Syekh Siti Jenar (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit, Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa.[1]
Tidak ada yang mengetahui secara pasti asal-usulnya. Di masyarakat,
terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti.
Akan tetapi, sebagian yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar
adalah seorang intelektual yang telah memperoleh esensi Islam itu
sendiri. Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya sastra buatannya yang
disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti.
Syekh Siti Jenar mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Makam Syekh Siti Jenar di Demak. |
1. Konsep dan ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati,
Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Syekh
Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut
sebagai kematian. Sebaliknya, apa yang disebut umum sebagai kematian,
justru disebut sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi
olehnya.
Sebagai konsekuensinya, kehidupan manusia di dunia ini tidak dapat
dikenai hukum yang bersifat keduniawian, misalnya hukum negara, tetapi
tidak termasuk hukum syariat peribadatan sebagaimana yang ditentukan
oleh syariah. Menurut ulama pada masa itu yang memahami inti ajaran Syekh Siti Jenar, manusia di dunia ini tidak harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu syahadat, Sholat, puasa, zakat, dan haji.
Baginya, syariah baru akan berlaku setelah manusia menjalani kehidupan
pasca kematian. Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah
itu ada dalam dirinya, yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang
dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat Tuhan dan manusia.
Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat tahap, yaitu:
- Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
- Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu,
- Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan
- Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut, maka
tahapan di bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa
dimengerti oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu yang baru bisa dipahami
ratusan tahun setelah wafatnya Syekh Siti Jenar. Para ulama
mengkhawatirkan adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang
disampaikan oleh Syekh Siti Jenar kepada masyarakat awam di mana pada
masa itu, ajaran Islam yang harus disampaikan seharusnya masih pada
tingkatan syariat, sedangkan ajaran Syekh Siti Jenar telah jauh memasuki
tahap hakekat, bahkan makrifat kepada Allah. Oleh karena itu, ajaran
yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar hanya dapat dibendung dengan
label sesat.
Dalam pupuhnya, Syekh Siti Jenar merasa malu apabila harus memperdebatkan masalah agama. Alasannya sederhana, yaitu dalam agama apa pun, setiap pemeluknya sebenarnya menyembah zat Yang Maha Kuasa,
hanya saja masing-masing menyembah dengan menyebut nama yang berbeda
dan menjalankan ajaran dengan cara yang belum tentu sama. Oleh karena
itu, masing-masing pemeluk agama tidak perlu saling berdebat untuk
mendapat pengakuan bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas.
1.1. Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling Kawula Gusti
dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya, melainkan bahwa
Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan dengan kembali
kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:[2]
“ | Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72 | ” |
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala
penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an
dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di
dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham Manunggaling Kawula Gusti.
2. Pengertian Zadhab
Dalam kondisi manusia modern seperti saat ini, sering ditemui manusia yang mengalami zadhab
atau kegilaan berlebihan terhadap Allah. Mereka belajar tentang
bagaimana Allah bekerja sehingga ketika keinginannya sudah lebur
terhadap kehendak Allah, maka yang ada dalam pikirannya hanyalah Allah.
Di sekelilingnya tidak tampak manusia lain, kecuali hanya Allah yang
berkehendak.
Setiap Kejadian adalah maksud Allah terhadap Hamba ini. Dan inilah yang dibahayakan karena apabila tidak ada Guru yang Mursyid yang berpedoman pada Al Quran dan Hadits
maka hamba ini akan keluar dari semua aturan yang telah ditetapkan
Allah untuk manusia. Karena hamba ini akan gampang terpengaruh syaitan,
semakin tinggi tingkat keimanannya maka semakin tinggi juga Syaitan
menjerumuskannya.
2.1. Hamamayu Hayuning Bawana
Prinsip ini berarti memakmurkan bumi. Ini mirip dengan pesan utama Islam, yaitu rahmatan lil 'alamin. Seseorang dianggap muslim salah satunya apabila dia bisa memberikan manfaat bagi lingkungannya, bukannya menciptakan kerusakan di muka bumi.
3. Kontroversi
Kontroversi yang lebih hebat muncul mengenai hal-ihwal kematian Syekh
Siti Jenar. Ajarannya yang amat kontroversial itu telah membuat gelisah
para pejabat Kesultanan Demak.
Di sisi kekuasaan, Kesultanan Demak khawatir ajaran ini akan berujung
pada pemberontakan mengingat salah satu murid Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging atau Ki Kebokenanga, adalah keturunan elite Majapahit, sama seperti Raden Patah, dan mengakibatkan konflik di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam, Walisongo yang menopang kekuasaan Kesultanan
Demak khawatir ajaran ini akan terus berkembang sehingga menyebarkan
kesesatan di kalangan umat. Kegelisahan ini membuat mereka merencanakan
suatu tindakan bagi Syekh Siti Jenar untuk segera datang menghadap ke
Kesultanan Demak.
Pengiriman utusan Syekh Dumbo dan Pangeran Bayat
ternyata tidak cukup untuk membuat Siti Jenar memenuhi panggilan untuk
datang menghadap ke Kesultanan Demak hingga konon akhirnya para
Walisongo sendirilah yang akhirnya datang ke Desa Krendhasawa di mana perguruan Syekh Siti Jenar berada.[r]
Para wali dan pihak kerajaan sepakat untuk menjatuhkan hukuman mati
bagi Syekh Siti Jenar dengan tuduhan telah membangkang kepada raja. Maka, berangkatlah lima wali yang diusulkan oleh Syekh Maulana Maghribi ke Desa Krendhasawa. Kelima wali itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan Kudus, dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana, terjadi perdebatan dan adu ilmu antara kelima
wali tersebut dengan Syekh Siti Jenar. Menurut Syekh Siti Jenar, kelima
wali tersebut tidak usah repot-repot ingin membunuhnya karena ia bisa
meminum tirta marta (air kehidupan) sendiri. Ia dapat menuju kehidupan yang hakiki jika memang ia dan budinya menghendaki.[r]
Tidak lama kemudian, terbujurlah jenazah Syekh Siti Jenar di hadapan
kelima wali. Ketika hal ini diketahui oleh murid-muridnya, serentak
keempat muridnya yang pandai, yaitu Ki Bisono, Ki Donoboyo, Ki Chantulo, dan Ki Pringgoboyo ikut mengakhiri "kematian"-nya dengan cara yang misterius seperti yang dilakukan oleh gurunya di hadapan para wali.[r]
4. Kisah pasca kematian
Terdapat kisah yang menyebutkan bahwa ketika jenazah Syekh Siti Jenar disemayamkan di Masjid Demak, menjelang salat Isya, semerbak bunga dan cahaya
memancar dari jenazahnya. Jenazah Syekh Siti Jenar sendiri selanjutnya
dimakamkan di bawah Masjid Demak oleh para wali. Pendapat lain
mengatakan, ia dimakamkan di Masjid Mantingan, Jepara, dengan nama lain.[r]
Setelah tersiar kabar kematian Syekh Siti Jenar, banyak muridnya yang
mengikuti jejak gurunya untuk menuju kehidupan yang hakiki, antara lain
Kiai Lonthang dari Semarang, Ki Kebo Kenanga, dan Ki Ageng Tingkir.
Kontroversi yang lain adalah bahwa kemungkinan terbesar Syekh Siti
Jenar adalah salah satu tokoh Islam yang dengan segala kebijaksanaannya
telah dapat mengadaptasi Islam dengan keluhuran ajaran Hindu dan Budha
yang menjadi pegangan Bangsa Indonesia sehingga dapat terlihat dengan
jelas bagaimana nilai daripada kehidupan dan kesejatian manusia dengan
penciptanya yang ada dalam Bhagawad Gita berpadu dengan nilai yang
diajarkan Alquran.[r]
Hal ini tentu saja tak berlebihan, karena dengan tingkat kerohanian
dan kebijaksanaan yang dimiliki oleh Syekh Siti Jenar, ia akan mampu
melakukan penghormatan kepada leluhur dan melestarikan nilai kebenaran
yang diwariskan, menyerap agama baru dan melakukan penyesuain nilai agar
dapat diterima oleh seluruh bangsa sehingga menjadi berkah keluhuran
bagi alam semesta. Kalau para wali songo dengan pola gerakan yang lebih
kepada keduniawian berusaha mengadopsi konsep Dewata Nawa Sanga di Hindu
yang mereka personifikasikan ke dalam Wali Songo untuk mengubah
pandangan masyarakat Hindu dan membelokkan kepada Islam pun dalam
penggunaan cerita pewayangan Hindu seperti Mahabharata / Brathayudha dan Ramayana
untuk membantu penyebaran agama Islam dengan melakukan sisipan sisipan
ke dalamnya, namun Syekh Siti Jenar mengadaptasi nilai yang terkandung
yang memang sudah ada di masyarakat Hindu dan Budha pada jaman keemasan
Nusantara sehingga nilai kombinasi yang diperkenalkannya kepada
masyarakat terbukti sangat cocok bahkan hingga saat ini. Terbukti bahwa
dairah seperti Jogjakarta adalah salah satu daerah dengan eksistensi
budaya yang sangat tinggi dan pranata sosial yang sangat beradab sebagai
hasil penerapan konsep Hindu Budha dari para leluhur Bangsa Indonesia
dengan nilai Islam sebagai budaya serapan baru.[r]
5. Pranala luar
- (Inggris) Syekh Lemah Abang
- (Indonesia) Resensi Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar
- (Indonesia) Resensi Syekh Siti Jenar, Pergumulan Islam-Jawa
6. Catatan kaki
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar