Yohanes Calvin (bahasa Inggris: John Calvin; bahasa Perancis: Jean Calvin, nama lahir: Jehan Cauvin (Jean Chauvin); lahir di Noyon, Picardie, Kerajaan Perancis, 10 Juli 1509 – meninggal di Jenewa, Swiss, 27 Mei 1564 pada umur 54 tahun) adalah teolog Kristen terkemuka pada masa Reformasi Protestan yang berasal dari Perancis. Namanya kini dikenal dalam kaitan dengan sistem teologi Kristen yang disebut Calvinisme (Kalvinisme). Ia dilahirkan dengan nama Jean Chauvin (atau Cauvin) di Noyon, Picardie, Perancis, dari Gérard Cauvin dan Jeanne Lefranc. Bahasa Perancis adalah bahasa ibunya. Calvin berasal dari versi Latin namanya, Calvinus.
Daftar isi
1. Biografi
Yohanes Calvin adalah anak tertua dari 4 putra yang selamat melewati masa bayi dari orang tuanya. Ayahnya, Gérard Cauvin, mempunyai karir yang bagus sebagai notaris katedral dan registrar untuk pengadilan eklesiastikal/gerejawi. Ayahnya ini meninggal setelah menderita kanker testikular selama 2 tahun. Ibunya, Jeanne le Franc, adalah putri pemilik penginapan dari Cambrai. Ibunya meninggal beberapa tahun setelah kelahiran Calvin karena sakit payudara (bukan kanker payudara). Gérard mengharapkan tiga putranya — Charles, Jean, dan Antoine — kelak akan menjadi pendeta. Masa kecil Yohanes Calvin seringkali dihubungkan dengan Charles de Hangest, salah seorang dari Dua Belas bangsawan tertinggi di Perancis (twelve Peers of France) yang memerintah di Noyon (tempat Calvin dilahirkan).[1] Calvin dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan beberapa anggota keluarga Hangest.[1] Kedekatan ini menjadi alasan mengapa Calvin memiliki sikap dan pembawaan selayaknya seorang aristokrat.[1]
Calvin cepat dewasa melampaui waktunya; pada usia 12 tahun, ia dipekerjakan oleh uskup setempat sebagai jurutulis (clerk) dan menerima tonsure, yaitu pencukuran rambut di ubun-ubun sebagai tanda dedikasi kepada gereja. Ia juga mendapatkan perlindungan (patronage) dari keluarga Montmors yang berpengaruh.[2] Berkat bantuan mereka, Calvin dapat kuliah di Collège de la Marche, Paris, di mana ia mempelajari bahasa Latin dari salah satu guru terbaik, Mathurin Cordier.[3] Segera setelah menyelesaikan kuliahnya, ia kuliah di Collège de Montaigu dalam bidang filsafat.[4]
Dalam usia 14 tahun, tepatnya pada tahun 1523, ayah Calvin yang berprofesi sebagai seorang pengacara, mengirimnya ke Universitas Paris untuk belajar humaniora dan hukum.[5] Konon, Calvin berangkat ke Perancis bersama dengan tiga pemuda dari keluarga Hangst. Pada tahun 1532, ia telah menjadi Doktor Hukum di Orléans. Terbitannya yang pertama adalah sebuah edisi dari buku karya filsuf Romawi Seneca, De clementia, yang diberikannya komentar yang mendalam.
Pada 1536 ia menetap di Jenewa, ketika ia dihentikan dalam perjalannya ke Basel, oleh bujukan pribadi dari William Farel, seorang reformator. Ia menjadi pendeta di Strasbourg dari 1538-1541, lalu kembali ke Jenewa. Ia tinggal di sana hingga kematiannya pada 1564.
Yohanes Calvin berniat menikah untuk menunjukkan sikap positifnya terhadap pernikahan daripada kehidupan selibat. Ia meminta teman-temannya menolongnya mencarikan seorang perempuan yang "sederhana, taat, tidak sombong, tidak boros, sabar, dan bisa merawat kesehatan saya." Pada 1539 ia menikah dengan Idelette de Bure, janda seseorang yang dulunya anggota Anabaptis di Strasbourg. Idelette mempunyai seorang anak laki-laki dan perempuan dari almarhum suaminya. Namun hanya anak perempuannya yang pindah bersamanya ke Jenewa. Pada 1542, suami-istri Calvin mendapatkan seorang anak laki-laki yang dua minggu kemudian meninggal dunia. Idelette Calvin meninggal pada 1549. Calvin menulis bahwa istrinya telah banyak menolong dalam pelayanan gerejanya, tidak pernah menghalangi, tidak pernah menyusahkannya dengan urusan anak-anaknya dan berjiwa besar.
2. Tulisan-tulisan Calvin
Calvin menerbitkan beberapa revisi dari Institutio (Institusi Agama Kristen), sebuah karya yang menjadi dasar dalam teologi Kristen yang masih dibaca hingga sekarang. Tulisan ini dibuatnya dalam bahasa Latin pada 1536 (pada usia 26 tahun) dan kemudian dalam bahasa ibunya, bahasa Perancis, pada 1541, dan edisi finalnya masing-masing muncul pada tahun 1559 dan 1560.
Ia juga banyak menulis tafsiran tentang kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk Perjanjian Lama, ia menerbitkan tafsiran tentang semua kitab kecuali kitab-kitab sejarah setelah Kitab Yosua, meskipun ia menerbitkan khotbah-khotbahnya berdasarkan Kitab 1 Samuel dan sastra Hikmat kecuali Mazmur. Untuk Perjanjian Baru, ia melewatkan Surat 2 Yohanes dan Surat 3 Yohanes serta Kitab Wahyu. Sebagian orang mengatakan bahwa Calvin mempertanyakan kanonisitas Kitab Wahyu, tetapi ia mengutipnya dalam tulisan-tulisannya yang lain dan mengakui otoritasnya, sehingga teori itu diragukan. Tafsiran-tafsiran ini pun ternyata tetap berharga bagi para peneliti Alkitab, dan setelah lebih dari 400 tahun masih terus diterbitkan.
Dalam jilid ke-8 dari Sejarah Gereja Kristen karya Philip Schaff, sang sejarahwan mengutip teolog Belanda Jacobus Arminius (Arminianisme, sebuah gerakan anti-Calvinis, dinamai sesuai dengan nama Arminius), sehubungan dengan nilai tulisan-tulisan Calvin:
Selain mempelajari Alkitab yang sangat saya anjurkan, saya mengimbau murid-murid saya untuk memanfaatkan Tafsiran-tafsiran Calvin, yang saya puji jauh melebihi Helmich (seorang tokoh gereja Belanda, 1551-1608); karena saya bahwa ia sungguh tidak tertandingi dalam penafsiran Kitab Suci, dan bahwa tafsiran-tafsirannya harus jauh lebih dihargai daripada semua yang telah diwariskan kepada kita oleh khazanah para Bapak Gereja; sehingga saya mengakui bahwa ia memiliki jauh dari kebanyakan orang lain, atau lebih tepatnya, jauh melampaui semua orang, apa yang dapat disebut semangat nubuat yang menonjol. Institutio-nya harus dipelajari setelah Katekismus Heidelberg, karena mengandung penjelasan yang lebih lengkap, namun, seperti tulisan-tulisan semua orang, juga mengandung prasangka.
Beberapa dari tulisannya yang sudah dicetak adalah Institutio. Selain itu, ia juga menjadi penggagas dibentuknya Mazmur Jenewa.
3. Penyebaran Calvinisme
Sebagaimana praktik Calvin di Jenewa, terbitan-terbitannya menyebarkan gagasan-gagasannya tentang bagaimana Gereja Reformasi yang benar itu ke banyak bagian Eropa. Calvinisme menjadi sistem teologi dari mayoritas Gereja Kristen di Skotlandia, Belanda, dan bagian-bagian tertentu dari Jerman dan berpengaruh di Perancis, Hongaria (khususnya di Transilvania dan Polandia.
Kebanyakan kolonis di daerah Atlantik Tengah dan New England di Amerika adalah Calvinis, termasuk kaum Puritan dan para kolonis di New Amsterdam (New York). Para kolonis Calvinis Belanda juga merupakan kolonis Eropa pertama yang berhasil di Afrika Selatan pada awal abad ke-17, dan menjadi apa yang dikenal sebagai orang Boer atau Afrikaner.
Sebagian besar wilayah Sierra Leone dihuni oleh para kolonis Calvinis dari Nova Scotia, yang pada umumnya adalah kaum loyalis kulit hitam, yaitu orang-orang kulit hitam yang berperang untuk Britania Raya pada masa Perang Kemerdekaan Amerika.
Sebagian dari gereja-gereja Calvinis yang paling besar dimulai oleh para misionaris abad ke-19 dan abad ke-20, khususnya di Indonesia, Korea dan Nigeria.
4. Riba dan kapitalisme
Sebuah aliran pemikiran telah lama menganggap Calvinisme merupakan revolusi terhadap sikap bermusuhan Abad Pertengahan terhadap riba, dan, secara tidak langsung, keuntungan. Hal ini ikut mempersiapkan berkembangnya kapitalisme di Eropa utara. Hubungan ini dikemukakan dalam karya-karya berpengaruh dari R.H. Tawney dan Max Weber.
Calvin mengungkapkan pikirannya tentang riba dalam sebuah suratnya kepada seorang teman, Oecolampadius. Dalam surat ini, ia mengecam penggunaan ayat-ayat Alkitab tertentu oleh orang-orang yang menentang pemberlakuan bunga uang. Calvin menafsirkan kembali ayat-ayat tersebut dan mengatakan bahwa ayat-ayat yang lainnya sudah tidak relevan lagi mengingat kondisi-kondisi yang telah berubah.
Calvin juga menolak argumen (yang didasarkan pada tulisan-tulisan Aristoteles) bahwa mengambil bunga uang adalah keliru, karena uang sendiri itu mandul. Ia mengatakan bahwa dinding dan atap rumah pun mandul, tetapi orang diizinkan meminta bayaran dari seseorang yang menggunakannya. Dalam cara yang sama, uang pun dapat dimanfaatkan.
Namun demikian, Calvin juga berkata bahwa uang harus dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya, tanpa harus mengharapkan bunga.
5. Jenewa yang diperbarui
Lukisan gravir dari lukisan minyak asli di Perpustakaan Universitas Jeneva; lukisan ini dianggap paling mirip dengan Calvin.
Pada saat perang Ottoman, Yohanes Calvin sedang melakukan perjalanan ke Strasbourg dan melalui kanton-kanton di Swiss. Ketika singgah di Jeneva, William Farel meminta Calvin agar menolongnya dengan urusan gereja. Tentang permohonan Farel ini, Calvin menulis, "Saya merasa seolah-olah Allah sendiri dari surga telah menyuruh saya untuk menghentikan perjalanan saya." Bersama-sama Farel, Calvin berusaha melembagakan sejumlah perubahan dalam pemerintahan kota dan kehidupan keagamaan. Mereka menyusun sebuah buku katekismus dan pengakuan iman; seluruh warga kota itu mereka wajibkan untuk mengakuinya. Dewan kota menolak pengakuan iman Calvin dan Farel, dan pada Januari 1538 mereka mencabut kekuasaan kedua orang ini untuk melakukan ekskomunikasi, sebuah kekuasaan yang mereka anggap penting untuk pekerjaan mereka. Calvin dan Farel menjawabnya dengan memberlakukan larangan umum kepada semua penduduk Jenewa untuk mengikuti Perjamuan Kudus pada kebaktian Paskah. Karena itu, dewan kota pun mengusir mereka dari kota tersebut. Farel pergi ke Neuchâtel, dan Calvin ke Strasbourg.
Selama tiga tahun Calvin melayani sebagai seorang dosen dan pendeta sebuah gereja dari orang-orang Huguenot Perancis di Strasbourg. Pada masa pembuangannya itulah Calvin menikahi Idelette de Bure. Ia juga dipengaruhi oleh Martin Bucer, yang menganjurkan sebuah sistem politik dan struktur gerejawi yang mengikuti pola Perjanjian Baru. Calvin tetap mengikuti perkembangan-perkembangan di Jenewa, dan ketika Jacopo Sadoleto, seorang kardinal Katolik, menulis sebuah surat terbuka kepada dewan kota yang isinya mengajak Jenewa untuk kembali ke Gereja induk (Gereja Katolik Roma), jawaban Calvin atas nama kaum Protestan Jenewa yang sedang mengalami berbagai serangan, menolongnya mendapatkan kembali respek yang telah hilang sebelumnya. Setelah sejumlah pendukung Calvin memenangkan jabatan di Dewan Kota Jenewa, ia diundang kembali ke kota itu pada 1541.
Sekembalinya ke sana, berbekal wewenang untuk menyusun bentuk kelembagaan gereja, Calvin memulai program pembaharuannya. Ia menetapkan empat kategori dalam pelayanan gereja, dengan peranan dan kekuasaan yang berbeda-beda:
Doktor memegang jabatan dalam ilmu teologi dan pengajaran untuk membangun umat dan melatih orang-orang dalam jabatan-jabatan lain di gereja.
Pendeta yang bertugas berkhotbah, melayankan sakramen, dan menjalankan disiplin gereja, mengajar, dan memperingatkan umat.
Diaken mengawasi pekerjaan amal, termasuk pelayanan di rumah sakit dan program-program untuk melawan kemiskinan.
Penatua yaitu 12 orang awam yang tugasnya adalah melayani sebagai suatu polisi moral. Mereka umumnya mengeluarkan surat-surat peringatan, serta bila perlu menyerahkan para pelanggar ke Konsistori.
Para pengkritik seringkali menganggap Konsistori sebagai lambang pemerintahan teokratis Calvin. Konsistori adalah sebuah peradilan gerejawi yang terdiri atas sejumlah penatua dan pendeta, yang diberikan kuasa untuk mempertahankan ketertiban di dalam gereja dan di antara para anggotanya. Pelanggaran merentang dari menyebarkan doktrin yang salah hingga pelanggaran moral, misalnya berdansa dengan liar dan menyanyi dengan buruk. Bentuk-bentuk penghukuman biasanya lunak -- pelanggar dapat disuruh menghadiri khotbah-khotbah yang disampaikan secara terbuka atau kelas-kelas katekisasi. Perlu diingat konteks geopolitik yang lebih luas dari lembaga ini sebelum kita menilainya. Kaum Protestan pada abad ke-16 seringkali dikenai tuduhan oleh pihak Katolik bahwa mereka menciptakan doktrin-doktrin baru dan bahwa inovasi seperti itu mau tidak mau menyebabkan kemerosotan akhlak dan, pada akhirnya, kehancuran masyarakat itu sendiri. Calvin mengklaim bahwa ia ingin menegakkan legitimasi moral dari gereja yang diperbarui sesuai dengan programnya, namun juga meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat. Dokumentasi yang baru-baru ini ditemukan mengenai jalannya Konsistori memperlihatkan setidak-tidaknya perhatian terhadap kehidupan rumah tangga dan kaum perempuan pada khususnya. Untuk pertama kalinya kaum laki-laki yang serong dihukum sama kerasnya dengan kaum perempuan, dan Konsistori sama sekali tidak memperlihatkan toleransi terhadap pemukulan atau penyiksaan terhadap pasangan (khususnya istri). Peranan Konsistori ini kompleks. Badan ini membantu mentransformasikan Jenewa menjadi kota yang digambarkan oleh reformator Skotlandia John Knox sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di muka bumi sejak zaman para Rasul."
Namun demikian, tampaknya Calvin tidak bermaksud menggunakan Konsistori untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya dan untuk mempertahankan kontrolnya terhadap kehidupan sipil dan keagamaan di Jenewa. Calvin bergerak dengan cepat untuk menjawab pertanyaan apapun yang diajukan tentang tindakan-tindakannya. Kejadian yang paling menonjol adalah kasus Pierre Ameaux dan Jacques Gruet. Calvin enggan menahbiskan orang-orang Jenewa, karena ia lebih suka memilih pendeta dari arus para imigran Perancis yang masuk ke kota itu dengan maksud semata-mata mendukung program pembaruan Calvin. Ketika Pierre Ameaux mengeluh tentang praktik ini, Calvin menganggapnya sebagai serangan terhadap kewibawaannya sebagai seorang pendeta, dan ia membujuk dewan kota untuk memaksa Ameaux untuk berjalan mengelilingi kota dengan berpakaian rambut dan memohon belas kasihan di lapangan-lapangan terbuka. Jacques Gruet memihak dengan sejumlah keluarga Jenewa lama, yang menentang kekuasaan dan metode-metode Konsistori. Ia dipersalahkan dalam suatu insiden di mana seseorang menempatkan sebuah plakat di salah satu gereja di kota itu, yang berbunyi: "Bila orang telah terlalu banyak menderita, balas dendam pun akan dilakukan." Calvin menyetujui bahwa Gruet disiksa sampai mati, dengan tuduhan bahwa ia telah bersekongkol dengan sebuah komplotan Perancis untuk menyerang kota itu.
Pada 1553, dengan persetujuan Calvin, Michael Servetus (Miguel de Servetus) dijatuhi hukuman mati pada sebuah tiang atas tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Servetus dipandang banyak Unitarian sebagai salah seorang pendiri agama mereka. Calvin sendiri meminta dewan - namun gagal - agar hukuman mati itu diubah dari hukuman bakar dengan hukuman mati dengan pedang. Rincian historis dapat ditemukan dalam Schaff [1]. Calvin tetap pada posisinya hingga ia meninggal. Hukuman mati Servetus merupakan sebuah argumen utama yang digunakan untuk menyerang Calvin sejak masa hidupnya hingga sekarang, meskipun sejumlah sejarahwan percaya bahwa "Calvin hanya sial, dan bukannya bersalah besar karena intoleransi di antara para Reformator. Ia dan Servetus adalah orang-orang yang paling banyak diserang pada abad ke-16. Nama baik Calvin telah dijelek-jelekkan, sementara Servetus telah terlalu jauh dibersihkan dari kesalahan jauh melampaui titik tolak abad ke-16, bukan abad ke-19." [2]. Pada 1559 Calvin mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik anak-anak serta rumah sakit untuk merawat orang miskin.
Kesehatan Calvin mulai memburuk ketika ia menderita sakit kepala, perdarahan paru-paru, asam urat dan batu ginjal. Kadang-kadang, ia harus digotong ke mimbar. Calvin juga mengalami hal-hal yang mengalihkan perhatiannya. Menurut Beza [3], Calvin hanya makan satu kali sehari selama satu dasawarsa, namun atas nasihat dokternya, ia makan telur dan minum segelas anggur pada tengah hari [4],(meskipun ia seorang yang keras menentang konsumsi alkohol yang berlebihan; lihat Tafsirannya tentang Kejadian 9:20 [5]); rekreasinya hanya terdiri dari jalan kaki setelah makan. Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-temannya yang kuatir tentang kadar kerjanya sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?"
Yohanes Calvin meninggal di Jenewa pada 27 Mei 1564. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang ditandai semata-mata dengan inisialnya, "J.C", sebagian untuk menghormati permintaannya agar ia dikuburkan di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara.
6. Aneka rupa
Tokoh Calvin dalam komik Calvin and Hobbes karya Bill Watterson dinamai seturut nama Yohanes Calvin. Hal ini konon mencerminkan tokoh cerita itu, seorang anak kecil lelaki, yang percaya tentang predestinasi (sebagai pembenaran atas perilakunya), sementara boneka harimaunya memiliki pandangan yang sama seperti pandangan Thomas Hobbes tentang hakikat manusia yang suram.
Film Hardcore yang muncul tahun 1979 memuat diskusi tentang ajaran Calvin tentang predestinasi dan teori TULIP, yang dijelaskan oleh tokohnya Jake VanDorn (diperankan oleh George C. Scott) kepada Niki, seorang pelacur, sementara ia berusaha mencari anak perempuannya yang melarikan diri di California.
back to 100 tokoh berpengaruh
Arief
Daftar isi
- 1 Biografi
- 2 Tulisan-tulisan Calvin
- 3 Penyebaran Calvinisme
- 4 Riba dan kapitalisme
- 5 Jenewa yang diperbarui
- 6 Aneka rupa
- 7 Referensi
- 8 Pranala luar
1. Biografi
Yohanes Calvin adalah anak tertua dari 4 putra yang selamat melewati masa bayi dari orang tuanya. Ayahnya, Gérard Cauvin, mempunyai karir yang bagus sebagai notaris katedral dan registrar untuk pengadilan eklesiastikal/gerejawi. Ayahnya ini meninggal setelah menderita kanker testikular selama 2 tahun. Ibunya, Jeanne le Franc, adalah putri pemilik penginapan dari Cambrai. Ibunya meninggal beberapa tahun setelah kelahiran Calvin karena sakit payudara (bukan kanker payudara). Gérard mengharapkan tiga putranya — Charles, Jean, dan Antoine — kelak akan menjadi pendeta. Masa kecil Yohanes Calvin seringkali dihubungkan dengan Charles de Hangest, salah seorang dari Dua Belas bangsawan tertinggi di Perancis (twelve Peers of France) yang memerintah di Noyon (tempat Calvin dilahirkan).[1] Calvin dikenal memiliki hubungan yang dekat dengan beberapa anggota keluarga Hangest.[1] Kedekatan ini menjadi alasan mengapa Calvin memiliki sikap dan pembawaan selayaknya seorang aristokrat.[1]
Calvin cepat dewasa melampaui waktunya; pada usia 12 tahun, ia dipekerjakan oleh uskup setempat sebagai jurutulis (clerk) dan menerima tonsure, yaitu pencukuran rambut di ubun-ubun sebagai tanda dedikasi kepada gereja. Ia juga mendapatkan perlindungan (patronage) dari keluarga Montmors yang berpengaruh.[2] Berkat bantuan mereka, Calvin dapat kuliah di Collège de la Marche, Paris, di mana ia mempelajari bahasa Latin dari salah satu guru terbaik, Mathurin Cordier.[3] Segera setelah menyelesaikan kuliahnya, ia kuliah di Collège de Montaigu dalam bidang filsafat.[4]
Dalam usia 14 tahun, tepatnya pada tahun 1523, ayah Calvin yang berprofesi sebagai seorang pengacara, mengirimnya ke Universitas Paris untuk belajar humaniora dan hukum.[5] Konon, Calvin berangkat ke Perancis bersama dengan tiga pemuda dari keluarga Hangst. Pada tahun 1532, ia telah menjadi Doktor Hukum di Orléans. Terbitannya yang pertama adalah sebuah edisi dari buku karya filsuf Romawi Seneca, De clementia, yang diberikannya komentar yang mendalam.
Pada 1536 ia menetap di Jenewa, ketika ia dihentikan dalam perjalannya ke Basel, oleh bujukan pribadi dari William Farel, seorang reformator. Ia menjadi pendeta di Strasbourg dari 1538-1541, lalu kembali ke Jenewa. Ia tinggal di sana hingga kematiannya pada 1564.
Yohanes Calvin berniat menikah untuk menunjukkan sikap positifnya terhadap pernikahan daripada kehidupan selibat. Ia meminta teman-temannya menolongnya mencarikan seorang perempuan yang "sederhana, taat, tidak sombong, tidak boros, sabar, dan bisa merawat kesehatan saya." Pada 1539 ia menikah dengan Idelette de Bure, janda seseorang yang dulunya anggota Anabaptis di Strasbourg. Idelette mempunyai seorang anak laki-laki dan perempuan dari almarhum suaminya. Namun hanya anak perempuannya yang pindah bersamanya ke Jenewa. Pada 1542, suami-istri Calvin mendapatkan seorang anak laki-laki yang dua minggu kemudian meninggal dunia. Idelette Calvin meninggal pada 1549. Calvin menulis bahwa istrinya telah banyak menolong dalam pelayanan gerejanya, tidak pernah menghalangi, tidak pernah menyusahkannya dengan urusan anak-anaknya dan berjiwa besar.
2. Tulisan-tulisan Calvin
Calvin muda |
Ia juga banyak menulis tafsiran tentang kitab-kitab di dalam Alkitab. Untuk Perjanjian Lama, ia menerbitkan tafsiran tentang semua kitab kecuali kitab-kitab sejarah setelah Kitab Yosua, meskipun ia menerbitkan khotbah-khotbahnya berdasarkan Kitab 1 Samuel dan sastra Hikmat kecuali Mazmur. Untuk Perjanjian Baru, ia melewatkan Surat 2 Yohanes dan Surat 3 Yohanes serta Kitab Wahyu. Sebagian orang mengatakan bahwa Calvin mempertanyakan kanonisitas Kitab Wahyu, tetapi ia mengutipnya dalam tulisan-tulisannya yang lain dan mengakui otoritasnya, sehingga teori itu diragukan. Tafsiran-tafsiran ini pun ternyata tetap berharga bagi para peneliti Alkitab, dan setelah lebih dari 400 tahun masih terus diterbitkan.
Dalam jilid ke-8 dari Sejarah Gereja Kristen karya Philip Schaff, sang sejarahwan mengutip teolog Belanda Jacobus Arminius (Arminianisme, sebuah gerakan anti-Calvinis, dinamai sesuai dengan nama Arminius), sehubungan dengan nilai tulisan-tulisan Calvin:
Selain mempelajari Alkitab yang sangat saya anjurkan, saya mengimbau murid-murid saya untuk memanfaatkan Tafsiran-tafsiran Calvin, yang saya puji jauh melebihi Helmich (seorang tokoh gereja Belanda, 1551-1608); karena saya bahwa ia sungguh tidak tertandingi dalam penafsiran Kitab Suci, dan bahwa tafsiran-tafsirannya harus jauh lebih dihargai daripada semua yang telah diwariskan kepada kita oleh khazanah para Bapak Gereja; sehingga saya mengakui bahwa ia memiliki jauh dari kebanyakan orang lain, atau lebih tepatnya, jauh melampaui semua orang, apa yang dapat disebut semangat nubuat yang menonjol. Institutio-nya harus dipelajari setelah Katekismus Heidelberg, karena mengandung penjelasan yang lebih lengkap, namun, seperti tulisan-tulisan semua orang, juga mengandung prasangka.
Beberapa dari tulisannya yang sudah dicetak adalah Institutio. Selain itu, ia juga menjadi penggagas dibentuknya Mazmur Jenewa.
3. Penyebaran Calvinisme
Sebagaimana praktik Calvin di Jenewa, terbitan-terbitannya menyebarkan gagasan-gagasannya tentang bagaimana Gereja Reformasi yang benar itu ke banyak bagian Eropa. Calvinisme menjadi sistem teologi dari mayoritas Gereja Kristen di Skotlandia, Belanda, dan bagian-bagian tertentu dari Jerman dan berpengaruh di Perancis, Hongaria (khususnya di Transilvania dan Polandia.
Kebanyakan kolonis di daerah Atlantik Tengah dan New England di Amerika adalah Calvinis, termasuk kaum Puritan dan para kolonis di New Amsterdam (New York). Para kolonis Calvinis Belanda juga merupakan kolonis Eropa pertama yang berhasil di Afrika Selatan pada awal abad ke-17, dan menjadi apa yang dikenal sebagai orang Boer atau Afrikaner.
Sebagian besar wilayah Sierra Leone dihuni oleh para kolonis Calvinis dari Nova Scotia, yang pada umumnya adalah kaum loyalis kulit hitam, yaitu orang-orang kulit hitam yang berperang untuk Britania Raya pada masa Perang Kemerdekaan Amerika.
Sebagian dari gereja-gereja Calvinis yang paling besar dimulai oleh para misionaris abad ke-19 dan abad ke-20, khususnya di Indonesia, Korea dan Nigeria.
4. Riba dan kapitalisme
Sebuah aliran pemikiran telah lama menganggap Calvinisme merupakan revolusi terhadap sikap bermusuhan Abad Pertengahan terhadap riba, dan, secara tidak langsung, keuntungan. Hal ini ikut mempersiapkan berkembangnya kapitalisme di Eropa utara. Hubungan ini dikemukakan dalam karya-karya berpengaruh dari R.H. Tawney dan Max Weber.
Calvin mengungkapkan pikirannya tentang riba dalam sebuah suratnya kepada seorang teman, Oecolampadius. Dalam surat ini, ia mengecam penggunaan ayat-ayat Alkitab tertentu oleh orang-orang yang menentang pemberlakuan bunga uang. Calvin menafsirkan kembali ayat-ayat tersebut dan mengatakan bahwa ayat-ayat yang lainnya sudah tidak relevan lagi mengingat kondisi-kondisi yang telah berubah.
Calvin juga menolak argumen (yang didasarkan pada tulisan-tulisan Aristoteles) bahwa mengambil bunga uang adalah keliru, karena uang sendiri itu mandul. Ia mengatakan bahwa dinding dan atap rumah pun mandul, tetapi orang diizinkan meminta bayaran dari seseorang yang menggunakannya. Dalam cara yang sama, uang pun dapat dimanfaatkan.
Namun demikian, Calvin juga berkata bahwa uang harus dipinjamkan kepada orang-orang yang sangat membutuhkannya, tanpa harus mengharapkan bunga.
5. Jenewa yang diperbarui
Lukisan gravir dari lukisan minyak asli di Perpustakaan Universitas Jeneva; lukisan ini dianggap paling mirip dengan Calvin. |
Pada saat perang Ottoman, Yohanes Calvin sedang melakukan perjalanan ke Strasbourg dan melalui kanton-kanton di Swiss. Ketika singgah di Jeneva, William Farel meminta Calvin agar menolongnya dengan urusan gereja. Tentang permohonan Farel ini, Calvin menulis, "Saya merasa seolah-olah Allah sendiri dari surga telah menyuruh saya untuk menghentikan perjalanan saya." Bersama-sama Farel, Calvin berusaha melembagakan sejumlah perubahan dalam pemerintahan kota dan kehidupan keagamaan. Mereka menyusun sebuah buku katekismus dan pengakuan iman; seluruh warga kota itu mereka wajibkan untuk mengakuinya. Dewan kota menolak pengakuan iman Calvin dan Farel, dan pada Januari 1538 mereka mencabut kekuasaan kedua orang ini untuk melakukan ekskomunikasi, sebuah kekuasaan yang mereka anggap penting untuk pekerjaan mereka. Calvin dan Farel menjawabnya dengan memberlakukan larangan umum kepada semua penduduk Jenewa untuk mengikuti Perjamuan Kudus pada kebaktian Paskah. Karena itu, dewan kota pun mengusir mereka dari kota tersebut. Farel pergi ke Neuchâtel, dan Calvin ke Strasbourg.
Selama tiga tahun Calvin melayani sebagai seorang dosen dan pendeta sebuah gereja dari orang-orang Huguenot Perancis di Strasbourg. Pada masa pembuangannya itulah Calvin menikahi Idelette de Bure. Ia juga dipengaruhi oleh Martin Bucer, yang menganjurkan sebuah sistem politik dan struktur gerejawi yang mengikuti pola Perjanjian Baru. Calvin tetap mengikuti perkembangan-perkembangan di Jenewa, dan ketika Jacopo Sadoleto, seorang kardinal Katolik, menulis sebuah surat terbuka kepada dewan kota yang isinya mengajak Jenewa untuk kembali ke Gereja induk (Gereja Katolik Roma), jawaban Calvin atas nama kaum Protestan Jenewa yang sedang mengalami berbagai serangan, menolongnya mendapatkan kembali respek yang telah hilang sebelumnya. Setelah sejumlah pendukung Calvin memenangkan jabatan di Dewan Kota Jenewa, ia diundang kembali ke kota itu pada 1541.
Sekembalinya ke sana, berbekal wewenang untuk menyusun bentuk kelembagaan gereja, Calvin memulai program pembaharuannya. Ia menetapkan empat kategori dalam pelayanan gereja, dengan peranan dan kekuasaan yang berbeda-beda:
Doktor memegang jabatan dalam ilmu teologi dan pengajaran untuk membangun umat dan melatih orang-orang dalam jabatan-jabatan lain di gereja.
Pendeta yang bertugas berkhotbah, melayankan sakramen, dan menjalankan disiplin gereja, mengajar, dan memperingatkan umat.
Diaken mengawasi pekerjaan amal, termasuk pelayanan di rumah sakit dan program-program untuk melawan kemiskinan.
Penatua yaitu 12 orang awam yang tugasnya adalah melayani sebagai suatu polisi moral. Mereka umumnya mengeluarkan surat-surat peringatan, serta bila perlu menyerahkan para pelanggar ke Konsistori.
Para pengkritik seringkali menganggap Konsistori sebagai lambang pemerintahan teokratis Calvin. Konsistori adalah sebuah peradilan gerejawi yang terdiri atas sejumlah penatua dan pendeta, yang diberikan kuasa untuk mempertahankan ketertiban di dalam gereja dan di antara para anggotanya. Pelanggaran merentang dari menyebarkan doktrin yang salah hingga pelanggaran moral, misalnya berdansa dengan liar dan menyanyi dengan buruk. Bentuk-bentuk penghukuman biasanya lunak -- pelanggar dapat disuruh menghadiri khotbah-khotbah yang disampaikan secara terbuka atau kelas-kelas katekisasi. Perlu diingat konteks geopolitik yang lebih luas dari lembaga ini sebelum kita menilainya. Kaum Protestan pada abad ke-16 seringkali dikenai tuduhan oleh pihak Katolik bahwa mereka menciptakan doktrin-doktrin baru dan bahwa inovasi seperti itu mau tidak mau menyebabkan kemerosotan akhlak dan, pada akhirnya, kehancuran masyarakat itu sendiri. Calvin mengklaim bahwa ia ingin menegakkan legitimasi moral dari gereja yang diperbarui sesuai dengan programnya, namun juga meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat. Dokumentasi yang baru-baru ini ditemukan mengenai jalannya Konsistori memperlihatkan setidak-tidaknya perhatian terhadap kehidupan rumah tangga dan kaum perempuan pada khususnya. Untuk pertama kalinya kaum laki-laki yang serong dihukum sama kerasnya dengan kaum perempuan, dan Konsistori sama sekali tidak memperlihatkan toleransi terhadap pemukulan atau penyiksaan terhadap pasangan (khususnya istri). Peranan Konsistori ini kompleks. Badan ini membantu mentransformasikan Jenewa menjadi kota yang digambarkan oleh reformator Skotlandia John Knox sebagai "sekolah Kristus yang paling sempurna yang pernah ada di muka bumi sejak zaman para Rasul."
Namun demikian, tampaknya Calvin tidak bermaksud menggunakan Konsistori untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya dan untuk mempertahankan kontrolnya terhadap kehidupan sipil dan keagamaan di Jenewa. Calvin bergerak dengan cepat untuk menjawab pertanyaan apapun yang diajukan tentang tindakan-tindakannya. Kejadian yang paling menonjol adalah kasus Pierre Ameaux dan Jacques Gruet. Calvin enggan menahbiskan orang-orang Jenewa, karena ia lebih suka memilih pendeta dari arus para imigran Perancis yang masuk ke kota itu dengan maksud semata-mata mendukung program pembaruan Calvin. Ketika Pierre Ameaux mengeluh tentang praktik ini, Calvin menganggapnya sebagai serangan terhadap kewibawaannya sebagai seorang pendeta, dan ia membujuk dewan kota untuk memaksa Ameaux untuk berjalan mengelilingi kota dengan berpakaian rambut dan memohon belas kasihan di lapangan-lapangan terbuka. Jacques Gruet memihak dengan sejumlah keluarga Jenewa lama, yang menentang kekuasaan dan metode-metode Konsistori. Ia dipersalahkan dalam suatu insiden di mana seseorang menempatkan sebuah plakat di salah satu gereja di kota itu, yang berbunyi: "Bila orang telah terlalu banyak menderita, balas dendam pun akan dilakukan." Calvin menyetujui bahwa Gruet disiksa sampai mati, dengan tuduhan bahwa ia telah bersekongkol dengan sebuah komplotan Perancis untuk menyerang kota itu.
Pada 1553, dengan persetujuan Calvin, Michael Servetus (Miguel de Servetus) dijatuhi hukuman mati pada sebuah tiang atas tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Servetus dipandang banyak Unitarian sebagai salah seorang pendiri agama mereka. Calvin sendiri meminta dewan - namun gagal - agar hukuman mati itu diubah dari hukuman bakar dengan hukuman mati dengan pedang. Rincian historis dapat ditemukan dalam Schaff [1]. Calvin tetap pada posisinya hingga ia meninggal. Hukuman mati Servetus merupakan sebuah argumen utama yang digunakan untuk menyerang Calvin sejak masa hidupnya hingga sekarang, meskipun sejumlah sejarahwan percaya bahwa "Calvin hanya sial, dan bukannya bersalah besar karena intoleransi di antara para Reformator. Ia dan Servetus adalah orang-orang yang paling banyak diserang pada abad ke-16. Nama baik Calvin telah dijelek-jelekkan, sementara Servetus telah terlalu jauh dibersihkan dari kesalahan jauh melampaui titik tolak abad ke-16, bukan abad ke-19." [2]. Pada 1559 Calvin mendirikan sebuah sekolah untuk mendidik anak-anak serta rumah sakit untuk merawat orang miskin.
Kesehatan Calvin mulai memburuk ketika ia menderita sakit kepala, perdarahan paru-paru, asam urat dan batu ginjal. Kadang-kadang, ia harus digotong ke mimbar. Calvin juga mengalami hal-hal yang mengalihkan perhatiannya. Menurut Beza [3], Calvin hanya makan satu kali sehari selama satu dasawarsa, namun atas nasihat dokternya, ia makan telur dan minum segelas anggur pada tengah hari [4],(meskipun ia seorang yang keras menentang konsumsi alkohol yang berlebihan; lihat Tafsirannya tentang Kejadian 9:20 [5]); rekreasinya hanya terdiri dari jalan kaki setelah makan. Menjelang akhir hayatnya, Calvin berkata kepada teman-temannya yang kuatir tentang kadar kerjanya sehari-hari, "Apa? Apakah kalian ingin aku menganggur apabila Tuhan menemukan aku saat Ia datang kembali kedua kalinya?"
Yohanes Calvin meninggal di Jenewa pada 27 Mei 1564. Ia dikuburkan di Cimetière des Rois dengan sebuah batu nisan yang ditandai semata-mata dengan inisialnya, "J.C", sebagian untuk menghormati permintaannya agar ia dikuburkan di sebuah tempat yang tidak dikenal, tanpa saksi ataupun upacara.
6. Aneka rupa
Tokoh Calvin dalam komik Calvin and Hobbes karya Bill Watterson dinamai seturut nama Yohanes Calvin. Hal ini konon mencerminkan tokoh cerita itu, seorang anak kecil lelaki, yang percaya tentang predestinasi (sebagai pembenaran atas perilakunya), sementara boneka harimaunya memiliki pandangan yang sama seperti pandangan Thomas Hobbes tentang hakikat manusia yang suram.
Film Hardcore yang muncul tahun 1979 memuat diskusi tentang ajaran Calvin tentang predestinasi dan teori TULIP, yang dijelaskan oleh tokohnya Jake VanDorn (diperankan oleh George C. Scott) kepada Niki, seorang pelacur, sementara ia berusaha mencari anak perempuannya yang melarikan diri di California.
7. Referensi
- Francois Wendel. 2010. Calvin: Asal Usul dan Perkembangan Pemikiran Religiusnya. Surabaya: Momentum. 4-5.>
- Cottret 2000, hal. 8–12; Parker 2006, hal. 17–20
- Ganoczy 2004, hal. 3–4; Cottret 2000, hal. 12–16; Parker 2006, hal. 21. McGrath 1990, hal. 22–27 menyatakan bahwa Nicolas Colladon adalah yang membiayai kuliahnya di Collège de la Marche, yang dibantah oleh McGrath.
- Cottret 2000, hal. 17–18; Parker 2006, hal. 22–23
- (Indonesia) J. L. Ch. Abineno. 2006, Bucer & Calvin, Suatu Perbandingan Singkat, Jakarta: Gunung Mulia. Hlm.1.
8. Pranala luar
- (Inggris) Institutio (Inti Ajaran Agama Kristen) karangan Calvin
- (Inggris) Tafsiran Alkitab Calvin
- (Inggris) Tulisan-tulisan lain dari Calvin dalam Christian Classics Ethereal Library; termasuk khotbah-khotbahnya dalam bahasa Latin dan Perancis, "Tentang Kehidupan Orang Kristen," dan "Tentang Doa."
- (Inggris) Tulisan-tulisan Yohanes Calvin Menjawab Pertanyaan Masa Kini
- (Inggris) History of the Christian Church, Volume VIII: Modern Christianity. The Swiss Reformation. oleh Philip Schaff
- (Inggris) Bainton, Roland (1974). Women of the Reformation in England and France. Boston, MA: Beacon Press. ISBN 0-8070-5649-9.
- (Inggris) Robert M. Kingdon, "The Geneva Consistory in the Time of Calvin," dalam Calvinism in Europe 1540-1620, Andrew Pettegree et al., eds. Cambridge: Cambridge UP, 1994.
- (Inggris) (Indonesia) 500 tahun Kalvin
back to 100 tokoh berpengaruh
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar