Kayang Mentarang |
Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) ditetapkan pertama kali pada tahun 1980 sebagai Cagar Alam oleh Menteri Pertanian Indonesia. Kemudian pada tahun 1996, atas desakan masyarakat lokal (adat) dan rekomendasi dari WWF, kawasan ini diubah statusnya menjadi Taman Nasional
agar kepentingan masyarakat lokal dapat diakomodasikan. TNKM memiliki
kawasan hutan primer dan skunder tua terbesar yang masih tersisa di
Pulau Borneo dan kawasan Asia Tenggara. Nama Kayan Mentarang diambil dari dua nama sungai penting yang ada di kawasan taman nasional, yaitu Sungai Kayan di sebelah selatan dan Sungai Mentarang
di sebelah utara. Sumber lain menyebutkan bahwa nama tersebut diambil
dari nama dataran tinggi / plato di pegunungan setempat yang bernama
Apau Kayan yang membentang luas (mentarang) dari daerah Datadian / Long
Kayan di selatan melewati Apau Ping di tengah dan Long Bawan di utara.
Dengan luas lahan sekitar 1,35 juta hektare, hamparan hutan ini
membentang di bagian utara Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya di wilayah Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Bulungan, berbatasan langsung dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia.
Sebagian besar kawasan masuk dalam Kabupaten Malinau dan sebagian lagi
masuk dalam Kabupaten Nunukan. Potensi wisata di Taman Nasional Kayan
Mentarang ialah Hulu Pujungan, Hulu Krayan dan Hulu Kayan/Datadian.
Kawasan TNKM terletak pada ketinggian antara 200 meter sampai sekitar
±2.500 m di atas permukaan laut, mencakup lembah-lembah dataran rendah,
dataran tinggi pegunungan, serta gugus pegunungan terjal yang terbentuk
dari berbagai formasi sedimen dan vulkanis.
Tingginya tingkat perusakan hutan di Kalimantan
dan banyaknya bagian hutan yang beralih fungsi, menyebabkan kawasan
TNKM menjadi sangat istimewa dan perlu mendapat prioritas tinggi dalam
hal pelestarian keanekaragaman hayati dan budaya masyarakat yang masih
tersisa.
1. Keanekaragaman hayati
Matahari terbit di Long Pujungan |
Tipe-tipe utama adalah hutan
Dipterokarp, hutan Fagaceae-Myrtaceae atau hutan Ek, hutan pegunungan
tingkat tengah dan tinggi (di atas 1.000 m di atas permukaan laut),
hutan agathis, hutan kerangas, hutan rawa yang terbatas luasnya, serta
suatu tipe khusus “hutan lumut” dipuncak-puncak gunung diatas ketinggian
1.500 m di atas permukaan laut. Selain itu, terdapat pula berbagai
jenis hutan sekunder. Hutan di wilayah sepanjang sungai Bahau adalah
hutan perbukitan dengan tebing-tebing terjal yang sangat sulit untuk
didaki dari tepi sungai. Hutan di wilayah ini memiliki banyak sekali air
terjun dari berbagai ukuran, alur aliran air terjun yang berukuran
kecil mempunyai tepi sungai yang cukup landai dan dipergunakan oleh
masyarakat sekitar untuk memasuki hutan di kawasan ini. Pujungan juga
dikenal sebagai daerah di mana matahari tidak pernah terbit dan tidak
pernah tenggelam sebab sering tertutup oleh kabut atau awan. Walaupun
demikian, pendarnya sinar matahari dari balik kabut atau awan tersebut
mampu membuat kulit kita memerah terbakar tanpa merasakan teriknya panas
matahari karena cukup dinginnya suhu di daerah ini. Dapat dibayangkan
dinginnya suhu di daerah Apau Ping di hulu Pujungan.
|
|
Bukan seperti pada umumnya sungai yang berasal dari 1 mata air di
daerah hulu pegunungan yang kemudian mengalir bercabang-cabang ke hilir
hingga menuju ke muara, sungai-sungai di taman nasional Kayan Mentarang
berasal dari banyak mata air di banyak hulu daerah pegunungan dan
mengalir menjadi 1 sungai yang besar menuju ke hilir hingga ke muara.
Pada wilayah selatan taman nasional terdapat sungai Kayan yang bermuara
setelah membelah kecamatan Tanjung Selor dan Tanjung Palas, berasal dari
belasan mata air di hulu Kayan dan hulu Pujungan. Simpang Koala adalah
area pertemuan antara sungai Bahau dan sungai Kayan adalah batas wilayah
kabupaten Bulungan dan kabupaten Malinau. Arus sungai Kayan di daerah
Tanjung Selor sangat tenang dan mulai bergejolak saat memasuki wilayah
Long Lejau. Arus sungai Bahau sangat bervariasi dari ketenangan yang
tidak berarus hingga gejolak arung jeram. Masyarakat Dayak hulu Pujungan
memberi sebutan sungai Bahau sebagai sei giram yang berarti sungai
berbatu yang berarus deras. Dan masyarakat di daerah ini adalah
pengemudi-pengemudi perahu yang ulung dan kompak. Sungai Bahau pada
daerah Long Aran mempunyai ketinggian air paling rendah dan sering
menyebabkan para pengemudi perahu serta kepolisian setempat bahu-membahu
menarik perahu kandas yang mempunyai panjang bisa mencapai hingga 20
meter itu beramai-ramai. Profil bebatuan di kedua sungai ini juga
berbeda, 2 gambar di kiri adalah profil bebatuan yang dijumpai pada
sungai Kayan mulai daerah Tanjung Selor hingga Simpang Koala, 2 gambar
di kanan adalah profil bebatuan di sungai Bahau yang ditemui sejak area
Simpang Koala hingga hulu Pujungan.
Arus arung jeram pada sungai Bahau |
Jenis flora yang dilaporkan ada dalam kawasan ini di antaranya termasuk 500 jenis anggrek dan sedikitnya 25 jenis rotan.
Selain itu juga telah berhasil diinventaris 277 jenis burung termasuk
11 jenis baru untuk Kalimantan dan Indonesia, 19 jenis endemik dan 12
jenis yang hampir punah. Beberapa jenis yang menarik diantaranya adalah 7
jenis Enggang, Kuau Raja, Sepindan Kalimantan dan jenis-jenis Raja
Udang. TNKM juga merupakan habitat bagi banyak jenis satwa dilindungi
seperti banteng (Bos javanicus), beruang madu (Helarctos malayanus), trenggiling (Manis javanica), macan dahan (Neofelis nebulosa), landak (Hystrix brachyura), dan rusa sambar (Cervus unicolor).
Pada musim-musim tertentu di padang rumput di hulu Sungai Bahau,
berkumpul kawanan banteng yang muncul dari kawasan hutan disekitarnya
dan menjadi sebuah pemandangan yang menarik untuk disaksikan.
2. Keanekaragaman budaya
Profil desa di sepanjang sungai Kayan |
Desa di taman nasional Kayan Mentarang masih berupa desa hutan |
Di dalam dan di sekitar TNKM ditemukan beraneka ragam budaya yang
merupakan warisan budaya yang bernilai tinggi untuk dilestarikan.
Sekitar 21.000 orang dari bermacam etnik dan sub kelompok bahasa, yang
dikenal sebagai suku Dayak, bermukim di dalam dan disekitar taman nasional. Komunitas Dayak, seperti suku Kenyah, Kayan, Lundayeh, Tagel, Saben dan Punan, Badeng, Bakung, Makulit, Makasan mendiami sekitar 50 desa yang ada di dalam kawasan TNKM.
Ditemukannya kuburan batu di hulu Sungai Bahau dan hulu Sungai Pujungan,
yang merupakan peninggalan suku Ngorek, mengindikasikan bahwa paling
tidak sejak kurang lebih 400 tahun yang lalu masyarakat Dayak sudah
menghuni kawasan ini. Peninggalan arkeologi yang paling padat ini
diperkirakan sebagai peninggalan yang paling penting untuk pulau Borneo.
Masyarakat di dalam kawasan taman nasional masih sangat bergantung
pada pemanfaatan hutan sebagai sumber penghidupan, seperti kayu,
tumbuhan obat, dan binatang buruan. Mereka juga menjual tumbuhan dan
binatang hasil hutan, karena hanya ada sedikit peluang untuk mendapatkan
uang tunai. Pada dasarnya masyarakat mengelola sumber daya alam secara
tradisional dengan mendasarkan pada variasi jenis. Sebagai contoh banyak
varietas padi ditanam, beberapa jenis kayu digunakan untuk bahan
bangunan, banyak jenis tumbuhan digunakan untuk obat, dan berbagai jenis
satwa buruan.
Tingginya keragaman jenis yang dimanfaatkan, akan memperkecil
kemungkinan jenis-jenis tadi mengalami tekanan. Pengelolaan tradisional
tersebut pada dasarnya sangat sejalan dengan konservasi hutan dan
hidupan liar. Sayangnya, peraturan tradisional atau adat sering tidak
dipedulikan oleh pendatang yang terus meningkat untuk mengambil sumber
daya dari kawasan. Perubahan yang cepat dari mata pencaharian
tradisional ke ekonomi membuat orang tergoda untuk mengabaikan adat.
3. Pengelolaan kolaboratif
Pengelolaan hutan tradisional yang dikembangkan pada saat tombak dan
sumpit digunakan, terkesampingkan oleh senjata api, gergaji mesin dan
jala. Dengan peralatan yang semakin modern, orang semakin mudah untuk
menangkap binatang dan mengumpulkan tumbuhan lebih banyak. Belum lagi
kegiatan pencurian kayu, pengambilan produk-produk hutan komersial dan
pembangunan jalan yang mulai mengancam sumber daya alam yang ada di
dalam taman nasional.
Dengan munculnya berbagai ancaman tersebut, masyarakat yang ada di
dalam dan disekitar taman nasional dianggap sebagai aset yang paling
tepat untuk menjaga dan mengelola sumber daya alam yang ada di TNKM.
Selain itu, adanya desentralisasi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten, Kota dan Provinsi, juga merupakan aset penting untuk menjaga dan mengelola sumber daya alam TNKM.
WWF Indonesia, bekerjasama dengan para pihak terkait (stakeholders), yaitu Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA),
Pemerintah Daerah, Masyarakat Lokal (Adat) dan Lembaga-lembaga
Internasional, berupaya mendayagunakan asset-aset penting tadi sebagai
suatu peluang dan sekaligus kekuatan untuk menemukan model baru dalam
pengelolaan Taman Nasional di Indonesia. Dengan kearifan yang tinggi,
para pihak terkait sepakat untuk mencoba membangun suatu model
Pengelolaan Kolaboratif bagi TNKM.
Pada 4 April 2003, Menteri Kehutanan RI menetapkan Pengelolaan Kolaboratif
untuk TNKM melalui Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: 1213, 1214,
1215/Kpts-II/2002. Ini merupakan tonnggak sejarah baru dalam pengelolaan
Taman Nasional di Indonesia yang selama ini pengelolaan sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Prinsip pengelolaan kolaboratif TNKM meliputi enam aspek, yaitu: berbasiskan masyarakat (community-based), mengikutsertakan para pihak terkait (multistakeholders), berbagi tanggung jawab (sharing of responsibilty), berbagi peran (sharing of role), berbagi manfaat (sharing of benefit), dan berdsasarkan Rencana Pengelolaan (Management Plan) Taman Nasional yang syah.
4. Kelembagaan
Bentuk kolaboratif diwujudkan kedalam sebuah wadah organisasi yang disebut sebagai Dewan Penentu Kebijakan (DPK)
TNKM. Keanggotaan DPK TNKM terdiri dari: Bupati Malinau (Ketua
merangkap anggota), Bupati Nunukan (Wakil Ketua merangkap anggota),
Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA)
TNKM (Wakil Ketua merangkap anggota), Ketua Bappeda Kabupaten Malinau
(Sekretaris I merangkap anggota), Ketua Bappeda Kabupaten Nunukan
(Sekretaris II merangkap anggota), Kepala BKSDA Kalimantan Timur
(Bendahara merangkap anggota), dan para anggota lainnya terdiri dari
Perwakilan FoMMA (4 orang), Ketua Bappeda Kalimantan Timur, Direktur
Konservasi Kawasan PHKA, serta Kepala Sub Direktorat Kawasan Pelestarian
Alam PHKA.
Tugas pokok DPK TNKM antara lain: membantu Pemerintah mengelola TNKM,
bersama Pemerintah menentukan kebijaksanaan pengelolaan TNKM sesuai
aspirasi para pihak, memberi saran dan pertimbangan dalam pembangunan
TNKM, mengusulkan pembentukan Badan Pengelola TNKM kepada Menteri
Kehutanan, dan berkoordinasi dengan Dirjen PHKA. Kegiatan pengelolaan
TNKM dilaksanakan oleh Badan Pengelola TNKM yang unsur-unsurnya terdiri
dari Masyarakat lokal (Adat), BKSDA/PHKA, dan LSM.
Landasan telah dibangun, namun membangun suatu model pengelolaan
kolaboratif yang benar-benar berbasiskan masyarakat memerlukan
perjalanan panjang karena berbagai kendala yang dihadapi, seperti
misalnya gejolak politik, kepastian hukum, kesiapan dan dukungan para
pihak. Saat ini, WWF
Indonesia-Kayan Mentarang Project yang telah aktif di kawasan TNKM
sejak 1980-an, sedang memfokuskan kegiatannya pada implementasi Rencana
Pengelolaan TNKM dan mempersiapkan para pihak untuk melaksanakan
Pengelolaan Kolaboratif TNKM.
5. Gallery
Salah satu profil aliran air terjun yang dipergunakan sebagai jalan masuk ke hutan di sepanjang sungai Baha |
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar