1. Latar belakang sejarah
1.1. Sebelum Revolusi Indonesia
1.1.1. Gerakan Awal PKI
Partai ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV)
(atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV
pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda,
yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial
Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda [1]
Pada Oktober 101 SM ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.
Pada saat pembentukannya, ISDV tidak menuntut kemerdekaan Indonesia.
Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100 orang anggota, dan dari
semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi Indonesia.
Namun demikian, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan
anti kapitalis. Di bawah pimpinan Sneevliet partai ini merasa tidak puas
dengan kepemimpinan SDAP di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari
ISDV. Pada 1917, kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri dan membentuk partainya sendiri, yaitu Partai Demokrat Sosial Hindia.
Pada 1917 ISDV mengeluarkan penerbitannya sendiri dalam bahasa Melayu, "Soeara Merdeka".
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di Rusia
harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di
antara tentara-tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia
Belanda. Dibentuklah "Pengawal Merah" dan dalam waktu tiga bulan jumlah
mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para tentara dan
pelaut itu memberontak di Surabaya, sebuah pangkalan angkatan laut utama
di Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet.
Para penguasa kolonial menindas dewan-dewan soviet di Surabaya dan
ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda, termasuk Sneevliet.
Para pemimpin pemberontakan di kalangan militer Belanda dijatuhi
hukuman penjara hingga 40 tahun.
ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di
bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang
lain, Soeara Ra’jat.
Setelah sejumlah kader Belanda dikeluarkan dengan paksa, ditambah
dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini
pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang
Indonesia.
1.2. Pembentukan Partai Komunis
Pada awalnya PKI adalah gerakan yang berasimilasi ke dalam Sarekat
Islam. Keadaan yang semakin parah dimana ada perselisihan antara para
anggotanya, terutama di Semarang dan Yogyakarta membuat Sarekat Islam melaksanakan disiplin partai. Yakni melarang anggotanya mendapat gelar ganda di kancah perjuangan pergerakan indonesia.
Keputusan tersebut tentu saja membuat para anggota yang beraliran
komunis kesal dan keluar dari partai dan membentuk partai baru yang
disebut ISDV. Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia. Semaoen diangkat sebagai ketua partai.
PKH adalah partai komunis pertama di Asia yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk Sneevliet mewakili partai ini pada kongresnya kedua Komunis Internasional pada 1920.
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
2. Pemberontakan 1926
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik.
Pemberontakan ini dihancurkan dengan brutal oleh penguasa kolonial.
Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan. Sejumlah 1.308
orang, umumnya kader-kader partai, dikirim ke Boven Digul, sebuah kamp tahanan di Papua [2].
Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak aktivis politik
non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan
alasan menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni
di dalam perundingan rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu
ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia. Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan
diri, terutama karena banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Moeso kembali dari pembuangan di Moskwa, Uni Soviet,
untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawh tanah. Namun Moeso
hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kini PKI bergerak dalam berbagai
front, seperti misalnya Gerindo
dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di antara
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan Indonesia , yang tak lama kemudian berada di dalam kontrol PKI [3].
3. Peristiwa Madiun 1948
Pada 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 pihak Republik Indonesia dan pendudukan Belanda melakukan perundingan yang dikenal sebagai Perundingan Renville.
Hasil kesepakatan perundingan Renville dianggap menguntungkan posisi
Belanda. Sebaliknya,RI menjadi pihak yang dirugikan dengan semakin
sempit wilayah yang dimiliki.Oleh karena itu, kabinet Amir Syarifuddin diaggap merugikan bangsa, kabinet tersebut dijatuhkan pada 23 Januari 1948. Ia terpaksa menyerahkan mandatnya kepada presiden dan digantikan kabinet Hatta.
Selanjutnya Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948.
Kelompok politik ini berusaha menempatkan diri sebagai oposisi terhadap
pemerintahan dibawah kabinet Hatta. FDR bergabung dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI) merencanakan suatu perebutan kekuasaan.
Beberapa aksi yang dijalankan kelompok ini diantaranya dengan
melancarkan propaganda antipemerintah, mengadakan
demonstrasi-demonstrasi, pemogokan, menculik dan membunuh lawan-lawan
politik, serta menggerakkan kerusuhan dibeberapa tempat.
Sejalan dengan peristiwa itu, datanglah Muso seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di Moskow, Uni Soviet.
Ia menggabungkan diri dengan Amir Syarifuddin untuk menentang
pemerintah, bahkan ia berhasil mengambil alih pucuk pimpinan PKI.
Setelah itu, ia dan kawan-kawannya meningkatkan aksi teror, mengadu
domba kesatuan-kesatuan TNI dan menjelek-jelekan kepemimpinan Soekarno-Hatta. Puncak aksi PKI adalah pemberotakan terhadap RI pada 18 September 1948 di Madiun, Jawa Timur.
Tujuan pemberontakan itu adalah meruntuhkan negara RI dan menggantinya
dengan negara komunis. Dalam aksi ini beberapa pejabat, perwira TNI,
pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang dianggap musuh dibunuh
dengan kejam. Tindakan kekejaman ini membuat rakyat marah dan mengutuk
PKI. Tokoh-tokoh pejuang dan pasukan TNI memang sedang menghadapi
Belanda, tetapi pemerintah RI mampu bertindak cepat. Panglima Besar Soedirman memerintahkan Kolonel Gatot Subroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa Timur untuk menjalankan operasi penumpasan pemberontakan PKI. Pada 30 September 1948, Madiun dapat diduduki kembali oleh TNI dan polisi.
Dalam operasi ini Muso berhasil ditembak mati sedangkan Amir
Syarifuddin dan tokoh-tokoh lainnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.
4. Bangkit kembali
Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit,
dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis dan anti Barat yang
diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya,
termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman, menguasai pimpinan partai pada 1951.
Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang berusia lebih dari 30
tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari sekitar
3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165 000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada 1959 [4]
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan militan, yang diikuti oleh tindakan-tindakan tegas terhadap PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
5. Pemilu 1955
Pada Pemilu 1955,
PKI menempati tempat ke empat dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai
ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang diperebutkan) dan 80 dari
514 kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September 1957, Masjumi secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang [5].
Pada 3 Desember
1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh
PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini
merintis nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh
asing. Perjuangan melawan para kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai nasional.
Pada Februari 1958
terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai
condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka
juga menuntut agar pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS
1950, selain itu pembagian hasil bumi yang tidak merata antara pusar dan
daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatera dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner
ini segera menangkapi ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada
di bawah kontrol mereka. PKI mendukung upaya-upaya Soekarno untuk
memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-Undang Darurat.
Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer
berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun demikian,
kongres ini berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno
sendiri memberi angin pada komunis dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme.
Dengan demikian peranan PKI sebagai mitra dalam politik Soekarno
dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep Nasakom secara
positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas.
Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya menolaknya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia
(HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota partai dan
organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai
seperlima dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia.
Sebagian kelompok berhasil mencapai Malaysia lalu bergabung dalam
perjuangan di sana. Namun demikian kebanyakan dari mereka ditangkap
begitu tiba.
Salah satu hal yang sangat aneh yang dilakukan PKI adalah dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, kemungkinan besar PKI ingin mempunyai semacam militer partai seperti Partai Komunis Cina dan Nazi dengan SS nya. Hal inilah yang membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI dengan "tentaranya".
5.1. Gerakan 30 September
Alasan utama tercetusnya peristiwa G30S disebabkan sebagai suatu
upaya pada melawan apa yang disebut "rencana Dewan Jenderal hendak
melakukan coup d‘etat terhadap Presiden Sukarno“.[April 2010]
Aktivitas PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan
menjelang Peristiwa G30S, makin agresif. Meski pun tidak langsung
menyerang Bung Karno, tapi serangan yang sangat kasar misalnya terhadap
apa yang disebut "kapitalis birokrat“[April 2010]
terutama yang bercokol di perusahaan-perusahaan negara, pelaksanaan UU
Pokok Agraria yang tidak menepati waktunya sehingga melahirkan "Aksi
Sepihak“ dan istilah "7 setan desa“[April 2010],
serta serangan-serangan terhadap pelaksanaan Demokrasi Terpimpin yang
dianggap hanya bertitik berat kepada "kepemimpinan“-nya dan mengabaikan
"demokrasi“-nya[April 2010], adalah pertanda meningkatnya rasa superioritas PKI[April 2010], sesuai dengan statementnya yang menganggap bahwa secara politik, PKI merasa telah berdominasi.[April 2010] Anggapan bahwa partai ini berdominasi,pada akhirnya tidak lebih dari satu ilusi.[April 2010]
Ada pun Gerakan 30 September 1965, secara politik dikendalikan oleh sebuah Dewan Militer yang diketuai oleh D.N. Aidit dengan wakilnya Kamaruzzaman (Syam), bermarkas di rumah sersan (U) Suyatno di komplek perumahan AURI, di Pangkalan Udara Halim. Sedang operasi militer dipimpin oleh kolonel A. Latief
sebagai komandan SENKO (Sentral Komando) yang bermarkas di Pangkalan
Udara Halim dengan kegiatan operasi dikendalikan dari gedung PENAS
(Pemetaan Nasional), yang juga instansi AURI dan dari Tugu MONAS
(Monumen Nasional). Sedang pimpinan gerakan, adalah Letkol. Untung Samsuri.
Menurut keterangan, sejak dicetuskannya gerakan itu, Dewan Militer
PKI mengambil alih semua wewenang Politbiro, sehingga instruksi politik
yang dianggap sah, hanyalah yang bersumber dari Dewan Militer. Tapi
setelah nampak bahwa gerakan akan mengalami kegagalan, karena mekanisme
pengorganisasiannya tidak berjalan sesuai dengan rencana, maka dewan ini
tidak berfungsi lagi. Apa yang dikerjakan ialah bagaimana mencari jalan
menyelamatkan diri masing-masing. Aidit dengan bantuan AURI, terbang ke
Yogyakarta, sedang Syam segera menghilang dan tak bisa ditemui oleh
teman-temannya yang memerlukan instruksi mengenai gerakan selanjutnya.
Antara kebenaran dan manipulasi sejarah. Dalam konflik penafsiran dan
kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI,
klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan
sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru
yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Tetapi perbedaan versi
kebenaran terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa.
Di tingkat internasional, Kantor Berita RRC (Republik Rakyat Cina),
Xinhua, memberikan versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah
masalah internal Angkatan Darat Indonesia yang kemudian diprovokasikan
oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh PKI.[April 2010]
Presiden Soekarno pun berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI
tidak terlibat dalam peristiwa sebagai partai melainkan karena adanya
sejumlah tokoh partai yang keblinger dan terpancing oleh insinuasi
Barat, lalu melakukan tindakan-tindakan, dan karena itu Soekarno tidak
akan membubarkan PKI. Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan
Darat memberi versi keterlibatan PKI sepenuhnya, dalam penculikan dan
pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama AD pada tengah
malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini segera
diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang
pengalaman buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada
tahun-tahun terakhir. Hanya saja harus diakui bahwa sejumlah perwira
penerangan telah menambahkan dramatisasi artifisial terhadap kekejaman,
melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian
pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi
dramatisasi dengan pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah
memberikan efek mengerikan melampaui batas yang mampu dibayangkan
semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada taranya
dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Setelah berakhirnya masa kekuasaan formal Soeharto,
muncul kesempatan untuk menelaah bagian-bagian sejarah –khususnya
mengenai Peristiwa 30 September 1965 dan PKI yang dianggap kontroversial
atau mengandung ketidakbenaran. Kesempatan itu memang kemudian
digunakan dengan baik, bukan saja oleh para sejarawan dalam batas
kompetensi kesejarahan, tetapi juga oleh mereka yang pernah terlibat
dengan peristiwa atau terlibat keanggotaan PKI. Bila sebelum ini
penulisan versi penguasa sebelum reformasi banyak dikecam karena di sana
sini mengandung unsur manipulasi sejarah, ternyata pada sisi sebaliknya
di sebagian kalangan muncul pula kecenderungan manipulatif yang sama
yang bertujuan untuk memberi posisi baru dalam sejarah bagi PKI, yakni
sebagai korban politik semata. Pendulum sejarah kali ini diayunkan
terlalu jauh ke kiri, setelah pada masa sebelumnya diayunkan terlalu
jauh ke kanan.
Terdapat sejumlah nuansa berbeda yang harus bisa dipisahkan satu sama
lain dengan cermat dan arif, dalam menghadapi masalah keterlibatan PKI
pada peristiwa-peristiwa politik sekitar 1965. Bahwa sejumlah tokoh
utama PKI terlibat dalam Gerakan 30 September 1965 dan kemudian
melahirkan Peristiwa 30 September 1965 –suatu peristiwa di mana enam
jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat diculik dan dibunuh–
sudah merupakan fakta yang tak terbantahkan. Bahwa ada usaha merebut
kekuasaan dengan pembentukan Dewan Revolusi yang telah mengeluarkan
sejumlah pengumuman tentang pengambilalihan kekuasaan, kasat mata, ada
dokumen-dokumennya. Bahwa ada lika-liku politik dalam rangka pertarungan
kekuasaan sebagai latar belakang, itu adalah soal lain yang memang
perlu lebih diperjelas duduk masalah sebenarnya, dari waktu ke waktu,
untuk lebih mendekati kebenaran sesungguhnya. Proses mendekati kebenaran
tak boleh dihentikan. Bahwa dalam proses sosiologis berikutnya, akibat
dorongan konflik politik maupun konflik sosial yang tercipta terutama
dalam kurun waktu Nasakom 1959-1965, terjadi malapetaka berupa
pembunuhan massal dalam perspektif pembalasan dengan anggota-anggota PKI
terutama sebagai korban, pun merupakan fakta sejarah. Ekses telah
dibalas dengan ekses, gejala diperangi dengan gejala.
6. Lihat
- Angkatan Kelima
- Gerwani
- Pemuda Rakyat Bersatu
7. Pranala luar
- (Indonesia) Pembertontakan Yang Gagal
- (Indonesia) Pidato pembelaan Sudisman di Sidang Mahmilub
- (Inggris) Indonesian Communist Party
- (Inggris) Pernyataan Biro Politik CC-PKI, 1966
- (Inggris) Kebangkitan dan keruntuhan PKI oleh Craig Bowen
- (Indonesia) Sejarah Komunis di Indonesia oleh Rumah Affif Blog
- (Indonesia) Lagu Genjer-Genjer - Lagu yang dilarang oleh Pemerintah Indonesia di zaman Orde Baru @ YouTube.com
Rujukan
- 'The First Period of the Indonesian Communist Party (PKI): 1914-1926 - An outline.', Marxist.com, diakses 28 April 2008
- [1], Independent-Bangladesh.com, diakses 28 April 2008
- [2], Marxists.org, diakses 28 April 2008
- 'Communism and Stalinism in Indonesia', WorkersLiberty.org, diakses 28 April 2008
- 'The Sukarno years: 1950 to 1965', Gimonca.com, diakses 28 April 2008
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar