Si Singamangaraja XII |
Asal Usul
Sisingamangaraja, dinasti Sisingamangaraja XII, adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[1] Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau, dah bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. [2]
Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara
teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus
yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Kerajaan Raja Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja merupakan nama besar dalam sejarah Batak. Dia tokoh
pemersatu. Dinasti Sisingamangaraja dimulai sejak pertengahan tahun
1500-an, saat Raja Sisingamangaraja I yang lahir tahun 1515 mulai
memerintah. Dia memang bukan raja pertama di sana. Pemerintahan masa
sebelum itu dikenal dengan nama bius. Satu bius merupakan kumpulan
sekitar tujuh horja. Sedangkan satu horja terdiri dari 20 huta atau desa
yang punya pimpinan sendiri. Ada Bius Toba, Patane Bolon, Silindung dan
sebagainya.
Dari 12 orang yang melanjutkan dinasti Sisingamangaraja,
Singamangaraja XII merupakan raja paling populer dan diangkat sebagai
pahlawan nasional sejak 9 November 1961. Lukisan dirinya yang dibuat
Augustin Sibarani yang kemudian tercetak di uang Rp 1.000 yang lama,
merupakan satu-satunya “foto” diri Sisingamangaraja. Dia naik tahta pada
tahun 1876 menggantikan ayahnya Singamangaraja XI yang bernama Ompu
Sohahuaon.
Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai Maharaja di negri Toba
bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka).
Belanda merasa perlu mengamankan modal asing yang beroperasi di
Indonesia yang tidak mau menandatangani Korte Verkaring ( perjanjian
pendek) di Sumatra terutama Aceh dan Tapanuli. Kedua konsultan ini
membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Belanda
sendiri berusaha menanamkan monopilinya di kedua kesultanan tersebut.
Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan
peperangan yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Satu yang masih terus jadi bahan diskusi hingga hari ini, adalah
agama yang anutan Sisingamangaraja XII. Sebagian yakin, dia penganut
kepercayaan lama yang dianut sebagian besar orang Batak. Mirip dengan
dua agama besar dunia Islam dan Kristen, agama Batak hanya mengenal satu
Yang Maha Kuasa, Debata Mulajadi Na Bolon atau Ompu Mulajadi Nabolon.
Sekarang agama Batak lama sudah ditinggalkan, walau tentu saja
kepercayaan tradisional masih dipertahankan.
Satu hal yang sukar diterima adalah bila Si Singamangaraja XII
beragama animisme, karena kalu kita perhatikan Cap Si Singamangaraja XII
yang bertuliskan huruf arab berbunyi; Inilah Cap Maharaja di negri Toba
kampung Bakara kotanya. Hijrah Nabi 1304. Pada cap tersebut terlihat
jelas penggunaan tahun hijriah Nabi. Hal ini memberikan gambaran tentang
besarnya pengaruh ajaran Islam yang menjiwai diri Si Singamangaraja
XII. Adapun huruf batak yang masih pula di abadikan, adalah sama dengan
tindakan Pangeran Diponegoro yang masih mengguakan huruf jawa dalam
menulis surat.
Begitu pula kalau kita perhatikan bendera perangnya. Terlihat
pengaruh Islam dalam gambar kelewang, matahari dan bulan. Akan lebih
jelas bila kita ikuti keterangan beberapa majalah atau koran Belanda
yang memberitakan tentang agama yang di anut oleh Si Singamangaraja XII,
antara lain; Volgens berichten van de bevolking moet de togen, woordige
titularis een 5 tak jaren geleden tot den Islam jizn bekeerd, doch hij
werd geen fanatiek Islamiet en oefende geen druk op jizn ongeving uit om
zich te bekeeren. ( Sukatulis, 1907, hlm, 1)
Menurut kabar-kabar dari penduduk, raja yang sekarang (maksud
Titularis adalah Si Singamangaraja XII) semenjak lima tahun yang lalu
memeluk agama Islam yang fanatik, demikian pula dia meneka supaya
orang-orang sekelilingnya menukar agamanya. Berita di atas ini
memberikan data kepada kita bahwa Si Singamangaraja XII beragama Islam.
Selain itu, di tambahkan pula tentang rakyat yang tidak beragama Islam,
dan Si Singamangaraja XII tidak mengadakan paksaan atau penekanan
lainnya. Hal ini sekaligus memberikan gambaran pula tentang penguasaan
Si Singamangaraja XII terhadap ajaran agama itu sendiri.
Mohammad Said, dalam bukunya Sisingamangaraja XII menyatakan
kemungkinan benar bahwa Sisingamangaraja seorang Muslim. Pedomannya
berasal dari informasi dalam tulisan Zendeling berkebangsaan Belanda,
J.H Meerwaldt, yang pernah menjadi guru di Narumonda dekat Porsea.
Meerwaldt mendengar Sisingamangaja sudah memeluk Islam.
Di majalah Rheinische Missionsgessellschaft tahun 1907 yang
diterbitkan di Jerman yang menyatakan, bahwa Sisingamangaraja, kendati
kekuatan adi-alamiah yang dikatakan ada padanya, dapat jatuh, dan bahwa
demikian juga halnya dengan beralihnya dia menjadi orang Islam dan
hubungannya kepada orang Aceh.
Hubungan dengan Aceh ini terjadi Belanda menyerang Tanah Batak pada
tahun 1877. Karena lemah secara taktis, Sisingamangaraja XII menjalin
hubungan dengan pasukan Aceh dan dengan tokoh-tokoh pejuang Aceh
beragama Islam untuk meningkatkan kemampuan tempur pasukannya. Dia
berangkat ke wilayah Gayo, Alas, Singkel, dan Pidie di Aceh dan turut
serta pula dalam latihan perang Keumala.
Pertukaran perwira dilakukan. Perwira terlatih Aceh ikut dalam
pasukan Sisingamangaraja XII untuk membantu strategi pemenangan perang,
sementara perwira Batak terus dilatih di Aceh. Salah satunya Guru
Mengambat, salah seorang panglima perang Sisingamangaraja XII. Guru
Mengambat mendapat gelar Teungku Aceh.
Informasi itu berdasarkan Kort Verslag Residen L.C Welsink pada 16
Agustus 1906. Dalam catatan itu disebutkan, seorang panglima
Sisingamangaraja XII bernama Guru Mengambat dari Salak (Kabupaten Pakpak
Bharat sekarang) telah masuk Islam. Informasi ini diperoleh oleh
Welsink dari Ompu Onggung dan Pertahan Batu.
Dalam sebuah surat rahasia kepada Departement van Oorlog, Belanda,
Letnan L. van Vuuren dan Berenshot pada tanggal 19 juli 1907 menyatakan,
Dat bet vaststaatdat de oude S .S. M. Met zijn zonns tot den Islam
waren over gegaan, al zullen zij wel niet Mohamedan in merg en been
geworden zijn/ Bahwa sudah pasti S. S. M. yang tua dengan putra-putranya
telah beralih memeluk agama Islam, walaupun keislaman mereka tidak
seberapa meresap dalam sanubarinya.
Surat Kabar Belanda Algemcene Handeslsblad pada edisi 3 Juli 1907,
sebagaimana dinyatakan Mohammad Said dalam bukunya, menuliskan, “Menurut
kabar dari pendudukan, sudahlah benar raja yang sekarang (maksudnya
Sisingamangaraja) semenjak lima tahun yang lalu telah memeluk Islam.
Tetapi dia bukanlah seorang Islam yang fanatik, demikian pula dia tidak
menekan orang-orang di sekelilingnya menukar agamanya”.
Informasi ini semakin menguatkan dugaan Sisingamangaraja XII telah
memeluk Islam. Apalagi terlihat pola-pola Islam dalam pola administrasi
pemerintahannya, misalnya bendera dan stempel.
Bendera Sisingamangaraja XII yang berwarna merah dan putih.,
berlambang pedang kembar, bulan dan bintang, mirip dengan bendera Arab
Saudi sekarang. Bedanya bulan dalam bendera Sisingamangaraja XII yang
terletak di seblah kanan pedang merupakan bulan penuh atau bulan
purnama, bukan bulan sabit. Sedangkan bintang yang terletak di sebelah
kiri memiliki delapan gerigi, bukan lima seperti yang biasa terlihat di
mesjid dalam lambang tradisi Islam lainnya. Namun benda bergerigi
delapan itu bisa juga diartikan sebagai matahari.
Bagian luar stempel Sisingamangaraja yang mempunyai 12 gerigi
pinggiran juga menggunakan tarikh Hijriah dan huruf Arab. Namun huruf
Arab itu untuk menuliskan bahasa Batak, “Inilah cap Maharaja di Negri
Toba Kampung Bakara Nama Kotanya, Hijrat Nabi 1304”. Sedangkan aksara
bataknya menuliskan Ahu Sahap ni Tuwan Singa Mangaraja mian Bakara,
artinya Aku Cap Tuan Singa Mangaraja Bertakhta di Bakara.
“Sebenarnya bendera dan stempel itu sudah mencirikan corak Islam
dalam pemerintahan Sisingamangaraja. Dengan demikian kuat kemungkinan
dia sudah memeluk Islam, tetapi tidak ada data otentik jadi tidak bisa
dipastikan kebenarannya,” kata Ketua Majelis Ulama Sumut H Mahmud Azis
Siregar.
Keterangan lebih mendalam disampaikan, Dada Meuraxa dalam bukunya
Sejarah Kebudayaan Suku-suku di Sumatera Utara. “Sisingamangaraja XII
sudah masuk Islam dan disunatkan di Aceh waktu beliau datang ke Banda
Aceh meminta bantuan senjata,” kata Meuraxa.
Dalam buku itu Meuraxa menyebutkan, keterangan itu berdasarkan
pernyataan seorang sumber, Tuanku Hasyim, yang mengutip pernyataan
bibi-nya yang juga istri Panglima Polem yang menyaksikan sendiri upacara
tersebut di Aceh.
“Walaupun belum cukup fakta-fakta Sisingamangaraja seorang Islam,
tetapi gerak hidupnya sangat terpengaruh cerita Islam. Sampai kepada cap
kerajaannya sendiri tulisan Arab. Benderanya yang memakai bulan bintang
dan dua pedang Arab ini pun memberikan fakta terang,” tulis Dada
Meuraxa. Setelah pendeta Ludwig Ingwer Nommensen
membuka pos zending di Silindung maka Singamangaraja khawatir kekuasaan
Belanda akan segera masuk ke Tanah Batak. Beliau menjadi pemimpin
negeri-negeri Batak yang menentang penjajahan Belanda. Karena merasa
terancam oleh Singamangaraja XII maka Nomensen minta agar Belanda
mengirim pasukan untuk segera menaklukkan Silindung.
Pada 6 Februari 1878 pasukan Belanda tiba di Pearaja, kediaman
penginjil Ludwig Ingwer Nommensen, dan bersama-sama dengan penginjil
Nommensen pasukan Belanda berangkat ke Bahal Batu untuk menyusun benteng
pertahanan. Si Singamangaraja yang merasa terprovokasi mengumumkan
perang (pulas) pada tanggal 16 Februari. Dalam perang yang
menjadi terkenal dengan Perang Toba (juga disebut Perang Batak atau
Perang Singamangaraja), pasukan Belanda yang diperbantukan oleh pasukan
Batak Kristen untuk memberantas perlawanan Singamangaraja, membakar
puluhan kampung, termasuk Bangkara, kampungnya Singamangaraja XII
sendiri. Singamangaraja terpaksa mengundurkan diri ke daerah Dairi dan
dari situ ia berkali-kali menyerang Belanda Singamangaraja XII sendiri
bernama Ompu Pulobatu, lahir pada 18 Februari 1845 dan meninggal 7 Juni
1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru
menembus dadanya. Menjelang napas terakhir, akibat tembakan pasukan
Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel itu, dia tetap berucap,
“Ahuu Sisingamangaraja”.
Ucapan itu identik dengan kegigihannya berjuang.Turut tertembak juga
waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya
Lopian. Sedangkan sisa keluarganya ditawan di Tarutung. Itulah akhir
pertempuran melawan penjajahan Belanda di tanah Batak sejak tahun 1877.
Sisingamangaraja sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer
pada 22 Juni 1907 di Silindung. Makamnya baru dipindahkan ke Soposurung,
Balige seperti sekarang ini sejak 17 Juni 1953.
Cap Sisingamangaraja XII
Singamangaraja XII memiliki tiga cap yang telah diteliti oleh Uli Kozok
dalam buku "Surat Batak: Sejarah Perkembangan Tulisan Batak, Berikut
Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII. Jakarta :
Gramedia. 2009.
Referensi
- Brenner, J.F. von. Besuch bei den Kannibalen Sumatras: erste Durchquerung der unabhangigen Batak-Lande. Wurzburg: Wurl.
- Raffles, Stamford. Memoir of the life and public services of Sir Thomas Stamford Raffles. London: John Murray.
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar