Fikih (Bahasa Arab: ﻓﻘﻪ; transliterasi: Fiqih)
adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus
membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia,
baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan
Tuhannya.[1]
Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih
sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai
hamba Allah.
Fikih membahas tentang cara bagaimana cara tentang beribadah, tentang
prinsip Rukun Islam dan hubungan antar manusia sesuai dengan
dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam,
terdapat 4 mazhab dari Sunni, 1 mazhab dari Syiah, dan Khawarij yang
mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fikih
disebut Fakih.
1. Etimologi
Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu fikih merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.[1]
Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak
literatur, bahwa fiqh adalah "al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah
al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu tentang
hukum-hukum syari'ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara
terperinci". Terdapat sejumlah pengecualian terkait pendefinisian ini.
Dari "asy-syar'iyyah" (bersifat syari'at), dikecualikan ilmu tentang
hukum-hukum selain syariat, seperti ilmu tentang hukum alam, seperti
gaya gravitasi bumi. Dari "al-amaliyyah" (bersifat praktis, diamalkan),
ilmu tentang hukum-hukum syari'at yang bersifat keyakinan atau akidah,
ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Dari
"at-tafshiliyyah" (bersifat terperinci), ilmu tentang hukum-hukum
syari'at yang didapat dari dalil-dalilnya yang "ijmali" (global),
misalkan tentang bahwasanya kalimat perintah mengandung muatan
kewajiban, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu ushul fiqh.[2]
2. Sejarah Fikih
2.1. Masa Nabi Muhammad saw
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah,
karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode
ini, permasalahan fikih diserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw.
Sumber hukum Islam saat itu adalah al-Qur'an dan Sunnah. Periode Risalah
ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu periode Makkah dan periode
Madinah. Periode Makkah lebih tertuju pada permasalah akidah, karena
disinilah agama Islam pertama kali disebarkan. Ayat-ayat yang diwahyukan
lebih banyak pada masalah ketauhidan dan keimanan.
Setelah hijrah, barulah ayat-ayat yang mewahyukan perintah untuk
melakukan puasa, zakat dan haji diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat
ini diwahyukan ketika muncul sebuah permasalahan, seperti kasus seorang
wanita yang diceraikan secara sepihak oleh suaminya, dan kemudian turun
wahyu dalam surat Al-Mujadilah. Pada periode Madinah ini, ijtihad mulai
diterapkan [3], walaupun pada akhirnya akan kembali pada wahyu Allah kepada Nabi Muhammad saw.
2.2. Masa Khulafaur Rasyidin
Masa ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw sampai pada masa berdirinya Dinasti Umayyah ditangan Mu'awiyah bin Abi Sufyan. Sumber fikih pada periode ini didasari pada Al-Qur'an dan Sunnah juga ijtihad para sahabat Nabi Muhammad yang masih hidup. Ijtihad dilakukan pada saat sebuah masalah tidak diketemukan dalilnya dalam nash Al-Qur'an maupun Hadis. Permasalahan yang muncul semakin kompleks setelah banyaknya ragam budaya dan etnis yang masuk ke dalam agama Islam.
Pada periode ini, para faqih mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi
yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah
masalah, para faqih berusaha mencari jawabannya dari Al-Qur'an. Jika di
Al-Qur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadis menjadi sumber kedua . Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadis maka para faqih ini melakukan ijtihad.[1]
Menurut penelitian Ibnu Qayyim, tidak kurang dari 130 orang faqih dari pria dan wanita memberikan fatwa, yang merupakan pendapat faqih tentang hukum.[4]
2.3. Masa Awal Pertumbuhan Fikih
Masa ini berlangsung sejak berkuasanya Mu'awiyah bin Abi Sufyan sampai sekitar abad ke-2 Hijriah. Rujukan dalam menghadapi suatu permasalahan masih tetap sama yaitu dengan Al-Qur'an, Sunnah dan Ijtihad
para faqih. Tapi, proses musyawarah para faqih yang menghasilkan
ijtihad ini seringkali terkendala disebabkan oleh tersebar luasnya para
ulama di wilayah-wilayah yang direbut oleh Kekhalifahan Islam.
Mulailah muncul perpecahan antara umat Islam menjadi tiga golongan yaitu Sunni, Syiah, dan Khawarij.
Perpecahan ini berpengaruh besar pada ilmu fikih, karena akan muncul
banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda dari setiap faqih dari
golongan tersebut. Masa ini juga diwarnai dengan munculnya hadis-hadis
palsu yang menyuburkan perbedaan pendapat antara faqih.
Pada masa ini, para faqih seperti Ibnu Mas'ud mulai menggunakan nalar dalam berijtihad. Ibnu Mas'ud kala itu berada di daerah Iraq yang kebudayaannya berbeda dengan daerah Hijaz tempat Islam awalnya bermula. Umar bin Khattab
pernah menggunakan pola yang dimana mementingkan kemaslahatan umat
dibandingkan dengan keterikatan akan makna harfiah dari kitab suci, dan
dipakai oleh para faqih termasuk Ibnu Mas'ud untuk memberi ijtihad di daerah di mana mereka berada.[1]
2.4. Lain-lain
Di Indonesia, Fikih, diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan keagamaan non formal seperti Pondok Pesantren dan di lembaga pendidikan formal seperti di Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah
3. Catatan kaki
- http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/6/1/pustaka-116.html
- I'anah ath-Thalibin
- Dr. Muhammad Salam Madkur, Manahij Al Ijtihad Fi Al Islam, (Kuwait : Univ. Kuwait), hal. 43
- Ibnu Al Qayyim, I’lam Al Muwaqqi’in, (Kairo : Dar Al Kutub Al Haditsah), I, hal. 12
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar