survei resmi Uni Eropa memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk harus atau roh", manakala 52% percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang percaya naik menjadi 65% pada orang-orang yang putus sekolah pada usia 15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari latar belakang keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras.[55]
Sebuah surat yang dipublikasi di Nature pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa kepercayaan pada tuhan personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah di antara para anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara umumnya.[56] Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi Massachusetts dan Michael Shermer dari California State University melakukan sebuah kajian yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka yang terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D dan 62% lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan terdapat sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.[57]
Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan juga telah ditemukan pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927 sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam Majalah Mensa.[58] Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford. Ia menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran kecerdasan pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan sebagian peran penting.[59]
Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama ataupun menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai non-religius (humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini.[60] Pada sensus Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.[61]
5. Ateisme, agama, dan moralitas
Karena ketiadaan Tuhan pencipta, Agama Buddha umumnya dideskripsikan sebagai nonteis. |
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan kepercayaan spesifik apapun diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan, ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis, mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.[68]
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat politik.[69][70][71] Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.[72]
Filsuf Susan Neiman[73] dan Julian Baggini[74] menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.[75]
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan objektif.[76] Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat sekuler.[77]
Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme.[78] Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan)[79] berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka.[80] Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka.[81]
6. Referensi
- Rowe, William L. (1998). "Atheism". Routledge Encyclopedia of Philosophy. Ed. Edward Craig.
- Nielsen, Kai (2009). "Atheism". Encyclopædia Britannica. Diakses pada 2007-04-28. "Atheism, in general, the critique and denial of metaphysical beliefs in God or spiritual beings.... a more adequate characterization of atheism consists in the more complex claim that to be an atheist is to be someone who rejects belief in God for [reasons that depend] on how God is being conceived."
- Edwards, Paul (1967). "Atheism". The Encyclopedia of Philosophy Vol. 1. Collier-MacMillan. “On our definition, an 'atheist' is a person who rejects belief in God, regardless of whether or not his reason for the rejection is the claim that 'God exists' expresses a false proposition. People frequently adopt an attitude of rejection toward a position for reasons other than that it is a false proposition. It is common among contemporary philosophers, and indeed it was not uncommon in earlier centuries, to reject positions on the ground that they are meaningless. Sometimes, too, a theory is rejected on such grounds as that it is sterile or redundant or capricious, and there are many other considerations which in certain contexts are generally agreed to constitute good grounds for rejecting an assertion.”
- Artikel pendek religioustolerance.org pada Definitions of the term "Atheism" menyatakan bahwa tidak ada konsensus mengenai definisi istilah ateisme. Simon Blackburn pada The Oxford Dictionary of Philosophy: "Atheism. Either the lack of belief in a god, or the belief that there is none".
- Runes, Dagobert D.(editor) (1942 edition). Dictionary of Philosophy. New Jersey: Littlefield, Adams & Co. Philosophical Library. ISBN 0064634612. Diakses pada 1 Februari 2010. "(a) the belief that there is no God; (b) Some philosophers have been called "atheistic" because they have not held to a belief in a personal God. Atheism in this sense means "not theistic". The former meaning of the term is a literal rendering. The latter meaning is a less rigorous use of the term though widely current in the history of thought"
- "Worldwide Adherents of All Religions by Six Continental Areas, Mid-2005". Encyclopædia Britannica. 24 Maret 2005. Diakses pada 15 April 2007.
- 2.3% Atheists: Persons professing atheism, skepticism, disbelief, or irreligion, including the militantly antireligious (opposed to all religion).
- 11.9% Nonreligious: Persons professing no religion, nonbelievers, agnostics, freethinkers, uninterested, or dereligionized secularists indifferent to all religion but not militantly so.
- Zuckerman, Phil. "Atheism: Contemporary Rates and Patterns", The Cambridge Companion to Atheism, ed. by Michael Martin, Cambridge University Press: Cambridge, 2005.
- Cline, Austin (2005). "Buddhism and Atheism". about.com. Diakses pada 21 Oktober 2006.
- "Ceramah Bhikkhu Uttamo - Ketuhanan dalam agama Buddha". Samaggi Phala. Diakses pada 18 Agustus 2010.
- Kedar, Nath Tiwari (1997). Comparative Religion. Motilal Banarsidass. hlm. hal. 50. ISBN 81-208-0293-4.
- Honderich, Ted (Ed.) (1995). "Humanism". The Oxford Companion to Philosophy. Oxford University Press. p 376. ISBN 0-19-866132-0.
- Fales, Evan. "Naturalism and Physicalism", in Martin 2007, hal. 122–131.
- Baggini 2003, hal. 3–4.
- Drachmann, A. B. (1977 ("sebuah cetakan ulang yang tidak berubah dari versi tahun 1922")). Atheism in Pagan Antiquity. Chicago: Ares Publishers. ISBN 0-89005-201-8. "Atheism and atheist are words formed from Greek roots and with Greek derivative endings. Nevertheless they are not Greek; their formation is not consonant with Greek usage. In Greek they said atheos and atheotēs; to these the English words ungodly and ungodliness correspond rather closely. In exactly the same way as ungodly, atheos was used as an expression of severe censure and moral condemnation; this use is an old one, and the oldest that can be traced. Not till later do we find it employed to denote a certain philosophical creed."
- In part because of its wide use in monotheistic Western society, atheism is usually described as "disbelief in God", rather than more generally as "disbelief in deities". A clear distinction is rarely drawn in modern writings between these two definitions, but some archaic uses of atheism encompassed only disbelief in the singular God, not in polytheistic deities. It is on this basis that the obsolete term adevism was coined in the late 19th century to describe an absence of belief in plural deities. Britannica (1911). "Atheonism". Encyclopædia Britannica.
- Martin, Michael. The Cambridge Companion to Atheism. Cambridge University Press. 2006. ISBN 0-521-84270-0.
- Cline, Austin (2006). "What Is the Definition of Atheism?". about.com. Diakses pada 21 Oktober 2006.
- Flew, Antony (1984). God, Freedom, and Immortality: A Critical Analysis. Buffalo, NY: Prometheus. ISBN 0-87975-127-4.
- ""Atheism"". Encyclopedia Britannica. 24 Maret 1911. Diakses pada 7 Juni 2007.
- Martin, Michael. The Cambridge Companion to Atheism. Cambridge University Press. 2006. ISBN 0-521-84270-0.
- Britannica (1992). "Atheism as rejection of religious beliefs". Encyclopædia Britannica 1: 666. 0852294735. Diakses pada 27 Oktober 2006.
- d'Holbach, P. H. T. (1772). Good Sense. Diakses pada 27 Oktober 2006.
- Smith 1979, hal. 14.
- Cudworth, Ralph (1678). The True Intellectual System of the Universe: the first part, wherein all the reason and philosophy of atheism is confuted and its impossibility demonstrated.
- Lihat : "Atheists call for church head to retract slur". 3 September 1996. Diakses pada 2 Juli 2008.
- Lowder, Jeffery Jay (1997). "Atheism and Society". Diakses pada 10 Januari 2007..
- Flew, Antony. "The Presumption of Atheism". The Presumption of Atheism and other Philosophical Essays on God, Freedom, and Immortality. New York: Barnes and Noble, 1976. pp 14ff.
- Rowe, William L. "Atheism". Routledge Encyclopedia of Philosophy. Edward Craig (editor). Routledge: Juni 1998. ISBN 0-415-18706-0. 530-534.
- Cline, Austin (2006). "Strong Atheism vs. Weak Atheism: What's the Difference?". about.com. Diakses pada 21 Oktober 2006.
- Maritain, Jacques (Juli 1949). "On the Meaning of Contemporary Atheism". The Review of Politics 11 (3): 267–280.
- Kenny, Anthony (2006). "Why I Am Not an Atheist". What I believe. Continuum. ISBN 0-8264-8971-0. "The true default position is neither theism nor atheism, but agnosticism … a claim to knowledge needs to be substantiated; ignorance need only be confessed."
- Baggini 2003, hal. 30–34. "Who seriously claims we should say 'I neither believe nor disbelieve that the Pope is a robot', or 'As to whether or not eating this piece of chocolate will turn me into an elephant I am completely agnostic'. In the absence of any good reasons to believe these outlandish claims, we rightly disbelieve them, we don't just suspend judgement."
- Baggini 2003, hal. 22. "A lack of proof is no grounds for the suspension of belief. This is because when we have a lack of absolute proof we can still have overwhelming evidence or one explanation which is far superior to the alternatives."
- Smart, J.C.C. (2004-03-09). "Atheism and Agnosticism". Stanford Encyclopedia of Philosophy. Diakses pada 12 April 2007.
- Cudworth, Ralph. The true intellectual system of the universe. 1678. Dawkins, Richard. The God Delusion. Bantam Books: 2006, hal. 50. (ISBN 0-618-68000-4)
- Terjemahan dari teks berbahasa Latin dari "Summa impietas" (1552), Picta poesis, by Barthélémy Aneau. Glasgow University Emblem Website. Diakses pada 26 Maret 2007.
- Zdybicka 2005, hal. 20.
- Schafersman, Steven D. "Naturalism is an Essential Part of Science and Critical Inquiry". Conference on Naturalism, Theism and the Scientific Enterprise. Department of Philosophy, The University of Texas. February 1997. Revised May 2007. Diakses pada 9 April 2007.
- Zdybicka 2005, hal. 21.
- Zdybicka 2005, hal. 19.
- David Hume. Dialogues Concerning Natural Religion. Project Gutenberg (e-text).
- Feuerbach, Ludwig (1841) The Essence of Christianity
- Walpola Rahula, What the Buddha Taught. Grove Press, 1974. Halaman 51–52.
- Bakunin, Michael (1916). "God and the State". New York: Mother Earth Publishing Association. Diakses pada 12 April 2007.
- Various authors. "Logical Arguments for Atheism". Internet Infidels, The Secular Web Library. Diakses pada 9 April 2007.
- Drange, Theodore M. (1996). "The Arguments From Evil and Nonbelief". Internet Infidels, Secular Web Library. Diakses pada 18 April 2007.
- V.A. Gunasekara, "The Buddhist Attitude to God.". Diarsipkan dari yang asli pada 2 Januari 2008. In the Bhuridatta Jataka, "The Buddha argues that the three most commonly given attributes of God, viz. omnipotence, omniscience and benevolence towards humanity cannot all be mutually compatible with the existential fact of dukkha."
- Gleeson, David (2006). "Common Misconceptions About Atheists and Atheism". American Chronicle. Diakses pada 21 Oktober 2006.
- Smith 1979, hal. 275. "Perhaps the most common criticism of atheism is the claim that it leads inevitably to moral bankruptcy."
- Pascal, Blaise (1669). Pensées, II: "The Misery of Man Without God".
- Dentsu Institute (2006)
- Zuckerman (2005)
- "Major Religions of the World Ranked by Number of Adherents, Section on accuracy of non-Religious Demographic Data". Diakses pada 28 Maret 2008.
- "Religious Views and Beliefs Vary Greatly by Country, According to the Latest Financial Times/Harris Poll". Financial Times/Harris Interactive. 20 Desember 2006. Diakses pada 17 Januari 2007.
- (PDF) Social values, Science and Technology. Directorate General Research, European Union. 24 Maret 2005. hlm. hal. 7–11.
- Larson, Edward J. (1998). "Correspondence: Leading scientists still reject God". Nature 394 (6691): 313. doi: . Available at StephenJayGould.org, Stephen Jay Gould archive. Diakses pada 17 Desember 2006.
- Shermer, Michael (1999). How We Believe: Science, Skepticism, and the Search for God. New York: William H Freeman. hlm. pp76–79. ISBN 0-7167-3561-X.
- Menurut Dawkins (2006), hal. 103. Dawkins mengutip pernyataan Bell, Paul. "Would you believe it?" Mensa Magazine, UK Edition, Feb. 2002, hal. 12–13. Analyzing 43 studies carried out since 1927, Bell found that all but four reported such a connection, and he concluded that "the higher one's intelligence or education level, the less one is likely to be religious or hold 'beliefs' of any kind."
- Argyle, Michael (1958). Religious Behaviour. London: Routledge and Kegan Paul. hlm. pp 93–96. ISBN 0-415-17589-5.
- Australian Bureau of Statistics, Census of Population and Housing, 2006, Census Table 20680-Religious Affiliation (broad groups) by Sex - Australia
- Statistics New Zealand, QuickStats About Culture and Identity, Religious affiliation
- Winston, Robert (Ed.) (2004). Human. New York: DK Publishing, Inc. hlm. hal. 299. ISBN 0-7566-1901-7. "Nonbelief has existed for centuries. For example, Buddhism and Jainism have been called atheistic religions because they do not advocate belief in gods."
- "Humanistic Judaism". BBC. 20 Juli 2006. Diakses pada 25 Oktober 2006.
- Levin, S. (May 1995). "Jewish Atheism". New Humanist 110 (2): 13–15.
- "Christian Atheism". BBC. 17 Mei 2006. Diakses pada 25 Oktober 2006.
- Altizer, Thomas J. J. (1967). The Gospel of Christian Atheism. London: Collins. hlm. 102–103. Diakses pada 27 Oktober 2006.
- Lyas, Colin (January 1970). "On the Coherence of Christian Atheism". Philosophy: the Journal of the Royal Institute of Philosophy 45 (171): 1–19.
- Smith 1979, hal. 21-22.
- Smith 1979, hal. 275. "Among the many myths associated with religion, none is more widespread -or more disastrous in its effects -than the myth that moral values cannot be divorced from the belief in a god."
- In Dostoevsky's The Brothers Karamazov (Book Eleven: Brother Ivan Fyodorovich, Chapter 4) there is the famous argument that If there is no God, all things are permitted.: "'But what will become of men then?' I asked him, 'without God and immortal life? All things are lawful then, they can do what they like?'"
- For Kant, the presupposition of God, soul, and freedom was a practical concern, for "Morality, by itself, constitutes a system, but happiness does not, unless it is distributed in exact proportion to morality. This, however, is possible in an intelligible world only under a wise author and ruler. Reason compels us to admit such a ruler, together with life in such a world, which we must consider as future life, or else all moral laws are to be considered as idle dreams..." (Critique of Pure Reason, A811).
- Baggini 2003, hal. 38.
- Susan Neiman. Beyond Belief Session 6 Conference. Salk Institute, La Jolla, CA: The Science Network.
- Baggini 2003, hal. 40
- Baggini 2003, hal. 43.
- 101 Ethical Dilemmas, 2nd edition, by Cohen, M., Routledge 2007, pp184-5. (Cohen notes particularly that Plato and Aristotle produced arguments in favour of slavery.)
- Political Philosophy from Plato to Mao, by Cohen, M, Second edition 2008
- Harris, Sam (2006a). "The Myth of Secular Moral Chaos". Free Inquiry. Diakses pada 29 Oktober 2006.
- Moreira-almeida, A. (2006). "Religiousness and mental health: a review". Revista Brasileira de Psiquiatria 28: 242–250. Diakses pada 12 Juli 2007.
- See for example: Kahoe, R.D. (June 1977). "Intrinsic Religion and Authoritarianism: A Differentiated Relationship". Journal for the Scientific Study of Religion. 16(2). hal. 179-182. Also see: Altemeyer, Bob and Bruce Hunsberger (1992). "Authoritarianism, Religious Fundamentalism, Quest, and Prejudice". International Journal for the Psychology of Religion. 2(2). hal. 113-133.
- Harris, Sam (2005). "An Atheist Manifesto". Truthdig. Diakses pada 29 Oktober 2006. "In a world riven by ignorance, only the atheist refuses to deny the obvious: Religious faith promotes human violence to an astonishing degree."
7. Pranala luar
- (Inggris) The Philosophy of Atheism oleh Emma Goldman
- (Inggris) Ateisme di The Internet Encyclopedia of Philosophy
- (Inggris) Ateisme pada situs bbc.co.uk.
- (Indonesia) Ateispedia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar