arifuddinali.blogspot.com - PENYAIR Taufiq Ismail pernah menulis sebuah puisi
berjudul "Malu Aku Jadi Orang Indonesia". Taufiq Ismail menyuarakan
perasaan hatinya yang terkoyak melihat apa yang terjadi di Tanah Airnya
tercinta. Ketika langit akhlak runtuh, ketika hukum tak tegak, Taufiq
Ismail tidak berani berdiri tegak.
Hatinya semakin tersayat ketika selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu. Apalagi ketika melihat seh percaya diri, tertawa-tawa, dan kemudian dengan enteng menyampaikan permohonan maaf, karena sebakongkol bisnis dan birokrasi dilakukan secara terang-terangan. Orang tidak malu ketika kekuasaan dipakai untuk kepentingan anak, kemenakan, sepupu, dan juga cucu.
Jeritan hati yang disampaikan Taufiq Ismail pada tahun 1998 ternyata juga tidak berubah. Sistem politik besar boleh berubah dari otokrasi menjadi demokrasi, kita boleh mengganti pemimpin yang lama dengan yang baru, namun perilaku orang-orang yang berada dalam kekuasaan tidak berubah.
Korupsi, kolusi dan nepotisme tetap saja marak terjadi di negeri ini. Dan semua itu dilakukan tanpa malu-malu. Bahkan ketika kasusnya terungkap dan diekspos oleh media massa, pelaku itu bisa tampil dengan penugai manusia biasa ia bisa berbuat salah.
Itulah yang antara lain kita lihat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Al Quran. Setelah beberapa hari menghilang, anggota Komisi VIII DPR Zulkarnaen Djabbar kemarin tampil di DPR. Ia menggelar jumpa pers berkaitan dengan kasus yang menimpa dirinya.
Zulkarnaen menolak jika dikatakan dirinya menghilang. Ia berterima kasih atas kasus yang telah diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya tidak terkait dengan kepentingan partai. Ia meminta maaf telah membuat repot banyak pihak, termasuk juga keluarganya.
Anggota Komisi VIII dari Partai Golkar itu seperti ingin menyampaikan bahwa tidak ada persoalan yang sebenarnya terjadi. Ia tampak santai saja dan bahkan masih bisa tertawa-tawa. Bahkan ia mengajak wartawan untuk bertepuk tangan ketika jumpa pers yang dilakukannya usai.
Kita tidak tahu lagi apa yang sebenarnya tengah terjadi di negeri ini. Seperti dikatakan Taufiq Ismail, di mana sebenarnya akhlak mulia yang selama ini menjadi ciri dari bangsa ini. Di mana lagi rasa malu yang membuat kita selama ini tidak berani untuk berbuat keliru.
Padahal seperti diungkapkan oleh KPK, korupsi pengadaan Al Quran diduga dilakukan Zulkarnaen bersama anaknya Dendy Prasetya. Proyek pengadaan Al Quran dan laboratorium komputer untuk Kementerian Agama diberikan kepada perusahaan yang dimiliki anak Zulkarnaen.
Seharusnya orang malu ketika merugikan keuangan negara. Apalagi ketika kita memperkaya diri sendiri untuk proyek pengadaan Al Quran. Sungguh tidak pantas orang melakukan korupsi untuk kitab suci yang berisi firman-firman Allah, yang pesannya antara lain mengajak kita untuk menjauhkan dari perbuatan yang dilarang oleh-Nya.
Namun kita memang sudah kehilangan kepekaan. Korupsi tidak lagi dianggap sebagai aib. Orang tidak malu lagi ketika kedapatan melakukan korupsi. Bahkan korupsi dianggap sebagai sebuah mode. Korupsi dianggap sebagai panggung yang bisa mengangkat popularitas dari pelakunya.
Kuatnya orientasi kepada materi, membuat kita menghalalkan segala cara. Kita sama sekali tidak peduli bahwa korupsi itu mengambil hak orang lain untuk bisa hidup lebih baik. Kita menutup mata bahwa akibat korupsi yang dilakukan jutaan orang harus hidup dalam kemiskinan, jutaan orang tidak memiliki pekerjaan.
Hukum tidak membuat orang menjadi jera. Bahkan korupsi semakin menjadi-jadi, ketika ada orang yang dihukum karena korupsi. Rendahnya hukuman kepada pelaku korupsi membuat orang tidak merasakan bahwa ia dihukum karena perbuatannya. Apalagi ketika kekayaan dari korupsi tidak ikut disita untuk negara.
Sudah lama kita menyampaikan bagi dilakukannya pemiskinan terhadap pelaku korupsi. Namun para pembuat aturan tidak pernah mau membuat aturan yang menjerakan tersebut, karena merekalah yang menjadi pelaku korupsi. Silih berganti anggota DPR terjerat dalam kasus korupsi dan tidak pernah ada upaya serius untuk menghentikannya.
Tidaklah keliru apabila Taufiq Ismail menulis puisi "Malu Aku Jadi Orang Indonesia". Kita pantas malu dengan perilaku para koruptor yang sudah tidak tahu malu. Mereka telah merusak nama baik Indonesia dan membuat kita harus menunduk ketika berhadapan dengan bangsa lain, karena kita masih memiliki rasa malu
Hatinya semakin tersayat ketika selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu. Apalagi ketika melihat seh percaya diri, tertawa-tawa, dan kemudian dengan enteng menyampaikan permohonan maaf, karena sebakongkol bisnis dan birokrasi dilakukan secara terang-terangan. Orang tidak malu ketika kekuasaan dipakai untuk kepentingan anak, kemenakan, sepupu, dan juga cucu.
Jeritan hati yang disampaikan Taufiq Ismail pada tahun 1998 ternyata juga tidak berubah. Sistem politik besar boleh berubah dari otokrasi menjadi demokrasi, kita boleh mengganti pemimpin yang lama dengan yang baru, namun perilaku orang-orang yang berada dalam kekuasaan tidak berubah.
Korupsi, kolusi dan nepotisme tetap saja marak terjadi di negeri ini. Dan semua itu dilakukan tanpa malu-malu. Bahkan ketika kasusnya terungkap dan diekspos oleh media massa, pelaku itu bisa tampil dengan penugai manusia biasa ia bisa berbuat salah.
Itulah yang antara lain kita lihat dalam kasus dugaan korupsi pengadaan Al Quran. Setelah beberapa hari menghilang, anggota Komisi VIII DPR Zulkarnaen Djabbar kemarin tampil di DPR. Ia menggelar jumpa pers berkaitan dengan kasus yang menimpa dirinya.
Zulkarnaen menolak jika dikatakan dirinya menghilang. Ia berterima kasih atas kasus yang telah diungkapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia akan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Ia mengatakan bahwa apa yang dilakukannya tidak terkait dengan kepentingan partai. Ia meminta maaf telah membuat repot banyak pihak, termasuk juga keluarganya.
Anggota Komisi VIII dari Partai Golkar itu seperti ingin menyampaikan bahwa tidak ada persoalan yang sebenarnya terjadi. Ia tampak santai saja dan bahkan masih bisa tertawa-tawa. Bahkan ia mengajak wartawan untuk bertepuk tangan ketika jumpa pers yang dilakukannya usai.
Kita tidak tahu lagi apa yang sebenarnya tengah terjadi di negeri ini. Seperti dikatakan Taufiq Ismail, di mana sebenarnya akhlak mulia yang selama ini menjadi ciri dari bangsa ini. Di mana lagi rasa malu yang membuat kita selama ini tidak berani untuk berbuat keliru.
Padahal seperti diungkapkan oleh KPK, korupsi pengadaan Al Quran diduga dilakukan Zulkarnaen bersama anaknya Dendy Prasetya. Proyek pengadaan Al Quran dan laboratorium komputer untuk Kementerian Agama diberikan kepada perusahaan yang dimiliki anak Zulkarnaen.
Seharusnya orang malu ketika merugikan keuangan negara. Apalagi ketika kita memperkaya diri sendiri untuk proyek pengadaan Al Quran. Sungguh tidak pantas orang melakukan korupsi untuk kitab suci yang berisi firman-firman Allah, yang pesannya antara lain mengajak kita untuk menjauhkan dari perbuatan yang dilarang oleh-Nya.
Namun kita memang sudah kehilangan kepekaan. Korupsi tidak lagi dianggap sebagai aib. Orang tidak malu lagi ketika kedapatan melakukan korupsi. Bahkan korupsi dianggap sebagai sebuah mode. Korupsi dianggap sebagai panggung yang bisa mengangkat popularitas dari pelakunya.
Kuatnya orientasi kepada materi, membuat kita menghalalkan segala cara. Kita sama sekali tidak peduli bahwa korupsi itu mengambil hak orang lain untuk bisa hidup lebih baik. Kita menutup mata bahwa akibat korupsi yang dilakukan jutaan orang harus hidup dalam kemiskinan, jutaan orang tidak memiliki pekerjaan.
Hukum tidak membuat orang menjadi jera. Bahkan korupsi semakin menjadi-jadi, ketika ada orang yang dihukum karena korupsi. Rendahnya hukuman kepada pelaku korupsi membuat orang tidak merasakan bahwa ia dihukum karena perbuatannya. Apalagi ketika kekayaan dari korupsi tidak ikut disita untuk negara.
Sudah lama kita menyampaikan bagi dilakukannya pemiskinan terhadap pelaku korupsi. Namun para pembuat aturan tidak pernah mau membuat aturan yang menjerakan tersebut, karena merekalah yang menjadi pelaku korupsi. Silih berganti anggota DPR terjerat dalam kasus korupsi dan tidak pernah ada upaya serius untuk menghentikannya.
Tidaklah keliru apabila Taufiq Ismail menulis puisi "Malu Aku Jadi Orang Indonesia". Kita pantas malu dengan perilaku para koruptor yang sudah tidak tahu malu. Mereka telah merusak nama baik Indonesia dan membuat kita harus menunduk ketika berhadapan dengan bangsa lain, karena kita masih memiliki rasa malu
Sumber: Metro View | Selasa, 3 Juli 2012
Puisi Taufiq Ismail
MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA
IKetika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku nara-sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini
II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati,
Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,
Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang,
Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,
Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat,
Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi,
Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,
Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar,
Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,
Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.
IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia.
1998
Tidak ada komentar:
Posting Komentar