Kapitan Pattimur |
Kapitan Pattimura (lahir di Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku, 8 Juni 1783 – meninggal di Ambon, Maluku, 16 Desember 1817 pada umur 34 tahun), memiliki nama asli Thomas Matulessy atau Thomas Matulessia. Ia adalah putra Frans Matulesi dengan
Fransina Silahoi. Adapun dalam buku biografi Pattimura versi pemerintah
yang pertama kali terbit, M Sapija menulis, "Bahwa pahlawan Pattimura
tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah
beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali
Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau.
Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk
di Seram Selatan". patimura sebenarnya merupakan pahlawan tanpa tanda
jasa,, seperti guru pada era soeharto
1. Istilah Kapitan
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal tidak. Menurut Sejarawan Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut
sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis).
Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal
pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern.
Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan
alam yang mereka takuti.
Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam,
kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu
kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia
melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan
mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat
itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah
memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah
turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan "kapitan"
yang melekat pada diri Pattimura itu bermula.
2. Perjuangan
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC ia pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris.[2] Kata "Maluku" berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja.[3] mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan. Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak
Belanda dan kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli,
pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi
(Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat London I antara lain dalam
pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus
merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam
perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika
pemerintahan Inggris berakhir di Maluku maka para serdadu-serdadu Ambon
harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas
militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi
dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan [4]
Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan
keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi,
dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku
akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura [3]
Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817,
Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya
sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki
sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan
Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin
dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan
pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan
dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam
kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa. Dalam
perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan
kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa.
Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan
kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri
Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi
Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di
darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para
penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha.
Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti
perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan
jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram
Selatan. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu
domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Para tokoh pejuang
akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan
pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Untuk jasa dan
pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “PAHLAWAN
PERJUANGAN KEMERDEKAAN” oleh pemerintah Republik Indonesia. Pahlawan Nasional Indonesia.
3. Rujukan
- Ahmad Mansyur Suryanegara, Api Sejarah, Salamadani Pustaka Semesta, 2009, ISBN 978-602-8458-24-5
- Pahlawan Nasional dari Maluku dalam www.tokohindonesia.com
- http://www.malukuprov.go.id/?pilih=hal&id=3 Sejarah Maluku
- J B Soedarmanta, Jejak-jejak pahlawan: perekat kesatuan bangsa Indonesia, Grasindo, 2007, halaman 199, ISBN 979-759-716-4 ISBN 978-979-759-716-0
Tidak ada komentar:
Posting Komentar