KORUPSI
SEBAGAI STRATEGI BISNIS KORPORASI BESAR
DI
INDONESIA
Oleh George Junus
Aditjondro
(konsultan Yayasan
Tanah Merdeka, Palu;
Anggota Dewan
Penasehat CeDSoS, Jakarta)
Pengantar
Adakah kaitan antara bisnis dan korupsi? Pertanyaan ini kedengarannya seperti sebuah lelucon saja. Sama seperti pertanyaan: adakah kaitan antara dokter dan stetoskop? Atau: adakah kaitan antara dokter dan penyakit? Praktek bisnis, terutama praktek bisnis korporasi besar, sarat dengan siasat-siasat bisnis yang dapat digolongkan sebagai korupsi. Dalam makalah ini, terlebih dahulu penulis akan menyajikan pengertian korupsi menurut Syed Hussein Alatas dan William J. Chambliss, sebagai kerangka teoretis untuk menyoroti praktek-praktek korupsi korporasi besar di Indonesia. Selanjutnya, penulis akan menyajikan enam bidang kegiatan korporasi-korporasi besar yang bergelimang dengan praktek korupsi.
Apa Itu Korupsi?
Syed Hussein Alatas (1968) dan William J. Chambliss (1973) adalah dua orang sosiolog yang mempelajari fenomena korupsi dalam dua sistem ekonomi yang berbeda. Alatas mempelajari korupsi di Asia Tenggara selama dasawarsa 1950-an, 1960-an dan 1970-an, di mana kolonialisme mengukuhkan praktek-praktek korupsi yang sudah mengakar sejak zaman feodal. Sedangkan Chambliss mempelajari korupsi di Amerika Serikat, khususnya di Seattle, ibukota negara bagian Washington, dari tahun 1962 s/d 1969. Temuannya tentang ‘cabal’ (jejaring korupsi) yang menjelujuri kota-kota besar di sana meruntuhkan pandangan umum bahwa korupsi lebih merupakan gejala negara-negara berkembang, yang belum mengenal sistem politik demokratis yang sarat dengan checks and balances yang dianggap dapat meniadakan peluang-peluang korupsi.
Secara ringkas, tindakan korupsi menurut Alatas mengandung unsur-unsur pokok sebagai berikut: (a). subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan atau keuntungan pribadi; (b). unsur kerahasiaan; dan (c). pelanggaran terhadap norma-norma umum. Sedangkan jenis-jenis korupsi menurut Alatas, terdiri dari suap (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (lihat Aditjondro 2004: 7). Dalam wacana korupsi di Indonesia dan di luar negeri, istilah nepotisme hanya digunakan apabila dalam tindakan korupsi itu hanya sanak saudara atau kerabat yang dilibatkan. Sementara kalau yang dilibatkan itu adalah kawan atau orang dekat yang tidak punya hubungan darah dengan sang pejabat, istilah “kroni-isme” atau “konco-isme” yang digunakan.
Chambliss, sementara itu, membongkar anggapan bahwa birokrasi dan kejahatan terorganisir (organized crime), bukanlah dua bagian yang terpisah. Ia melihat korupsi sebagai kegiatan dari suatu jejaring (cabal, atau ‘sindikat’), yang melibatkan sekurang-kurangnya empat unsur, yakni birokrat (yang mengeluarkan izin), pengusaha, politisi (yang memperjuangkan kepentingan pengusaha di dalam dan di luar parlemen), dan aparat penegak hukum (yang dapat menentukan perbuatan pengusaha merupakan tindakan kejahatan atau tidak). Seperti yang telah penulis rangkum di tempat lain:
“Kepentingan ekonomi para anggota cabal itu diproteksi lewat sogokan maupun tekanan fisik, terhadap usaha oposisi dari anggota masyarakat yang dikuasai oleh cabal itu. Bentuk tekanan fisik waktu itu adalah pembunuhan dengan menenggelamkan orang-orang yang berani membangkang terhadap kemauan sindikat pemimpin cabal itu. Pelanggaran HAM itu kemudian ditutup-tutupi dengan bantuan statistik kematian penduduk kota itu, di mana kasus-kasus itu sekedar dilaporkan sebagai ‘kecelakaan’, bukan ‘kejahatan’ (kriminalitas).
Sedangkan bentuk sogokan untuk membungkam pengusaha yang keberatan membayar upeti kepada sindikat cabal itu, ada yang berbentuk menyodorkan pekerja seks komersial kepada mereka. Selain itu, cabal inipun rela ‘mengorbankan’ beberapa birokrat kelas teri untuk ditangkap, diadili, dan dipenjara, seperti ketika Jaksa Agung Robert F. Kennedy berusaha membongkar belenggu cabal itu. Ketika sejumlah birokrat ini dipenjara, kesejahteraan keluarga mereka tetap dijamin oleh pimpinan cabal yang pada akhirnya tetap tak tersentuh tangan hukum [pemerintah] Federal.” (lihat Aditjondro 2004: 8-9).
Dengan demikian, tidak cukup buat kita untuk mempelajari tindakan-tindakan korupsi seperti sogokan, pemerasan, dan pengangkatan kerabat seorang pejabat di lingkungan pemerintahan, atau pemberian fasilitas bisnis kepada perusahaan milik kerabat dari seorang pejabat, tapi perlu juga kita amati keseluruhan jejaring korupsi (cabal) di mana terjadi interaksi yang mesra antara pejabat, pengusaha, dan aparat penegak hukum. Hubungan-hubungan di antara anggota-anggota jejaring korupsi itulah yang biasa disebut “kolusi” di Indonesia. Dari situlah timbul singkatan “KKN” (korupsi-kolusi-nepotisme), yang dari sudut sosiologi korupsi, sebenarnya semuanya sudah tercakup dalam istilah korupsi. Makanya, dalam makalah ini hanya istilah “korupsi” yang digunakan, dalam pengertian yang sudah mencakup “kolusi” dan “nepotisme”.
Enam Bidang Kegiatan Korporasi yang Sarat Korupsi
Setiap jenis bidang usaha selalu digayuti oleh sejumlah faktor ketidakpastian (uncertainties). Misalnya, ketidakpastian pemasokan bahan baku, ketidakpastian kecukupan tenaga kerja, serta ketidakpastian permintaan akan produk yang dihasilkan (ketidakpastian pasar). Itu sebabnya, suatu strategi bisnis yang lazim di dunia bisnis adalah mengurangi satu atau lebih faktor ketidakpastian itu. Bahkan kalau bisa, mengurangi semua faktor ketidakpastian itu. Manajer atau CEO (chief executive officer) yang baik adalah yang dapat mengurangi satu atau lebih faktor ketidakpastian itu.
Dari pengamatan terhadap sejumlah praktek bisnis di Indonesia, ada enam bidang kegiatan korporasi di mana faktor-faktor ketidakpastian itu berusaha ditekan dengan cara-cara yang sarat korupsi. Keenam bidang itu adalah (a). pengadaan dan penguasaan tenaga kerja, baik tenaga kerja dari dalam maupun dari luar negeri; (b). pengadaan dan penguasaan bahan baku, khususnya untuk industri ekstraktif yang mengandalkan sumber daya alam dari daerah tertentu (misalnya dalam industri pertambangan, kehutanan, dan perikanan) serta industri yang mengganti tanaman lokal milik rakyat setempat dengan monokultur tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI); (c). pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat, misalnya tenaga air dan batubara; (d). penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan oligopolistik; (e). pengadaan sumber-sumber keuangan serta pengamanan keuntungan.
Keenam bidang usaha itu didukung oleh satu bidang yang berkaitan dengan kelima bidang tadi, yakni (f). pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase kegiatan, mulai dari pengadaan izin untuk berusaha di sektor yang diminati korporasi-korporasi besar tersebut.
Marilah kita lihat sekarang berbagai contoh dari keenam bidang kegiatan itu.
Ad a + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan tenaga kerja:
Mantan Menteri Transmigrasi Martono didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti Djaya, guna mengamankan transmigrasi tenaga kerja dari NTB untuk menjalankan kilang kayu lapis perusahaan itu di Pulau Seram, Maluku.
Mantan Dirjen Imigrasi Sinuraya didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti Djaya, untuk mengamankan impor tenaga kerja asing (dari Taiwan) dalam pengelolaan anak-anak perusahaan Djajanti Djaya di Maluku dan di Gresik, Jawa Timur.
Perusahaan pengelola asuransi tengara kerja milik anak Menteri Tenaga Kerja, Jakob Nuwa Wea, dilibatkan dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah, untuk mempermulus urusan dengan Departemen Tenaga Kerja.
Ad b + f: Korupsi dalam pengadaan dan pengamanan bahan baku:
Mantan Gubernur Papua Barat, Izaac Hindom, didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Artika Optima Inti, anak perusahaan PT Djayanti Djaya, yang memiliki daerah konsesi hutan di Papua Barat, guna mengamankan bahan baku bagi kilang kayu lapis PT Djayanti Djaya di Pulau Seram, Maluku.
Mantan Gubernur Sulawesi Tengah, Abdul Azis Lamadjido, didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Hardaya Inti Plantation, guna pengamanan pengadaan lahan bagi perkebunan kelapa sawit anak perusahaan CCM (Cipta Cakra Murdaya) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (lihat Aditjondro 2004a: 54).
Ronny Narpatisuta Hendropriyono, anak Kepala BIN (Badan Intelligence Negara), Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono, didudukkan dalam Dewan Komisaris perusahaan di atas, untuk mengamankan perkebunan itu dari gejolak buruh dan oposisi petani desa-desa setempat (lihat Aditjondro 2004a: 53).
Pimpinan intelligence yang lain ada di daerah, ada juga yang jadi patron bagi pengusaha nasional yang berkiprah di daerahnya. Kepala BIN Daerah Sulawesi Utara dan Gorontalo, Brigjen (Pol) Wenny Warouw, sering mengaku-aku menjadi anak angkat Nyonya Melly Pirieh, yang lebih dikenal sebagai Ny. Melly Eka Tjipta Widjaja. Pengusaha kelahiran Poso tahun 1931 itu memang salah seorang istri tokoh pengusaha nasional, Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjong), pemimpin kelompok Sinar Mas. Bersama ketujuh orang anaknya, Nyonya Melly mengembangkan konglomeratnya sendiri, yakni kelompok Duta Dharma Bhakti. Perusahaannya tersebar dari Riau sampai ke Sulawesi Utara, tempat beroperasi HPH PT Wenang Sakti (PDBI 1997, Vol. III, hal. A-1603 – A-1607).
Selain tokoh-tokoh nasional seperti Hendropriyono, berbagai industri ekstraktif seperti pertambangan, perkayuan dan kelapa sawit sering melibatkan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah itu, untuk meredam kemungkinan oposisi dari rakyat setempat. Salah satu contohnya adalah kelompok industri perkayuan di Kalimantan Tengah mendudukkan Winfred Tungken, seorang bankir asal Kalteng, dalam dewan komisarisnya.
Di Kalimantan Barat (Kalbar), Higang Liah, Wakil Bupati Kapuas Hulu yang masih keponakan mantan Gubernur Kalbar, alm. Oevang Oeray, masuk dalam industri perkayuan di daerah itu, bersama mantan Bupati Kapuas Hulu, Yakobus Frans Layang, seorang ningrat Dayak yang berdarah campuran suku Tamambaloh dan Iban. Perusahaan mereka berstatus PMDN lokal, berbentuk aliansi koperasi-koperasi masyarakat adat.
Memang dari sudut membangun potensi ekonomi lokal, prakarsa ini baik sekali. Namun dari sudut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah ada persoalan, sebab Pasal 48 Undang-Undang itu melarang Kepala Daerah untuk terjun secara langsung dalam bidang bisnis (lihat Aditjondro 2004: xxiv-xxv). Tentu saja hal itu juga berlaku bagi Wakil Bupati, yang dalam banyak hal harus siap menjalankan tugas-tugas Bupati apabila atasan langsungnya itu berhalangan.
Secara nasional, pembentukan Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia (APKINDO) yang dipimpin oleh Bob Hasan, dapat dilihat sebagai usaha mengamankan bahan baku bagi kilang-kilang kayu lapis milik Bob Hasan serta kerabat dan kroni Soeharto yang lain (lihat Ekloef 1999: 125, 145-6).
Ad c + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat:
Pelibatan Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dalam PT Energi Sengkang dapat dilihat sebagai langkah pengamanan sumber tenaga listrik bagi PT INCO, tambang nikel bermodal Kanada, yang beroperasi di daerah Soroako dan sekitarnya, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Di Sulawesi Tengah, di masa pemerintahan Gubernur Azis Lamadjido, seorang anak sang gubernur menjabat sebagai Walikota Palu, seorang anak lagi menjabat sebagai Kepala PLN Sulawesi Tengah, dan seorang lagi menjabat sebagai ketua GAPENSI Sulawesi Tengah. Itu sebabnya kegigihan sang Gubernur untuk mendukung rencana pembangunan seubah PLTA dengan membendung Danau Lindu di Kabupaten Donggala, dapat dilihat sebagai usaha melindungi kepentingan anak-anaknya untuk mengamankan pemasokan tenaga listrik bagi perusahaan-perusahaan yang dekat dengan sang Gubernur.
Baru-baru ini, sebelum dilantik menjadi Wakil Presiden, melalui salah satu perusahaan miliknya, PT Bukaka Teknik Utama, Jusuf Kalla menyumbang Rp 100 juta untuk penyelenggaraan Sidang Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Tentena, Poso, 12 s/d 20 Oktober yang lalu. Mengingat bahwa keluarga Kalla jelas-jelas bukan anggota jemaat GKST, maka ‘sumbangan’ itu, dapat dilihat sebagai usaha mengambil hati warga jemaat GKST yang bermukim sepanjang Sungai Poso yang akan disadap energinya untuk membangun PLTA Solewana yang berkekuatan 3 x 200 MW, yang mau tidak mau akan punya dampak sosial yang tidak kecil. Nah, mengingat bahwa ada perusahaan-perusahaan lain milik keluarga Kalla yang terlibat dalam pembangunan Jalan Trans Sulawesi yang melintasi Kabupaten Poso, seperti PT Bumi Karsa dan PT Bumi Sarana Utama, ‘sumbangan’ kepada GKST itu dapat dilihat sebagai langkah pengamanan sumber energi bagi kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Kalla di Sulawesi Tengah.
Ad d + f: Korupsi dalam penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan oligopolistik:
Pengendalian harga beras dan pengaturan impor beras oleh badan yang sama, yakni BULOG, menguntungkan PT Bogasari serta PT Indofood yang sama-sama dimiliki oleh keluarga Soeharto dan kelompok Salim, untuk menciptakan pergeseran menu rakyat Indonesia ke mi instan (lihat Aditjondro 2002: 11). Seperti ditulis oleh Mad Ridwan dan Guntoro Soewarno (2002: 18):
“Akibat penguasaan hulu ke hilir yang mayoritas oleh Grup Salim, rakyat Indonesia dirugikan aksesnya terhadap terigu dan seluruh produk turunannya. Kerugian ini muncul dalam bentuk menurunnya kesejahteraan sosial yang diakibatkan pengendalian harga terigu dan produk turunannya yang semena-mena oleh perusahaan-perusahaan Grup Salim”.
APKINDO yang telah disinggung di atas, juga berfungsi menciptakan pasar yang oligopsonik bagi kilang-kilang kayu lapis yang dikuasai oleh Bob Hasan serta sejumlah kerabat dan kroni Soeharto yang lain (lihat Aditjondro 2002: 23).
Di samping itu, untuk mempermulus masuknya mobil Kia ke pasaran, bersaing dengan mobil-mobil lain, kelompok Artha Graha pimpinan Tomy Winata mengangkat Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, sebagai presiden komisaris PT Kia Mobil Indonesia (KMI), yang mendapat lisensi untuk mengimpor dan menjual 12 jenis sedan buatan Kia Motors Corporation di Korea Selatan. Seorang anak Hendropriyono, Ronny Narpatisuta, yang juga menjadi komisaris perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations di Sulawesi Tengah, menjadi salah seorang direktur perusahaan itu (lihat Aditjondro 2004a: 55). Lewat hubungan yang dekat antara Hendropriyono dan Kapolri Da’i Bachtiar, juga antara Tomy Winata dan suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, mobil Kia hasil impor PT KMI itu dihibahkan ke polisi di banyak tempat. Berkat patroli polisi ke pelosok-pelosok daerah di mana mereka bertugas, mobil Kia dipromosikan atas biaya rakyat ke berbagai pelosok tanah air.
Perang, atau konflik bersenjata, juga merupakan siasat untuk melariskan produk pabrik senjata dan amunisi. Hal itu dapat dilihat dari populernya senjata dan peluru buatan PT Pindad, pabrik senjata milik TNI/AD, di tiga daerah konflik, yakni Aceh, Ambon dan Poso. Senapan api yang banyak dipakai oleh pihak-pihak yang bertempur adalah SS (Senapan Serbu) 1 buatan Pindad, sedangkan peluru yang tersebar paling merata di tiga daerah konflik itu adalah kaliber 5,56 mm. Selain itu masih ada lagi sejumlah senapan dan pistol serta peluru kaliber lain buatan Pindad (lihat Aditjondro 2004b: 168-76, 2004c: 138-40).
Dalam kasus konflik Poso, selain melalui jalur gelap, ditengarai ada seorang pengusaha keturunan Arab asal Poso, Hasan Nazer (56), yang diduga ikut berperan melariskan produk-produk Pindad di kabupaten yang dulu dikenal sebagai penghasil kayu hitam itu. Setelah hijrah ke Jakarta, Hasan dan seorang abangnya, Ali Umar, mula-mula membuka bisnis pengiriman TKW ke Arab Saudi dengan nama Amri Brothers. Sesudah bergelimang uang dari bisnis TKWnya, Hasan membuka bisnis pengecoran besi dan baja, PT Metinca Prima Industrial Work, yang punya satu pabrik di Tambun (Bekasi) dan satu lagi di Cakung.
Entah bagaimana caranya, satu saat PT Metinca Prima Industrial Work mulai jadi pemasok tiga komponen penting dari senjata SS-1, yakni pelatuk, hammer dan vicier. Menurut seorang narasumber, Hasan bisa mendapat order berkelanjutan dari Pindad itu karena hubungannya yang dekat dengan BJ Habibie, yang diperkenalkan kepadanya oleh Jendral Faizal Tanjung. Dalam wawancaranya dengan penulis, akhir Oktober 2003, Hasan menyangkal bahwa ia mengenal BJ Habibie secara pribadi. Order Pindad yang memerlukan tingkat presisi yang sangat tinggi itu baginya hanya pemancing order-order lain dari perusahaan-perusahaan di Eropa (lihat Aditjondro 2004c: 140).
Namun, jawaban itu sangat meragukan. Sebab kalau betul bahwa ia sudah menjadi rekanan Pindad sejak sebelum Soeharto lengser, maka saat itu Menristek BJ Habibie masih menjabat sebagai Kepala BPIS (Badan Pengendali Industri Strategis), yang juga membawahi Pindad. Selain itu, dalam beberapa percakapannya kemudian dengan penulis, Hasan juga membangga-banggakan hubungannya yang akrab dengan sejumlah jendral, yang katanya didasari oleh pertemuan mereka di gelanggang olahraga karate. Berarti, besar kemungkinan ia juga mengenal Jendral Faizal Tanjung. Akhirnya, sebagai pemasok tunggal tiga komponen SS-1 itu, Hasan tentunya tahu berapa ribu pucuk SS-1 yang diproduksi setiap tahun. Dengan informasi itu, ia juga dapat memperkirakan, apakah konflik di tiga daerah itu—Aceh, Ambon, dan di tanah kelahirannya sendiri, Poso—masih akan berkelanjutan, atau tidak. Paling tidak, ajang latihan karate dapat menjadi ajang pertukaran informasi tentang kondisi keamanan di tiga daerah itu.
Ad e + f: Korupsi dalam pengadaan sumber-sumber keuangan dan pengamanan keuntungan:
Winfrid Tungken, salah seorang direktur Bank Dagang Negara (BDN), bersedia ‘dibajak’ oleh pengusaha pemilik HPH di daerah asalnya, Kalimantan Tengah. Dengan demikian pengusaha itu mendapat dukungan dari seorang putra daerah, sekaligus akses ke dana kredit dari bank pemerintah yang pernah dipimpin oleh Tungken. Alih profesi dari bankir ke komisaris perusahaan-perusahaan yang tidak bergerak di bidang keuangan banyak juga dilakukan di era Orde Baru, demi mempermudah aliran dana publik ke perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Dari pendapatannya sebagai komisaris dan pelobi perusahaan HPH itu, Tungken berhasil membangun kekayaannya sendiri berupa sejumlah perusahaan penggergajian kayu, perkebunan, peternakan, pupuk, dan lain-lain. Namun kekayaan yang cukup besar itu tidak dapat mencegah merosotnya kesehatannya, setelah menikah kembali sepeninggal isteri pertamanya. Ia kini berbaring dalam keadaan koma di rumah sakit di Singapura.
Kasus paling mencolok di bidang ini adalah peranan Fuad Bawazier, dosen FE UI yang memperoleh gelar doktornya di AS, dalam pengadaan sumber-sumber keuangan bagi kerabat dan kroni Soeharto. Selama menjabat sebagai Dirjen Pajak dan kemudian Menteri Keuangan dalam kabinet Soeharto yang terakhir, sejumlah perusahaan milik keluarga Soeharto mendapat keringanan atau pembebasan pajak. Ia menjadi presiden komisaris PT Satelindo, perusahaan pengelola komunikasi satelit milik Bambang Trihatmojo, Tomy Winata dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi wakil bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang didirikan oleh Soeharto bulan Januari 1996, yang memungut pajak tambahan sebesar 2% dari setiap pembayar pajak di Indonesia, dan dalam tahun anggaran 1996-1997 berhasil mengumpulkan $ 270 juta. Sebagian dana itu diduga digunakan untuk membiayai kampanye Golkar dalam Pemilu 1997 (lihat Aditjondro 1998: 50; Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 75).
Namun, tindakan Fuad Bawazier yang paling menghebohkan, atas perintah Soeharto, adalah pembebasan bea masuk bagi 1500 unit sedan Kia yang disulap namanya oleh Tommy Soeharto menjadi “mobil Timor”. Sebelumnya, PT Timor Putra Nasional milik Tommy Soeharto telah mendapat pinjaman sebesar $ 690 juta dari empat bank pemerintah dan 12 bank swasta untuk membangun pabrik perakitan mobil Timornya. Fuad Bawazier juga berada di belakang Menteri Keuangan Bambang Soedibyo di era pemerintahan Gus Dur, ketika Menteri ini menghalang-halangi usaha Menteri BUMN Laksamana Sukardi membongkar hutang PT Texmaco sebesar Rp 17 triliun kepada bank-bank pemerintah (lihat Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 46, 66, 77, 335, 361, 420).
Dari bagian keuntungan yang telah diperolehnya, ia ditengarai ikut membiayai PAM Swakarsa yang diadu dengan para aktivis mahasiswa selama Sidang Umum MPR bulan November 1998, dan juga ditengarai ikut membiayai Laskar Jihad yang dikirim ke Maluku dan Poso, berkat hubungan baiknya dengan Pangab Jenderal Wiranto (lihat O’Rourke 2002: 292. 420).
Yang jelas, sambil menjabat sebagai wakil ketua MPR dalam era pemerintahan Gus Dur dan Megawati, bekas kroni Soeharto itu berhasil membangun perusahaan pialang saham (PT Widuri Securities), perusahaan perakitan motor Kanzen (PT Semesta Citra Motorindo), dan perusahaan portal internet www.detik.com bersama Rini Suwandi. Di luar bisnisnya bersama Menteri Pedagangannya Megawati itu ia memegang keagenan Kia jenis sedan mewah dan kendaraan militer, melalui Kia Commercial Vehicle Industry (lihat Aditjondro 2004: 51-53).
Semua kekayaan itu tidak membuyarkan ambisi Fuad untuk kembali memegang portofolio Menteri Keuangan dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, yang diperjuangkannya dengan meloboi sejumlah gereja Kristen di Indonesia. Apakah ia akan berhasil atau tidak, kita lihat saja tanggal 20 Oktober 2004.
Akhirnya, bagaimana kekayaan yang terakumulasi di dalam negeri itu dapat diamankan di luar negeri? Sejumlah kantor pengacara dan akuntan internasional di AS, Hong Kong, dan Negeri Belanda, serta sejumlah bank Belanda telah membantu keluarga Soeharto mengamankan uang haram hasil korupsi mereka ke tempat-tempat pencucian uang di Vanuatu dan Antillen Belanda. Di antara bank-bank internasional yang turut terlibat dalam pencucian uang keluarga Soeharto adalah Indover Bank NV, anak perusahaan Bank Indonesia di Belanda, tiga bank Belanda, yakni MeesPierson NV, ABN-AMRO dan ING Bank NV, sedangkan kantor-kantor akuntan internasional yang dimanfaatkan oleh Hashim Djojohadikusumo dan Tommy Soeharto untuk mengutuhkan hasil korupsi mereka adalah Ernst & Young serta PriceWaterhouseCoopers (lihat Aditjondro 2002: 20-27).
Ad f: Pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase kegiatan:
Dari berbagai contoh di atas dapat kita lihat, betapa besarnya keterlibatan pejabat publik—terutama eksekutif—dalam berbagai bidang kegiatan itu. Perlu diberi catatan khusus di sini bahwa tokoh-tokoh legislatif juga ikut berperan membela kepentingan perusahaan, di mana mereka mendapat saham kosong. Jakob Tobing misalnya, tercatat sebagai pemegang saham perkebunan kelapa sawit PT Laguna Mandiri, salah satu anggota kelompok Salim, di Kalimantan Selatan (lihat Aditjondro 2004a: 57). Sedangkan Theo Sambuaga, yang sempat dicalonkan oleh Koalisi Kebangsaan untuk menjadi Wakil Ketua MPR-RI, tapi gagal, juga aktif berbisnis. Ia tercatat sebagai direktur PT Mongondow Indah dengan HGU perkebunan coklat seluas 733 hektar di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Selain itu, ia juga tercatat sebagai salah seorang komisaris PT Texmaco Jaya, holding company kelompok Texmaco yang dari bidang tekstil berdiversifikasi ke engineering (lihat Aditjondro 2004a: 57).
Kita tahu bahwa kelompok Texmaco pimpinan Marimutu Sinivasan masih sedang bermasalah dengan pemerintah, khususnya dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), karena masih terbelit utang sebesar Rp 29 trilyun kepada sejumlah bank dalam dan luar negeri (Radar Sulteng, 18 Oktober 2004). Nah, seandainya Theo Sambuaga berhasil duduk di kursi pimpinan MPR-RI, apakah itu tidak memberikan kemungkinan padanya untuk melakukan lobbying ke pemerintah, untuk kepentingan Texmaco?
Saat ini pun, pimpinan badan-badan legislatif tertinggi di Indonesia ada bahaya “terbajak” oleh kepentingan bisnis salah satu keluarga terkaya di Indonesia dan satu keluarga terkaya di Sulawesi Selatan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru pertama kalinya hadir dalam arena politik Indonesia, kini diketuai oleh Ginanjar Kartasasmita, yang keluarga besarnya di lingkungan pengamat ekonomi politik Indonesia dianggap keluarga kapitalis-birokrat ketiga terkaya di Indonesia, setelah keluarga besar Soeharto dan Habibie.
Ginanjar adalah abang kandung dari Gunariyah Kartasasmita, salah seorang komisaris dalam PT Bukaka Teknik Utama milik keluarga M. Jusuf Kalla (lihat Aditjondro 2004a: 64-5). Padahal M. Jusuf Kalla kini adalah wakil presiden terpilih, sementara saudara iparnya, Aksa Mahmud, terpilih sebagai wakil ketua MPR dari kubu Koalisi Kerakyatan yang pro-SBY-MJK. Nah, dengan munculnya Ginanjar Kartasasmita, M. Jusuf Kalla, dan Aksa Mahmud ke pentas politik nasional di pucuk pimpinan eksekutif dan legislatif, maka besar kemungkinan bahwa puluhan perusahaan milik keluarga Kartasasmita, kelompok Haji Kalla, dan kelompok Bosowa akan mengalami masa keemasan, apabila peraturan-peraturan untuk mencegah konflik kepentingan tidak diterapkan di tahun-tahun mendatang.
Celakanya, budaya politik untuk menggandengkan ekspansi bisnis korporasi-korporasi besar berikut konglomeratnya dengan kedekatan pada penguasa, sudah lama berurat akar di bumi Nusantara. Budaya politik untuk menjadikan korupsi sistemik berwujud jejaring (cabal) sebagai strategi bisnis yang dianggap halal, bukan hanya berasal dari dalam negeri, tapi sudah lama juga diterapkan oleh korporasi-korporasi transnasional yang masuk ke Indonesia.
Masuknya maskapai tambang Texaco di Riau dan Freeport di Papua Barat, merupakan dua contoh masuknya korporasi transnasional melalui lingkaran kekuasaan politik ke Indonesia. Masuknya Texaco ke Riau, di mana perusahaan itu beroperasi di bawah nama Caltex, dibidani oleh Julius Tahiya, seorang pensiunan perwira TNI/AD, yang kemudian diangkat menjadi presiden direktur PT Caltex Pacific Indonesia yang pertama. Walaupun dekat dengan tokoh-tokoh PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo dan Soebadio Sastrosutomo, Tahiya juga mampu memposisikan dirinya dekat dengan Presiden Soekarno. Berkat kedekatannya dengan Soekarno itu, ladang-ladang minyak Caltex di Riau tidak diambil alih oleh pemerintah. Setelah kudeta 1965, Tahiya berganti loyalitas ke Jendral Soeharto (lihat Aditjondro 1999: 60; Leith 2003: 59).
Naiknya Soeharto ke tampuk pemerintahan segera disambut oleh pimpinan maskapai tambang Freeport. Kali ini, Julius Tahiya yang berfungsi sebagai penghubung ke rezim yang baru. Ia didampingi oleh Ali Budiardjo, mantan Sekjen Departemen Pertahanan di era 1950-an, yang kemudian diangkat menjadi presiden direktur PT Freeport Indonesia yang pertama. Seluruh proses itu terjadi di bawah bayang-bayang Foreign Intelligence Advisory Board yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden AS, Lyndon Johnson waktu itu (Leith 2003: 59-63).
Selain oleh korporasi-korporasi transnasional, budaya politik yang menghalalkan munculnya praktek bisnis yang korup juga disuburkan oleh Bank Dunia, selama era Soeharto. Sesudah jatuhnya Soeharto, Bank Dunia mengakui bahwa mereka menyadari bahwa 30 % lebih dari seluruh dana pembangunan yang mereka salurkan melalui pemerintah Indonesia dikorupsi oleh para pejabat pemerintah RI. Namun para petugas di kantor perwakilan Bank Dunia di Jakarta menghalalkan tingkat korupsi yang lebih dari 30% itu sebagai semacam “pajak” terhadap roda ekonomi Indonesia yang berputar cukup kencang. Baru setelah krisis moneter yang berkepanjangan, pada tahun 1999 sebuah laporan Bank Dunia tentang kinerja mereka di Indonesia menyalahkan staf mereka yang terlalu memikirkan karier mereka sendiri, atau terlalu takut menyinggung perasaan pemerintah Indonesia yang merupakan salah satu “klien” Bank Dunia yang terbaik. Makanya kata “korupsi” pun baru digunakan dalam laporan-laporan Bank Dunia tentang Indonesia, setelah tahun 1997 (Leith 2003: 33-4).
Kesimpulan
Sebagaimana halnya kesimpulan Chambliss, bahwa kejahatan terorganisir (organized crime) adalah bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi, dan korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekspansi bisnis korporasi-korporasi besar di Indonesia. Dengan kata lain, korupsi merupakan strategi bisnis korporasi-korporasi tersebut. Khususnya, korupsi sistemik berwujud jejaring (cabal), di mana ketiga jenis korupsi menurut Alatas, yakni sogokan, pemerasan, serta nepotisme/kroni-isme, hanya merupakan taktik-taktik operasionalnya.
George Junus Aditjondro, Konsultan Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Anggota Dewan Penasehat CeDSoS, Jakarta
Referensi:
Aditjondro, G.J. (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.
---------------(1999). Tangan-tangan Berlumuran Minyak: Politik Minyak di Balik Tragedi Timor Lorosae. Jakarta: SOLIDAMOR.
--------------- (2002). “Suharto has gone – but the regime has not changed.” Dalam Richard Holloway (peny.). Stealing From the People: 16 Studies on Corruption in Indonesia. Jakarta: Aksara Foundation, hal. 1-66.
-------------- (2004a). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Akitivis dan Wartawan. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP).
--------------(2004b). “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata, dan Proteksi Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur.” Wacana, INSIST, Yogyakarta, No. 17/Th. III, hal. 137-77.
------------- (2004c). “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya”. Dalam Stanley (peny.). Keamanan, Demokrasi dan Pemilu 2004. Jakarta: ProPatria, hal. 109-55.
Ekloef, Stefan (1999). Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998. Copenhagenm: NIAS (Nordic Institute of Asian Studies).
Leith, Denise (2003). The Politics of Power: Freeport ion Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.
O’Rourke, Kevin (2002). Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Jakarta: Pusat Data Business Indonesia (PDBI).
Ridwan, Mad & Guntoro Soewarno (2002). Buloggate: Abdurrahmangate, Akbargate, Megaskandal. Jakarta: Global Mahardika.
Makalah pernah disampaikan untuk Lokakarya “The Empowerment of Civil Society Organizations to Promote Corporate Social Responsibility in Indonesia” yang diselenggarakan oleh The Business Watch Indonesia dan NOVIB di Jakarta, 20-22 Oktober 2004.
Sumber : oaseonline.org
Sumber Foto : blogs.usyd.edu.au
Adakah kaitan antara bisnis dan korupsi? Pertanyaan ini kedengarannya seperti sebuah lelucon saja. Sama seperti pertanyaan: adakah kaitan antara dokter dan stetoskop? Atau: adakah kaitan antara dokter dan penyakit? Praktek bisnis, terutama praktek bisnis korporasi besar, sarat dengan siasat-siasat bisnis yang dapat digolongkan sebagai korupsi. Dalam makalah ini, terlebih dahulu penulis akan menyajikan pengertian korupsi menurut Syed Hussein Alatas dan William J. Chambliss, sebagai kerangka teoretis untuk menyoroti praktek-praktek korupsi korporasi besar di Indonesia. Selanjutnya, penulis akan menyajikan enam bidang kegiatan korporasi-korporasi besar yang bergelimang dengan praktek korupsi.
Apa Itu Korupsi?
Syed Hussein Alatas (1968) dan William J. Chambliss (1973) adalah dua orang sosiolog yang mempelajari fenomena korupsi dalam dua sistem ekonomi yang berbeda. Alatas mempelajari korupsi di Asia Tenggara selama dasawarsa 1950-an, 1960-an dan 1970-an, di mana kolonialisme mengukuhkan praktek-praktek korupsi yang sudah mengakar sejak zaman feodal. Sedangkan Chambliss mempelajari korupsi di Amerika Serikat, khususnya di Seattle, ibukota negara bagian Washington, dari tahun 1962 s/d 1969. Temuannya tentang ‘cabal’ (jejaring korupsi) yang menjelujuri kota-kota besar di sana meruntuhkan pandangan umum bahwa korupsi lebih merupakan gejala negara-negara berkembang, yang belum mengenal sistem politik demokratis yang sarat dengan checks and balances yang dianggap dapat meniadakan peluang-peluang korupsi.
Secara ringkas, tindakan korupsi menurut Alatas mengandung unsur-unsur pokok sebagai berikut: (a). subordinasi kepentingan umum di bawah kepentingan atau keuntungan pribadi; (b). unsur kerahasiaan; dan (c). pelanggaran terhadap norma-norma umum. Sedangkan jenis-jenis korupsi menurut Alatas, terdiri dari suap (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (lihat Aditjondro 2004: 7). Dalam wacana korupsi di Indonesia dan di luar negeri, istilah nepotisme hanya digunakan apabila dalam tindakan korupsi itu hanya sanak saudara atau kerabat yang dilibatkan. Sementara kalau yang dilibatkan itu adalah kawan atau orang dekat yang tidak punya hubungan darah dengan sang pejabat, istilah “kroni-isme” atau “konco-isme” yang digunakan.
Chambliss, sementara itu, membongkar anggapan bahwa birokrasi dan kejahatan terorganisir (organized crime), bukanlah dua bagian yang terpisah. Ia melihat korupsi sebagai kegiatan dari suatu jejaring (cabal, atau ‘sindikat’), yang melibatkan sekurang-kurangnya empat unsur, yakni birokrat (yang mengeluarkan izin), pengusaha, politisi (yang memperjuangkan kepentingan pengusaha di dalam dan di luar parlemen), dan aparat penegak hukum (yang dapat menentukan perbuatan pengusaha merupakan tindakan kejahatan atau tidak). Seperti yang telah penulis rangkum di tempat lain:
“Kepentingan ekonomi para anggota cabal itu diproteksi lewat sogokan maupun tekanan fisik, terhadap usaha oposisi dari anggota masyarakat yang dikuasai oleh cabal itu. Bentuk tekanan fisik waktu itu adalah pembunuhan dengan menenggelamkan orang-orang yang berani membangkang terhadap kemauan sindikat pemimpin cabal itu. Pelanggaran HAM itu kemudian ditutup-tutupi dengan bantuan statistik kematian penduduk kota itu, di mana kasus-kasus itu sekedar dilaporkan sebagai ‘kecelakaan’, bukan ‘kejahatan’ (kriminalitas).
Sedangkan bentuk sogokan untuk membungkam pengusaha yang keberatan membayar upeti kepada sindikat cabal itu, ada yang berbentuk menyodorkan pekerja seks komersial kepada mereka. Selain itu, cabal inipun rela ‘mengorbankan’ beberapa birokrat kelas teri untuk ditangkap, diadili, dan dipenjara, seperti ketika Jaksa Agung Robert F. Kennedy berusaha membongkar belenggu cabal itu. Ketika sejumlah birokrat ini dipenjara, kesejahteraan keluarga mereka tetap dijamin oleh pimpinan cabal yang pada akhirnya tetap tak tersentuh tangan hukum [pemerintah] Federal.” (lihat Aditjondro 2004: 8-9).
Dengan demikian, tidak cukup buat kita untuk mempelajari tindakan-tindakan korupsi seperti sogokan, pemerasan, dan pengangkatan kerabat seorang pejabat di lingkungan pemerintahan, atau pemberian fasilitas bisnis kepada perusahaan milik kerabat dari seorang pejabat, tapi perlu juga kita amati keseluruhan jejaring korupsi (cabal) di mana terjadi interaksi yang mesra antara pejabat, pengusaha, dan aparat penegak hukum. Hubungan-hubungan di antara anggota-anggota jejaring korupsi itulah yang biasa disebut “kolusi” di Indonesia. Dari situlah timbul singkatan “KKN” (korupsi-kolusi-nepotisme), yang dari sudut sosiologi korupsi, sebenarnya semuanya sudah tercakup dalam istilah korupsi. Makanya, dalam makalah ini hanya istilah “korupsi” yang digunakan, dalam pengertian yang sudah mencakup “kolusi” dan “nepotisme”.
Enam Bidang Kegiatan Korporasi yang Sarat Korupsi
Setiap jenis bidang usaha selalu digayuti oleh sejumlah faktor ketidakpastian (uncertainties). Misalnya, ketidakpastian pemasokan bahan baku, ketidakpastian kecukupan tenaga kerja, serta ketidakpastian permintaan akan produk yang dihasilkan (ketidakpastian pasar). Itu sebabnya, suatu strategi bisnis yang lazim di dunia bisnis adalah mengurangi satu atau lebih faktor ketidakpastian itu. Bahkan kalau bisa, mengurangi semua faktor ketidakpastian itu. Manajer atau CEO (chief executive officer) yang baik adalah yang dapat mengurangi satu atau lebih faktor ketidakpastian itu.
Dari pengamatan terhadap sejumlah praktek bisnis di Indonesia, ada enam bidang kegiatan korporasi di mana faktor-faktor ketidakpastian itu berusaha ditekan dengan cara-cara yang sarat korupsi. Keenam bidang itu adalah (a). pengadaan dan penguasaan tenaga kerja, baik tenaga kerja dari dalam maupun dari luar negeri; (b). pengadaan dan penguasaan bahan baku, khususnya untuk industri ekstraktif yang mengandalkan sumber daya alam dari daerah tertentu (misalnya dalam industri pertambangan, kehutanan, dan perikanan) serta industri yang mengganti tanaman lokal milik rakyat setempat dengan monokultur tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI); (c). pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat, misalnya tenaga air dan batubara; (d). penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan oligopolistik; (e). pengadaan sumber-sumber keuangan serta pengamanan keuntungan.
Keenam bidang usaha itu didukung oleh satu bidang yang berkaitan dengan kelima bidang tadi, yakni (f). pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase kegiatan, mulai dari pengadaan izin untuk berusaha di sektor yang diminati korporasi-korporasi besar tersebut.
Marilah kita lihat sekarang berbagai contoh dari keenam bidang kegiatan itu.
Ad a + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan tenaga kerja:
Mantan Menteri Transmigrasi Martono didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti Djaya, guna mengamankan transmigrasi tenaga kerja dari NTB untuk menjalankan kilang kayu lapis perusahaan itu di Pulau Seram, Maluku.
Mantan Dirjen Imigrasi Sinuraya didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Djajanti Djaya, untuk mengamankan impor tenaga kerja asing (dari Taiwan) dalam pengelolaan anak-anak perusahaan Djajanti Djaya di Maluku dan di Gresik, Jawa Timur.
Perusahaan pengelola asuransi tengara kerja milik anak Menteri Tenaga Kerja, Jakob Nuwa Wea, dilibatkan dalam pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah, untuk mempermulus urusan dengan Departemen Tenaga Kerja.
Ad b + f: Korupsi dalam pengadaan dan pengamanan bahan baku:
Mantan Gubernur Papua Barat, Izaac Hindom, didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Artika Optima Inti, anak perusahaan PT Djayanti Djaya, yang memiliki daerah konsesi hutan di Papua Barat, guna mengamankan bahan baku bagi kilang kayu lapis PT Djayanti Djaya di Pulau Seram, Maluku.
Mantan Gubernur Sulawesi Tengah, Abdul Azis Lamadjido, didudukkan dalam Dewan Komisaris PT Hardaya Inti Plantation, guna pengamanan pengadaan lahan bagi perkebunan kelapa sawit anak perusahaan CCM (Cipta Cakra Murdaya) di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah (lihat Aditjondro 2004a: 54).
Ronny Narpatisuta Hendropriyono, anak Kepala BIN (Badan Intelligence Negara), Jenderal (Purn.) A.M. Hendropriyono, didudukkan dalam Dewan Komisaris perusahaan di atas, untuk mengamankan perkebunan itu dari gejolak buruh dan oposisi petani desa-desa setempat (lihat Aditjondro 2004a: 53).
Pimpinan intelligence yang lain ada di daerah, ada juga yang jadi patron bagi pengusaha nasional yang berkiprah di daerahnya. Kepala BIN Daerah Sulawesi Utara dan Gorontalo, Brigjen (Pol) Wenny Warouw, sering mengaku-aku menjadi anak angkat Nyonya Melly Pirieh, yang lebih dikenal sebagai Ny. Melly Eka Tjipta Widjaja. Pengusaha kelahiran Poso tahun 1931 itu memang salah seorang istri tokoh pengusaha nasional, Eka Tjipta Widjaja (Oei Ek Tjong), pemimpin kelompok Sinar Mas. Bersama ketujuh orang anaknya, Nyonya Melly mengembangkan konglomeratnya sendiri, yakni kelompok Duta Dharma Bhakti. Perusahaannya tersebar dari Riau sampai ke Sulawesi Utara, tempat beroperasi HPH PT Wenang Sakti (PDBI 1997, Vol. III, hal. A-1603 – A-1607).
Selain tokoh-tokoh nasional seperti Hendropriyono, berbagai industri ekstraktif seperti pertambangan, perkayuan dan kelapa sawit sering melibatkan tokoh-tokoh yang berasal dari daerah itu, untuk meredam kemungkinan oposisi dari rakyat setempat. Salah satu contohnya adalah kelompok industri perkayuan di Kalimantan Tengah mendudukkan Winfred Tungken, seorang bankir asal Kalteng, dalam dewan komisarisnya.
Di Kalimantan Barat (Kalbar), Higang Liah, Wakil Bupati Kapuas Hulu yang masih keponakan mantan Gubernur Kalbar, alm. Oevang Oeray, masuk dalam industri perkayuan di daerah itu, bersama mantan Bupati Kapuas Hulu, Yakobus Frans Layang, seorang ningrat Dayak yang berdarah campuran suku Tamambaloh dan Iban. Perusahaan mereka berstatus PMDN lokal, berbentuk aliansi koperasi-koperasi masyarakat adat.
Memang dari sudut membangun potensi ekonomi lokal, prakarsa ini baik sekali. Namun dari sudut Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah ada persoalan, sebab Pasal 48 Undang-Undang itu melarang Kepala Daerah untuk terjun secara langsung dalam bidang bisnis (lihat Aditjondro 2004: xxiv-xxv). Tentu saja hal itu juga berlaku bagi Wakil Bupati, yang dalam banyak hal harus siap menjalankan tugas-tugas Bupati apabila atasan langsungnya itu berhalangan.
Secara nasional, pembentukan Asosiasi Pengusaha Kayu Lapis Indonesia (APKINDO) yang dipimpin oleh Bob Hasan, dapat dilihat sebagai usaha mengamankan bahan baku bagi kilang-kilang kayu lapis milik Bob Hasan serta kerabat dan kroni Soeharto yang lain (lihat Ekloef 1999: 125, 145-6).
Ad c + f: Korupsi dalam pengadaan dan penguasaan sumber energi setempat:
Pelibatan Ny. Siti Hardiyanti Rukmana dalam PT Energi Sengkang dapat dilihat sebagai langkah pengamanan sumber tenaga listrik bagi PT INCO, tambang nikel bermodal Kanada, yang beroperasi di daerah Soroako dan sekitarnya, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Di Sulawesi Tengah, di masa pemerintahan Gubernur Azis Lamadjido, seorang anak sang gubernur menjabat sebagai Walikota Palu, seorang anak lagi menjabat sebagai Kepala PLN Sulawesi Tengah, dan seorang lagi menjabat sebagai ketua GAPENSI Sulawesi Tengah. Itu sebabnya kegigihan sang Gubernur untuk mendukung rencana pembangunan seubah PLTA dengan membendung Danau Lindu di Kabupaten Donggala, dapat dilihat sebagai usaha melindungi kepentingan anak-anaknya untuk mengamankan pemasokan tenaga listrik bagi perusahaan-perusahaan yang dekat dengan sang Gubernur.
Baru-baru ini, sebelum dilantik menjadi Wakil Presiden, melalui salah satu perusahaan miliknya, PT Bukaka Teknik Utama, Jusuf Kalla menyumbang Rp 100 juta untuk penyelenggaraan Sidang Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) di Tentena, Poso, 12 s/d 20 Oktober yang lalu. Mengingat bahwa keluarga Kalla jelas-jelas bukan anggota jemaat GKST, maka ‘sumbangan’ itu, dapat dilihat sebagai usaha mengambil hati warga jemaat GKST yang bermukim sepanjang Sungai Poso yang akan disadap energinya untuk membangun PLTA Solewana yang berkekuatan 3 x 200 MW, yang mau tidak mau akan punya dampak sosial yang tidak kecil. Nah, mengingat bahwa ada perusahaan-perusahaan lain milik keluarga Kalla yang terlibat dalam pembangunan Jalan Trans Sulawesi yang melintasi Kabupaten Poso, seperti PT Bumi Karsa dan PT Bumi Sarana Utama, ‘sumbangan’ kepada GKST itu dapat dilihat sebagai langkah pengamanan sumber energi bagi kepentingan-kepentingan bisnis keluarga Kalla di Sulawesi Tengah.
Ad d + f: Korupsi dalam penciptaan dan penguasaan pasar yang bercorak monopolistik dan oligopolistik:
Pengendalian harga beras dan pengaturan impor beras oleh badan yang sama, yakni BULOG, menguntungkan PT Bogasari serta PT Indofood yang sama-sama dimiliki oleh keluarga Soeharto dan kelompok Salim, untuk menciptakan pergeseran menu rakyat Indonesia ke mi instan (lihat Aditjondro 2002: 11). Seperti ditulis oleh Mad Ridwan dan Guntoro Soewarno (2002: 18):
“Akibat penguasaan hulu ke hilir yang mayoritas oleh Grup Salim, rakyat Indonesia dirugikan aksesnya terhadap terigu dan seluruh produk turunannya. Kerugian ini muncul dalam bentuk menurunnya kesejahteraan sosial yang diakibatkan pengendalian harga terigu dan produk turunannya yang semena-mena oleh perusahaan-perusahaan Grup Salim”.
APKINDO yang telah disinggung di atas, juga berfungsi menciptakan pasar yang oligopsonik bagi kilang-kilang kayu lapis yang dikuasai oleh Bob Hasan serta sejumlah kerabat dan kroni Soeharto yang lain (lihat Aditjondro 2002: 23).
Di samping itu, untuk mempermulus masuknya mobil Kia ke pasaran, bersaing dengan mobil-mobil lain, kelompok Artha Graha pimpinan Tomy Winata mengangkat Kepala BIN, A.M. Hendropriyono, sebagai presiden komisaris PT Kia Mobil Indonesia (KMI), yang mendapat lisensi untuk mengimpor dan menjual 12 jenis sedan buatan Kia Motors Corporation di Korea Selatan. Seorang anak Hendropriyono, Ronny Narpatisuta, yang juga menjadi komisaris perkebunan kelapa sawit PT Hardaya Inti Plantations di Sulawesi Tengah, menjadi salah seorang direktur perusahaan itu (lihat Aditjondro 2004a: 55). Lewat hubungan yang dekat antara Hendropriyono dan Kapolri Da’i Bachtiar, juga antara Tomy Winata dan suami mantan Presiden Megawati Soekarnoputri, Taufiq Kiemas, mobil Kia hasil impor PT KMI itu dihibahkan ke polisi di banyak tempat. Berkat patroli polisi ke pelosok-pelosok daerah di mana mereka bertugas, mobil Kia dipromosikan atas biaya rakyat ke berbagai pelosok tanah air.
Perang, atau konflik bersenjata, juga merupakan siasat untuk melariskan produk pabrik senjata dan amunisi. Hal itu dapat dilihat dari populernya senjata dan peluru buatan PT Pindad, pabrik senjata milik TNI/AD, di tiga daerah konflik, yakni Aceh, Ambon dan Poso. Senapan api yang banyak dipakai oleh pihak-pihak yang bertempur adalah SS (Senapan Serbu) 1 buatan Pindad, sedangkan peluru yang tersebar paling merata di tiga daerah konflik itu adalah kaliber 5,56 mm. Selain itu masih ada lagi sejumlah senapan dan pistol serta peluru kaliber lain buatan Pindad (lihat Aditjondro 2004b: 168-76, 2004c: 138-40).
Dalam kasus konflik Poso, selain melalui jalur gelap, ditengarai ada seorang pengusaha keturunan Arab asal Poso, Hasan Nazer (56), yang diduga ikut berperan melariskan produk-produk Pindad di kabupaten yang dulu dikenal sebagai penghasil kayu hitam itu. Setelah hijrah ke Jakarta, Hasan dan seorang abangnya, Ali Umar, mula-mula membuka bisnis pengiriman TKW ke Arab Saudi dengan nama Amri Brothers. Sesudah bergelimang uang dari bisnis TKWnya, Hasan membuka bisnis pengecoran besi dan baja, PT Metinca Prima Industrial Work, yang punya satu pabrik di Tambun (Bekasi) dan satu lagi di Cakung.
Entah bagaimana caranya, satu saat PT Metinca Prima Industrial Work mulai jadi pemasok tiga komponen penting dari senjata SS-1, yakni pelatuk, hammer dan vicier. Menurut seorang narasumber, Hasan bisa mendapat order berkelanjutan dari Pindad itu karena hubungannya yang dekat dengan BJ Habibie, yang diperkenalkan kepadanya oleh Jendral Faizal Tanjung. Dalam wawancaranya dengan penulis, akhir Oktober 2003, Hasan menyangkal bahwa ia mengenal BJ Habibie secara pribadi. Order Pindad yang memerlukan tingkat presisi yang sangat tinggi itu baginya hanya pemancing order-order lain dari perusahaan-perusahaan di Eropa (lihat Aditjondro 2004c: 140).
Namun, jawaban itu sangat meragukan. Sebab kalau betul bahwa ia sudah menjadi rekanan Pindad sejak sebelum Soeharto lengser, maka saat itu Menristek BJ Habibie masih menjabat sebagai Kepala BPIS (Badan Pengendali Industri Strategis), yang juga membawahi Pindad. Selain itu, dalam beberapa percakapannya kemudian dengan penulis, Hasan juga membangga-banggakan hubungannya yang akrab dengan sejumlah jendral, yang katanya didasari oleh pertemuan mereka di gelanggang olahraga karate. Berarti, besar kemungkinan ia juga mengenal Jendral Faizal Tanjung. Akhirnya, sebagai pemasok tunggal tiga komponen SS-1 itu, Hasan tentunya tahu berapa ribu pucuk SS-1 yang diproduksi setiap tahun. Dengan informasi itu, ia juga dapat memperkirakan, apakah konflik di tiga daerah itu—Aceh, Ambon, dan di tanah kelahirannya sendiri, Poso—masih akan berkelanjutan, atau tidak. Paling tidak, ajang latihan karate dapat menjadi ajang pertukaran informasi tentang kondisi keamanan di tiga daerah itu.
Ad e + f: Korupsi dalam pengadaan sumber-sumber keuangan dan pengamanan keuntungan:
Winfrid Tungken, salah seorang direktur Bank Dagang Negara (BDN), bersedia ‘dibajak’ oleh pengusaha pemilik HPH di daerah asalnya, Kalimantan Tengah. Dengan demikian pengusaha itu mendapat dukungan dari seorang putra daerah, sekaligus akses ke dana kredit dari bank pemerintah yang pernah dipimpin oleh Tungken. Alih profesi dari bankir ke komisaris perusahaan-perusahaan yang tidak bergerak di bidang keuangan banyak juga dilakukan di era Orde Baru, demi mempermudah aliran dana publik ke perusahaan-perusahaan swasta tersebut. Dari pendapatannya sebagai komisaris dan pelobi perusahaan HPH itu, Tungken berhasil membangun kekayaannya sendiri berupa sejumlah perusahaan penggergajian kayu, perkebunan, peternakan, pupuk, dan lain-lain. Namun kekayaan yang cukup besar itu tidak dapat mencegah merosotnya kesehatannya, setelah menikah kembali sepeninggal isteri pertamanya. Ia kini berbaring dalam keadaan koma di rumah sakit di Singapura.
Kasus paling mencolok di bidang ini adalah peranan Fuad Bawazier, dosen FE UI yang memperoleh gelar doktornya di AS, dalam pengadaan sumber-sumber keuangan bagi kerabat dan kroni Soeharto. Selama menjabat sebagai Dirjen Pajak dan kemudian Menteri Keuangan dalam kabinet Soeharto yang terakhir, sejumlah perusahaan milik keluarga Soeharto mendapat keringanan atau pembebasan pajak. Ia menjadi presiden komisaris PT Satelindo, perusahaan pengelola komunikasi satelit milik Bambang Trihatmojo, Tomy Winata dan Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI/AD. Selain itu, ia juga dipercaya menjadi wakil bendahara Yayasan Dana Sejahtera Mandiri yang didirikan oleh Soeharto bulan Januari 1996, yang memungut pajak tambahan sebesar 2% dari setiap pembayar pajak di Indonesia, dan dalam tahun anggaran 1996-1997 berhasil mengumpulkan $ 270 juta. Sebagian dana itu diduga digunakan untuk membiayai kampanye Golkar dalam Pemilu 1997 (lihat Aditjondro 1998: 50; Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 75).
Namun, tindakan Fuad Bawazier yang paling menghebohkan, atas perintah Soeharto, adalah pembebasan bea masuk bagi 1500 unit sedan Kia yang disulap namanya oleh Tommy Soeharto menjadi “mobil Timor”. Sebelumnya, PT Timor Putra Nasional milik Tommy Soeharto telah mendapat pinjaman sebesar $ 690 juta dari empat bank pemerintah dan 12 bank swasta untuk membangun pabrik perakitan mobil Timornya. Fuad Bawazier juga berada di belakang Menteri Keuangan Bambang Soedibyo di era pemerintahan Gus Dur, ketika Menteri ini menghalang-halangi usaha Menteri BUMN Laksamana Sukardi membongkar hutang PT Texmaco sebesar Rp 17 triliun kepada bank-bank pemerintah (lihat Ekloef 1999: 156; O’Rourke 2002: 46, 66, 77, 335, 361, 420).
Dari bagian keuntungan yang telah diperolehnya, ia ditengarai ikut membiayai PAM Swakarsa yang diadu dengan para aktivis mahasiswa selama Sidang Umum MPR bulan November 1998, dan juga ditengarai ikut membiayai Laskar Jihad yang dikirim ke Maluku dan Poso, berkat hubungan baiknya dengan Pangab Jenderal Wiranto (lihat O’Rourke 2002: 292. 420).
Yang jelas, sambil menjabat sebagai wakil ketua MPR dalam era pemerintahan Gus Dur dan Megawati, bekas kroni Soeharto itu berhasil membangun perusahaan pialang saham (PT Widuri Securities), perusahaan perakitan motor Kanzen (PT Semesta Citra Motorindo), dan perusahaan portal internet www.detik.com bersama Rini Suwandi. Di luar bisnisnya bersama Menteri Pedagangannya Megawati itu ia memegang keagenan Kia jenis sedan mewah dan kendaraan militer, melalui Kia Commercial Vehicle Industry (lihat Aditjondro 2004: 51-53).
Semua kekayaan itu tidak membuyarkan ambisi Fuad untuk kembali memegang portofolio Menteri Keuangan dalam kabinet Susilo Bambang Yudhoyono, yang diperjuangkannya dengan meloboi sejumlah gereja Kristen di Indonesia. Apakah ia akan berhasil atau tidak, kita lihat saja tanggal 20 Oktober 2004.
Akhirnya, bagaimana kekayaan yang terakumulasi di dalam negeri itu dapat diamankan di luar negeri? Sejumlah kantor pengacara dan akuntan internasional di AS, Hong Kong, dan Negeri Belanda, serta sejumlah bank Belanda telah membantu keluarga Soeharto mengamankan uang haram hasil korupsi mereka ke tempat-tempat pencucian uang di Vanuatu dan Antillen Belanda. Di antara bank-bank internasional yang turut terlibat dalam pencucian uang keluarga Soeharto adalah Indover Bank NV, anak perusahaan Bank Indonesia di Belanda, tiga bank Belanda, yakni MeesPierson NV, ABN-AMRO dan ING Bank NV, sedangkan kantor-kantor akuntan internasional yang dimanfaatkan oleh Hashim Djojohadikusumo dan Tommy Soeharto untuk mengutuhkan hasil korupsi mereka adalah Ernst & Young serta PriceWaterhouseCoopers (lihat Aditjondro 2002: 20-27).
Ad f: Pelibatan pejabat publik atau keluarga mereka dalam berbagai bidang dan fase kegiatan:
Dari berbagai contoh di atas dapat kita lihat, betapa besarnya keterlibatan pejabat publik—terutama eksekutif—dalam berbagai bidang kegiatan itu. Perlu diberi catatan khusus di sini bahwa tokoh-tokoh legislatif juga ikut berperan membela kepentingan perusahaan, di mana mereka mendapat saham kosong. Jakob Tobing misalnya, tercatat sebagai pemegang saham perkebunan kelapa sawit PT Laguna Mandiri, salah satu anggota kelompok Salim, di Kalimantan Selatan (lihat Aditjondro 2004a: 57). Sedangkan Theo Sambuaga, yang sempat dicalonkan oleh Koalisi Kebangsaan untuk menjadi Wakil Ketua MPR-RI, tapi gagal, juga aktif berbisnis. Ia tercatat sebagai direktur PT Mongondow Indah dengan HGU perkebunan coklat seluas 733 hektar di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara. Selain itu, ia juga tercatat sebagai salah seorang komisaris PT Texmaco Jaya, holding company kelompok Texmaco yang dari bidang tekstil berdiversifikasi ke engineering (lihat Aditjondro 2004a: 57).
Kita tahu bahwa kelompok Texmaco pimpinan Marimutu Sinivasan masih sedang bermasalah dengan pemerintah, khususnya dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional), karena masih terbelit utang sebesar Rp 29 trilyun kepada sejumlah bank dalam dan luar negeri (Radar Sulteng, 18 Oktober 2004). Nah, seandainya Theo Sambuaga berhasil duduk di kursi pimpinan MPR-RI, apakah itu tidak memberikan kemungkinan padanya untuk melakukan lobbying ke pemerintah, untuk kepentingan Texmaco?
Saat ini pun, pimpinan badan-badan legislatif tertinggi di Indonesia ada bahaya “terbajak” oleh kepentingan bisnis salah satu keluarga terkaya di Indonesia dan satu keluarga terkaya di Sulawesi Selatan. Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang baru pertama kalinya hadir dalam arena politik Indonesia, kini diketuai oleh Ginanjar Kartasasmita, yang keluarga besarnya di lingkungan pengamat ekonomi politik Indonesia dianggap keluarga kapitalis-birokrat ketiga terkaya di Indonesia, setelah keluarga besar Soeharto dan Habibie.
Ginanjar adalah abang kandung dari Gunariyah Kartasasmita, salah seorang komisaris dalam PT Bukaka Teknik Utama milik keluarga M. Jusuf Kalla (lihat Aditjondro 2004a: 64-5). Padahal M. Jusuf Kalla kini adalah wakil presiden terpilih, sementara saudara iparnya, Aksa Mahmud, terpilih sebagai wakil ketua MPR dari kubu Koalisi Kerakyatan yang pro-SBY-MJK. Nah, dengan munculnya Ginanjar Kartasasmita, M. Jusuf Kalla, dan Aksa Mahmud ke pentas politik nasional di pucuk pimpinan eksekutif dan legislatif, maka besar kemungkinan bahwa puluhan perusahaan milik keluarga Kartasasmita, kelompok Haji Kalla, dan kelompok Bosowa akan mengalami masa keemasan, apabila peraturan-peraturan untuk mencegah konflik kepentingan tidak diterapkan di tahun-tahun mendatang.
Celakanya, budaya politik untuk menggandengkan ekspansi bisnis korporasi-korporasi besar berikut konglomeratnya dengan kedekatan pada penguasa, sudah lama berurat akar di bumi Nusantara. Budaya politik untuk menjadikan korupsi sistemik berwujud jejaring (cabal) sebagai strategi bisnis yang dianggap halal, bukan hanya berasal dari dalam negeri, tapi sudah lama juga diterapkan oleh korporasi-korporasi transnasional yang masuk ke Indonesia.
Masuknya maskapai tambang Texaco di Riau dan Freeport di Papua Barat, merupakan dua contoh masuknya korporasi transnasional melalui lingkaran kekuasaan politik ke Indonesia. Masuknya Texaco ke Riau, di mana perusahaan itu beroperasi di bawah nama Caltex, dibidani oleh Julius Tahiya, seorang pensiunan perwira TNI/AD, yang kemudian diangkat menjadi presiden direktur PT Caltex Pacific Indonesia yang pertama. Walaupun dekat dengan tokoh-tokoh PSI seperti Sumitro Djojohadikusumo dan Soebadio Sastrosutomo, Tahiya juga mampu memposisikan dirinya dekat dengan Presiden Soekarno. Berkat kedekatannya dengan Soekarno itu, ladang-ladang minyak Caltex di Riau tidak diambil alih oleh pemerintah. Setelah kudeta 1965, Tahiya berganti loyalitas ke Jendral Soeharto (lihat Aditjondro 1999: 60; Leith 2003: 59).
Naiknya Soeharto ke tampuk pemerintahan segera disambut oleh pimpinan maskapai tambang Freeport. Kali ini, Julius Tahiya yang berfungsi sebagai penghubung ke rezim yang baru. Ia didampingi oleh Ali Budiardjo, mantan Sekjen Departemen Pertahanan di era 1950-an, yang kemudian diangkat menjadi presiden direktur PT Freeport Indonesia yang pertama. Seluruh proses itu terjadi di bawah bayang-bayang Foreign Intelligence Advisory Board yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden AS, Lyndon Johnson waktu itu (Leith 2003: 59-63).
Selain oleh korporasi-korporasi transnasional, budaya politik yang menghalalkan munculnya praktek bisnis yang korup juga disuburkan oleh Bank Dunia, selama era Soeharto. Sesudah jatuhnya Soeharto, Bank Dunia mengakui bahwa mereka menyadari bahwa 30 % lebih dari seluruh dana pembangunan yang mereka salurkan melalui pemerintah Indonesia dikorupsi oleh para pejabat pemerintah RI. Namun para petugas di kantor perwakilan Bank Dunia di Jakarta menghalalkan tingkat korupsi yang lebih dari 30% itu sebagai semacam “pajak” terhadap roda ekonomi Indonesia yang berputar cukup kencang. Baru setelah krisis moneter yang berkepanjangan, pada tahun 1999 sebuah laporan Bank Dunia tentang kinerja mereka di Indonesia menyalahkan staf mereka yang terlalu memikirkan karier mereka sendiri, atau terlalu takut menyinggung perasaan pemerintah Indonesia yang merupakan salah satu “klien” Bank Dunia yang terbaik. Makanya kata “korupsi” pun baru digunakan dalam laporan-laporan Bank Dunia tentang Indonesia, setelah tahun 1997 (Leith 2003: 33-4).
Kesimpulan
Sebagaimana halnya kesimpulan Chambliss, bahwa kejahatan terorganisir (organized crime) adalah bagian yang tak terpisahkan dari birokrasi, dan korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ekspansi bisnis korporasi-korporasi besar di Indonesia. Dengan kata lain, korupsi merupakan strategi bisnis korporasi-korporasi tersebut. Khususnya, korupsi sistemik berwujud jejaring (cabal), di mana ketiga jenis korupsi menurut Alatas, yakni sogokan, pemerasan, serta nepotisme/kroni-isme, hanya merupakan taktik-taktik operasionalnya.
George Junus Aditjondro, Konsultan Yayasan Tanah Merdeka, Palu. Anggota Dewan Penasehat CeDSoS, Jakarta
Referensi:
Aditjondro, G.J. (1998). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Rezim Orde Baru. Jakarta: Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK) & Pijar Indonesia.
---------------(1999). Tangan-tangan Berlumuran Minyak: Politik Minyak di Balik Tragedi Timor Lorosae. Jakarta: SOLIDAMOR.
--------------- (2002). “Suharto has gone – but the regime has not changed.” Dalam Richard Holloway (peny.). Stealing From the People: 16 Studies on Corruption in Indonesia. Jakarta: Aksara Foundation, hal. 1-66.
-------------- (2004a). Membedah Kembar Siam Penguasa Politik & Ekonomi Indonesia: Metodologi Investigasi Korupsi Sistemik Bagi Akitivis dan Wartawan. Jakarta: Lembaga Studi Pers & Pembangunan (LSPP).
--------------(2004b). “Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata, dan Proteksi Modal Besar: Ekonomi Politik Bisnis Militer di Sulawesi Bagian Timur.” Wacana, INSIST, Yogyakarta, No. 17/Th. III, hal. 137-77.
------------- (2004c). “Kerusuhan Poso dan Morowali: Akar Permasalahan dan Jalan Keluarnya”. Dalam Stanley (peny.). Keamanan, Demokrasi dan Pemilu 2004. Jakarta: ProPatria, hal. 109-55.
Ekloef, Stefan (1999). Indonesian Politics in Crisis: The Long Fall of Suharto, 1996-1998. Copenhagenm: NIAS (Nordic Institute of Asian Studies).
Leith, Denise (2003). The Politics of Power: Freeport ion Suharto’s Indonesia. Honolulu: University of Hawai’i Press.
O’Rourke, Kevin (2002). Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Jakarta: Pusat Data Business Indonesia (PDBI).
Ridwan, Mad & Guntoro Soewarno (2002). Buloggate: Abdurrahmangate, Akbargate, Megaskandal. Jakarta: Global Mahardika.
Makalah pernah disampaikan untuk Lokakarya “The Empowerment of Civil Society Organizations to Promote Corporate Social Responsibility in Indonesia” yang diselenggarakan oleh The Business Watch Indonesia dan NOVIB di Jakarta, 20-22 Oktober 2004.
Sumber : oaseonline.org
Sumber Foto : blogs.usyd.edu.au
Tidak ada komentar:
Posting Komentar