arifuddinali.blogspot.com - Dipercaya bahwa asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan berasal dari To Manurung(orang bunian) manusia yang berasal dari langit, turun ke bumi. To Manurung ini membawa segala kebesaran, kehormatan, dan kesaktiannya. Menurut riwayat kuno, daratan Sulawesi mengalami 3 kali kedatangan To Manurung. Siapa saja mereka?
PERISTIWA ‘pendaratan’ pertama:
dipercaya bahwa yang mula-mula menjejakkan kakinya di daratan Sulawesi ialah “Tamboro Langi”. Lelaki perkasa ini berdiri di puncak gunung Latimojong. Ketika itu, daratan Sulawesi masih tergenang air, hanya puncak gunung Lompobattang yang mencuat di sebelah selatan, dan puncak gunung Latimojong di tengah-tengah.
Tamboro Langi lalu memproklamirkan diri sebagai utusan dari langit untuk memimpin manusia. Dengan kata lain, dia mengangkat dirinya sebagai raja dan rakyat harus tunduk padanya.
Tamboro Langi kawin dengan Tande Bilik, yaitu seorang dewi yang muncul dari busa air sungai Saddang. Puteranya yang sulung bernama Sandaboro, beranakkan La Kipadada. La Kipadada inilah yang membangun 3 buah kerajaan besar, yakni: di Rongkong asal mulanya kerajaan Toraja, di Luwu asal mulanya kerajan Bugis, dan di Gowa asal mulanya kerajaan Makassar.
Laksana garis nasib setiap peradaban, setelah keturunannya mengalami masa kejayaan, kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran yang berakibat kekacauan.
Untuk mengatasi kekacauan ini, ‘pendaratan’ kedua terjadi. Kali ini yang diutus masih seorang laki-laki bernama Batara Guru. Batara Guru kawin dengan We Nyilitimo, puteri dari Pertiwi (Bumi bawah) dan memperoleh putera yang diberi nama Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng, puteri dari Masyrik. Dari perkawinan mereka ini maka lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading.
Sawerigading membentuk sebuah kerajaan besar (negara) yaitu kerajan Luwu di Palopo, yang di bawahnya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang masing-masing merdeka dan berdaulat, seperti: Kerajaan Toraja, Palu, Ternate, Bone, Gowa, dll.
Kejayaan masa Sawerigading menemui pula kemunduran dan berakhir vakum; tujuh turunan lamanya tak ada raja si Sulawesi Selatan yang memerintah, sehingga yang memegang pemerintahan hanya penduduk isi dunia yang asli.
‘Pendaratan’ ketiga pun akhirnya tiba. Namun pendaratan kali ini terdapat beberapa orang To Manurung sekaligus pada beberapa tempat di tanah yang berbeda-beda, seperti di Toraja, Luwu, Bugis, dan Makassar, yang menjadi pokok asal raja-raja yang memangku kerajaan hingga saat ini.
To Manurung di Luwu bernama Sempurusiang, kawin dengan Pattiajala, puteri yang muncul dari air. To manurung di Bone bernama Matasilompoe, kawin dengan To Manurung perempuan di Toro. To Manurung di Gowa adalah seorang perempuan, kawin dengan Karaeng Bayo dari Pertiwi. To Manurung di Bacukiki memperistrikan To Manurung di Lawaramparang, dan turunannya menjadi raja di tanah-tanah sebelah barat danau Tempe (Ajatapparang) dan di sepanjang lereng gunung (Massinrinpulu).
Lalu, bagaimana corak pemerintahan mereka? Era Tamboro Langi’ adalah era pemerintahan yang absolute monarchi, yaitu kehendak raja saja yang jadi; rakyat cuma tahu tunduk dan menerima titah raja. Sementara pada peristiwa To manurung ketiga, corak pemerintahannya sudah agak demokrasi mesti diakui belum sempurna.
Peribahasa Bugis menyebutkan: “Makkeda tenribali, mette tenrisumpalang.” Artinya: “Berkata tak dapat dilawan, menyahut tak dapat disalahkan”. Gambaran akan sifat Absolute monarchie; apa yang dikatakan raja, itulah yang benar.
Namun sedikit berbeda ketika kejadian To Manurung di Gowa. Ketika To manurung menjejakkan kakinya di Tamalate, Patcallaya atas nama rakyat Gowa datang ke hadapan To Manurung, dan berkata: “Ana’mang, bainemang, iapa nakulle nipela, punna buttaya angkaeroki.” Artinya: Anak kami, istri kami, hanya dapat disingkirkan kalau tanah (rakyat) yang menghendaki.
Nampak di sini sifat-sifat demokrasi yang mulai berkembang ketika itu, bahwa seorang raja tidak bisa berbuat semaunya saja tanpa persetujuan adat. Hal ini dikuatkan oleh bukti ketika Tepu Karaeng Daeng Tarabung, Karaeng Bontolangkasa, raja Gowa ke XIII (1590-1593) diterjang gelombang pemberontakan oleh rakyatnya sendiri, lantaran memerintah secara zalim. Beliau ‘diusir’ dari kerajaannya pada tahun 1593.
Sumber: Majalah Makassar Terkini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar