Masalah pengemis adalah masalah
yang pelik. Ia tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Masalah
pengemis, pengamen, dll., merupakan masalah dari berbagai aspek,
seperti politik, sosial, dan ekonomi. Tergantung dari kacamata mana kita
memandangnya.
Banyak alasan yang mendasari seseorang atau sekelompok orang terjun menjadi pengemis. Pertama,
karena secara lahir mereka cacat dan tidak memiliki kemampuan untuk
bekerja, pun tak ada yang menangung biaya hidupnya. Mereka
memperlihatkan kecacatannya untuk mengundang belas kasih orang lain. Kedua, karena tidak mampu untuk membayar biaya sekolah. Ketiga,
karena terpaksa. Entah terpaksa oleh keadaan atau dikoordinir oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Masih ada banyak alasan lain
yang membuat seseorang mengemis dijalanan, dengan metoda mengemis yang
lebih variatif tentunya. Bila ditinjau lebih dalam, akar permasalahan
fenomena ini hanya satu: kemiskinan. Entah itu miskin materi,
pendidikan, atau miskin usaha.
Fenomena pengemis telah menjadi
sumber masalah di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta.
Mereka mengganggu ketertiban umum, seperti kawasan lalu lintas di
persimpangan lampu merah, hingga mengganggu ketertiban masayarakat.
Pemerintah Bertindak
Mengatasi fenomena tersebut diatas,
pemerintah daerah, khususnya Pemda Jakarta menetapkan peraturan baru
tentang Ketertiban Umum. Salah satu yang ketertiban yang
diatur adalah mengenai larangan kepada masyarakat untuk membeli sesuatu
dari pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang kepada pengemis,
pengamen dan pengelap mobil.
Pemda tidak main-main. Terdapat pula aturan
yang memuat sanksi pidana pagi masyarakat yang melanggar, yakni kurungan
selama 10 hingga 60 hari, atau denda antara Rp100 ribu hingga Rp20
juta.
Peraturan yang betujuan untuk mewujudkan
suasana perkotaan yang kondusif, aman, nyaman dan tertib ini cukup
menimbulkan banyak kontroversi. Menghukum
pelanggar aturan ini sama artinya dengan melarang masyarakat untuk
bersedekah. Bukahkah itu melanggar hak pribadi/asasi orang untuk berbuat
sesuatu untuk orang lain? Apalagi dalam agama, bersedekah itu memiliki
nilai yang baik.
Penulis menyayangkan keputusan
pemerintah, khususnya pemda Jakarta dalam membuat aturan ini. Mengapa
tidak dikedepankan upaya preventif, seperti yang dilakukan Pemda
Makassar? Dimana pemerintah menghimbau masyarakat untuk tidak memberikan
uang kepada pengemis karena hanya akan membuat mereka bertahan di
jalanan, tanpa ada sanksi bagi pelanggarnya.
Di Makassar sendiri, teknik ini
terbukti cukup ampuh dalam menekan laju pertumbuhan pengemis. Aturan
Pemda Jakarta seolah memposisikan masyarakat sebagai ’orang bodoh’.
Masyarakat Indonesia cukup cerdas dalam menilai sebuah permasalahan.
Tanpa melalui ancaman pidana pun, penulis yakin akan banyak orang yang
mendukung imbauan tersebut.
Solusi
UUD 1945 yang menyebutkan tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam pasal lainnya, ada aturan bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh Negara.
Adalah tugas pemerintah untuk
memikirkan program pembangunan yang lebih kooperatif bagi keberadaan
pengemis. Selama ini mereka cenderung mendapatkan perlakukan yang
diskriminatif, terutama dalam hal mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak. Karenanya pemerintah harus segera membuat sebuah program
dimana mereka dapat berkompetisi secara fair.
Pemerintah tidak boleh lepas tangan
begitu saja dan menghukum pengemis dengan peraturan ini. Pemerintah
perlu menyediakan sarana dan prasarana bagi pengemis, seperti rumah
singgah. Mereka pun diberi keterampilan dan modal usaha agar bisa
mandiri. Selain itu, pemerintah juga perlu bekerja sama dengan para tokoh agama untuk memberikan penjelasan kepada para pengemis tentang larangan agama, khususnya larangan mengemis.
Mengemis bukanlah suatu pilihan
bagi banyak orang, melainkan sebuah keterpaksaan. Banyak orang dari
daerah datang ke kota besar akhirnya mengemis karena tidak mampu
bersaing dengan orang-orang disana. Menganggapi ini, pemerintah perlu
menggalakkan dan mempopulerkan kembali program reurbanisasi dan
transmigrasi. Banyaknya masalah dalam program tersebut, yang membuat
banyak orang enggan mengikuti, harus diperbaiki secara menyeluruh.
Kita Membuat Mereka Bertahan
Diluar persoalan agama dan
pelanggaran ketertiban umum, setiap receh yang kita berikan kepada para
pengemis membuat mereka betah menengadahkan tangannya kepada orang lain.
Sedekah yang kita berikan, malah membuat pengemis semakin tergantung.
Ujung-ujungnya, mereka akan menjadikan kegiatan mengemis sebagai mata
pencahariaannya.
Dengan mengamen, mengemis,
menyapukan kemoceng di atas dashboard mobil, atau menyodorkan amplop
sumbangan, satu anak jalanan usia SD bisa memiliki penghasilan yang beda
tipis dengan lulusan diploma. Begitu mudah bagi mereka. Tanpa perlu
capek-capek sekolah, susah-susah melamar kerja, hasilnya hampir sama.
Kenyataannya, uang yang diperoleh
pengemis, khususnya pengemis anak-anak, sebagian besar tidak mendukung
peningkatan kesejahteraan mereka. Hal ini berdasarkan penelitian yang
dilakukan sejumlah LSM. Jajan, ada di peringkat pertama; main dingdong
atau permainan elektronik lainnya, menjadi pilihan kedua; terakhir,
setoran ke orang tua atau inang/senior sebagai pelindung mereka di
jalanan. Mereka tetap miskin, tetap terancam putus sekolah, dan tetap
berkeliaran di jalan.
Sikap Sebagai Masyarakat
Pada akhirnya, sikap kita terhadap
keberadaan mereka kembali pada keputusan masing-masing individu. Kita
bisa mengganti uang receh dengan bantuan lain yang bisa mereka nikmati
dengan langsung, misalnya sepotong roti untuk makan mereka.
Bila kita berniat untuk sedekah, ada baiknya sedekah
itu disalurkan melalui Bazis (Badan Amil, Zakat, Infak, dan Shadaqah),
meski jumlahnya sangat sedikit. Menyalurkan sedekah lewat lembaga amal
lebih aman daripada memberi di jalanan. Selain itu, lembaga ini akan
memberikan sedekah pada orang yang berhak dan tepat sasaran, sehingga
tidak perlu khawatir akan adanya penyelewengan. Alma
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar