arifuddinali.blogspot.com - ”Berkali-kali kata itu bergetar dengan hebatnya, baik di mulut maupun di hati: korupsi, korupsi, korupsi. Akhirnya teguhlah niatku untuk mengerjakannya juga. Berdengung kata itu: korupsi, korupsi, korupsi....” Begitulah Pramoedya Ananta Toer menuliskan gemuruhnya nurani seseorang ketika untuk pertama kalinya melakukan kejahatan bernama korupsi dalam novel yang dibuat Pram tahun 1953 berjudul Korupsi.
Mengikuti cerita balada koruptor dalam novel Korupsi, kita seperti membaca realitas hari ini ketika koruptor dengan segala cara menyiasati diri hingga ia malah terkesan seperti melakukan sesuatu yang benar. Jauh hari sebelum korupsi sebiadab hari ini, Pram sudah membeberkan drama manusia yang dihadapkan pada godaan korupsi. Mari menikmati Korupsi, sambil melihat reality show para koruptor di negeri ini.
Pram dengan gayanya yang lugas, dingin, menggambarkan gejolak jiwa, hati nurani, seorang pegawai yang terombang-ambing dalam pilihan antara berlaku jujur atau korupsi. Godaan begitu hebat di lingkungan kerjanya. Kesempatan ada, lingkungan mendukung, tetapi ada masih sepotong kejujuran dalam nuraninya yang selalu mengingatkannya untuk tidak berlaku jahat.
”Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam penghidupannya terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam hati, seperti sudah jamak di masa kini: Korupsi,” tulis Pram.
Pram menggambarkan, korupsi bukan hal mudah untuk dimulai oleh seseorang yang sebelumnya menjalani hidup secara lurus, jujur. Namun, reputasi kejujuran yang bertahun-tahun tak terusik itu akhirnya luruh juga oleh gelegak hasrat untuk melakukan tindakan maling. ”Alangkah sakitnya di hati harus mengucapkan selamat tinggal kepada kebiasaan yang dilakukan tiap hari, tiap detik....”
Akan tetapi, sang calon koruptor (yang akhirnya jadi koruptor), terus mencari pembenaran-pembenaran akan laku koruptifnya. Dengan begitu ia merasa tenang dan nyaman dalam berpesta korupsi:
”Orang lain berbuat begitu juga. Apa salahnya aku mulai mencoba-coba! Mereka bisa punya mobil, malah ada yang mendirikan rumah tiga buah dalam setahun, dan sekaligus pula. Mengapa tidak? Mereka hingga sekarang hidup senang, dan tak satu polisi pun bisa menangkap....”
Ah, sungguh jauh penerawangan Pram puluhan tahun silam. Bukankah apa yang ia tulis itu terjadi hari ini. Sang calon koruptor kemudian dikisahkan oleh Pram telah memantapkan hati dan tekad untuk korupsi. Ia telah menemukan pembenaran untuk mengesahkan dirinya sebagai pahlawan, bukan koruptor. ”Tidak, (korupsi) itu bukan kejahatan, bukan pelanggaran—itu sudah selayaknya.”
Ck..ck..ck...! Bukan main....
Melawan dengan sastra
Novel Pram menginspirasi Tahar Ben Jelloun, seorang penulis Perancis untuk menulis novel berjudul L’Homme rompu atau Korupsi tahun 1994. Jelloun sempat bertemu Pram tahun 1990 di Jakarta setelah membaca karya Pram. Jelloun berkisah tentang korupsi di Maroko, negeri yang pernah dijajah Perancis. Di mana-mana perilaku korupsi adalah kejahatan yang merugikan negara dan rakyat. Dan selalu harus diperangi!
Perang terhadap korupsi lewat narasi-narasi sastra dan pertunjukan pernah dikibarkan oleh Butet Kartaredjasa. Tahun 2004, bersama Whani Dharmawan dan Lephen Purwaraharja, ia menggelar Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi. Lomba diikuti 224 naskah monolog dan tiga naskah pemenang serta 12 naskah nominasi dibukukan dalam Antologi Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi tahun 2004. ”Ini cuma langkah kecil, tapi penting,” ujar Butet sembari mengatakan, buku itu ”cuma” dicetak 1.000 eksemplar dan tak pernah cetak ulang.
”Saya tidak kapok meski itu usaha swadaya,” katanya. Ia berhasrat membuat lomba serupa, tetapi khusus buat kalangan siswa dengan naskah realis. ”Monolog itu ringkes bisa dipentaskan di mana dan kapan saja. Dan kepada para siswa kita investasi akhlak, bahwa korupsi itu kejahatan yang merugikan rakyat,” kata Butet.
Tidak itu saja. Butet bersama penulis Agus Noor pernah mementaskan monolog berjudul Koruptor Budiman di Jakarta dan Tanjungpinang tahun 2008. Pentas atas dukungan lembaga Partnership for Governance Reform, itu tak berhasil dipentaskan di Medan. Lakon ini berkisah tentang koruptor yang gagal menyerahkan diri. Tidak ada seorang polisi atau lembaga lain yang menangkapnya. Sebagai koruptor kelas kakap ia heran, mengapa tidak juga ditangkap.
”Hanya saja, kadang saya tetap heran dengan aparat kita. Kenapa, sih, sungkan-sungkan menangkap koruptor kakap macam saya? Ketika saya datang, mereka malah sembunyi...,” kata si koruptor.
Bukankah itu sindiran yang sarkastik? Realitas yang dipahami rakyat saat ini, banyak koruptor berseliweran, kalaupun ditangkap ”cuma” dijatuhi hukuman yang dinilai tidak sesuai dengan berat kesalahannya.
Bersama kelompok Teater Gandrik, Butet juga mementaskan lakon Pandol alias Panti Idola, yang berkisah tentang panti rehabilitasi para koruptor. Bahkan pada April 2013, Gandrik akan mementaskan Gundala Gawat karya Goenawan Mohamad, yang juga berisi perlawanan terhadap korupsi.
Saking kehabisan akal, kata Butet, sebuah negara memanggil seluruh superhero dunia, seperti Gundala, jagoan komik karya komikus Jogja, Hasmy, dalam Gundala Putra Petir. Juga Superman, Batman, dan kawan- kawan untuk membantu memberangus korupsi di negara tersebut. ”Korupsi pada kita sudah gawat...,” kata Butet.
Menurut Butet, perlawanan terhadap korupsi harus menyeluruh. Jika sastra turut serta melakukan serangan pada korupsi, mungkin belum memiliki implikasi hukum. Akan tetapi, setidaknya, ada satu generasi di mana investasi akhlak yang mulia itu sudah dimulai. ”Yang rusak biar saja hilang, generasi baru harus punya akhlak yang lebih baik,” katanya.
”Kuwi Opo Kuwi”
Dalam rubrik Catatan Kebudayaan di majalah Horison, November 1972, Mochtar Lubis sudah menulis tentang bagaimana korupsi sudah menjadi budaya di negeri kita. ”Ciri utama kebudayaan korupsi adalah bahwa nilai-nilainya ditentukan oleh uang. Potensinya untuk merusak akhlak dan moral juga di sini,” tulis Mochtar Lubis.
Kebudayaan korupsi, tambahnya, amat merusak nilai-nilai manusia. Kehormatan, martabat manusia, kesetiaan pada bangsa sekalipun dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Begitulah seniman dengan caranya sendiri menunjukkan keberpihakannya yang tegas pada rakyat yang antikorupsi. Jauh sebelum korupsi menggurita, rakyat di negeri ini telah diingatkan oleh para seniman lewat sastra. Juga lewat tembang dolanan ”Kuwi Opo Kuwi” yang populer di masyarakat Jawa sejak era 1950-an. Tembang gubahan Ki Tjokrowarsito (1909-2007)
itu diperdengarkan dalam pembukaan pameran lukisan karya Aris Budiono Sadjad berjudul Perang Suci Melawan Korupsi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/3) malam. Begini bunyinya:
Kuwi opo kuwi e kembang melathi
sing tak puja-puji aja dha korupsi
Merga yen korupsi negarane rugi
Piye to kuwi, aja ngona - ngona, ngono
**
Kuwi opo kuwi e kembange menur
sing tak puja-puji pemimpin dha jujur
Merga yen dha jujur negarane makmur
Piye to kuwi, iya ngona - ngona ngono kuwi
Terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini.
Bait I: Itu apa itu, e kembang melati/ Yang kupuja puji, janganlah korupsi/ sebab jika korupsi negara akan rugi/ Gimana sih, jangan begitulah.
Bait II: Itu apa itu e kembang menur/ Yang kupuja puji pemimpin pada jujur/ Sebab jika mereka jujur negara akan makmur/ Gimana sih, ya (seharusnya) begitu.
Tembang, dan juga karya sastra dari Pram serta seniman lain tersebut bermuatan harapan dan doa agar ”Koruptor Budiman” itu aja ngona- ngona, ngono ....Jangan begitu.
Mengikuti cerita balada koruptor dalam novel Korupsi, kita seperti membaca realitas hari ini ketika koruptor dengan segala cara menyiasati diri hingga ia malah terkesan seperti melakukan sesuatu yang benar. Jauh hari sebelum korupsi sebiadab hari ini, Pram sudah membeberkan drama manusia yang dihadapkan pada godaan korupsi. Mari menikmati Korupsi, sambil melihat reality show para koruptor di negeri ini.
Pram dengan gayanya yang lugas, dingin, menggambarkan gejolak jiwa, hati nurani, seorang pegawai yang terombang-ambing dalam pilihan antara berlaku jujur atau korupsi. Godaan begitu hebat di lingkungan kerjanya. Kesempatan ada, lingkungan mendukung, tetapi ada masih sepotong kejujuran dalam nuraninya yang selalu mengingatkannya untuk tidak berlaku jahat.
”Banyak di antara kawan-kawan yang mujur dalam penghidupannya terkenang olehku. Dan akhirnya terniatlah dalam hati, seperti sudah jamak di masa kini: Korupsi,” tulis Pram.
Pram menggambarkan, korupsi bukan hal mudah untuk dimulai oleh seseorang yang sebelumnya menjalani hidup secara lurus, jujur. Namun, reputasi kejujuran yang bertahun-tahun tak terusik itu akhirnya luruh juga oleh gelegak hasrat untuk melakukan tindakan maling. ”Alangkah sakitnya di hati harus mengucapkan selamat tinggal kepada kebiasaan yang dilakukan tiap hari, tiap detik....”
Akan tetapi, sang calon koruptor (yang akhirnya jadi koruptor), terus mencari pembenaran-pembenaran akan laku koruptifnya. Dengan begitu ia merasa tenang dan nyaman dalam berpesta korupsi:
”Orang lain berbuat begitu juga. Apa salahnya aku mulai mencoba-coba! Mereka bisa punya mobil, malah ada yang mendirikan rumah tiga buah dalam setahun, dan sekaligus pula. Mengapa tidak? Mereka hingga sekarang hidup senang, dan tak satu polisi pun bisa menangkap....”
Ah, sungguh jauh penerawangan Pram puluhan tahun silam. Bukankah apa yang ia tulis itu terjadi hari ini. Sang calon koruptor kemudian dikisahkan oleh Pram telah memantapkan hati dan tekad untuk korupsi. Ia telah menemukan pembenaran untuk mengesahkan dirinya sebagai pahlawan, bukan koruptor. ”Tidak, (korupsi) itu bukan kejahatan, bukan pelanggaran—itu sudah selayaknya.”
Ck..ck..ck...! Bukan main....
Melawan dengan sastra
Novel Pram menginspirasi Tahar Ben Jelloun, seorang penulis Perancis untuk menulis novel berjudul L’Homme rompu atau Korupsi tahun 1994. Jelloun sempat bertemu Pram tahun 1990 di Jakarta setelah membaca karya Pram. Jelloun berkisah tentang korupsi di Maroko, negeri yang pernah dijajah Perancis. Di mana-mana perilaku korupsi adalah kejahatan yang merugikan negara dan rakyat. Dan selalu harus diperangi!
Perang terhadap korupsi lewat narasi-narasi sastra dan pertunjukan pernah dikibarkan oleh Butet Kartaredjasa. Tahun 2004, bersama Whani Dharmawan dan Lephen Purwaraharja, ia menggelar Lomba Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi. Lomba diikuti 224 naskah monolog dan tiga naskah pemenang serta 12 naskah nominasi dibukukan dalam Antologi Naskah Monolog Anti Budaya Korupsi tahun 2004. ”Ini cuma langkah kecil, tapi penting,” ujar Butet sembari mengatakan, buku itu ”cuma” dicetak 1.000 eksemplar dan tak pernah cetak ulang.
”Saya tidak kapok meski itu usaha swadaya,” katanya. Ia berhasrat membuat lomba serupa, tetapi khusus buat kalangan siswa dengan naskah realis. ”Monolog itu ringkes bisa dipentaskan di mana dan kapan saja. Dan kepada para siswa kita investasi akhlak, bahwa korupsi itu kejahatan yang merugikan rakyat,” kata Butet.
Tidak itu saja. Butet bersama penulis Agus Noor pernah mementaskan monolog berjudul Koruptor Budiman di Jakarta dan Tanjungpinang tahun 2008. Pentas atas dukungan lembaga Partnership for Governance Reform, itu tak berhasil dipentaskan di Medan. Lakon ini berkisah tentang koruptor yang gagal menyerahkan diri. Tidak ada seorang polisi atau lembaga lain yang menangkapnya. Sebagai koruptor kelas kakap ia heran, mengapa tidak juga ditangkap.
”Hanya saja, kadang saya tetap heran dengan aparat kita. Kenapa, sih, sungkan-sungkan menangkap koruptor kakap macam saya? Ketika saya datang, mereka malah sembunyi...,” kata si koruptor.
Bukankah itu sindiran yang sarkastik? Realitas yang dipahami rakyat saat ini, banyak koruptor berseliweran, kalaupun ditangkap ”cuma” dijatuhi hukuman yang dinilai tidak sesuai dengan berat kesalahannya.
Bersama kelompok Teater Gandrik, Butet juga mementaskan lakon Pandol alias Panti Idola, yang berkisah tentang panti rehabilitasi para koruptor. Bahkan pada April 2013, Gandrik akan mementaskan Gundala Gawat karya Goenawan Mohamad, yang juga berisi perlawanan terhadap korupsi.
Saking kehabisan akal, kata Butet, sebuah negara memanggil seluruh superhero dunia, seperti Gundala, jagoan komik karya komikus Jogja, Hasmy, dalam Gundala Putra Petir. Juga Superman, Batman, dan kawan- kawan untuk membantu memberangus korupsi di negara tersebut. ”Korupsi pada kita sudah gawat...,” kata Butet.
Menurut Butet, perlawanan terhadap korupsi harus menyeluruh. Jika sastra turut serta melakukan serangan pada korupsi, mungkin belum memiliki implikasi hukum. Akan tetapi, setidaknya, ada satu generasi di mana investasi akhlak yang mulia itu sudah dimulai. ”Yang rusak biar saja hilang, generasi baru harus punya akhlak yang lebih baik,” katanya.
”Kuwi Opo Kuwi”
Dalam rubrik Catatan Kebudayaan di majalah Horison, November 1972, Mochtar Lubis sudah menulis tentang bagaimana korupsi sudah menjadi budaya di negeri kita. ”Ciri utama kebudayaan korupsi adalah bahwa nilai-nilainya ditentukan oleh uang. Potensinya untuk merusak akhlak dan moral juga di sini,” tulis Mochtar Lubis.
Kebudayaan korupsi, tambahnya, amat merusak nilai-nilai manusia. Kehormatan, martabat manusia, kesetiaan pada bangsa sekalipun dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Begitulah seniman dengan caranya sendiri menunjukkan keberpihakannya yang tegas pada rakyat yang antikorupsi. Jauh sebelum korupsi menggurita, rakyat di negeri ini telah diingatkan oleh para seniman lewat sastra. Juga lewat tembang dolanan ”Kuwi Opo Kuwi” yang populer di masyarakat Jawa sejak era 1950-an. Tembang gubahan Ki Tjokrowarsito (1909-2007)
itu diperdengarkan dalam pembukaan pameran lukisan karya Aris Budiono Sadjad berjudul Perang Suci Melawan Korupsi di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (14/3) malam. Begini bunyinya:
Kuwi opo kuwi e kembang melathi
sing tak puja-puji aja dha korupsi
Merga yen korupsi negarane rugi
Piye to kuwi, aja ngona - ngona, ngono
**
Kuwi opo kuwi e kembange menur
sing tak puja-puji pemimpin dha jujur
Merga yen dha jujur negarane makmur
Piye to kuwi, iya ngona - ngona ngono kuwi
Terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini.
Bait I: Itu apa itu, e kembang melati/ Yang kupuja puji, janganlah korupsi/ sebab jika korupsi negara akan rugi/ Gimana sih, jangan begitulah.
Bait II: Itu apa itu e kembang menur/ Yang kupuja puji pemimpin pada jujur/ Sebab jika mereka jujur negara akan makmur/ Gimana sih, ya (seharusnya) begitu.
Tembang, dan juga karya sastra dari Pram serta seniman lain tersebut bermuatan harapan dan doa agar ”Koruptor Budiman” itu aja ngona- ngona, ngono ....Jangan begitu.
Penulis: Frans Sartono & Putu Fajar Arcana
Sumber: nasional.kompas.com - Minggu, 17 Maret 2013
Novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer
Novel
ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun
2002 oleh Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita
tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir yang melakukan korupsi.
Awalnya, ia melakukan korupsi karena desakan ekonomi keluarga, namun
lama kelamaan ia semakin rajin melakukan korupsi sehingga ia menjadi
kaya raya. Ia terjerumus ke dalam pergaulan tingkat atas yang penuh
kepalsuan dan kemewahan tanpa makna, yang membuat jiwanya kian hampa.
Pada akhirnya, segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam
penjara.
Dalam
karyanya ini Pramoedya menggambarkan dengan jeli dalam gaya satir yang
memikat bagaimana penyakit korupsi bisa mewabah secara luas menjadi
kebiasaan sosial. Setelah nyaris setengah abad, ternyata novel ini masih
sangat relevan dengan problema sosial-politik Indonesia dewasa ini.
Pramoedya menulis cerita ini di tahun 1953—hanya delapan tahun setelah
kemerdekaan republik ini diproklamasikan—dan kini, di awal abad 21, kita
masih saja menghadapi persoalan serupa: para pejabat korup kian
menggerogoti uang negara dan rakyat banyak mesti menanggung akibatnya.
Seakan-akan, korupsi tak pernah mati. (Redaksi Infokorupsi.com)
Berikut petikan dua bab (Bab 10 dan Bab 11) Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer:
BAB 10
Sejak
mendapat keuntungan pertama hingga kini kalender dinding kantor yang
tergantung di pintu lemari telah sekali diganti dengan yang baru. Dan
kalender baru itu pun telah tipis hampir habis.
Kantorku
masih tetap aman sebagai sediakala. Juga pegawai-pegawaiku. Juga bangku
dan kursi. Hanya terdapat sedikit perubahan: beberapa orang pegawai
tambah gaji dan tambah tunjangan untuk anak-anaknya yang baru. Dan
untukku sendiri—aku memperoleh tambahan gaji yang jauh lebih banyak
daripada biasanya. Kemakmuran akan uang telah membuat aku mendapat
kawan-kawan baru dan memasuki pergaulan-pergaulan baru yang tiada pernah
kuduga-duga ada sebelumnya. Sirad masih duduk di meja di sampingku.
Sikapnya sudah lama berubah terhadap aku. Ia tidak seramah dahulu. Namun
aku tak berani melarangnya bila hendak pergi berkuliah atau menyiapkan
dri untuk menempuh ujian. Dan sebagai dahulu juga di depannya selalu
terletak tumpukan dari tiga atau empat buku. Ke mejanya masih tetap dua
lembar hanya kini agak usang.
Perubahan
yang sesungguhnya tidaklah ada. rupa-rupanya hanya akulah yang berubah.
Dahulu semua ramah terhadap aku dan sebaliknya. Tapi kini aku tidak
berani ramah terhadap mereka, takut kalau-kalau tergelincir
petunjuk-petunjuk yang bisa menjejaki perbuatanku. Dan karena sikapku
yang menarik diri, mereka pun tidak ramah lagi terhadap aku. Bahkan pada
kawan-kawan di luar kantor tak berani lagi aku banyak mulut. Mereka
mengenal aku belaka, baik sebagai perorangan, maupun sebagai tenaga dan
sebagai kemampuan.
Pakaianku
sekarang bersih dari wol semua dan cocok rasanya dengan tubuhku yang
tak tahan lagi menghadapi udara. Kemeja selalu buatan luar negeri, dan
kalau tidak panas, kadang kupergunakan juga jas dan berdasi. Tetapi
tidak selamanya, karena panas Jakarta yang keparat itu tidak memberi
banyak kesempatan untuk berdendi. Kalau dahulu pulang pergi naik sepeda
tua, kini kendaraanku plymouth. Juga aku tidak tinggal di kamar di
belakang warung cina, tetapi di sebuah gedung dari dua setengah ratus
ribu. Tidak lagi di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya yang tenang
di deretan gedung-gedung setengah villa di selatan Bogor.
Juga
kini aku tidak tinggal bersama anak-anakku beserta mamahnya. Tetapi
dengan Sutijah. Jarang sekali aku dapat bertemu dengan isteriku dahulu.
Dan perempuan sebenarnya pun tidak aku harapkan apabila tidak terpaksa
amat. Siapa yang tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya? Siapa pula
yang tidak ingin bertemu dengan isterinya sendiri yang telah dua puluh
tahun lamanya meladeni diri? Tetapi uang ini—dia telah membawa aku ke
jurusan lain—di urusan yang tidak kuhendaki sendiri—dengan kekuatan yang
penuh dan tiada terlawan. Aku masih ingin hidup dengan isteriku yang
setia itu, dengan anakku yang cerdas-cerdas. Tetapi bertambah lama jarak
itu bertambah jauh, bertambah jauh, jauh. Dan aku kini telah dapat
menentukan nasibku sendiri serta apa yang akan datang di kemudian hari:
jadi pengembara yang setia dari perasaan ke perasaan, dari ilusi ke
ilusi dan dari nafsu ke nafsu—kutukan yang melekat pada jiwaku untuk
selama-lamanya.
Tiap
kali akan terdengar suara panggilan dari nuraniku, dan suara ini harus
kuperturutkan, baik aku rela atau tidak. Dan suara itu begitu manis
mendayu-dayu, tiap saat pabila tubuh belum menghendaki tidur. Hati kian
lama terasa kian kecil dan tidak sanggup mengimbangi apa pun juga yang
ada di luar diri. Ketakutan kian menguasai diri dan tiap kali asal mau
dia memencak-mencak riang di dalam dada. Akhirnya tiap tindakan hanyalah
usaha untuk menutupi kekecilan hati dan kekecutan.
Perasaan
celaka tiap kali meminta perhatianku pabila dapatlah aku kesempatan
mentertawakan diriku sendiri karena penduduk di sekeliling rumahku di
Bogor amat menghormati aku karena mempunyai perhatian besar terhadap
pemberantasan buta huruf, bahkan aku telah menjadi pelindung waktu
lebaran menyerahkan beras sekarung kepada panitia zakat fitrah, waktu
terjadi kebakaran menyerahkan uang lima ribu untuk para korban, dan
sekiranya aku mempunyai perusahaan, maka semua surat kabar akan kuberi
iklan tiap bulan tujuh kali agar mereka tak coba-coba membongkar
rahasiaku.
Inilah
keadaanku sekarang. Inilah diriku yang mentertawakan diriku sendiri
pula. Dan barangkali orang-orang lain telah mulai mentertawakan.
Kedamaian
dan ketenangan yang dahulu begitu membahagiakan kehidupan berumah
tangga bersama anak-anak dan biniku kini telah hilang, mungkin juga
untuk selama-lamanya. Kesederhanaan hati telah terbakar punah. Yang
tinggal adalah keriuhan, seperti pernah kuketahui bersarang dalam hati
Sutijah sebelum kami kawin. Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan kaki
di gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali. Ingin aku
mengetahui bagaimana tingkah lakuku pabila mendapat kesempatan menjadi
menteri yang bertugas untuk memberantas korupsi. Pasti ini merupakan
peperangan yang hebat—tetapi lebih banyak memerangi keluar dan
melindungi ke dalam. Atau mungkin juga aku harus cepat-cepat angkat kaki
dari jabatanku, atau mempergunakan kesempatan itu untuk menolong diri
sendiri. Tetapi yang akhir ini aku kira tidak mungkin, karena akhirnya
jiwa tambah kacau balau, dan mungkin dalam sebentar waktu terus menjadi
gila dan mati di rumah sakit Grogol sebagai binatang ajaib yang bisa
bicara.
Bila
malam tiada bisa aku memejamkan mata dan dalam jas kamar
terhuyung-huyung bangun, kadang kuhafalkan wajahku di cermin dan aku
dapati di situ manusia lain yang bukan diriku beberapa tahun yang lalu.
Kerut mirut yang melingkungi mata seperti gelang-gelang pesakitan
seratus tahun yang lalu. Kejapan mataku seperti maut yang
mengimbau-imbau dari kejauhan. Dan bila pandangku kujatuhkan pada
Sutijah yang tergolek di bawah selimut dan di sana sini membuat
pegunungan dengan bayang-bayang tubuhnya aku bertambah tidak mengerti
apa yang sesungguhnya telah terjadi atas diriku.
Hal
yang segila-gilanya telah pula terjadi. Apabila Sutijah pergi ke
kota—ke Jakarta—sebentar kemudian datang sedan baru dari Jakarta, dan
turun seorang wanita setengah tua tetapi masih molek, dengan tingkahnya
yang manis mengajak aku mengobrol, kemudian mengeluarkan album yang
berisi potret wanita-wanita muda dan agak tidak muda lagi, semua hanya
dengan kantung dada. Mas—ia selalu memanggilku demikian. Mas boleh ambil
kalau jeng Sutijah sedang terlena. Ini isteri propesor, ini isteri
anggota parlemen. Terus disebut pangkat-pangkat itu, dari kolonel hingga
kapten. Dan bukan main kagetku waktu ada melihat potret yang sering
kulihat di surat kabar sebagai wanita gesit yang memperjuangkan
emansipasi kelaminnya. Ah, tidak usah membayar, karena itu memang bukan
tujuan kami, cukup kalau orang itu punya mobil dan kelas satu, karena
adanya mobil akan melenyapkan bukti-bukti dan saksi. Mas bisa setir
sendiri, bukan?
Wanita
ini tak mau menyebutkan nama mereka tanpa ada perjanjian terlebih
dahulu. Hanya menyebutkan, bahwa pria-pria berpangkat tak mau
ketinggalan ikut menceburkan diri dalam gerakan “muda kembali” ini. Dan
syarat pertama: punya mobil.
Untuk
ketiga kalinya ia datang, dan waktu ternyata aku belum juga memberikan
jawaban, ia—dan tiada pernah aku duga-duga—mengancam dengan suaranya
yang lunak dan lemah-lembut. Bila Mas tidak ikut, nah, mas dalam
beberapa hari ini akan bangkrut, karena semua orang tahu tidak ada
warisan apa-apa yang ditinggalkan orang tua mas untuk mas.
Aku
minta keterangan bagaimana caranya membangkrutkan daku. Dan ia
menerangkan dengan senyum yang rela: mas, kami ini adalah golongan
tersendiri dalam masyarakat yang memperoleh kebahagiaan dan kekayaan
dari uang negara. Kami mengerti kegoyahan nasib kami, karena itu harus
diadakan ikatan yang lebih mendalam, lebih lagi dari hati ke hati, agar
dengan demikian antara kami tak ada rahasia lagi, antara kami tak ada
pengkhianatan lagi, dan antara kami bisa dinikmati segala-gala yang
mungkin.
Keterangan
itu membuat aku mengerti dan sekaligus juga mengikatkan daku pada
pergaulan dan lingkungan baru. Ah, segala-galanya yang sekiranya bisa
memberi pegangan dan jaminan keselamatan akan kuraih—hanya untuk menunda
datangnya keruntuhan, sedangkan keruntuhan itu sendiri telah kuketahui
akan datang juga. Namun aku tak mau runtuh atas kehendakku sendiri.
Kekuasaan dari luar harus meruntuhkan daku. Dan biarlah aku
runtuh—keruntuhan yang semestinya dialami oleh tiap orang. Mungkin juga
keruntuhan yang diikuti oleh keruntuhan hidupku.
Pengalaman
yang akhir-akhir ini menyebabkan jiwaku menjadi bolong. Dan untuk
menyembuhkan kebolongan ini berbotol-botol minuman keras habis meruap
setelah sebentar melalui kerongkongan. Dahulu belum pernah aku
menjamahnya—dahulu dalam hidup berumah tangga dengan anak-anak isteriku.
Di
malam-malam di kala hari begini sunyi, dan diri tak berani meninggalkan
rumah, tidak jarang aku berjam-jam termenung di salon sambil
menghabiskan berbatang-batang cerutu. Inilah aku sekarang dalam gudang
kemewahan dan harta benda. Inilah aku yang telah insaf akan datangnya
keruntuhan. Inilah aku dikutuki menjadi pengembara dari perasaan ke
perasaan, dari ketakutan ke ketakutan. Dan juga inilah aku yang setiap
saat siap mengikuti panggilan nyaring yang terdengar di hati. Inilah
aku....
BAB 11
Pada
suatu hari kembali aku masuk bekerja. Sirad sudah lama duduk di
bangkunya membaca buku. Demikian terpikat sehingga tak dilihatnya aku
masuk ke dalam.
“Tidak ada surat?” tanyaku.
Ia letakkan bukunya. Mengangguk, kemudian bangun dari duduknya.
“A,
sudah datang, pak?” Bukan main sakit hatiku mendengar pertanyaan
seperti itu. Ah, tiap hari aku merasai sakit hati sekalipun mungkin
orang tidak berbuat dengan sengaja.
Sirad meneruskan:
“Sudah
lama kutunggu-tunggu, pak. Banyak surat yang tak dapat diurus. Dan aku
tak tahu di mana bapak tinggal. Sudah seminggu....”
“Ah, ya, urusan di luar kantor banyak sekarang.”
“Aku tahu juga itu. Urusanku di luar kantor juga banyak, karena itu aku mengerti.”
“Menyiapkan konperensi yang akan datang,” kataku lagi.
“O ya. Baru ingat aku. Di Makasar, bukan?” Aku mengangguk.
“Dan menyiapkan turne,” sambungku.
Untuk
kesekian kalinya aku lihat ia tersenyum padaku. Tapi untuk sementara
ini pemuda itu takkan menyebabkan datangnya keruntuhanku. Aku percaya
pada budiku yang kutumpahkan padanya, dan dia takkan berbuat apa-apa
karena hutang budi itu. Tidak! Sekalipun ada kurasai di hatiku sendiri
keruntuhan yang sebongkah demi sebongkah.
“Kemarin
aku bertamu lagi, tetapi bapak masih juga tidak ada. Tak tahulah aku di
mana bapak bisa kutemui di waktu-waktu aku membutuhkan.”
“Ah,
ya, di waktu-waktu belakangan ini aku harus banyak ke luar rumah. Pikir
saja, mengurus pemberantasan buta huruf di wilayahku, memimpin rapat
kematian, menguruskan tunjangan untuk para korban kebakaran....”
“Pak,” katanya sungguh-sungguh, kesungguhan yang menggoncangkan hatiku, “kita sudah sama-sama dewasa dan tahu kewajiban.”
Ancaman itu terasa ditetakkan lurus-lurus pada buah hatiku.
“Apa maksudmu?” tanyaku hebat, berani dan tajam menutupi kekecilanku sendiri.
“Aku sudah sering datang ke rumah, dan ibu bilang—sudah lama bapak tak pulang. Lebih setahun, katanya.”
Aku
tergagap-gagap, tetapi jawaban yang sesungguhnya tidak mau keluar dari
mulutku. Kurebahkan diri di atas kursi kedudukanku, menarik nafas
panjang. Kemudian barulah keluar suara dari mulutku, lemah-lembut dan
minta perhatian:
“Banyak
orang yang bertanya demikian kepadaku. Karena itu aku heran kalau
engkau yang sesopan itu ikut bertanya pula. Itu adalah urusan rumah
tanggaku, dan aku kira tak ada orang berhak ikut campur tentangnya.”
“Ah,
bapak ini. Apakah bapak pikir orang dapat menceraikan pekerjaan kantor
dengan rumah tangganya? Tanpa pekerjaan kantor rumah tangga tidak
bangun, atau setidak-tidaknya akan berantakan, ini untuk pegawai seperti
kita. Apakah yang tidak campur aduk dalam hidup ini, pak?”
“Sekalipun engkau benar aku tak sudi bicara tentang rumah tanggaku.”
“Barangkali
terlampau banyak rahasia bapak simpan di sana,” katanya mulai mendesak
dengan kurang ajarnya. “Tapi aku banyak mengetahui rahasia itu, sehingga
bapak sesungguhnya tak perlu lagi bercerita tentangnya.”
“Bicara saja tentang pekerjaan kantor.”
“Memang
itulah kumaksudkan, pak. Bapak terlalu sering mengabaikan kantor.
Pekerjaan menjadi berantakan dan dari daerah-daerah datang protes dan
keluhan kelambatan pesanan.”
“Toh
mereka bisa tunggu!” Sesungguhnya kemarahanku yang terlatih menjolak,
kini meluap dan menjolak pula. Raungan garang terdengar: “Mereka bisa
tunggu aku.”
Sirad
berdiam diri oleh kemarahanku itu. Aku tahu benar bahwa ia takkan dapat
berbuat apa-apa untuk menggulingkan diriku dari kedudukanku. Ia duduk
lurus-lurus di atas kursinya dan meneruskan bacaannya. Tetapi kemarahan
telah menguasai diriku seluruhnya. Segera aku berdiri lagi dan berjalan
mondar-mandir di depan meja.
Tiba-tiba pintu diketuk dan opas nampak dari kiraian pintu.
“Pak, ada tamu,” opas memberitakan dari kiraian.
“Persetan dengan tamu.”
Pintu
tertutup kembali dan kuteruskan mondar-mandirku. Aku lihat Sirad
menulis sesuatu di atas sehelai kertas, kemudian catatan itu disimpannya
di dalam kantongnya.
Kembali pintu diketuk, dan sekali lagi opas muncul di kiraian.
“Pak, ada surat dari tamu.”
Dengan
sendirinya saja tanganku menerima surat itu dan membuka. Isinya: lima
ratus rupiah dengan sedikit tulisan—kalau diperkenankan kami hendak
menghadap. Segera surat kumasukkan ke dalam kantong dan menyemburkan
perintah pada opas:
“Tidak terima tamu.”
Pintu
tertutup dan ia hilang dari pemandangan. Waktu tegakku kubalikkan
menghadap ke kursiku, nampak olehku Sirad sedang membuat catatan
kembali. Syak mulai menggantikan kemarahanku. Aku dekati dia dan
mengintip tulisannya. Cuma beberapa patah kata dapat terbaca olehku, itu
pun dalam bahasa asing dan tak ada bahasa asing yang kufahami selain
Belanda. Karena itu mengamuklah cemburu hatiku bergumul bersama syak.
“Engkau membuat catatan tentang diriku?” tanyaku.
“Sekiranya benar, bukankah tidak ada yang melarang?”
“Untuk siapa catatan ini?”
“Ini cuma catatan untuk melengkapkan ikhtisar.”
“Jangan dikira aku tidak bekerja sebaik-baiknya untuk keberesan kantor ini. Tidak ada seorang pun dapat menggulingkan aku.”
“Oh,
itu aku mengerti. Untuk itu memang dibutuhkan hubungan batin yang kuat.
Hubungan batin seperti itu tak ada padaku. Lagipula tak ada kedengkian
di dalam hatiku untuk menggulingkan. Di sini aku banyak belajar dan
mengetahui.”
Kembali pintu terketuk dan tampang opas yang menyebalkan itu muncul kembali di kiraian.
“Pak, ada tamu lagi,” katanya sambil mengulurkan amplop baru.
Kuterima
amplop itu dan kubuka isinya. Seribu lima ratus rupiah, dengan surat di
dalamnya: “kalau tuan tidak sempat menerima, baiklah nanti sore kutemui
di rumah.” Amplop itu kumasukkan ke dalam kantong, sedang suratnya aku
robek-robek. Kemarahanku—aku tidak tahu—lenyap dan dengan gangguan syak
yang tidak juga mengendur pelahan aku menuju ke kursi kembali. Terdengar
olehku tertawa Sirad yang sengaja diperdengarkan. Dan waktu kupandang
dia, tertawanya kian disengaja. Dia mengerti kataku. Memang bodoh aku
kini tiap orang kuanggap tidak mengrti apa yang kukerjakan. Tiap saat
aku harus menghibur diri, bahwa tak ada orang yang mengerti apa yang
sesungguhnya yang telah aku perbuat.
“Sekarang, apa yang bisa kuperbuat, pak?” katanya kemudian.
Kupandang
dia dan dia memandang aku begitu tajam dan jernih sehingga aku terpaksa
menghindarkan mataku. Kemudian ia bicara pelahan:
“Baiklah. Pasti akan kukerjakan sendiri apa yang wajib aku kerjakan.”
“Engkau mengancam aku?”
“Apakah sebabnya aku mengancam?”
Aku
diam lagi dan merenung lama-lama. Aku harapkan opas itu muncul kembali
agar aku tahu apa yang seharusnya kukerjakan sekarang untuk
menghindarkan diri dari campur aduk yang menggilakan. Tetapi ia tidak
muncul lagi. Ada datang pikiran hendak membagi rejeki hari ini dengan
Sirad, tetapi aku tak berani, takut kalau-kalau ia lebih-lebih lagi
mendapat bukti. Dan seperti dengan sendirinya saja kuambil aktentas
diplomatku yang tebal itu dan siap meninggalkan kantor.
“Bagaimana dengan surat-surat yang tertunda?” tanya Sirad.
“Mereka boleh tunggu.”
“Baiklah.”
Sebelum
meninggalkan ruangan kerja kulihat jam. Satu jam lagi, dan aku baru
dapat mengunjungi Mariam—salah seorang anggota organisasi orang-orang
semacam aku, dalam kesulitan seperti aku pula.
Lambat-lambat
aku meninggalkan kantor dan menuju ke mobilku. Tetapi ada suatu
perasaan yang menyuruh aku balik kembali. Sekali ini kuperturutkan lagi
suara di dalam hati itu, dengan tangan kiri menjinjing tas diplomat dan
tangan kanan tertekuk di belakang badan—lambat-lambat, tiada bertujuan.
Di
kalau aku sampai di depan pintu ruanganku terdengar berbagai macam
suara yang berkobar-kobar: di dalam ruangan kerjaku. Berdengung-dengung
silang-siur. Berisi hasutan satu sama lain. Aku pandangai
pegawai-pegawai yang masih duduk di tempatnya masing-masing di luar
ruanganku. Mereka segera menghindarkan pandangnya masing-masing dan
meneruskan pekerjaan. Hatiku berdentaman. Apakah yang terjadi sekarang?
Sambil memandangi pegawai-pegawai yang sedang bekerja kupingku
kupertajam dan ternyata mereka sedang berunding untuk menentukan nasibku
sebagai kepala bagian. Aku tidak boleh mengalah pada putusan mereka,
teriak hatiku. Aku harus hancurkan mereka, terdengar jawaban atas
teriakan hatiku.
Kembali aku mendengarkan. Dan kini suara-suara mulai teratur.
“Sudah kenyang makan uang negara. Harus disimpan di rumah besar.”
“Sabar-sabar. Kita harus cari bukti.”
Kemudian suara-suara itu kembali menjadi campur-aduk sehingga tak dapat lagi aku menangkap sepatah kalimat yang teratur.
Kehancuran
belum tiba hari ini. Aku masih sanggup menghancurkan mereka. Tak ada
bukti kekurangan uang di kas. Tidak ada bukti pemalsuan kuitansi. Semua
beres. Ha, aku lebih cerdik daripada mereka semua. Mereka takkan ada
alasan untuk menggugat! Mereka tidak berani menggugat! Negara masih
sibuk dengan gerombolan.
Dengan
keteguhan hati dan kenekadan yang membuta aku pun segera melompat ke
dalam. Orang-orang yang ada di dalam terkejut, memandangi aku sebentar
bahkan di antaranya hanya menunduk, kemudian seorang demi seorang keluar
seperti domba meninggalkan kandangnya di pagi hari.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada Sirad.
“Kami sedang menyusun tenaga untuk memberantas korupsi.”
“Siapa di kantor ini yang berkorupsi?”
“Itulah yang sedang kuselidiki.”
“Adakah uang kas kurang?”
“Tentang itu aku kira bapak lebih mengetahui daripada aku.”
“Apakah mereka menuduh aku melakukan korupsi?”
“Mungkin juga.”
“Jangan menuduh aku sembarangan kalau tidak ada bukti nyata.”
“Mungkin aku pun tertuduh.”
“Engkau mau menghibur aku?” tanyaku berangsangan.
“Apakah kesulitan bapak hingga aku terpaksa menghibur?”
Aku
kehabisan perkataan. Dalam luapan berangsang itu tak tahu lagi aku apa
yang harus kuperbuat. Hanya tas diplomatku kulemparkan ke mejaku.
“Aha,
kita sama-sama dewasa, tua malah, untuk mengerti seluk-beluk kejadian,”
Sirad berkata pelahan pada diri sendiri. Aku pandangi dia, dan ternyata
ia memandangi aku dengan senyuman iblis melingkungi mulutnya. Teranglah
kini bagiku bahwa setan muda ini akan memasang aku lagi ke dalam ranjau
tersedia bagiku.
“Tiap orang, mau tak mau,” Sirad meneruskan. Dan aku merasa disindir mentah-mentah.
“Apa maksudmu?”
“Ah, aku sedang menghafal beberapa bait dari sandiwara Shakespeare.”
Aku
tak tahu tentang sandiwara, juga tak pernah membaca karangan
Shakespeare. Itu pula yang menyebabkan aku merasa kecil berhadapan
dengan setan muda ini dengan kata-katanya yang langsung ditusukkan
padaku, dan dengan alasan-alasan yang aku tak dapat menolak ia bisa
artikan lain.
Lama
kelamaan setan muda ini sungguh-sungguh menggilakan ucapan-ucapannya.
Dan karena tak mengerti apa yang harus kuperbuat selanjutnya kuambil
kembali tas diplomatku dan dengan kepala menunduk menuju ke pintu. Bukan
main amarahku ketika kudapati beberapa pegawai menggerombol di depan
pintu ruangan kerjaku.
“Apa kalian perbuat di sini?” gertakku dengan kemarahan yang kehilangan kendali.
Mereka bubar dan menuju ke tempatnya masing-masing dengan tiada bicara sepatah pun.
Aku
merindukan masa dahulu sewaktu tiap kepala kantor ada kekuasaan untuk
melepas pegawainya. Tapi kekuasaan seperti itu kini tidak ada lagi.
Barangkali juga ada, tetapi aku tak tahu. Dan pabila masa dahulu itu
datang kembali, pegawai-pegawai itu pasti aku usir di waktu ini juga.
Sungguh sayang. Tapi, yah, kepala kantor jaman sekarang seperti aku ini
belum lagi mampu membuat laporan, bahkan tidak pernah mengetahui
pentingnya laporan yang diterima dari bawah. Aku ingat beberapa laporan
yang pernah kuterima, kubaca, kemudian hanya menjadi bahan dongengan di
luar kantor. Dan kini tahulah aku apa harganya laporan, tetapi semua
sudah terlambat. Aku sendiri tak bisa membuat untuk kuteruskan ke tempat
yang lebih atas lagi. Dan semua itu membuat aku insaf, bahwa aku
sesungguhnya tidak tahu apa-apa tentang kewajibanku sebagai kepala
bagian yang berhak mengeluarkan uang jutaan rupiah. Tambah lama tambah
terasa akan kegoyahan kedudukanku. Juga tambah teranglah kini, bahwa
Sirad itu jelas merupakan ancaman bagi kedudukanku. Sebenarnya ia harus
kuperlakukan secara lemah-lembut dan mempergunakan kepalanya untuk
mempertahankan kedudukanku. Aku sungguh-sungguh bodoh memperlakukan
begitu kasar beberapa waktu yang akhir-akhir ini. Ia tak punya hubungan
apa-apa dengan pihak atasan dan karena sementara ini tak bisa dengan
langsung menggugurkan daku. Dan kekuasaan seluruh pegawai bawahannya
tidak kuasa meruntuhkan daku, sekalipun mereka berteriak sekeras
sekampung gajah.
Dengan
perasaan sebal aku pun menuju ke plymouthku. Sebentar kemudian rodanya
berderak menggiling pelataran dan akhirnya lenyap ke dalam keriuhan lalu
lintas.
Tiba-tiba sopir di depanku bertanya dengan kurang ajarnya:
“Mobil siapa ini sebenarnya, pak?”
“Engkau lagi,” gerutuku.
Dahulu
aku selalu membanggakan bisa memiliki mobil. Sekarang untuk pertama
kalinya aku tak berani mengakui lagi. Dan menjawab: “Tentu saja
kepunyaan kantor.”
“Sudah
kuduga juga,” katanya dengan sabarnya, “mesti kepunyaan kantor.”
Kemudian dibukanya gas banyak-banyak dan mobil terbang di jalan raya
yang agak terluang itu. Kata-katanya yang diucapkan dengan sabar itu
sangat menyedihkan hatiku. Selama itu tak pernah ia bertanya mobil siapa
yang disopirinya. Juga pertanyaannya merupakan bagian keseluruhan dari
kejadian-kejadian tadi.
“Ke mana, pak?” ia bertanya. Suaranya hambar tiada mengandung semangat.
Aku tak mengerti mengapa ia berubah amat hari ini. kudekatkan tubuhku padanya dan berbisik dengan suara hambar pula: “Ka...nan.”
Timbul
saja kecurigaanku bahwa ia ikut bersekongkol dengan pegawai-pegawai
lainnya. Dan bila demikian halnya, dialah biang keladi yang bisa
bercerita banyak tentang kehidupan baruku, rumahku, bini baruku,
hubunganku, perkumpulan zinahku—pendeknya segala-galanya. Kalau ada
keberanian padaku, pasti kupukul kepalanya biar berdua kita membentur
apa saja dan mati dalam kecelakaan lalu lintas. Tapi keberanian seperti
itu tidak ada padaku. Dan apa yang dahulu kuanggap keberanian itu
tidaklah lain daripada kebulatan nafsu yang tiada dapat ditahan lagi.
Keinsafan ini membuat aku tambah mengerti bahwa diriku ini sebenarnya
hanya gudang nafsu. Mau aku menghibur diriku bahwa aku sebenarnya masih
lebih baik dari penjahat-penjahat lain, pembunuh atau pengkhianat,
bahkan di jaman pendudukan aku tak pernah ikut menggampangkan kembalinya
kekuasaan Belanda. Tetapi hiburan semacam itu tidak memberi kedamaian
jiwa yang kekal dan yang sering aku alami paling-paling bisa menghibur
dalam lima menit atau paling banyak dalam sehari.
Tiap
hari aku harus menunda keruntuhan ini dengan tingkah sekena-kenanya.
Dan lihatlah, kali ini aku dengan sikap yang agung kukeluarkan uang
selembar dari dua ratus lima puluh rupiah dari amplop dan kuulurkan ke
samping kursi si sopir.
“Ambillah ini. Untuk beli beras di rumah,” kataku.
Tangannya yang kanan menerima, melihat uang kertas itu sebentar dan selintas kemudian memasukkannya ke dalam kantong.
“Terima kasih,” katanya lagi. “Biniku akan girang menerima hadiah sebesar gaji ini. Terima kasih banyak-banyak.”
Kulemparkan
tubuhku ke sandaran dan mendudukkannya dalam-dalam. Alangkah nikmat
mempunyai mobil besar dan kuat menggaji sopir pula. Sebagus ini,
semulia, setenang, seempuk dan seayun begini—seperti dalam mimpi. Mataku
kututup. Tidak berani aku melihat lalu lintas, padahal dua tiga bulan
yang lalu lalu lintas ini selalu menjadi bulan-bulan mataku untuk
mengetahui siapa-siapa yang memperhatikan daku.
Pikiranku bekerja lagi. Harus aku korek isi hati sopir celaka ini.
“Apa kata mereka tentang diriku?” tanyaku setelah mendekatkan kepala pada tempat duduknya.
“Tentang bapak?”
“Ya,” kataku memberanikan.
“Siapa maksud bapak?”
“Siapa saja.”
“Orang-orang kantor?”
“Ya, orang-orang kantor.”
“Hh, ah, tidak apa-apa, pak. Tidak pernah dengar.”
Jawaban itu memperkuat dugaanku bahwa ia memang tahu apa-apa tentang diriku.
“Sebenarnya aku bisa bersikap lebih baik kepada mereka,” kataku kemudian, “tetapi mereka tidak mengerti maksudku.”
“Hhh.”
“Apa kata mereka tentang diriku?” tanyaku lagi.
Lama
sopir itu tidak menjawab. Ia nampak gugup. Ia terdesak. Untuk
menyemprunakan kekecilannya, kuulangi persenku. Sekali ini dengan uang
seratus rupiah.
“Apa mereka pikir aku berkorupsi?”
“Tidak tahu, pak.”
“Aku tahu engkau tahu banyak tentang sangkaan-sangkaan salah itu.”
“Betul tidak tahu, pak.”
“Aku
tidak berbuat apa-apa terhadapmu. Engkau cuma bercerita tentang
kabar-kabar yang engkau dengar. Habis perkara. Bicara saja terus
terang.”
Tapi ia tak juga mau bicara. Di depan sebuah restoran ia kuperintahkan berhenti.
Kuajak
ia sama-sama makan. Dan waktu bestelan datang kami mulai makan. Ia
dengan malu-malu dan kaku, tetapi aku bersikap seramah mungkin hingga
akhirnya berkuranglah keseganannya.
“Apa kata mereka tentang aku?” tanyaku lagi setelah ia mengakhiri bagiannya.
Ia tersenyum sambil menunduk, kemudian pelahan-lahan memulai:
“Bapak memang disangka korupsi.”
“Apakah yang mereka pergunakan sebagai bukti?”
“Rumah di Bogor, kata mereka. Mobil. Hubungan dengan perusahaan-perusahaan asing.”
“Dan hidup besar dan amat royal.”
Sekarang
pertahanan murah yang sudah lama aku persiapkan mempunyai alasan untuk
dilahirkan. Mula-mula kudengarkan tertawa meyakinkan, dan kemudian:
“Orang-orang
itu enak saja menuduh orang berkorupsi. Kadang-kadang seorang opas yang
bisa beli cincin setempel pun dianggap telah berbuat begitu juga.
Tetanggaku—seorang mandor,--waktu menyunatkan anaknya menanggap
ronggeng. Tamunya banyak sekali, dan keesokannya terdengar dakwaan yang
itu juga.”
“Ya, sekarang memang musim mendakwa,” sopir itu mengiakan. Dan hatiku lega sedikit.
“Dan
tentang aku... kalau orang tahu bagaimana dahulu orang tuaku....” Aku
tunggu ia bertanya, tetapi ia tidak melakukannya. Terpaksa aku teruskan
ceritaku: “Orang tuaku adalah kaya, mempunyai perusahaan pembakaran
kapur dan pabrik tegel di Yogya dan Gunung Kidul. Dan kakekku....”
Kembali aku tunggu pertanyaannya, tetapi dia tak bertanya juga. “Tahu
kakekku?”
“Tentu saja tidak, pak.”
“Dia petani kaya di Purwokerto.”
“Di Purwokerto memang banyak petani kaya.”
“Dua ratus hektar sawahnya.”
“O.”
“Orang-orang itu akan salah duga kalau mendakwa aku melakukan korupsi.”
“Tentu saja salah duga.”
Sekarang datang giliranku untuk bertanya, dan kesempatan sebaik itu takkan kubiarkan hilang percuma.
“Apa mereka akan perbuat terhadap diriku?”
“Mereka mau membuat penyelidikan.”
“Mengertilah aku sekarang. Jadi engkau juga ikut menyelidiki aku?”
“Hhh, sebenarnya aku tak tahu apa-apa, pak. Aku takut sama mereka, jadi....”
“Tidak
ada gunanya!” Aku tertawa menghinakan. “Mereka menyangka aku
berkorupsi!” Kembali aku memperdengarkan tertawa pendek yang
menghinakan.
Sopir itu menyeka mulutnya. Tak tahu lagi ia di mana pandangnya harus ditujukan.
Dan aku meneruskan tetakanku:
“Tidak ada gunanya menyelidiki aku. Dan engkau?”
“Mengapa, pak?”
“Engkau juga ikut mendakwa aku?”
Ia tergagap-gagap, buru-buru menelan ludah, mengintip aku sekilas dalam tunduknya.
“Tidak, pak, tidak. Betul, pak.”
“Sebenarnya
mereka tak perlu menuduh-nuduh. Mereka bisa pergi kepada polisi dan
mengadukan halku. Itu lebih gampang,” gertakku. Tahu benar aku, bahwa
gertakan itu akan melenyapkan dakwaan yang bukan-bukan. Mereka takkan
berani mengadu kepada polisi karena mereka pun takut berhubungan dengan
polisi dan mendapat kesusahan karenanya.
Tapi sekiranya mereka kerjakan juga, habis tandaslah riwayatku. Aku lihat sopir itu mulai percaya pada kejujuranku.
“Mereka
boleh hitung uang di kas, dan berapa yang hilang aku pergunakan. Tidak,
sopir, yang pegang uang bukanlah aku tetapi kasir. Dan sekiranya ada
korupsi hanya kasirlah yang bisa mengerjakan.”
Sopir itu memandangi aku. Kemudian bertanya:
“Pak, kalau aku mewarisi harta benda sebegitu banyak aku takkan bekerja.”
Mula-mula
terkejut juga mendengar itu. Tetapi kala kuketahui bahwa ia bicara
tentang dirinya sendiri, dan sama sekali bukan tentang diriku,
kusambutlah ucapannya itu dengan:
“Pir,
pir—kan engkau tahu kekayaan tidaklah banyak berguna kalau diri tidak
punya pangkat. Itu memang ajaran orang tuaku dahulu. Karena ajaran itu
telah menjadi kepercayaan sendiri—uah, inilah sebabnya aku menjadi
pegawai.”
Ia mengangguk, hormat, malu, takut sekaligus.
Legalah
hatiku melihat kemenanganku. Besok ia akan berbicara tentang
kebaikanku, lusa ia akan membimbangkan kebenaran dakwaan kawan-kawannya,
dan tiga hari kemudian ia akan membela aku. Tapi bagiku sendiri, hari
depan yang kian goyah kian terbayang. Tidak bisa! Sungguh tidak bisa
diri harus mengerjakan pasukan kebohongan untuk memerang kekuasaan
bahan-bahan kenyataan. Kini kenyataan itu belum lagi diketahui orang,
dan keadaan itulah sebenarnya hidupku, seluruh hidupku kini.
“Sekali-kali ingin juga aku datang ke rumahmu.”
Ia nampak gembira. Aku mengerti, itu suatu kehormatan bagi keluarganya.
“Terima kasih kalau bapak sudi. Kapan datang, pak?”
“Besok atau lusa. Kalau ada tempo aku kabari.”
Kupandang
jamku. Ternyata masa untuk datang ke perkumpulan perzinahan telah
beberapa menit lewat. Tapi itu bisa ditunda beberapa jam, pikirku. Dalam
hal demikian selamanya ada waktu untuk menunggu dan ada waktu untuk
ditunggu. Tapi waktu ini sopir ini harus diisi dahulu. Sopir-sopir ini
adalah makhluk yang paling celaka, dia jadi biangkeladi dari keruntuhan
orang besar. Dia juga biangkeladi dari keruntuhanku. Ah, sekalipun mau
bergerak bagaimanapun juga dunia ini kian lama menjadi sempit. Gunting
ini lambat laun kian mendekatkan matanya untuk membagi orang ke dalam
dua bagian. Sebaliknya aku harus segera membeli villa di Puncak.
Tata
usaha tanah sudah lain di sana, dan tidak mungkin ada pengawasan orang.
Di Jakarta membuka perusahaan. Mobil akan memperdekat jarak
Puncak-Jakarta. Dan orang akan kehilangan jejak. Atau aku beli kebun dan
sawah banyak-banyak. Orang desa suruh mengerjakan. Panen bagi dua, dan
habis perkara.
Di
atas mobil kegelisahanku makin menjadi. Dahulu, kalau aku kuasa, semua
oramg yang ada di jalan akan kusuruh lihat diriku dalam mobil-baruku.
Kini aku mati ketakutan kalau orang tahu ini mobilku sendiri. Dahulu
besar hatiku pabila bertemu dengan kawan lama, tapi kini adalah
sebaliknya. Mereka juga biangkeladi yang bisa menjejaki semua-muanya.
Kalau aku punya barisan bersenjata seorang demi seorang di antara mereka
harus kubunuh agar di atas bumi ini tidak ada saksi lagi darimana
asalku. Ah, banyak orang tiba-tiba merupakan musuhku. Ribuan orang
seakan-akan mengintip segala tingkah lakuku. Dan mungkin dengan tidak
setahuku mata-mata polisi atau garong telah membuntuti daku ke mana pun
juga aku pergi.
Bertambah
lama kurasai diriku seperti kanak-kanak yang berusaha sekuat mungkin
menyembunyikan rapornya dari mata orang tuanya. Tapi akhir-akhirnya
orang tua itu ingat juga dan minta lihat buku rapor itu.
Waktu mobil baru distater seorang menjenguk ke dalam mobilku. Bukan main terkejutku, terutama waktu ia membuka mulutnya.
“Ha, sudah punya mobil segala kau sekarang. Hh, tuan besar rupanya.”
Kalau
tidak malu, kuteriakkan perintah pada sopir untuk memberi gas secepat
mungkin. Tapi orang di jendela mobil ini adalah kawanku, dahulu,
beberapa tahun yang lalu. Dia juga biangkeladi dari keselamatanku. Dan
aku tak mau berhubungan dengan biang-biang penyakit. Jadi:
“Maaf, aku tak ada tempo,” kataku.
Dan mobil menderum lagi.
Itulah
duniaku yang sempit ini. Inilah jantungku yang terus menggigil oleh
ketakutan dan kecurigaan. Mengapa aku harus hidup dalam ketakutan dan
kecurigaan selalu? Dahulu, waktu masih di sekoilah, guru selalu bilang
bahwa orang ini dilahirkan untuk berbahagia. Ah ya, inikah kebahagiaan?
Kutengokkan pandangku melalui kaca belakang. Kawan lama itu masih nampak
memandangi aku dengan air muka tiada mempunyai kesan apa-apa.
Barangkali ia terkejut. Apa? Hampir-hampir aku tak berani melihat lagi.
Di sana lagi isteri dan keempat anakku sedang berjalan. Ya, memang
nampak lebih miskin daripada dahulu. Tetapi mereka tidak terus menggigil
sebagaimana aku sekarang. Mereka dirahmati kesederhanaan hati. Mereka
tidaklah menjadi korban hawa nafsunya sendiri. Dan hawa nafsuku ini—dia
cuma berhenti kalau diperhentikan dengan paksa. Diriku hanya hamba lemah
yang mengabdi kepadanya. Tambah lama ini tambah terasa. Perasaan murni
seorang tua terhadap anak-anaknya tak dapat dibohongi lagi dengan
kebesaran-kebesaran yang diperolehnya. Ah, bukan aku tak mau mengakui
mereka anak-anakku—bukan aku tak mau tahu mereka—bukan aku tak mau
mengongkosi mereka, tetapi bagaimanakah aku harus memulai semuanya itu?
Bagaimana? Kembali kupandangi isteriku dan keempat anakku. Mereka
sebagai makhluk-makhluk lain yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia,
dengan nafsu dan dengan keinginan-keinginan. Dan waktu meeka hilang di
balik gedung-gedung yang berderet di sepanjang jalan, dapatlah aku
mengetahui, bahwa jalan kembali bagiku masih tersedia, hanya saja aku
yang tidak berani kembali. Tidak berani! Tidak berani! Dan tambah lama
tambah tidak berani. Tambah tua aku menjadi tambah penakut menghadapi
kebenaran dan menerimanya sebagai milik sendiri. Tambah lama aku tambah
tak tahu di mana sebenarnya tempatku di dalam masyarakat ini. Dan,
apakah harganya lagi manusia ini terlepas dari segala hubungan di dalam
masyarakatnya? Apakah harganya lagi! Dan aku tak tahu di mana tempatku
sendiri. Aku! Yang dahulu selalu menyadari sebagai manusia yang selalu
menghamba pada kebaikan dan kebajikan, juga tahu tempatku ada di suatu
pojok masyarakat dan selalu menjanjikan budi. Kadang-kadang nyanyian itu
ada terdengar oleh orang, ia mendengarkan dan mengiakan. Dan hatiku
senang. Akhirnya aku dahulu tiada lain daripada penyanyi, dan tiap malam
mendengarkan dengan kepatuhan lagu yang membubung dari pujaan budi.
Kini nyanyian itu telah padam. Seorang penyanyi yang tidak sanggup lagi
menyanyi! Tidak bisa menyanyi lagi karena memilih kegiatan lain, dan
untuk selama-lamanya kehilangan kepandaiannya menyanyi, bahkan nyanyian
itu sendiri.
Tahulah
aku kini: untuk memperoleh uang dan kemewahan ini aku telah kehilangan
segala-galanya. Juga harapan orang tuaku dahulu beserta pendidikannya
kini telah lenyap! Yang tinggal hanya kesempatan untuk memulai jalan
baru kembali: tetapi untuk itu umurku yan telah tua ini tidak
memungkinkan. Keberanianku bertambah habis....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar