Penambang Pasir Sebatik Mengadu ke Dewan
NUNUKAN - Sejumlah warga penambang pasir di pesisir
pantai Pulau Sebatik, Senin (2/7/2012) mengadukan nasibnya kepada DPRD Nunukan.
Pada rapat dengar pendapat (RDP) yang difasilitasi Komisi I DPRD Nunukan, para
penambang yang tergabung dalam Aliansi Pro Pembangunan Sebatik mengeluhkan
larangan penambangan pasir sejak 19 April 2012, yang berdampak pada pendapatan mereka.
RDP yang dipimpin Wakil Ketua DPRD
Nunukan Ngatidjan Ahmadi itu dihadiri sejumlah pejabat Pemkab Nunukan seperti
Sekretaris Kabupaten Nunukan Zainuddin HZ. Hadir pula Danlanal Nunukan Letkol
Laut (P) Eko Vidiyantho.
Sekitar 200 penambang pasir di Pulau
Sebatik harus kehilangan pekerjaan, setelah Pemkab Nunukan menegaskan larangan
menambang pasir pantai. Merekapun berencana akan ke Malaysia, untuk mencari
pekerjaan guna menyambung hidup.
Nurdin salah seorang penambang
mengatakan, ada sekitar 200 penambang pasir yang hanya menggantungkan hidupnya
dari aktivitas penggalian pasir pantai. Setiap harinya mereka melakukan
aktivitas penggalian mulai dari pinggir pantai Sungai Taiwan hingga ke Sungai
Bajau.
Penghasilan
mereka dihitung berdasarkan kemampuan mengangkut pasir dengan gerobak. Setiap
orang rata-rata bisa mengangkut 20 gerobak pasir setiap hari. Mereka yang
tenaganya lebih kuat, bisa mengangkat hingga 30 gerobak. Setiap gerobak
dihargai Rp1.500 atau rata-rata setiap orang bisa mendapatkan uang Rp30.000
per hari.
"Kalau
air pasang, kita tidak bisa ambil pasir," ujarnya.
Dengan
pelarangan menambang ini mereka mengaku kesulitan mencari penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari."Seharusnya
kalau kita dilarang menambang di situ, yah disiapkan tempat lain di mana kita
bisa menambang," ujarnya.
Sumber: Tribun Kaltim - Senin, 2 Juli 2012 12:07 WITA
Masyarakat Sesalkan Keterlibatan Anggota DPRD Nunukan
Ahmad, perwakilan penambang pasir dari Desa Padaidi, Kecamatan Sebatik
menyesalkan keterlibatan oknum anggota DPRD Nunukan yang ikut-ikutan turun
menghentikan penambangan pasir yang dilakukan warga di pesisir pantai Pulau
Sebatik.
Ia menceritakan, penghentian total penambangan yang dilakukan Pemkab Nunukan bermula dari lokasi penambangan di Desa Sungai Manurung, Kecamatan Sebatik. Saat itu ada anggota DPRD Nunukan yang diundang masyarakat untuk membicarakan persoalan tersebut.
“Sehingga waktu itu anggota dewan turun dan langsung menyetop. Yang saya sesalkan kenapa anggota dewan turun ke lokasi? Setelah ada temuan di lapangan, kenapa tidak dirapatkan dulu sesama anggota dewan?” ujarnya, Senin (2/7/2012) saat rapat dengar pendapat (RDP) di Kantor DPRD Nunukan.
Ia mengatakan, ada sejumlah masyarakat yang mengumpulkan tandatangan sebagai bentuk keberatan terhadap penambangan pasir yang dilakukan di pesisir pantai. Namun ia memastikan, ada rekayasa dibalik pengumpulan tandatangan dimaksud.
“Contohnya Haji Kube keberatan, dia tidak tahu kalau dia tandatangan disuruh menolak pasir. Yang dia tahu, akan dibangun jalanan makanya dia mau bertandatangan,” ujarnya.
Tak hanya anggota Dewan, oknum TNI Angkatan Laut juga terlibat menghentikan penambangan pasir dimaksud.
Akibat penghentian penambangan pasir dimaksud, para penambang ini kesulitan membayar gaji pekerja mereka. “Terpaksa saya pinjam uang Pak Burhanuddin (anggota DPRD Nunukan) karena saya didesak membayar gaji pekerja. Mereka mendesak karena harus membeli beras. Sebagian malah belum saya bayar,” ujarnya.
Darmin, warga lainnya yang ikut tergabung pada Aliansi Pro Pembangunan
Sebatik juga menyesalkan keterlibatan oknum anggota TNI. “Kalau ada perda yang mau ditertibkan, jangan manfaatkan Angkatan Laut,
Marinir, jangan libatkan yang lain. Kalau bisa jangan lebih dari Polisi. Kami
trauma dengan TNI. Kami di Sebatik merasa tidak nyaman, karena banyak semacam
ditakut-takutilah,” ujarnya.
Ia juga meminta kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada
warga menambang kembali, sampai ada solusi. “Pasir itu tidak ada pernah habis menurut saya. Sekarang seandainya pasir menjadi
batu bara, saya rasa aman-aman saja. Ini persoalan tidak ada bagi membagi di
sini,” ujarnya.
Anggota DPRD Nunukan Burhanuddin mengatakan, waktu itu ia memang turun ke Sebatik berdasarkan surat yang dikirimkan warga pada 19 Desember 2011. Surat ini berasal dari masyarakat Desa Tanjung Karang yang ditujukan kepada bupati. “Ini bukan oknum, tapi kami sebagai anggota Dewan. Karena perwakilan Sebatik kami merespon dan saat itu saya turun. Surat tugas ada dan laporan juga ada. Kami datang 26 Januari 2012, pada saat itu kami datang karena yang mengundang salah seorang tokoh masyarakat. Makanya kami langsung ke bersangkutan. Pada saat kami datang ada beberapa orang yang berkumpul, karena situasi pada saat itu ada Pak Nasir, Hajjah Nursan dan Hajjah Hadra. Kami waktu itu langsung ke kantor camat,” ujarnya.
Pertemuan itupun berlanjut dengan rapat-rapat selanjutnya termasuk di Dinas Pertambangan dan Energi Nunukan. Saat itu, meskipun tidak mendapatkan undangan, Burhanuddin juga ikut hadir.
Danlanal Nunukan Letkol Laut (P) Eko Vidiyantho mengatakan, pihaknya hanya dimintai bantuan
oleh pemerintah yang telah mengeluarkan larangan penambangan pasir. Saat itu
masyarakat sudah diberikan kesempatan untuk mengangkut pasir yang terlanjur
telah ditumpuk di pinggir pantai. Lewat waktu dari yang ditentukan, sesuai dengan
kesepakatan pasir yang tidak diangkut dikembalikan ke laut.
Sumber: Tribun Kaltim - Senin, 2 Juli 2012 16:07 WITA
DPRD Nunukan: Tambang Pasir tak Merusak Lingkungan
NUNUKAN - Berbeda
dengan pendapat Pemkab Nunukan dan sejumlah warga di Pulau Sebatik,
anggota DPRD Nunukan Mustarich justru berpendapat penambangan pasir di
pesisir Pulau Sebatik tidak merusak lingkungan. Menurutnya, apa yang
disebut abrasi akibat penambangan tersebut hanya ditemukan di atas meja.
"Saya ini kebutulan lahir di pinggir pantai juga. Jadi kalau pasir diambil, nanti ada ombak besar bisa menutupi. Pasir yang ada di permukaan dibersihkan ke pinggir laut. Saya pikir itu tidak merusak lingkungan. Kalau dibilang tidak bisa tumbuh mangrove, itu tidak ada. Yang tumbuh mangrove itu pinggir laut yang tidak dibawa ombak. Pasirnya di situ-situ saja," ujarnya pada Rapat Dengar Pendapat (RDP), Senin (2/7/2012) melibatkan Pemkab Nunukan dan penambang pasir dari Pulau Sebatik.
Anggota DPRD asal PAN ini meminta Pemkab memberikan kebijakan kepada warga untuk terus menambang sampai ada solusi yang tepat bagi mereka.
Rekannya anggota DPRD Muhammad Saleh berpendapat, abrasi pantai belum tentu disebabkan karena penambangan pasir. Reklamasi yang dilakukan di Sabindo, Tawau, Sabah, Malaysia, juga ikut ambil bagian mempercepat abrasi di bibir pantai Pulau Sebatik.
"Saya tidak bisa mengabaikan masyarakat yang jadi korban abrasi, tetapi belum tentu dari penambangan. Karena mereka reklamasi di Sabindo juga bisa berdampak pada abrasi di Sebatik. Pasir itu anugerah yang harus kita manfaatkan. Kenapa baru sekarang disampaikan seperti ini? Satu skop pasir pun harus di Amdal?" ujarnya.
Saleh menilai, setiap kebijakan yang dikeluarkan Pemkab Nunukan selalu menindas rakyat. Apalagi dalam penertiban penambang pasir ini, justru dilibatkan oknum yang sebenarnya tidak penting.
"Banyak laporan yang melibatkan oknum TNI, saya yakin pimpinan tidak mengarahkan seperti itu. Mungkin tentara yang tugas itu segar-segarnya, habis pulang perang. Kita tidak mau kejadian seperti Mesuji, bangsa mengorbankan bangsa sendiri. Tidak boleh ini terjadi, apalagi akan diberikan sanksi Rp 1 miliar, merinding saya mendengar kalau mereka diberikan sanksi," ujarnya.
Seharusnya Pemkab Nunukan jeli dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya sudah menyerah. "Mereka sampai mengatakan, mohon kami dibina," ujarnya.
Pelarangan penambangan pasir di Pulau Sebatik tentu juga akan terkait dengan ketersediaan pasir untuk pembangunan di daerah ini. Konsekuensinya pembangunan yang dilaksanakan Dinas Pekerjaan Umum Nunukan tidak berjalan karena tidak ada pasir.
Pada kesempatan itu Saleh juga heran dengan keterlibatan oknum anggota DPRD Nunukan yang melarang penambangan pasir. Ia menegaskan, DPRD Nunukan tidak punya wewenang melarang hal itu. Sebab tugas DPRD hanya pengawasan, dalam arti melakukan pengawasan politik.
Anggota Komisi III DPRD Nunukan Niko Hartono justru mempertanyakan, apakah Pemkab Nunukan sudah melakukan pengkajian terhadap pembangunan di Pulau Sebatik? "Kalau satu skop pasir yang ditambang harus dengan Amdal, sekarang apakah pembangunan jalan di hutan lindung itu menggunakan Amdal? Bagaimana hukumannya kok kita langgar terus?" ujarnya.
"Saya ini kebutulan lahir di pinggir pantai juga. Jadi kalau pasir diambil, nanti ada ombak besar bisa menutupi. Pasir yang ada di permukaan dibersihkan ke pinggir laut. Saya pikir itu tidak merusak lingkungan. Kalau dibilang tidak bisa tumbuh mangrove, itu tidak ada. Yang tumbuh mangrove itu pinggir laut yang tidak dibawa ombak. Pasirnya di situ-situ saja," ujarnya pada Rapat Dengar Pendapat (RDP), Senin (2/7/2012) melibatkan Pemkab Nunukan dan penambang pasir dari Pulau Sebatik.
Anggota DPRD asal PAN ini meminta Pemkab memberikan kebijakan kepada warga untuk terus menambang sampai ada solusi yang tepat bagi mereka.
Rekannya anggota DPRD Muhammad Saleh berpendapat, abrasi pantai belum tentu disebabkan karena penambangan pasir. Reklamasi yang dilakukan di Sabindo, Tawau, Sabah, Malaysia, juga ikut ambil bagian mempercepat abrasi di bibir pantai Pulau Sebatik.
"Saya tidak bisa mengabaikan masyarakat yang jadi korban abrasi, tetapi belum tentu dari penambangan. Karena mereka reklamasi di Sabindo juga bisa berdampak pada abrasi di Sebatik. Pasir itu anugerah yang harus kita manfaatkan. Kenapa baru sekarang disampaikan seperti ini? Satu skop pasir pun harus di Amdal?" ujarnya.
Saleh menilai, setiap kebijakan yang dikeluarkan Pemkab Nunukan selalu menindas rakyat. Apalagi dalam penertiban penambang pasir ini, justru dilibatkan oknum yang sebenarnya tidak penting.
"Banyak laporan yang melibatkan oknum TNI, saya yakin pimpinan tidak mengarahkan seperti itu. Mungkin tentara yang tugas itu segar-segarnya, habis pulang perang. Kita tidak mau kejadian seperti Mesuji, bangsa mengorbankan bangsa sendiri. Tidak boleh ini terjadi, apalagi akan diberikan sanksi Rp 1 miliar, merinding saya mendengar kalau mereka diberikan sanksi," ujarnya.
Seharusnya Pemkab Nunukan jeli dengan keadaan masyarakat yang sebenarnya sudah menyerah. "Mereka sampai mengatakan, mohon kami dibina," ujarnya.
Pelarangan penambangan pasir di Pulau Sebatik tentu juga akan terkait dengan ketersediaan pasir untuk pembangunan di daerah ini. Konsekuensinya pembangunan yang dilaksanakan Dinas Pekerjaan Umum Nunukan tidak berjalan karena tidak ada pasir.
Pada kesempatan itu Saleh juga heran dengan keterlibatan oknum anggota DPRD Nunukan yang melarang penambangan pasir. Ia menegaskan, DPRD Nunukan tidak punya wewenang melarang hal itu. Sebab tugas DPRD hanya pengawasan, dalam arti melakukan pengawasan politik.
Anggota Komisi III DPRD Nunukan Niko Hartono justru mempertanyakan, apakah Pemkab Nunukan sudah melakukan pengkajian terhadap pembangunan di Pulau Sebatik? "Kalau satu skop pasir yang ditambang harus dengan Amdal, sekarang apakah pembangunan jalan di hutan lindung itu menggunakan Amdal? Bagaimana hukumannya kok kita langgar terus?" ujarnya.
Sumber: Tribun Kaltim - Senin, 2 Juli 2012 16:26 WITA
Pemkab Nunukan Tawarkan Dua Solusi
NUNUKAN - Pemkab Nunukan tidak hanya melarang warga menambang pasir, tanpa ada solusi yang diberikan. Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Nunukan Ambrosius Tukan mengatakan, sejak pelarangan penambangan pasir di pesisir Pulau sebatik pada 19 April 2012, telah ada solusi yang diberikan kepada penambang termasuk untuk pemenuhan kebutuhan pasir di Pulau Sebatik.
Ia mengatakan, Tim Pemkab Nunukan telah sepakat merekomendasikan lokasi yang dapat ditambang yaitu gusung yang ada di Desa Balansiku, Kecamatan Sebatik. Ini merupakan alternatif sementara hingga Desember 2012, dengan disertai catatan penambangan harus dilaksanakan secara manual. Solusi kedua, pemenuhan pasir dilakukan dengan menambang pasir yang ada di daratan Pulau Sebatik.
Amrosius menjelaskan kronologis pelarangan penambangan pasir di pesisir Pulau Sebatik yang mulai diberlakukan sejak 2007 silam. Penambangan itu dinilai telah memberikan dampak negatif dengan terjadinya abrasi pantai.
Untuk mengurangi dampak itu, Distamben Nunukan melalui surat Bupati Nunukan tertanggal 26 Juni 2007, melarang penambangan pasir, pengusahaan pasir laut oleh masyarakat di Pulau Sebatik. Penanganan penambangan ini dilakukan tim yang terdiri dari Distamben Nunukan, Badan Lingkungan Hidup Daerah Nunukan, Dinas Kelautan dan Perikanan Nunukan serta Bagian Ekonomi Setkab Nunukan.
Pada 19 Desember 2011, masyarakat sekitar Desa Tanjung Karang, Kecamatan Sebatik membuat surat kepada Bupati Nunukan Cq Distamben Nunukan perihal larangan pengambilan pasir di pesisir Desa Tanjung Karang. Surat itu ditindaklanjuti pihak kecamatan perihal dukungan larangan pengambilan pasir pesisir Desa Tanjung Karang dan sekitarnya.
Selain itu ada surat dari Kepala Desa Sungai Manurung kepada Camat Sebatik tentang Pemberhentian Sementara Pengambilan Pasir.
Berdasarkan surat-surat ini, Distamben Nunukan pada Februari 2012 melaksanakan rapat di ruang rapat Asisten I Setkab Nunukan yang dihadiri anggota DPRD Nunukan, Distamben, BLHD, DKP, Dinas Pekerjaan Umum serta Camat Sebatik Timur. Ada sejumlah kesepakatan yang diambil yakni, berdasarkan Surat Bupati 26 Juni 2007, pengusahaan pasir laut oleh masyarakat di Sebatik tidak diperbolehkan.
Untuk memenuhi kebutuhan pasir di Sebatik, akan dicari potensi bahan galian pasir di wilayah Barat atau mendatangkan pasir dari luar wilayah Sebatik. Sementara kesepakatan ketiga, Distamben Nunukan dan instansi terkait diminta melakukan sosialisasi peraturan tentang pertambangan pasir.
Ia mengatakan, Tim Pemkab Nunukan telah sepakat merekomendasikan lokasi yang dapat ditambang yaitu gusung yang ada di Desa Balansiku, Kecamatan Sebatik. Ini merupakan alternatif sementara hingga Desember 2012, dengan disertai catatan penambangan harus dilaksanakan secara manual. Solusi kedua, pemenuhan pasir dilakukan dengan menambang pasir yang ada di daratan Pulau Sebatik.
Amrosius menjelaskan kronologis pelarangan penambangan pasir di pesisir Pulau Sebatik yang mulai diberlakukan sejak 2007 silam. Penambangan itu dinilai telah memberikan dampak negatif dengan terjadinya abrasi pantai.
Untuk mengurangi dampak itu, Distamben Nunukan melalui surat Bupati Nunukan tertanggal 26 Juni 2007, melarang penambangan pasir, pengusahaan pasir laut oleh masyarakat di Pulau Sebatik. Penanganan penambangan ini dilakukan tim yang terdiri dari Distamben Nunukan, Badan Lingkungan Hidup Daerah Nunukan, Dinas Kelautan dan Perikanan Nunukan serta Bagian Ekonomi Setkab Nunukan.
Pada 19 Desember 2011, masyarakat sekitar Desa Tanjung Karang, Kecamatan Sebatik membuat surat kepada Bupati Nunukan Cq Distamben Nunukan perihal larangan pengambilan pasir di pesisir Desa Tanjung Karang. Surat itu ditindaklanjuti pihak kecamatan perihal dukungan larangan pengambilan pasir pesisir Desa Tanjung Karang dan sekitarnya.
Selain itu ada surat dari Kepala Desa Sungai Manurung kepada Camat Sebatik tentang Pemberhentian Sementara Pengambilan Pasir.
Berdasarkan surat-surat ini, Distamben Nunukan pada Februari 2012 melaksanakan rapat di ruang rapat Asisten I Setkab Nunukan yang dihadiri anggota DPRD Nunukan, Distamben, BLHD, DKP, Dinas Pekerjaan Umum serta Camat Sebatik Timur. Ada sejumlah kesepakatan yang diambil yakni, berdasarkan Surat Bupati 26 Juni 2007, pengusahaan pasir laut oleh masyarakat di Sebatik tidak diperbolehkan.
Untuk memenuhi kebutuhan pasir di Sebatik, akan dicari potensi bahan galian pasir di wilayah Barat atau mendatangkan pasir dari luar wilayah Sebatik. Sementara kesepakatan ketiga, Distamben Nunukan dan instansi terkait diminta melakukan sosialisasi peraturan tentang pertambangan pasir.
Sumber: Tribun Kaltim - Senin, 2 Juli 2012 18:26 WITA
Besok DPRD Nunukan Tinjau Lokasi Penambangan Pasir
NUNUKAN, DPRD Nunukan Selasa (2/7/2012) besok
akan meninjau lokasi penambangan pasir di Pulau Sebatik. Demikian salah
satu kesimpulan rapat dengar pendapat (RDP) yang melibatkan Pemkab
Nunukan dan para penambang pasir di pesisir Pulau Sebatik.
Kesimpulan lainnya, tim yang terdiri dari Pemkab Nunukan, DPRD dan masyarakat akan meninjau lokasi tempat penambangan masyarakat dan lokasi persiapan lahan yang bisa ditambang.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Nunukan Ngatidjan Ahmadi didampingi Ketua Komisi I DPRD Nunukan Karel Sompoton, Sekretaris Kabupaten Nunukan Zainuddin HZ mengatakan, Pemkab nunukan akan mendalami seluruh masukan pada RDP dimaksud untuk dicarikan solusi yang tepat.
Ia mengatakan, memang perlu melihat secara bersama-sama potensi pasir seluas 7,4 hektare yang ada di Kecamatan Sebatik Barat.
"Kalau dimungkinkan kenapa tidak? Nanti dinas terkait melakukan kajian teknis, bisa tidak ini? Kalau bisa, tinggal bagaimana si pemilik lahan ini? Kalau kita berjiwa besar, kita sama-sama membangun. Sekarang jangan dikira gunung tidak bernilai," ujarnya.
Ia mengatakan, untuk pembangunan di Pulau Sebatik pasir bisa saja didatangkan dari luar Pulau Sebatik seperti batu yang selama ini didatangkan dari luar.
"Tadi saya dengar ada rumah hilang, kuburan hilang, ini kan karena ombak selalu memukul. Mari kita buka hati, bagaimana nanti Sebatik kalau ini terus terjadi. Sekarang kita sama-sama mencari solusinya. Kalau pemerintah ini kita memfasilitasi. Instansi terknis saya demam akan aturan. Bagaimana kita supaya kita aman, kita cari kesejukan, bagaimana Nunukan ini kita cari kedamaian dan kesejukan," ujarnya.
Darmin mewakili Aliansi Pro Pembangunan Sebatik mengatakan, tawaran pemerintah untuk mendatangkan pasir dari luar Nunukan atau memanfaatkan potensi pasir yang ada di daratan Pulau Sebatik, hanyalah solusi di atas meja tanpa melihat kondisi di lapangan. Apa yang disampaikan ternyata tidak disertai penelitian. Dari informasi yang ia peroleh, lokasi seluas 7,4 hektare itu berada di kawasan hutan lindung.
Kesimpulan lainnya, tim yang terdiri dari Pemkab Nunukan, DPRD dan masyarakat akan meninjau lokasi tempat penambangan masyarakat dan lokasi persiapan lahan yang bisa ditambang.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPRD Nunukan Ngatidjan Ahmadi didampingi Ketua Komisi I DPRD Nunukan Karel Sompoton, Sekretaris Kabupaten Nunukan Zainuddin HZ mengatakan, Pemkab nunukan akan mendalami seluruh masukan pada RDP dimaksud untuk dicarikan solusi yang tepat.
Ia mengatakan, memang perlu melihat secara bersama-sama potensi pasir seluas 7,4 hektare yang ada di Kecamatan Sebatik Barat.
"Kalau dimungkinkan kenapa tidak? Nanti dinas terkait melakukan kajian teknis, bisa tidak ini? Kalau bisa, tinggal bagaimana si pemilik lahan ini? Kalau kita berjiwa besar, kita sama-sama membangun. Sekarang jangan dikira gunung tidak bernilai," ujarnya.
Ia mengatakan, untuk pembangunan di Pulau Sebatik pasir bisa saja didatangkan dari luar Pulau Sebatik seperti batu yang selama ini didatangkan dari luar.
"Tadi saya dengar ada rumah hilang, kuburan hilang, ini kan karena ombak selalu memukul. Mari kita buka hati, bagaimana nanti Sebatik kalau ini terus terjadi. Sekarang kita sama-sama mencari solusinya. Kalau pemerintah ini kita memfasilitasi. Instansi terknis saya demam akan aturan. Bagaimana kita supaya kita aman, kita cari kesejukan, bagaimana Nunukan ini kita cari kedamaian dan kesejukan," ujarnya.
Darmin mewakili Aliansi Pro Pembangunan Sebatik mengatakan, tawaran pemerintah untuk mendatangkan pasir dari luar Nunukan atau memanfaatkan potensi pasir yang ada di daratan Pulau Sebatik, hanyalah solusi di atas meja tanpa melihat kondisi di lapangan. Apa yang disampaikan ternyata tidak disertai penelitian. Dari informasi yang ia peroleh, lokasi seluas 7,4 hektare itu berada di kawasan hutan lindung.
Sumber: Tribun Kaltim - Senin, 2 Juli 2012 18:46 WITA
Pesisir Sebatik Berbahaya untuk Ditambang
NUNUKAN - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Kaltim Isal Wardhana menilai,
penambangan pasir di pesisir Pulau Sebatik dapat membahayakan keberlangsungan
pulau yang terbagi antara Republik Indonesia dan Malaysia itu. Apalagi jika
penambangan pasir dilakukan secara tidak terkontrol.
Ia tak sependapat dengan pernyataan anggota DPRD Nunukan Haji Mustarich yang menilai penambangan pasir di pesisir Pulau Sebatik tidak merusak lingkungan.
Pada rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar di DPRD Nunukan, Senin
(2/7/2012), politisi Partai Amanat Nasional ini mengatakan, jika pasir diambil akan
ada ombak besar yang
menutupi pasir yang telah diambil. Sehingga menurutnya, penambangan tidak
merusak lingkungan.
“Kalau dibilang tidak merusak, harus dilihat dulu. Namanya penambangan
akan ada efeknya. Tidak bisa juga kalau dibilang penambangan tidak merusak
lingkungan. Tambang sekecil apapun akan memberikan dampak kerusakan lingkungan.
Tinggal kita mengukur dampaknya sejauh mana? Apakah dampak itu bisa diminimalisir?”
kata Isal yang dihubungi melalui telepon selulernya.
Isal menilai, dampak penambangan di pesisir pantai itu
menyebabkan terjadinya abrasi. Selain itu akan mengubah bentang laut dan ini
tentunya akan berdampak pada nelayan tradisional yang mencari ikan di sekitar
pesisir pantai. Dengan adanya penambangan itu, habitat laut akan terganggu
sehingga terjadi kelangkaan ikan di pesisir.
Ia tak menampik, ada sejumlah daerah di Indonesia yang
memberikan izin penambangan pasir. Misalnya saja di Jogjakarta, diperbolehkan
menambang pasir di sungai sekitar Gunung Merapi. Hal itu boleh dilakukan karena
jumlah pasir dari gunung yang masuk ke sungai kapasitasnya sudah overload.
“Kalau itu memang harus ditambang. Dengan kapasitas pasir yang bertambah
dari gunung, pasir di sungai harus ditambang untuk merehabilitasi sungai yang
sudah overload kandungan pasirnya,”
ujarnya.
Kasus ini tentunya berbeda dengan penambangan pasir di pesisir Pulau
Sebatik. Sebagai sebuah pulau, saat dilakukan penambangan tidak akan ada
intensitas kenaikan jumlah pasir di kawasan yang sudah ditambang.
“Dia kan pulau. Kalau sudah terambil pasirnya, kapasitasnya tidak
bertambah. Kalau tadi di Gunung Merapi, pasirnya bertambah dari gunung,”
ujarnya.
Soal banyaknya penambang pasir yang sudah sejak lama menggantungkan
hidup dari aktivitas penambangan dimaksud, Isal mengatakan dalam jangka pendek bisa
saja tetap dilakukan penambangan asal terkendali.
Pemkab Nunukan perlu memberikan bimbingan dengan mengendalikan batasan kawasan yang bisa ditambang dan kawasan yang tidak bisa ditambang. Jumlah pasir yang ditambang juga harus dikendalikan. Tentunya selama masa pembinaan ini, pengambilan pasir tetap mengacu pada upaya kelola lingkungan dan upaya pengelolaan lingkungan (UKL-UPL).
Pemkab Nunukan perlu memberikan bimbingan dengan mengendalikan batasan kawasan yang bisa ditambang dan kawasan yang tidak bisa ditambang. Jumlah pasir yang ditambang juga harus dikendalikan. Tentunya selama masa pembinaan ini, pengambilan pasir tetap mengacu pada upaya kelola lingkungan dan upaya pengelolaan lingkungan (UKL-UPL).
“Pemerintah perlu menjelaskan, untuk melakukan penambangan tentu ada
mekanisme yang harus dipatuhi. Ini kan sama juga dengan batu gunung, termasuk
galian C,” katanya.
Perlu pula diperhatikan, kawasan Pulau Sebatik termasuk pulau kecil yang
pengelolaan pulau dan pesisirnya diatur dengan undang-undang khusus.
“Aturan memang tidak saklak. Kalau itu adalah sumber mata pencaharian
masyarakat, maka yang perlu dilakukan pemerintah membina mereka. Artinya
pembinaan dalam bentuk misalkan, masyarakat dicarikan jalan keluar supaya bisa mencari
sumber penghasilan yang yang lain. Tetapi ini dalam jangka panjangnya,”
ujarnya.
Sumber: Tribun Kaltim - Selasa, 3 Juli 2012 17:16 WITA
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar