arifuddinali.blogspot.com - Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasul pada usia 40
tahun dan menerima wahyu yang pertama sewaktu beliau berada di gua
Hira’. Sejak itu beliau mulai berdakwah memperkenalkan ajaran Islam
kepada penduduk Mekkah. Selama 13 tahun berkecimpung dalam dakwah,
mempertahankan, dan memperjuangkan syiar Allah di Mekkah tidak sedikit
tantangan dan rintangan yang beliau hadapi.
Beratnya
tantangan yang dihadapi menyebabkan beliau hijrah ke Madinah dan di
sana beliau diterima dengan tangan terbuka. Beliau berdakwah di Madinah
kurang lebih selama 10 tahun, sehingga akhirnya Islam menjadi agama yang
sempurna dan diterima luas oleh masyarakat.
Akhirnya
pada tahun 11 Hijrah, pada awal bulan Rabi’ul Awwal Rasulullah mulai
sakit-sakitan. Meskipun dalam kondisi sakit beliau tidak pernah
meninggalkan shalat berjamaah dengan para sahabat di masjid. Ini yang
perlu kita garis bawahi. Dalam kondisi sakit pun Rasulullah tetap
melakukan shalat berjamaah di masjid. Hal ini sangat berbeda dengan yang
kita lakukan sekarang. Jangankan dalam kondisi sakit, ketika sehat pun
kita sangat jarang berhubungan dengan masjid.
Sebenarnya
Nabi telah memberikan isyarat kepada para sahabat bahwa sakitnya
tersebut adalah sakit yang akan membawanya kapada kematian. Namun, para
sahabat tidak menyadarinya kecuali Abu Bakar r.a. Suatu hari setelah
shalat berjamaah beliau naik ke mimbar untuk menyampaikan sesuatu.
Setelah memuji Allah dan berselawat kepada diri dan keluarganya, beliau
berkata:
Innallaha khayyara ‘abdan baina ad-dunya wabaina ma ‘indahu. Fa ikhtara zalika al-’abdu ma ‘indallahi…. “Sesungguhnya
Allah telah memberikan pilihan kepada seorang hamba untuk memilih
antara kehidupan dunia dan apa yang ada di sisi-Nya di kehidupan
akhirat. Hamba tersebut memillih apa yang ada di sisi Allah di kehidupan
akhirat.”
Tidak satupun dari sahabat yang hadir mengerti bahasa
yang disampaikan Nabi tersebut. Hanya Abu Bakar yang menangis
tersedu-sedu karena hati dan perasaan beliau yang begitu dekat dengan
Nabi. Hatinya berkata bahwa Nabi akan segera berpulang menghadap sang
Khalik. Abu Bakar tahu bahwa hamba yang dimaksud adalah Nabi sendiri dan
hari-hari beliau yang tersisa tinggal sedikit. Beberapa hari kemudian
sakit Nabi bertambah parah dan beliau tidak sanggup lagi bangun dari
tempat tidur. Nabi lalu meminta Abu Bakar untuk menjadi imam
menggantikannya. Lihatlah betapa dalam kondisi sakit parah sekalipun
Rasulullah tetap memikirkan umatnya.
Di tengah masa-masa kritisnya, Nabi meminta izin kepada istri-istrinya untuk tinggal di tempat Aisyah, seorang istri yang paling disayangi di antara beberapa istri beliau. Beliau dirawat oleh Aisyah dan Fatimah putri kesayangannya. Fatimah adalah satu-satunya anak Nabi yang masih hidup pada waktu itu. Selama sakit, setiap hari Fatimah menjenguk ayahnya dan biasanya tiap kali ia memasuki kamar Nabi, beliau selalu berdiri menyambutnya dan mengajaknya duduk di sampingnya. Begitu besar cintanya kepada Fatimah. Di sini ada satu lagi pelajaran. Seorang Nabi berdiri menyambut kedatangan anaknya, bukan seperti kita yang tidak bergerak menunggu anak datang mencium tangan kita. Rasulullah tidak demikian, dia berdiri dan menghampiri anaknya yang datang.
Namun
pada hari wafatnya Nabi tidak sanggup lagi untuk bangun menyambutnya.
Akhirnya, Fatimah pun duduk di samping beliau. Nabi kemudian mengatakan
sesuatu yang membuat Fatimah menangis, sesaat kemudian Nabi berkata-kata
lagi dan kali ini Fatimah tersenyum. Di kemudian hari setelah Nabi
wafat
Fatimah ditanya tentang apa yang dibisikkan Nabi kepadanya. Fatimah berkata, “Ayah memberitahuku bahwa ini adalah sakitnya yang terakhir, akupun menangis karena sedih. Sesaat kemudian ayah mengatakan bahwa aku adalah orang pertama yang akan menyusulnya, lalu akupun tersenyum karena gembira”. Sungguh sebuah percakapan yang mengharukan antara ayah dan anak.
Pada saat
sakaratul maut, Nabi berusaha menahan rasa sakitnya dengan mengusap-usap
wajahnya dengan air yang tersedia dalam mangkok di sampingnya sambil
berkata Allahumma a’inni ‘ala sakaratil maut ..”Ya Allah bantulah
aku dalam menghadapi sakitnya sakaratul maut”. Saat itu kepala beliau
berada dalam pangkuan Aisyah istrinya tercinta. Aiyah mendengar Rasul
berujar bal ar-rafiq al-’ala (Hanya Tuhanku yang Maha Tinggi dan
Agung). Dengan terharu Aisyah berkata, “Engkau telah diberikan pilihan
dan inilah pilihanmu, demi Zat yang telah mengutusmu dengan kebenaran”.
Sesaat kemudian Rasul pun menghadap sang Khalik dengan tenang dan
diiringi oleh istri dan anaknya tercinta serta puluhan sahabat yang
menunggu di luar rumah. (Insya Allah bersambung) (Milist
SD-SMP-IT-Istiqamah/Soetrisno)
Berita wafatnya Nabi dengan segera menyebar ke
masyarakat. Kaum muslimin berduyun-duyun mendatangi rumah Rasulullah
dengan perasaan sedih, bingung dan histeris. Bahkan ada yang tidak bisa
menerima dan percaya bahwa Nabi sudah tiada, termasuk Umar bin Khattab.
Dengan menghunus pedang, Umar mengancam akan membunuh siapa saja yang
mengatakan Rasulullah sudah meninggal.
Umar
histeris sambil mengatakan bahwa Nabi tidak meninggal tetapi Nabi hanya
pergi sebentar menemui Allah dan akan kembali kepada umatnya, seperti
yang terjadi ketika Nabi Musa bin Imran yang pergi meninggalkan kaumnya
dan kembali lagi setelah 40 hari. Lihatlah betapa dalam rasa cinta
sahabat terhadap Nabi. Wafatnya Rasulullah bisa menghilangkan akal sehat
seorang Umar yang terkenal tegas dan keras.
Sesaat kemudian Abu Bakar masuk dan membuka kain penutup wajah Nabi, mengecupnya lalu menangis tersedu-sedu. Abu Bakar berkata, “Demi ayah dan ibuku, engkaulah yang terbaik dalam hidup dan matimu. Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Allah tidak akan pernah menyakitimu”. Itulah ungkapan hati dari seorang penasehat, sahabat, mertua, dan sekaligus pengikut setia.
Abu Bakar kemudian keluar rumah dan
meminta kaum muslimin yang hadir untuk duduk. Mereka pun menurutinya,
kecuali Umar r.a. yang masih belum bisa mengendalikan emosinya. Abu
Bakar meminta Umar untuk duduk, maka ia pun menurutinya. Lalu Abu Bakar
berpidato, “Siapa saja yang menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa
Muhammad telah tiada. Dan barangsiapa yang menyembah Allah, maka
sesungguhnya Allah itu hidup dan tidak akan pernah mati.” Kemudian ia
membacakan ayat Al-Quran Surah Ali ‘Imran ayat 144 yang bunyinya: wama
Muhammadun illa Rasulun qad khalat min qablihi ar-rusulu. Afa-in mata
aw qutila inqalabtum ‘ala a’qabikum. Wa man yanqalibu ‘ala a’qibaihi
falan yadhurru allaha syai-an wa sayajzi allahu asy-syakirina.
Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berpaling ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Artinya: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berpaling ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Mendengar
pidato Abu Bakar tersebut, kaum muslimin pun menangis sedih dan
akhirnya mereka menyadari bahwa inilah kehendak Allah yang harus mereka
terima.
Nabi meninggal pada usia 63 tahun dengan tidak
meninggalkan harta benda berharga apapun. Nabi Muhammad adalah seorang
pemimpin hebat, tetapi hidupnya sangat sederhana. Hal ini semestinya
menjadi contoh bagi pemimpin sekarang. Semoga Allah selalu memberikan
rahmat dan petunjuknya kepada kita semua.
Kesimpulan
Kisah di atas menyajikan banyak pelajaran buat kita, di antaranya:
- Sakit bukan alasan untuk meninggalkan shalat. Banyak di antara kaum muslimin yang selama usia sehatnya selalu rajin ke masjid mendirikan shalat, tetapi beberapa hari menjelang kematiannya secara total meninggalkan shalat. Sikap meninggalkan shalat semacam ini sangat disayangkan.
- Ketika Nabi SAW ditawarkan sebuah pilihan: kehidupan di dunia atau kehidupan di sisi Allah, Nabi SAW dengan tidak ragu-ragu memilih yang kedua. Inilah sikap muslim yang selalu dekat dengan Allah, dan inilah pula sikap yang benar (bukannya malah takut mati seperti umumnya manusia sekarang.)
- Nabi SAW menunjukkan kasih sayang pada anak dan terus menjaga hubungan baik dengan anaknya. Orangtua harus meniru sikap Nabi yang menyayangi dan menghargai anak-anak, tidak hanya dengan berdiri menyambut kedatangan mereka tetapi juga dalam arti seluas-luasnya.
- Keluarga Nabi seluruhnya hadir pada detik-detik Rasulullah menghembuskan nafas yang terakhir. Usahakan ini pulalah kondisi keluarga kita pada saat salah seorang dari anggota keluarga kita akan menjumpai Tuhannya. Anak jangan sampai tidak menemani orangtuanya yang sakaratul maut, walaupun harus meninggalkan pekerjaan yang nilainya berpuluh-puluh milyar sekalipun. Jadilah anak yang shaleh dengan berusaha hadir di samping orangtua saat sakaratul maut, jangan hanya mendengar dari jauh kabar kesakitan dan kematiannya.
- Kita boleh bersedih dan menangis di saat orang dekat kita menghadapi sakaratul maut atau meninggal dunia. Tapi jagalah perasaan sedih tersebut, jangan sampai berlebih-lebihan seperti meratapi si mayat atau memukuli diri sendiri.
- Seperti dicontohkan Nabi, hanya keluarga dekat sajalah yang menemani saat-saat terakhir anggota keluarga kita. Teman-teman, anggota masyarakat, tetangga cukup menunggu di luar. Tidak usah bergabung beramai-ramai menyaksikan orang yang sedang menjelang ajal.
- Dalam menghadapi sakaratul maut mintalah agar disediakan air untuk mengusap wajah sambil membaca Allahumma a’inni ‘ala sakaratil maut. Mudah-mudahan Allah mengurangi sakitnya sakaratul maut.
- Sekeras apapun kepribadian Anda, hendaklah Anda tunduk kepada kebenaran. Umar langsung menjadi “dingin” dan menerima berita kematian Rasulullah setelah mendengar ayat-ayat Al-Quran yang menegaskan adanya kematian bagi Rasul. Hati seorang mukmin seyogyanya lembut sekeras apapun watak dan perilakunya.
- Contohlah kehidupan sederhana Rasulullah. Jangan terlena dengan gemerlapnya kehidupan dunia sehingga kita terjauh dari nilai-nilai hidup sederhana yang dicontohkan Rasulullah. Sukses tidak ditentukan oleh kemewahan duniawi, tapi oleh kedekatan seseorang dengan Allah SWT.
Sumber : Milis SD-SMP-IT-Istiqamah Balikpapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar