Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun
932 dan 1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (provinsi Banten,
Jakarta, dan Jawa Barat sekarang).
Wilayah Kerajaan Sunda |
Sampai abad ke-16, toponim (nama tempat) "Sunda" menunjuk kepada daerah pesisir bagian barat pulau Jawa, lebih tepatnya di daerah Banten. Di awal abad ke-13, penulis Zhao Rugua dari Tiongkok menamakan "Sin-t'o" suatu kota dan daerah sekitarnya yang menghasilkan lada.
Karena pada masa itu yang menghasilkan lada hanya daerah Banten, maka
kini semua pakar sejarah sepakat bahwa "Sunda" tersebut itu Banten. Di
sekitar tahun 1500, Shungfeng xiangsong, sebuah buku perjalanan
dari Tiongkok, memakai kedua nama "Wan-tan" dan "Shun-t'a" untuk kota
Banten. Di masa yang sama dua penulis Arab, Ibn Majid dan Sulaiman,
menamakan "Sunda" pelabuhan yang letaknya paling barat di pantai utara
pulau Jawa, yang hanya dapat mengacu ke Banten. Peta Portugis yang
paling lama mengenai kawasan ini menyebut "Sunda" daerah muara sungai
yang letaknya di bagian barat pantai utara Jawa. Naskah Portugis paling
sering menamakan "Sunda", kadang-kadang "Bantam" bahkan "Sunda-Bantam",
kota Banten sekarang.
Diperkirakan adalah orang Portugis yang pertama menimbulkan kerancuan dengan menamakan "Sunda" keseluruhan Jawa Barat[1].
Namun di akhir abad ke-16 orang Belanda meluruskan kerancuan ini.
Setelah dalam perjalanan pertamanya ke Nusantara mendapat keterangan
lebih banyak tentang Banten, mereka menulis bahwa "Sunda adalah
pelabuhan Banten dengan bagian pulau Jawa yang paling di barat di mana
lada tumbuh". Gambar ini sama dengan apa yang ditulis Zhao Rugua hampir
400 tahun sebelumnya.
Prasasti Kebonkopi II,
yang ditemukan dekat Bogor dan ditulis dalam bahasa Melayu, mencatat
bahwa tahun 932, seorang "raja Sunda" menduduki kembali tahtanya.
Penggunaan bahasa Melayu ini menunjukkan pengaruh kerajaan Sriwijaya.
Menurut Prasasti Sanghyang Tapak yang berangka tahun 952 saka (1030 M), pusat kerajaan Sunda di bawah Maharaja Jayabupati, dinyatakan terletak di sekitar Cicatih dekat Cibadak, di pedalaman Jawa Barat, bukan di pesisir lagi.
Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang diragukan keasliannya, Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Saka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16 ini, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Namun naskah ini diragukan sebagai sumber sejarah.
2. Wilayah kekuasaan
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda
yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali
pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan
Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan Sunda oleh Selat Sunda.
3. Historiografi
Paardo Sunda Kelapa |
Padrão Sunda Kalapa (1522), sebuah pilar batu untuk memperingati perjanjian Sunda-Portugis, Museum Nasional Indonesia, Jakarta.
Rujukan awal nama Sunda sebagai sebuah kerajaan tertulis dalam Prasasti Kebon Kopi II tahun 458 Saka (536 Masehi)[r].
Prasasti itu ditulis dalam aksara Kawi, namun, bahasa yang digunakan
adalah bahasa Melayu Kuno. Prasasti ini terjemahannya sebagai berikut:
Batu peringatan ini adalah ucapan Rakryan Juru Pangambat, pada tahun
458 Saka, bahwa tatanan pemerintah dikembalikan kepada kekuasaan raja
Sunda.
Beberapa orang berpendapat bahwa tahun prasasti tersebut harus dibaca
sebagai 854 Saka (932 Masehi) karena tidak mungkin Kerajaan Sunda telah
ada pada tahun 536 AD, di era Kerajaan Tarumanagara (358-669 AD ).
Rujukan lainnya kerajaan Sunda adalah Prasasti Sanghyang Tapak yang terdiri dari 40 baris yang ditulis pada 4 buah batu. Empat batu ini ditemukan di tepi sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi.
Prasasti-prasasti tersebut ditulis dalam bahasa Kawi. Sekarang keempat
prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta, dengan kode D 73
(Cicatih), D 96, D 97 dan D 98. Isi prasasti (menurut Pleyte):
Perdamaian dan kesejahteraan. Pada tahun Saka 952 (1030 M), bulan
Kartika pada hari 12 pada bagian terang, hari Hariang, Kaliwon, hari
pertama, wuku Tambir. Hari ini adalah hari ketika raja Sunda Maharaja
Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya
Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramattunggadewa,
membuat tanda pada bagian timur Sanghiyang Tapak ini. Dibuat oleh Sri
Jayabupati Raja Sunda. Dan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan
untuk melanggar aturan ini. Dalam bagian sungai dilarang menangkap ikan,
di daerah suci Sanghyang Tapak dekat sumber sungai. Sampai perbatasan
Sanghyang Tapak ditandai oleh dua pohon besar. Jadi tulisan ini dibuat,
ditegakkan dengan sumpah. Siapa pun yang melanggar aturan ini akan
dihukum oleh makhluk halus, mati dengan cara mengerikan seperti otaknya
disedot, darahnya diminum, usus dihancurkan, dan dada dibelah dua.
Tanggal prasasti Jayabupati diperkirakan 11 Oktober 1030. Menurut
Pustaka Nusantara, Parwa III sarga 1, Sri Jayabupati memerintah selama
12 tahun (952-964) saka (1030 - 1042AD).
3.1. Catatan sejarah dari Cina
Menurut F. Hirt dan WW Rockhill, ada sumber Cina tertentu mengenai
Kerajaan Sunda. Pada saat Dinasti Sung Selatan, inspektur perdagangan
dengan negara-negara asing, Zhao Rugua
mengumpulkan laporan dari para pelaut dan pedagang yang benar-benar
mengunjungi negara-negara asing. Dalam laporannya tentang negara Jauh, Zhufan Zhi, yang ditulis tahun 1225, menyebutkan pelabuhan di "Sin-t'o". Zhao melaporkan bahwa:
"Orang-oarang tinggal di sepanjang pantai. Orang-orang tersebut
bekerja dalam bidang pertanian, rumah-rumah mereka dibangun diatas tiang
(rumah panggung) dan dengan atap jerami dengan daun pohon kelapa dan
dinding-dindingnya dibuat dengan papan kayu yang diikat dengan rotan.
Laki-laki dan perempuan membungkus pinggangnya dengan sepotong kain
katun, dan memotong rambut mereka sampai panjangnya setengah inci. Lada
yang tumbuh di bukit (negeri ini) bijinya kecil, tetapi berat dan lebih
tinggi kualitasnya dari Ta-pan (Tuban, Jawa Timur). Negara ini
menghasilkan labu, tebu, telur kacang dan tanaman."
Buku perjalanan Cina Shunfeng xiangsong dari sekitar 1430 mengatakan :
"Dalam perjalanan ke arah timur dari Shun-t'a, sepanjang pantai utara
Jawa, kapal dikemudikan 97 1/2 derajat selama tiga jam untuk mencapai Kalapa,
mereka kemudian mengikuti pantai (melewati Tanjung Indramayu), akhirnya
dikemudikan 187 derajat selama empat jam untuk mencapai Cirebon. Kapal
dari Banten berjalan ke arah timur sepanjang pantai utara Jawa, melewati
Kalapa, melewati Indramayu, melewati Cirebon."
3.2. Catatan sejarah dari Eropa
Laporan Eropa berasal dari periode berikutnya menjelang jatuhnya Kerajaan Sunda oleh kekuatan Kesultanan Banten. Salah satu penjelajah itu adalah Tomé Pires dari Portugal. Dalam bukunya Suma Oriental (1513 - 1515) ia menulis bahwa:
"Beberapa orang menegaskan bahwa kerajaan Sunda luasnya setengah dari
seluruh pulau Jawa; sebagian lagi mengatakan bahwa Kerajaan Sunda
luasnya sepertiga dari pulau Jawa dan ditambah seperdelapannya."
Tulisan ini yang membawa kerancuan, dengan menyatakan bahwa kerajaan
Sunda meliputi "sepertiga dari pulau Jawa", sedangkan pada masa Pires
Sunda masih mengacu ke pelabuhan yang sekarang namanya Banten.
3.3. Berdiriya kerajaan Sunda
Menurut Naskah Wangsakerta dari Cirebon, sebelum berdiri sebagai
kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan bawahan Tarumanagara. Raja
Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman Atmahariwangsa
Panunggalan Tirthabumi (memerintah hanya selama tiga tahun, 666-669
M), menikah dengan Déwi Ganggasari dari Indraprahasta. Dari Ganggasari,
beliau memiliki dua anak, yang keduanya perempuan. Déwi Manasih, putri
sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda, sedangkan yang kedua,
Sobakancana, menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa, yang selanjutnya
mendirikan kerajaan Sriwijaya.
Setelah Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun kepada
menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, Wretikandayun
(612-702) memberontak, melepaskan diri dari Tarumanagara, serta mendirikan Kerajaan Galuh
yang mandiri. Tarusbawa juga menginginkan melanjutkan kerajaan
Tarumanagara, dan selanjutnya memindahkan kekuasaannya ke Sunda, di hulu
sungai Cipakancilan dimana di daerah tersebut sungai Ciliwung dan sungai Cisadane berdekatan dan berjajar, dekat Bogor saat ini. Sedangkan Tarumanagara diubah menjadi bawahannya. Beliau dinobatkan sebagai raja Sunda pada hari Radite Pon, 9 Suklapaksa, bulan Yista, tahun 519 Saka (kira-kira 18 Mei 669 M). Sunda dan Galuh ini berbatasan, dengan batas kerajaanya yaitu sungai Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur).
3.4. Federasi antara Sunda dan Galuh
Putera Tarusbawa
yang terbesar, Rarkyan Sundasambawa, wafat saat masih muda,
meninggalkan seorang anak perempuan, Nay Sekarkancana. Cucu Tarusbawa
ini lantas dinikahi oleh Rahyang Sanjaya dari Galuh, sampai mempunyai seorang putera, Rahyang Tamperan.
Ibu dari Sanjaya adalah Sanaha, cucu Ratu Shima dari Kalingga di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa/Sena/Sanna, Raja Galuh ketiga sekaligus teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena pada tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh Purbasora. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tetapi lain ayah.
Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan Pajajaran, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara.
Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang
sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa. Penyerangan ini bertujuan
untuk melengserkan Purbasora.
Saat Tarusbawa meninggal (tahun 723),
kekuasaan Sunda dan Galuh berada di tangan Sanjaya. Di tangan Sanjaya,
Sunda dan Galuh bersatu kembali. Tahun 732, Sanjaya menyerahkan
kekuasaan Sunda-Galuh kepada puteranya Rarkyan Panaraban (Tamperan). Di Kalingga Sanjaya memegang kekuasaan selama 22 tahun (732-754), yang kemudian diganti oleh puteranya dari Déwi Sudiwara, yaitu Rakai Panangkaran.
Rarkyan Panaraban berkuasa di Sunda-Galuh selama tujuh tahun (732-739),
lalu membagi kekuasaan pada dua puteranya; Sang Manarah (dalam carita
rakyat disebut Ciung Wanara) di Galuh, serta Sang Banga (Hariang Banga)
di Sunda.
Sang Banga (Prabhu Kertabhuwana Yasawiguna Hajimulya) menjadi raja selama 27 tahun (739-766), tetapi hanya menguasai Sunda dari tahun 759. Dari Déwi Kancanasari, keturunan Demunawan dari Saunggalah, Sang Banga mempunyai putera bernama Rarkyan Medang, yang kemudian meneruskan kekuasaanya di Sunda selama 17 tahun (766-783) dengan gelar Prabhu Hulukujang. Karena anaknya perempuan, Rakryan Medang mewariskan kekuasaanya kepada menantunya, Rakryan Hujungkulon atau Prabhu Gilingwesi dari Galuh, yang menguasai Sunda selama 12 tahun (783-795).
Karena Rakryan Hujungkulon inipun hanya mempunyai anak perempuan,
maka kekuasaan Sunda lantas jatuh ke menantunya, Rakryan Diwus (dengan
gelar Prabu Pucukbhumi Dharmeswara) yang berkuasa selama 24 tahun (795-819).
Dari Rakryan Diwus, kekuasaan Sunda jatuh ke puteranya, Rakryan Wuwus,
yang menikah dengan putera dari Sang Welengan (raja Galuh, 806-813). Kekuasaan Galuh juga jatuh kepadanya saat saudara iparnya, Sang Prabhu Linggabhumi (813-842), meninggal dunia. Kekuasaan Sunda-Galuh dipegang oleh Rakryan Wuwus (dengan gelar Prabhu Gajahkulon) sampai ia wafat tahun 891.
Sepeninggal Rakryan Wuwus, kekuasaan Sunda-Galuh jatuh ke adik iparnya dari Galuh, Arya Kadatwan.
Hanya saja, karena tidak disukai oleh para pembesar dari Sunda, ia
dibunuh tahun 895, sedangkan kekuasaannya diturunkan ke putranya,
Rakryan Windusakti. Kekuasaan ini lantas diturunkan pada putera
sulungnya, Rakryan Kamuninggading (913). Rakryan Kamuninggading
menguasai Sunda-Galuh hanya tiga tahun, sebab kemudian direbut oleh
adiknya, Rakryan Jayagiri (916). Rakryan Jayagiri berkuasa selama 28
tahun, kemudian diwariskan kepada menantunya, Rakryan Watuagung, tahun
942. Melanjutkan dendam orangtuanya, Rakryan Watuagung direbut
kekuasaannya oleh keponakannya (putera Kamuninggading), Sang
Limburkancana (954-964).
Dari Limburkancana, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan oleh putera
sulungnya, Rakryan Sundasambawa (964-973). Karena tidak mempunyai putera
dari Sundasambawa, kekuasaan tersebut jatuh ke adik iparnya, Rakryan
Jayagiri (973-989). Rakryan Jayagiri mewariskan kekuasaannya ka
puteranya, Rakryan Gendang (989-1012), dilanjutkan oleh cucunya, Prabhu
Déwasanghyang (1012-1019). Dari Déwasanghyang, kekuasaan diwariskan
kepada puteranya, lalu ke cucunya yang membuat prasasti Cibadak, Sri Jayabhupati (1030-1042). Sri Jayabhupati adalah menantu dari Dharmawangsa Teguh dari Jawa Timur, mertua raja Airlangga (1019-1042).
Dari Sri Jayabhupati, kekuasaan diwariskan kepada putranya,
Dharmaraja (1042-1064), lalu ke cucu menantunya, Prabhu Langlangbhumi
((1064-1154). Prabu Langlangbhumi dilanjutkan oleh putranya, Rakryan
Jayagiri (1154-1156), lantas oleh cucunya, Prabhu Dharmakusuma (1156-1175).
Dari Prabu Dharmakusuma, kekuasaan Sunda-Galuh diwariskan kepada
putranya, Prabhu Guru Dharmasiksa, yang memerintah selama 122 tahun
(1175-1297). Dharmasiksa memimpin Sunda-Galuh dari Saunggalah selama 12
tahun, tapi kemudian memindahkan pusat pemerintahan kepada Pakuan Pajajaran, kembali lagi ke tempat awal moyangnya (Tarusbawa) memimpin kerajaan Sunda.
Sepeninggal Dharmasiksa, kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya yang
terbesar, Rakryan Saunggalah (Prabhu Ragasuci), yang berkuasa selama
enam tahun (1297-1303). Prabhu Ragasuci kemudian diganti oleh putranya,
Prabhu Citraganda, yang berkuasa selama delapan tahun (1303-1311),
kemudian oleh keturunannya lagi, Prabu Linggadéwata (1311-1333). Karena
hanya mempunyai anak perempuan, Linggadéwata menurunkan kekuasaannya ke
menantunya, Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340), kemudian ke Prabu
Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350). Dari Prabu Ragamulya, kekuasaan
diwariskan ke putranya, Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (1350-1357),
yang di ujung kekuasaannya gugur saat Perang Bubat.
Karena saat kejadian di Bubat, putranya -- Niskalawastukancana -- masih
kecil, kekuasaan Sunda sementara dipegang oleh Patih Mangkubumi Sang
Prabu Bunisora (1357-1371).
Prasasti Kawali di Kabuyutan Astana Gedé, Kawali, Ciamis. |
Sapeninggal Prabu Bunisora, kekuasaan kembali lagi ke putra
Linggabuana, Niskalawastukancana, yang kemudian memimpin selama 104
tahun (1371-1475). Dari isteri pertama, Nay Ratna Sarkati, ia mempunyai
putera Sang Haliwungan (Prabu Susuktunggal), yang diberi kekuasaan
bawahan di daerah sebelah barat Citarum (daerah asal Sunda). Prabu
Susuktunggal yang berkuasa dari Pakuan Pajajaran, membangun pusat
pemerintahan ini dengan mendirikan keraton Sri Bima Punta Narayana
Madura Suradipati. Pemerintahannya terbilang lama (1382-1482), sebab
sudah dimulai saat ayahnya masih berkuasa di daerah timur. Dari Nay
Ratna Mayangsari, istrinya yang kedua, ia mempunyai putera
Ningratkancana (Prabu Déwaniskala), yang meneruskan kekuasaan ayahnya di
daerah Galuh (1475-1482).
Susuktunggal dan Ningratkancana menyatukan ahli warisnya dengan
menikahkan Jayadéwata (putra Ningratkancana) dengan Ambetkasih (putra
Susuktunggal). Tahun 1482, kekuasaan Sunda dan Galuh disatukan lagi oleh
Jayadéwata, yang bergelar Sri Baduga Maharaja. Sapeninggal Jayadéwata,
kekuasaan Sunda-Galuh turun ke putranya, Prabu Surawisésa (1521-1535),
kemudian Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543), Prabu Sakti (1543-1551),
Prabu Nilakéndra (1551-1567), serta Prabu Ragamulya atau Prabu
Suryakancana (1567-1579). Prabu Suryakancana ini merupakan pemimpin
kerajaan Sunda-Galuh yang terakhir, sebab setelah beberapa kali diserang
oleh pasukan Maulana Yusuf dari Kesultanan Banten, mengakibatkan kekuasaan Prabu Surya Kancana dan Kerajaan Pajajaran runtuh.
4. Arkeologi
Di Museum Nasional Indonesia di Jakarta terdapat sejumlah arca yang disebut "arca Caringin" karena pernah menjadi hiasan kebun asisten-residen Belanda di tempat tersebut. Arca tersebut dilaporkan ditemukan di Cipanas, dekat kawah Gunung Pulosari, dan terdiri dari satu dasar patung dan 5 arca berupa Shiwa Mahadewa, Durga, Batara Guru, Ganesha dan Brahma. Coraknya mirip corak patung Jawa Tengah dari awal abad ke-10.
Di situs purbakala Banten Girang,
yang terletak kira-kira 10 km di sebelah selatan pelabuhan Banten
sekarang, terdapat reruntuhan dari satu istana yang diperkirakan
didirikan di abad ke-10. Banyak unsur yang ditemukan dalam reruntuhan
ini yang menunjukkan pengaruh Jawa Tengah.
5. Raja-raja Kerajaan Sunda-Galuh
Di bawah ini deretan raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Sunda menurut naskah Pangéran Wangsakerta (waktu berkuasa dalam tahun Masehi):
- Tarusbawa (menantu Linggawarman, 669 - 723)
- Harisdarma, atawa Sanjaya (menantu Tarusbawa, 723 - 732)
- Tamperan Barmawijaya (732 - 739)
- Rakeyan Banga (739 - 766)
- Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766 - 783)
- Prabu Gilingwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, 783 - 795)
- Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Gilingwesi, 795 - 819)
- Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819 - 891)
- Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus, 891 - 895)
- Windusakti Prabu Déwageng (895 - 913)
- Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913 - 916)
- Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916 - 942)
- Atmayadarma Hariwangsa (942 - 954)
- Limbur Kancana (putera Rakeyan Kamuning Gading, 954 - 964)
- Munding Ganawirya (964 - 973)
- Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989)
- Brajawisésa (989 - 1012)
- Déwa Sanghyang (1012 - 1019)
- Sanghyang Ageng (1019 - 1030)
- Sri Jayabupati (Detya Maharaja, 1030 - 1042)
- Darmaraja (Sang Mokténg Winduraja, 1042 - 1065)
- Langlangbumi (Sang Mokténg Kerta, 1065 - 1155)
- Rakeyan Jayagiri Prabu Ménakluhur (1155 - 1157)
- Darmakusuma (Sang Mokténg Winduraja, 1157 - 1175)
- Darmasiksa Prabu Sanghyang Wisnu (1175 - 1297)
- Ragasuci (Sang Mokténg Taman, 1297 - 1303)
- Citraganda (Sang Mokténg Tanjung, 1303 - 1311)
- Prabu Linggadéwata (1311-1333)
- Prabu Ajiguna Linggawisésa (1333-1340)
- Prabu Ragamulya Luhurprabawa (1340-1350)
- Prabu Maharaja Linggabuanawisésa (yang gugur dalam Perang Bubat, 1350-1357)
- Prabu Bunisora (1357-1371)
- Prabu Niskalawastukancana (1371-1475)
- Prabu Susuktunggal (1475-1482)
- Jayadéwata (Sri Baduga Maharaja, 1482-1521)
- Prabu Surawisésa (1521-1535)
- Prabu Déwatabuanawisésa (1535-1543)
- Prabu Sakti (1543-1551)
- Prabu Nilakéndra (1551-1567)
- Prabu Ragamulya atau Prabu Suryakancana (1567-1579)
6. Hubungan dengan kerajaan lain
6.1. Singasari
Dalam Nagarakretagama, disebutkan bahwa setelah Kertanagara menaklukkan Bali (1206 Saka), kerajaan-kerajaan lain turut bertekuk lutut, tidak terkecuali Sunda. Jika ini benar, adalah aneh jika di kemudian hari, kerajaan Majapahit sebagai penerus yang kekuasaannya lebih besar justru tidak menguasai Sunda, sehingga nama Sunda harus termuat dalam sumpahnya Gajah Mada.
6.2. Eropa
Kerajaan Sunda sudah lama menjalin hubungan dagang dengan bangsa Eropa seperti Inggris, Perancis dan Portugis. Kerajaan Sunda bahkan pernah menjalin hubungan politik dengan bangsa Portugis. Dalam tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani Perjanjian Sunda-Portugis yang membolehkan orang Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagai imbalannya, Portugis diharuskan memberi bantuan militer kepada Kerajaan Sunda dalam menghadapi serangan dari Demak dan Cirebon [2](yang memisahkan diri dari Kerajaan Sunda).
7. Catatan kaki
- Claude Guillot et al., 1995, halaman 16
- The Sunda Kingdoms of West Java: From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor. Yayasan Cipta Loka Caraka. 4 Mei 2007.
8. Rujukan
- Aca. 1968. Carita Parahiyangan: naskah titilar karuhun urang Sunda abad ka-16 Maséhi. Yayasan Kabudayaan Nusalarang, Bandung.
- Ayatrohaedi. 2005. Sundakala: cuplikan sejarah Sunda berdasarkan naskah-naskah "Panitia Wangsakerta" dari Cirebon. Pustaka Jaya, Jakarta.
- Edi S. Ekajati. 2005. Polemik Naskah Pangeran Wangsakerta. Pustaka Jaya, Jakarta. ISBN 979-419-329-1
- Guillot, Claude, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono, "La principauté de Banten Girang" ("Kerajaan Banten Girang"), Archipel, Tahun 1995, Volume 50, No. 50, halaman 13-24
- Yoséph Iskandar. 1997. Sejarah Jawa Barat: yuganing rajakawasa. Geger Sunten, Bandung.
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar