Nusantara pada periode prasejarah mencakup suatu periode yang
sangat panjang, kira-kira sejak 1,7 juta tahun yang lalu, berdasarkan
temuan-temuan yang ada. Pengetahuan orang terhadap hal ini didukung oleh
temuan-temuan fosil hewan dan manusia (hominid), sisa-sisa peralatan dari batu, bagian tubuh hewan, logam (besi dan perunggu), serta gerabah.
1. Geologi
Wilayah Nusantara merupakan kajian yang menarik dari sisi geologi karena sangat aktif. Di bagian timur hingga selatan kepulauan ini terdapat busur pertemuan dua lempeng benua yang besar: Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia.
Di bagian ini, lempeng Eurasia bergerak menuju selatan dan menghunjam
ke bawah Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara. Akibat hal ini
terbentuk barisan gunung api di sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, hingga pulau-pulau Nusa Tenggara. Daerah ini juga rawan gempa bumi sebagai akibatnya.
Di bagian timur terdapat pertemuan dua lempeng benua besar lainnya, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik. Pertemuan ini membentuk barisan gunung api di Kepulauan Maluku bagian utara ke arah bagian utara Pulau Sulawesi menuju Filipina
Nusantara di Zaman Es akhir pernah menjadi bagian dua daratan besar |
Wilayah barat Nusantara moderen muncul kira-kira sekitar kala Pleistosen terhubung dengan Asia Daratan. Sebelumnya diperkirakan sebagian wilayahnya merupakan bagian dari dasar lautan. Daratan ini dinamakan Paparan Sunda ("Sundaland") oleh kalangan geologi. Batas timur daratan lama ini paralel dengan apa yang sekarang dikenal sebagai Garis Wallace.
Wilayah timur Nusantara, di sisi lain, secara geografis terhubung dengan Benua Australia dan berumur lebih tua sebagai daratan. Daratan ini dikenal sebagai Paparan Sahul dan merupakan bagian dari Lempeng Indo-Australia, yang pada gilirannya adalah bagian dari Benua Gondwana.
Di akhir Zaman Es
terakhir (20.000-10.000 tahun yang lalu) suhu rata-rata bumi meningkat
dan permukaan laut meningkat pesat. Sebagian besar Paparan Sunda
tertutup lautan dan membentuk rangkaian perairan Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Selat Karimata, dan Laut Jawa. Pada periode inilah terbentuk Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, dan pulau-pulau di sekitarnya. Di timur, Pulau Irian dan Kepulauan Aru
terpisah dari daratan utama Benua Australia. Kenaikan muka laut ini
memaksa masyarakat penghuni wilayah ini saling terpisah dan mendorong
terbentuknya masyarakat penghuni Nusantara moderen.
2. Tumbuhan, hewan dan hominid
Sejarah geologi Nusantara memengaruhi flora dan fauna, termasuk
makhluk mirip manusia yang pernah menghuni wilayah ini. Sebagian daratan
Nusantara dulu merupakan dasar laut, seperti wilayah pantai selatan
Jawa dan Nusa Tenggara. Aneka fosil hewan laut ditemukan di wilayah ini.
Daerah ini dikenal sebagai daerah karst yang terbentuk dari endapan kapur terumbu karang purba.
Endapan batu bara di wilayah Sumatera dan Kalimantan memberi indikasi pernah adanya hutan dari masa Paleozoikum.
Laut dangkal di antara Sumatera, Jawa (termasuk Bali), dan Kalimantan, serta Laut Arafura dan Selat Torres
adalah perairan muda yang baru mulai terbentuk kala berakhirnya Zaman
Es terakhir (hingga 10.000 tahun sebelum era moderen). Inilah yang
menyebabkan mengapa ada banyak kemiripan jenis tumbuhan dan hewan di
antara ketiga pulau besar tersebut.
Flora dan fauna di ketiga pulau tersebut memiliki kesamaan dengan daratan Asia (Indocina, Semenanjung Malaya, dan Filipina). Harimau, gajah, tapir, kerbau, babi, badak, dan berbagai unggas yang hidup di Asia daratan banyak yang memiliki kerabat di ketiga pulau ini.
Makhluk mirip manusia (hominin) yang menghuni Nusantara yang diketahui adalah manusia Jawa. Fosil dari satu bagian tengkorak Pithecanthropus erectus ditemukan pada tahun 1891 oleh Eugene Dubois di Trinil, Kabupaten Ngawi. Sejak 1934, G.H.R. von Koenigswald beserta timnya menemukan serangkaian fosil hominin di lembah sepanjang Bengawan Solo, yaitu di Sangiran dan Ngandong serta di tepi Sungai Brantas di dekat Mojokerto. Para ahli paleontologi sekarang kebanyakan berpendapat bahwa semua fosil temuan dari Jawa adalah Homo erectus dan merupakan bentuk yang primitif. Semula diduga berumur 1.000.000 sampai 500.000 tahun (pengukuran karbon tidak memungkinkan), kini berdasarkan pengukuran radiometri terhadap mineral vulkanik pada lapisan penemuan diduga usianya lebih tua, yaitu 1,7-1,5 juta tahun.[1][2]
Homo sapiens moderen pertama masuk ke Nusantara diduga sekitar 100.000 tahun lalu, melalui India dan Indocina. Fosil Homo sapiens pertama di Jawa ditemukan oleh van Rietschoten (1889), anggota tim Dubois, di Wajak, dekat Campurdarat, Tulungagung, di tepian Sungai Brantas.[3] Ia ditemukan bersamaan dengan tulang tapir, hewan yang pada masa kini tidak hidup di Jawa. Fosil Wajak dianggap bersamaan ras dengan fosil Gua Niah di Sarawak dan Gua Tabon di Pulau Palawan. Fosil Niah diperkirakan berusia 40.000-25.000 tahun (periode Pleistosen) dan menunjukkan fenotipe "Australomelanesoid".[4] Mereka adalah pendukung budaya kapak perimbas (chopper) dan termasuk dalam kultur paleolitikum (Zaman Batu Tua).
Pengumuman pada tahun 2003 tentang penemuan Homo floresiensis yang dianggap sebagai spesies Homo
primitif oleh para penemunya memantik perdebatan baru mengenai
kemungkinan adanya spesies mirip manusia yang hidup dalam periode yang
bersamaan dengan H. sapiens, karena hanya berusia 20.000-10.000 tahun sejak era moderen dan tidak terfosilisasi. Hal ini bertentangan dengan anggapan sebelumnya yang menyatakan bahwa hanya H. sapiens yang bertahan di Nusantara pada masa itu. Perdebatan ini belum tuntas, karena penentangnya menganggap H. floresiensis adalah H. sapiens yang menderita penyakit sehingga berukuran katai.
3. Migrasi manusia
Diorama di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, menampilkan model ukuran sebenarnya pemburu bersenjata alat batu, keluarga Homo erectus hidup di Sangiran sekitar 900.000 tahun yang lalu. |
Bukti-bukti Homo sapiens pertama diketahui dari tengkorak dan sisa-sisa tulang hominin di Wajak, Gua Niah (Serawak), serta temuan-temuan baru di Pegunungan Sewu sejak awal paruh kedua abad ke-20 hingga sekarang, membentang dari Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, hingga kawasan Teluk Pacitan, Kabupaten Pacitan.
Temuan di Wajak, yang pertama kali ditemukan sulit ditentukan
penanggalannya, namun fosil di Gua Niah menunjukkan usia sekitar 40.000
tahun yang lalu. Usia fosil utuh di Gua Braholo (Gunungkidul, ditemukan
tahun 2002) dan Song (Gua) Keplek dan Terus (Pacitan) berusia lebih muda
(sekitar 10.000 tahun sebelum era moderen atau tahun 0 Masehi).
Pendugaan ini berasal dari bentuk perkakas yang ditemukan menyertainya.
Walaupun berasal dari masa budaya yang berbeda, fosil-fosil itu menunjukkan ciri-ciri Austromelanesoid, suatu subras dari ras Negroid yang sekarang dikenal sebagai penduduk asli Pulau Papua, Melanesia, dan Benua Australia. Teori mengenai asal-usul ras ini pertama kali dideskripsikan oleh Fritz dan Paul Sarasin, dua sarjana bersaudara (sepupu satu sama lain) asal Swiss di akhir abad ke-19. Dalam kajiannya, mereka melihat kesamaan ciri antara orang Vedda yang menghuni Sri Lanka dengan beberapa penduduk asli berciri sama di Asia Tenggara kepulauan dan Australia.
4. Kronologi
4.1. Paleolitik
Homo erectus diketahui menggunakan alat batu kasar khas paleolitik dan juga alat yang terbuat dari cangkang kerang, hal ini berdasarkan temuan di Sangiran dan Ngandong.
Analisis bekas irisan pada fosil tulang mamalia yang berasal dari era
Pleistosen mencatat 18 luka bekas irisan akibat alat serpihan cangkang
kerang saat menyembelih lembu purba, ditemukan pada formasi Pucangan di
Sangiran yang berasal dari kurun 1,6 sampai 1,5 juta tahun lalu. Tanda
bekas irisan pada tulang ini menunjukkan penggunaan alat batu pertama
yang menunjukkan bukti tertua penggunaan alat serpihan cangkang kerang
yang ditajamkan di dunia.[5]
4.2. Neolitik
Batu yang diasah adalah bukti peradaban neolitik, misalnya mata kapak batu dan mata cangkul batu yang diasah. Batu yang diasah dan dihaluskan ini dikembangkan oleh orang-orang Austronesia yang menghuni kepulauan Indonesia. Pada periode ini pula berkembang struktur batu besar atau megalitik di Nusantara.
4.3. Megalitik
Masyarakat di pulau Nias di Indonesia tengah memindahkan sebuah megalit ke kawasan pembangunan, sekitar tahun 1915 |
Monolitik Toraja sekitar tahun 1935. |
Nusantara adalah rumah bagi banyak situs megalitik bangsa Austronesia pada masa lalu hingga masa kini. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan, misalnya menhir, dolmen, meja batu, patung nenek moyang, dan piramida berundak yang lazim disebut Punden Berundak. Struktur megalitik ini ditemukan di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.
Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Pagguyangan, Cisolok dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari yang juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu, dan sarkofagus.[6] Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman kerajaan Hindu-Buddha Nusantara setelah penduduk lokal menerima pengaruh peradaban Hindu-Buddha dari India. Candi Borobudur dari abad ke-8 dan candi Sukuh dari abad ke-15 tak ubahnya adalah struktur punden berundak.
Di Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, ditemukan beberapa relik megalitik yang menampilkan patung nenek moyang. Kebanyakan terletak di lembah Bada, Besoa, dan Napu.[7]
Tradisi megalitik yang hidup tetap bertahan di Nias, pulau yang terisolasi di lepas pantai barat Sumatera, Kebudayaan Batak di pedalaman Sumatera Utara, pulau Sumba di Nusa Tenggara Timur, serta kebudayaan Toraja di pedalaman Sulawesi Selatan. Tradisi megalitik ini tetap bertahan, terisolasi, dan tak terusik hingga akhir abad ke-19.
4.4. Zaman Perunggu
Kebudayaan Dong Son
menyebar ke Indonesia membawa teknik peleburan dan pembuatan alat logam
perunggu, pertanian padi lahan basah, ritual pengorbanan kerbau,
praktik megalitik, dan tenun ikat.
Praktik tradisi ini ditemukan di masyarakat Batak dan Toraja serta
beberapa pulau di Nusa Tenggara. Artifak peradaban ini adalah gendang
perunggu Nekara yang ditemukan di seantore Nusantara serta kapak perunggu upacara.
5. Sistem kepercayaan
Warga Indonesia purba adalah penganut animisme dan dinamisme
yang memuliakan roh alam dan roh nenek moyang. Arwah Leluhur yang telah
meninggal dunia dipercaya masih memiliki kekuatan spiritual dan
mempengaruhi kehidupan keturunannya. Pemuliaan terhadap arwah nenek
moyang menyebar luas di masyarakat kepulauan Nusantara, mulai dari
masyarakat Nias, Batak, Dayak, Toraja, dan Papua. Pemuliaan ini misalnya
diwujudkan dalam upacara sukuran panen yang memanggil roh dewata
pertanian, hingga upacara kematian dan pemakaman yang rumit untuk
mempersiapkan dan mengantar arwah orang yang baru meninggal menuju alam
nenek moyang. Kuasa spiritual tak kasat mata ini dikenali sebagai hyang di Jawa dan Bali dan hingga kini masih dimuliakan dalam agama Hindu Dharma Bali.
6. Penghidupan
Mata pencaharian dan penghidupan masyarakat prasejarah di Indonesia
berkisar antara kehidupan berburu dan meramu masyarakat hutan, hingga
kehidupan pertanian yang rumit, dengan kemampuan bercocok tanam
padi-padian, memelihara hewan ternak, hingga mampu membuat kerajinan
tenun dan tembikar.
Kondisi pertanian yang ideal memungkinkan upaya bercocok tanam padi lahan basah (sawah) mulai berkembang sekitar abad ke-8 SM.[8]
memungkinkan desa dan kota kecil mulai berkembang pada abad pertama
Masehi. Kerajaan ini yang lebih mirip kumpulan kampung yang tunduk
kepada seorang kepala suku, berkembang dengan kesatuan suku bangsa dan
sistem kepercayaan mereka. Iklim tropis Jawa dengan curah hujan yang
cukup banyak dan tanah vulkanik memungkinkan pertanian padi sawah
berkembang subur. Sistem sawah membutuhkan masyarakat yang terorganisasi
dengan baik dibandingkan dengan sistem padi lahan kering (ladang) yang
lebih sederhana sehingga tidak memerlukan sistem sosial yang rumit untuk
mendukungnya.
Kebudayaan Buni berupa budaya tembikar berkembang di pantai utara Jawa Barat dan Banten sekitar 400 SM hingga 100 M.[9] Kebudayaan Buni mungkin merupakan pendahulu kerajaan Tarumanagara, salah satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia yang menghasilkan banyak prasasti yang menandai awal berlangsungnya periode sejarah di pulau Jawa.
7. Peninggalan masa prasejarah
Peninggalan masa prasejarah Nusantara diketahui dari berbagai
temuan-temuan coretan/lukisan di dinding gua atau ceruk di tebing-tebing
serta dari penggalian-penggalian pada situs-situs purbakala.
Beberapa lokasi penemuan sisa-sisa prasejarah Nusantara:
- Situs Gua Putri, Baturaja, Sumatera Selatan
- Lembah Sangiran, sekarang menjadi Taman Purbakala Sangiran
- Situs Purbakala Wajak, Tulungagung
- Liang Bua, Pulau Flores
- Gua Leang-leang, Sulawesi
- Situs Gua Perbukitan Sangkulirang, Kutai Timur
- Situs Pasemah di Lampung
- Situs Pangguyangan, Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat
- Situs Cipari, Kuningan, Jawa Barat
- Situs Goa Pawon, Bandung, Jawa Barat
- Situs Gunungpadang, Cianjur, Jawa Barat
- Situs Gilimanuk, Jembrana, Bali
- Situs Gua-gua Biak, Papua (40.000-30.000 SM)[10]
- Situs Lukisan tepi pantai di Raja Ampat, Papua Barat
- Situs Tutari, Kabupaten Jayapura, (periode Megalitikum)[11]
- Gua Babi di Gunung Batu Buli, desa Randu, Muara Uya, Tabalong
8. Catatan kaki
- The First Humans: Java Man
- Java Man di Encyclopaedia Brittanica.
- Foto H. sapiens wadjakensis
- M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto. 1992. Sejarah Nasional Indonesia 1: Jaman Prasejarah di Indonesia. Balai Pustaka. p.92.
- Shell tool use by early members of Homo erectus in Sangiran, central Java, Indonesia: cut mark evidence
- [1]|Cipari archaeological park discloses prehistoric life in West Java.
- [2]|Lore Lindu National Park, Central Sulawesi.
- Taylor, Jean Gelman. Indonesia. New Haven and London: Yale University Press. hlm. 8–9. ISBN 0-300-10518-5.
- Zahorka, Herwig (2007). The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor, Over 1000 Years of Propsperity and Glory. Yayasan cipta Loka Caraka.
- Papua Kaya Situs Arkeologi Kuno. Kompas daring. Edisi 17-04-2009.
- Papua Kaya Situs Arkeologi Kuno. Kompas daring. Edisi 17-04-2009.
9. Pranala luar
- P. M. Alhamidi Kerajaan Kandis "Atlantis Nusantara": Antara Cerita dan Fakta (Sebuah Hipotesa Lokasi Awal Peradaban di Indonesia). Makalah Seminar.
- Kenedi Nurhan. Memburu Jejak Manusia Purba di Tepi Kali Baksoka. Mirror dari Artikel di Kompas daring Edisi 8 Desember 2000
Berita Terkait
Kerajaan Hindu-Buddha · Kerajaan Islam · Era Portugis · Era VOC · Era Belanda · Era Jepang · Era Kemerdekaan
Arief
Tidak ada komentar:
Posting Komentar