Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina[3]) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut Tangren (Hanzi: "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang
Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut
diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri
mereka sebagai orang Han (Hanzi: hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang
sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka
beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia,
bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk.
Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina.
Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas
barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang
berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.[4]
1. Asal kata
Kata Tionghwa telah digunakan dalam surat setia kepada tentara Nippon ini. |
Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Wacana Cung Hwa setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880,
yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Cina untuk terbebas dari
kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih
demokratis dan kuat. Wacana ini sampai terdengar oleh orang asal Cina
yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan Orang Cina.
Sekelompok orang asal Cina yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda,
merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi Tiong Hoa Hwe Kwan
(THHK). THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan
bahasa dan kebudayaan Cina, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan
orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah
"Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia Belanda.
2. Populasi di Indonesia
Berdasarkan Volkstelling (sensus) pada masa Hindia Belanda, populasi Tionghoa-Indonesia mencapai 1.233.000 (2,03%) dari penduduk Indonesia di tahun 1930.[5]
Tidak ada data resmi mengenai jumlah populasi Tionghoa di Indonesia
dikeluarkan pemerintah sejak Indonesia merdeka. Namun ahli antropologi
Amerika, G.W. Skinner, dalam risetnya pernah memperkirakan populasi
masyarakat Tionghoa di Indonesia mencapai 2.505.000 (2,5%) pada tahun
1961.[6]
Dalam sensus penduduk
pada tahun 2000, ketika untuk pertama kalinya responden sensus ditanyai
mengenai asal etnis mereka, hanya 1% dari jumlah keseluruhan populasi
Indonesia mengaku sebagai Tionghoa. Perkiraan kasar yang dipercaya
mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia saat ini ialah berada di antara
kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi Indonesia.[7]
3. Daerah asal di Cina
Ramainya interaksi perdagangan di daerah pesisir tenggara Cina,
menyebabkan banyak sekali orang-orang yang juga merasa perlu keluar
berlayar untuk berdagang. Tujuan utama saat itu adalah Asia Tenggara.
Karena pelayaran sangat tergantung pada angin musim, maka setiap
tahunnya para pedagang akan bermukim di wilayah-wilayah Asia Tenggara
yang disinggahi mereka. Demikian seterusnya ada pedagang yang memutuskan
untuk menetap dan menikahi wanita setempat, ada pula pedagang yang
pulang ke Cina untuk terus berdagang.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia, umumnya berasal dari tenggara Cina. Mereka termasuk suku-suku:
- Hakka
- Hainan
- Hokkien
- Kantonis
- Hokchia
- Tiochiu
Daerah asal yang terkonsentrasi di pesisir tenggara ini dapat dimengerti, karena dari sejak zaman Dinasti Tang kota-kota pelabuhan di pesisir tenggara Cina memang telah menjadi bandar perdagangan yang ramai. Quanzhou pernah tercatat sebagai bandar pelabuhan terbesar dan tersibuk di dunia pada zaman tersebut.[r]
4. Daerah konsentrasi
Sebagian besar dari orang-orang Tionghoa di Indonesia menetap di pulau Jawa. Daerah-daerah lain di mana mereka juga menetap dalam jumlah besar selain di daerah perkotaan adalah: Sumatera Utara, Bangka-Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, Lombok, Kalimantan Barat, Banjarmasin dan beberapa tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara.
- Hakka - Jakarta, Aceh, Sumatera Utara, Batam, Sumatera Selatan, Bangka-Belitung, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat,Banjarmasin, Sulawesi Selatan, Manado, Ambon dan Jayapura.
- Hainan - Pekanbaru, Batam, dan Manado.
- Hokkien - Sumatera Utara, Riau ( Pekanbaru, Selatpanjang, Bagansiapiapi, dan Bengkalis), Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa, Bali (terutama di Denpasar dan Singaraja), Banjarmasin, Kutai, Sumbawa, Manggarai, Kupang, Makassar, Kendari, Sulawesi Tengah, Manado, dan Ambon.
- Kantonis - Jakarta, Medan , Makassar dan Manado.
- Hokchia - Jawa (terutama di Bandung, Cirebon, Banjarmasin dan Surabaya).
- Tiochiu - Sumatera Utara, Riau, Riau Kepulauan, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat (khususnya di Pontianak dan Ketapang).
Di Tangerang Banten, masyarakat Tionghoa telah menyatu dengan
penduduk setempat dan mengalami pembauran lewat perkawinan, sehingga warna kulit mereka kadang-kadang lebih gelap dari Tionghoa yang lain. Istilah buat mereka disebut Cina Benteng. Keseniannya yang masih ada disebut Cokek, sebuah tarian lawan jenis secara bersama dengan iringan paduan musik campuran Cina, Jawa, Sunda dan Melayu.
5. Sejarah
5.1. Masa-masa awal
Seorang pria Tionghoa berkuncir (toucang) di jalanan Batavia pertengahan tahun 1910-an. |
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan mendiami kepulauan Nusantara.
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran
Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan.
Pada prasasti-prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara, daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina, yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh dari motif-motif kain sutera Tiongkok.[8]
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho, menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga komponen penduduk kerajaan itu.[9] Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari Kota Semarang).
Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti ekspedisi
selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal warga
Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung
(disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong"), serta
membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.[10] Di komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo Awang".[11]
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak,
memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit. Beberapa wali
penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok, meskipun
mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan kultur
Tionghoa.
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Ilustrasi pedagang Tionghoa di Banten |
5.2. Era kolonial
Di masa kolonial, Belanda pernah mengangkat beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Cina,
yang diwajibkan setia dan menjadi penghubung antara pemerintah dengan
komunitas Tionghoa. Beberapa di antara mereka ternyata juga telah
berjasa bagi masyarakat umum, misalnya So Beng Kong dan Phoa Beng Gan yang membangun kanal di Batavia[r]. Di Yogyakarta, Kapiten Tan Djin Sing sempat menjadi Bupati Yogyakarta.[12]
Pembantaian orang Tionghoa tanggal 9 Oktober 1740 di Batavia |
Sebetulnya terdapat juga kelompok Tionghoa yang pernah berjuang
melawan Belanda, baik sendiri maupun bersama etnis lain. Bersama etnis
Jawa, kelompok Tionghoa berperang melawan VOC tahun 1740-1743.[r] Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam "Republik" Lanfong berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis
Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian di Batavia tersebut [13][14][4]
melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di
beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada
gilirannya ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di Hindia Belanda.
Daerah Pecinan di Banjarmasin. |
Kelenteng Tua Pek Kong di Ketapang. |
5.2.1. Pendidikan
Kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda tidak terlepas dari perkembangan yang terjadi pada komunitas Tionghoa. Tanggal 17 Maret 1900 terbentuk di Batavia Tiong Hoa Hwee Koan
(THHK) yang mendirikan sekolah-sekolah, seperti di kota Garut dirintis
dan didirikan pada tahun 1907 oleh seorang pengusaha hasil bumi saat itu
bernama Lauw O Teng beserta kedua anak lelakinya bernama Lauw Tek Hay
dan Lauw Tek Siang,dengan maksud agar orang Tionghoa bisa pintar,
(kemudian jumlahnya mencapai 54 buah sekolah dan di tahun 1908 dan
mencapai 450 sekolah tahun 1934). Inisiatif ini diikuti oleh etnis lain,
seperti keturunan Arab yang mendirikan Djamiat-ul Chair
meniru model THHK. Pada gilirannya hal ini menyadarkan priyayi Jawa
tentang pentingnya pendidikan bagi generasi muda sehingga dibentuklah Budi Utomo.
5.2.2. Perekonomian
Target pemerintah kolonial untuk mencegah interaksi pribumi dengan
etnis Tionghoa melalui aturan passenstelsel dan Wijkenstelsel itu
ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di
perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri,
orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha
makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan,
pemintalan, batik, kretek dan transportasi. Tahun 1909 di Buitenzorg (Bogor) Sarekat Dagang Islamiyah didirikan oleh RA Tirtoadisuryo mengikuti model Siang Hwee (kamar dagang orang Tionghoa) yang dibentuk tahun 1906
di Batavia. Bahkan pembentukan Sarekat Islam (SI) di Surakarta tidak
terlepas dari pengaruh asosiasi yang lebih dulu dibuat oleh warga
Tionghoa. Pendiri SI, Haji Samanhudi, pada mulanya adalah anggota Kong Sing, organisasi paguyuban tolong-menolong orang Tionghoa di Surakarta. Samanhudi juga kemudian membentuk Rekso Rumekso yaitu Kong Sing-nya orang Jawa.
5.2.3. Pergerakan
Pemerintah kolonial Belanda makin kuatir karena Sun Yat Sen memproklamasikan Republik Cina, Januari 1912.
Organisasi Tionghoa yang pada mulanya berkecimpung dalam bidang
sosial-budaya mulai mengarah kepada politik. Tujuannya menghapuskan
perlakukan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda
dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak,
hambatan bergerak dan bertempat tinggal.
Dalam rangka pelaksanaan Politik Etis,
pemerintah kolonial berusaha memajukan pendidikan, namun warga Tionghoa
tidak diikutkan dalam program tersebut. Padahal orang Tionghoa membayar
pajak ganda (pajak penghasilan dan pajak kekayaan). Pajak penghasilan
diwajibkan kepada warga pribumi yang bukan petani. Pajak kekayaan
(rumah, kuda, kereta, kendaraan bermotor dan peralatan rumah tangga)
dikenakan hanya bagi Orang Eropa dan Timur Asing (termasuk orang etnis
Tionghoa). Hambatan untuk bergerak dikenakan bagi warga Tionghoa dengan
adanya passenstelsel.
Pada waktu terjadinya Sumpah Pemuda, ada beberapa nama dari kelompok Tionghoa sempat hadir, antara lain Kwee Tiam Hong dan tiga pemuda Tionghoa lainnya. Sin Po
sebagai koran Melayu Tionghoa juga sangat banyak memberikan sumbangan
dalam menyebarkan informasi yang bersifat nasionalis. Pada 1920-an itu,
harian Sin Po memelopori penggunaan kata Indonesia bumiputera sebagai pengganti kata Belanda inlander
di semua penerbitannya. Langkah ini kemudian diikuti oleh banyak harian
lain. Sebagai balas budi, semua pers lokal kemudian mengganti kata
"Tjina" dengan kata Tionghoa. Pada 1931 Liem Koen Hian mendirikan PTI, Partai Tionghoa Indonesia (dan bukan Partai Tjina Indonesia).
5.3. Masa Revolusi dan Pra Kemerdekaan RI
Pada masa revolusi tahun 1945-an, Mayor John Lie yang menyelundupkan barang-barang ke Singapura untuk kepentingan pembiayaan Republik. Rumah Djiaw Kie Siong di Rengasdengklok, dekat Karawang, diambil-alih oleh Tentara Pembela Tanah Air (PETA), kemudian penghuninya dipindahkan agar Bung Karno dan Bung Hatta dapat beristirahat setelah "disingkirkan" dari Jakarta pada tanggal 16 Agustus 1945. Di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang merumuskan UUD'45 terdapat 4 orang Tionghoa yaitu; Liem Koen Hian, Tan Eng Hoa, Oey Tiang Tjoe, Oey Tjong Hauw, dan di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) terdapat 1 orang Tionghoa yaitu Drs.Yap Tjwan Bing. Liem Koen Hian yang meninggal dalam status sebagai warganegara asing, sesungguhnya ikut merancang UUD 1945. Lagu Indonesia Raya yang diciptakan oleh W.R. Supratman, pun pertama kali dipublikasikan oleh Koran Sin Po.
Dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa,
namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang
yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
5.4. Pasca kemerdekaan
5.4.1. Orde Lama
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu Tangan Kanan Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora.
Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan
Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat
beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang
eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini
menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada
akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun
1965 dan lainnya.
5.4.2. Orde Baru
Selama Orde Baru dilakukan penerapan ketentuan tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia,
atau yang lebih populer disebut SBKRI, yang utamanya ditujukan kepada
warga negara Indonesia (WNI) etnis Tionghoa beserta
keturunan-keturunannya. Walaupun ketentuan ini bersifat administratif,
secara esensi penerapan SBKRI sama artinya dengan upaya yang menempatkan
WNI Tionghoa pada posisi status hukum WNI yang "masih dipertanyakan".
Pada Orde Baru Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit
adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa
Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam
hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga
di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya
ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah
Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi
sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan
oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[r].
Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian
lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan
keselamatan dirinya.
Pada masa akhir dari Orde Baru, terdapat peristiwa kerusuhan rasial
yang merupakan peristiwa terkelam bagi masyarakat Indonesia terutama
warga Tionghoa karena kerusuhan tersebut menyebabkan jatuhnya banyak
korban bahkan banyak di antara mereka mengalami pelecehan seksual,
penjarahan, kekerasan, dan lainnya.
5.4.3. Reformasi
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia.
Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah
menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi
terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya,
ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat
ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien
ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu,
pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa.
6. Kerusuhan Rasial terhadap Warga Tionghoa di Indonesia
Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain
pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di
Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan
Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo
,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya.[r]
Beberapa contoh kerusuhan rasial yang terjadi yaitu :
Bandung, 10 Mei 1963 Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa
terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut
Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan
berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke
kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
Pekalongan, 31 Desember 1972 Terjadi keributan antara
orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang
berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat
acara pemakaman.
Palu, 27 Juni 1973 Sekelompok pemuda menghancurkan toko
Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang
bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
Bandung, 5 Agustus 1973 Dimulai dari serempetan sebuah gerobak
dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil
orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
Ujungpandang, April 1980 Suharti, seorang pembantu
rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati
karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak.
Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
Medan, 12 April 1980 Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor
keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa.
Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
Solo, 20 November 1980 Kerusuhan melanda kota Solo dan
merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian
pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang
pemuda suku peranakan TiongHoa. Perkelahian itu berubah menjadi
perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
Surabaya, September 1986 Pembantu rumah tangga dianiaya oleh
majikannya suku peranakan TiongHoa. Kejadian itu memancing kemarahan
masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik
orang-orang TiongHoa.
Pekalongan, 24 November 1995 Yoe Sing Yung, pedagang
kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan
jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang
Tiong Hoa.
Bandung, 14 Januari 1996 Massa mengamuk seusai pertunjukan
musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya
karcis.
Rengasdengklok, 30 Januari 1997 Mula-mula ada seorang suku
peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan
terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko TiongHoa.
Ujungpandang, 15 September 1997 Benny Karre, seorang keturunan
Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi,
kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.
Februari 1998 Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi,
Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari –
Anti Tionghua
Kerusuhan Mei 1998 Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan
dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan
Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung,
dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan
mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan
diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam
kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang
terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan
batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil
tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator
kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan
berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan
mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita
keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang
pemerkosaan tersebut.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan
dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju
bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia,
sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini
merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.
5-8 Mei 1998 Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam,
Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu,
Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan:
Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.
Jakarta, 13-14 Mei 1998 Kemarahan massa akibat penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik
tertentu jadi kerusuhan anti Cina. Peristiwa ini merupakan persitiwa
anti Cina paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah
perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.
Solo, 14 Mei 1998 Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghua.
7. Peran Warga Tionghoa Bagi Republik Indonesia
7.1. Peran Ekonomi
7.2. Peran Sosial Budaya dan Pendidikan
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan sastra Melayu
Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar 3000 buku,
suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra yang
dihasilkan oleh angkatan pujangga baru,
angkatan 45, 66 dan pasca 66 yang tidak seproduktif itu. Dengan
demikian komunitas ini telah berjasa dalam membentuk satu awal
perkembangan bahasa Indonesia.
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat Indonesia, namun Sie Kok Liong
merupakan seorang warga Tionghoa yang menyewakan rumahnya bagi para
pemuda dalam menyelenggarakan Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan
mengenai Sie Kok Liong, seiring dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada
awal abad ke-20 di Jakarta tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk
menampung mereka yang tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk
mereka yang ingin hidup lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah
satu di antara pondokan pelajar itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong.
Di Gedung Kramat 106 inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar
sering berkumpul. Gedung itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering
digunakan sebagai tempat latihan kesenian Langen Siswo juga sering
dipakai untuk tempat diskusi tentang politik para pemuda dan pelajar.
Terlebih lagi setelah Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI)
didirikan pada September 1926. Selain dijadikan kantor PPPI dan kantor
redaksi majalah Indonesia Raya yang diterbitkan oleh PPPI, berbagai
organisasi pemuda sering menggunakan gedung ini sebagai tempat kongres.
Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106 jadi salah satu tempat
penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28 Oktober 1928.
Universitas Trisakti
yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di Indonesia juga
merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di Indonesia. Pada tahun
1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno
nama universitas ini diganti menjadi Universitas Res Publika hingga
1965, dan sejak Orde Baru, universitas ini beralih nama menjadi
Universitas Trisakti hingga sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang sebagai ucapan rasa syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang
sangat diandalkan pemerintah daerah setempat sebagai daya tarik wisata
daerah dimana setiap tahunnya menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan
baik dalam maupun luar negeri.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya kurang lebih 50 milyar rupiah.[r]
8. Tionghoa-Indonesia saat ini
9. Catatan kaki dan referensi
- Definisi "etnis" yang dipakai BPS didasarkan atas pengakuan orang yang disensus. Atas dasar ini, jumlah ini dapat dianggap sebagai batas bawah ("lowerbound") karena banyak warga Tionghoa yang enggan mengaku sebagai "Tionghoa" dalam sensus. Menurut Perpustakaan Universitas Ohio [1], jumlah suku Tionghoa di Indonesia mencapai 7.310.000 jiwa. Jumlah ini merupakan yang terbesar di luar Cina.
- (Tionghoa) "印尼2006 年華人人口統計推估 (Perkiraan Statistik Jumlah Penduduk Tionghoa-Indonesia Tahun 2006)" (PDF). Overseas Compatriot Affairs Commission, R.O.C (Taiwan). Diakses pada 10 Mei 2010. "本會以人口增加率1.38%估計,2006 年印尼華人人口約有767 萬人,約占印尼總人口的3.4%,尚屬合理。"
- Lihat pula Penggunaan istilah Cina, China dan Tiongkok#Di Indonesia
- Trisnanto, AM Adhy (Minggu, 18 Februari 2007), "Etnis Tionghoa Juga Bangsa Indonesia", Suara Merdeka, diakses pada 13 Agustus 2008
- Vasanty, Puspa (2004). Prof. Dr. Koentjaraningrat. ed. "Kebudayaan Orang Tionghoa Di Indonesia", Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Penerbit Djambatan. hlm. hal. 359. ISBN 979-428-510-2.
- Skinner, G.W. (1963). R.T. McVey. ed. "The Chinese Minority", Indonesia. New Haven, HRAF. hlm. hal. 99.
- Kusno, Malikul (Sabtu, 9 Desember 2006), "UU Kewarganegaraan dan Etnis Tionghoa", Harian Umum Sinar Harapan, diakses pada 18 Agustus 2008
- Rustopo 2008. Jawa Sejati. Otobiografi Go Tik Swan. Penerbit Ombak Yogyakarta
- Arismunandar A 2007. Kerajaan Majapahit abad XIV dan XV. Artikel pada laman Majapahit Kingdom
- Ada yang berpendapat kelenteng ini dibangun oleh orang dari Tuban, suatu pelabuhan penting di pantai utara Jawa Timur pada masa lalu.[2]
- Zulkifli AA. Laksamana Cheng Ho pernah singgah di Surabaya[3]
- Setiono, Benny G. "Tionghoa Dalam Pusaran Politik", hal. 167, Transmedia
- http://home.iae.nl/users/arcengel/NedIndie/chinezenengels.htm
- http://www.obor.co.id/DetailBuku.asp?Bk_ISBN=979-461-556-0
10. Lihat
- Daftar tokoh Tionghoa-Indonesia
- Cina
- Tionghoa
- Bahasa Hokkian
- Bahasa Tiochiu
- Bahasa Kantonis
- Bahasa Hakka
- Marga Tionghoa
- Perhimpunan Indonesia-Tionghoa
- Pecinan
11. Pranala luar
- (Indonesia) Forum Diskusi Budaya Tionghoa dan Sejarah Tiongkok
- (Indonesia) Budaya, Sejarah & Tradisi Tionghoa
- (Indonesia) Budaya Tionghoa
- (Indonesia) Sejarah Keturunan Tionghoa yang Terlupakan
- (Indonesia) Persatuan Islam Tionghoa Indonesia / Yasasan Karim Oey / Pengajian Muslim Tionghoa dan Keluarga
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar