WELCOME TO THE BLOG SERBA SERBI.

Jumat, 24 Februari 2012

Prasasti di Nusantara


Prasasti Nusantara adalah prasasti yang berasal dari wilayah Nusantara. Prasasti-prasasti ini ditulis dalam aksara serta bahasa-bahasa asli Nusantara dan bahasa-bahasa asing, seperti bahasa Sanskerta. Di bawah ini disajikan daftar seleksi beberapa prasasti Nusantara yang penting atau menarik. Semua tahun yang disebut di bawah ini adalah tahun Masehi.

1. Bahasa Sanskerta

Prasasti Mulawarman, Kutai, ~ 400
Prasasti Mulawarman berupa yupa.


Prasasti Mulawarman, atau disebut juga Prasasti Kutai, adalah sebuah prasasti yang merupakan peninggalan dari Kerajaan Kutai. Terdapat tujuh buah yupa yang memuat prasasti, namun baru 4 yang berhasil dibaca dan diterjemahkan. Prasasti ini menggunakan huruf Pallawa Pra-Nagari dan dalam bahasa Sanskerta, yang diperkirakan dari bentuk dan jenisnya berasal dari sekitar 400 Masehi. Prasasti ini ditulis dalam bentuk puisi anustub.


Prasasti Kebon Kopi, Ciampea, Bogor, ~ 400
Prasasti Kebonkopi di Museum Sejarah Jakarta.

Prasasti Kebonkopi I (dinamakan demikian untuk dibedakan dari Prasasti Kebonkopi II) merupakan salah satu peninggalan kerajaan Tarumanagara. Prasasti Kebonkopi I ditemukan di Kampung Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, pada abad ke-19 ketika dilakukan penebangan hutan untuk lahan perkebunan kopi. Sejak itu prasasti ini disebut Prasasti Kebonkopi I hingga saat ini masih berada di tempatnya (in situ). Prasasti Kebonkopi pertama kali dilaporkan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864 yang kemudian disusul pendeta J.F.G. Brumun (1868), A.B. Cohen Stuart (l875), P.J. Veth (l878, 1896), H. Kern (1884, 1885, 1910), R.D.M. Verbeek (1891) dan J.Ph. Vogel (1925).


Prasasti Tugu, Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, abad ke-5
Prasasti Tugu di Museum Nasional..
Prasasti Tugu adalah salah satu prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya. Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.


Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, abad ke-5
Prasasti Cidanghiyang adalah salah satu prasasti yang berasal dari kerajaan Tarumanagara dan terletak di wilayah Pandeglang. Prasasti Cidanghiyang terletak di tepi (sungai) Cidanghiyang di desa Lebak, kecamatan Munjul, kabupaten Pandeglang. Koordinat lokasi prasasti ini adalah 0°55’40,54” BB (dari Jakarta) dan 6°38,27’57”. Prasasti Cidanghiyang dilaporkan pertama kali oleh Toebagus Roesjan kepada Dinas Purbakala ahun 1947 (OV 1949:10), tetapi diteliti pertamakli tahun 1954. Prasasti Cidanghiyang dipahatkan pada batu dengan bentuk alami (3 x 2 x 2 meter). Prasasti Cidanghiyang ditulis dalam aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Anustubh (bentuk aksaranya mirip dengan yang digoreskan pada Prasasti Tugu dari periode yang sama). Vikranto ‘yam vanipateh/prabhuh satya parakramah narendra ddhvajabhutena/ srimatah purnnawvarmanah. "Inilah (tanda) keperwiraan, keagungan, dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia, yang Mulia Purnawarman yang menjadi panji sekalian raja-raja."


Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
Salinan gambar prasasti Ciaruteun dari buku The Sunda Kingdom of West Java From Tarumanagara to Pakuan Pajajaran with the Royal Center of Bogor.
Prasasti Ciaruteun atau prasasti Ciampea ditemukan ditepi sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor. Prasasti tersebut merupakan peninggalan kerajaan Tarumanagara.
Prasasti Ciaruteun terletak di desa Ciaruteun Hilir, kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor tepatnya pada koordinat 0°7’2,76” BB (dari Jakarta) dan 6°38’09”.
Tempat ditemukannya prasasti ini merupakan bukit (bahasa Sunda: pasir) yang diapit oleh tiga sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat ini masih dilaporkan sebagai Pasir Muara, yang termasuk dalam tanah swasta Ciampéa (sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang).
Menurut Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara parwa 2, sarga 3, halaman 161 disebutkan bahwa Tarumanagara mempunya rajamandala (bawahan) yang dinamai "Pasir Muhara". Prasasti Ciaruteun dilaporkan oleh pemimpin Bataaviasch Genootschap van Kunsten en Weten-schappen (sekarang Museum Nasional) pada tahun 1863. Akibat banjir besar pada tahun 1893 batu prasasti ini terhanyutkan beberapa meter ke hilir dan bagian batu yang bertulisan menjadi terbalik posisinya ke bawah. Kemudian pada tahun 1903 prasasti ini dipindahkan ke tempat semula. Pada tahun 1981 Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengangkat dan memindahkan prasasti batu ini agar tidak terulang terseret banjir. Prasasti Ciaruteun dibuat dari batu alam.


Prasasti Muara Cianten atau Prasasti Pasir Muara, Ciampea, Bogor, 536
Prasasti Muara Cianten atau Prasasti Pasir Muara adalah salah satu prasasti peninggalan kerajaan Tarumanagara. Prasasti Muara Cianten terletak di tepi(sungai) Cisadane dekat Muara Cianten yang dahulu dikenal dengan sebutan prasasti Pasir Muara (Pasiran Muara) karena memang masuk ke wilayah kampung Pasirmuara. Prasasti Muara Cianten dipahatkan pada batu besar dan alami dengan ukuran 2.70 x 1.40 x 140 m3. Peninggalan sejarah ini disebut prasasti karena memang ada goresan tetapi merupakan pahatan gambar sulur-suluran (pilin) atau ikal yang keluar dari umbi. Prasasti ini pertamakali ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864.


Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor, abad ke-5
Prasasti Jambu atau Pasir Kolengkak adalah prasasti yang berasal dari Kerajaan Tarumanagara yang ditemukan di daerah perkebunan jambu kira-kira 30 km sebelah barat Bogor. Prasasti Jambu terletak di Pasir Sikoleangkak (Gunung Batutulis ±367m dpl) di wilayah kampung Pasir Gintung, Desa Parakanmuncang, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Koordinat 0°15’45,40” BB (dari Jakarta) dan 6°34’08,11”. Dahulu pada masa kolonial Belanda lokasi ini termasuk Perkebunan Karet Sadeng-Djamboe tetapi sekarang disebut PT.Perkebunan XI Cikasungka-Cigudeg- Bogor. Prasasti Jambu ditemukan pertamakali tahun 1854 oleh Jonathan Rigg dan dilaporkan kepada Dinas Purbakala tahun 1947 (OV 1949:10), tetapi diteliti pertamakali pada tahun 1954. Prasasti Jambu dipahatkan pada batu dengan bentuk alami (sisi-sisinya berukuran kurang lebih 2-3meter).

Prasasti Jambu terdiri dari dua baris aksara Pallawa yang disusun dalam bentuk seloka bahasa Sanskerta dengan metrum Sragdhara. Pada batu prasasti ini juga terdapat pahatan gambar sepasang telapak kaki yang digoreskan pada bagian atas tulisan tetapi sebagian amvar telapak kaki kiri telah hilang karena batu bagian ini pecah.

Prasasti ini menyebutkan nama raja Purnnawarmman yang memerintah di negara Taruma. Prasasti ini tanpa angka tahun dan berdasarkan bentuk aksara Pallava yang dipahatkannya (analisis Palaeographis) diperkirakan berasal dari pertengahan abad ke-5 Masehi.
Teks:

siman=data krtajnyo narapatir=asamo yah pura tarumayam/ nama sri purnnavarmma pracura ri pusara bhedya bikhyatavarmmo/

tasyedam= pada vimbadvayam= arinagarot sadane nityadaksam/ bhaktanam yandripanam= bhavati sukhakaram salyabhutam ripunam//

Bunyi terjemahan prasasti itu adalah:
"Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin manusia yang tiada taranya yang termashyur Sri Purnawarman yang sekali waktu (memerintah) di Taruma dan yang baju zirahnya yang terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang tapak kakinya yang senantiasa menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya."


Prasasti Pasir Awi atau Prasasti Ciampea, Citeureup, Bogor,
Prasasti Pasir Awi atau Prasasti Ciampea adalah salah satu prasasti peninggalan kerajaan Tarumanagara.

Lokasi
Prasasti Pasir Awi terletak di lereng selatan bukit Pasir Awi (± 559m dpl) di kawasan hutan perbukitan Cipamingkis, desa Sukamakmur, kecamatan Jonggol, kabupaten Bogor tepatnya pada koordinat 0°10’37,29” BB (dari Jakarta) dan 6°32’27,57”. Berada di puncak ketinggian perbukitan, dengan arah tapak kaki atau posisi berdiri menghadap ke arah utara-timur. Posisi berdiri berada di sisi yang curam yang memberikan pandangan luas ke wilayah bukit dan lembah di bawahnya. Secara spesifik, jika kita berdiri persis di atas tapak kaki, kita merasakan posisi berdiri yang cukup santai dan tanpa perasaan takut walaupun berada di sisi yang curam.

Bahan
Prasasti Pasir Awi telah diketahui sejak tahun 1867 dan dilaporkan sebagai prasasti Ciampea. Peninggalan sejarah ini dipahat pada batu alam.

Isi
Prasasti Pasir Awi berpahatkan gambar dahan dengan ranting dan dedaunan serta buah-buahan (bukan aksara) juga berpahatkan gambar sepasang telapak kaki.
Penemuan
Prasasti ini pertama kali ditemukan oleh N.W. Hoepermans pada tahun 1864.


Prasasti Tukmas, Dakawu, Grabag, Magelang, Jawa Tengah, ~ 500
Prasasti Tuk Mas (harafiah berarti "mata air emas") adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di lereng barat Gunung Merapi, tepatnya di Dusun Dakawu, Desa Lebak, Kecamatan Grabag, Magelang. Prasasti Tuk Mas dipahat dengan aksara Pallawa dan dalam bahasa Sanskerta. Bentuk aksaranya lebih muda daripada aksara masa Purnawarman, dan diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-6 hingga abad ke-7 M.

Isi prasasti
Aksara prasasti ini sudah banyak yang rusak. Namun bagian yang masih dapat dibaca antara lain menyebutkan adanya sebuah sungai yang mengalir bagaikan Sungai Gangga di India. Pada prasasti ini terdapat pula lukisan alat-alat, seperti trisula, kendi, kapak, sangkha, cakra, dan bunga tunjung.


Prasasti Canggal, Candi Gunung Wukir, Desa Kadiluwih, Salam, Magelang, Jawa Tengah, 732
Prasasti Canggal, disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia, Jakarta.
Prasasti Canggal (juga disebut Prasasti Gunung Wukir atau Prasasti Sanjaya) adalah prasasti dalam bentuk candra sengkala berangka tahun 654 Saka atau 732 Masehi yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Kadiluwih, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah.

Prasasti yang ditulis pada stela batu ini menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti dipandang sebagai pernyataan diri Raja Sanjaya pada tahun 732 sebagai seorang penguasa universal dari Kerajaan Mataram Kuno

Prasasti ini menceritakan tentang pendirian lingga (lambang Siwa) di desa Kunjarakunja oleh Sanjaya. Diceritakan pula bahwa yang menjadi raja mula-mula adalah Sanna, kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha, saudara perempuan Sanna.
Terjemahan bebas isi prasasti adalah sebagai berikut:
Bait 1 : Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung
Bait 2-6 : Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu
Bait 7 : Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa
Bait 8-9 : Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung
Bait 10-11 : Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha)
Bait 12 : Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang.
Kunjarakunja-desa dapat berarti "tanah dari pertapaan Kunjara", yang diidentifikasikan sebagai tempat pertapaan Resi Agastya, seorang maharesi Hindu yang dipuja di India selatan. Dalam epik Ramayana, diceritakan bahwa Rama, Sinta, dan Laksmana mengunjungi pertapaan Agastya di gunung Kunjara.
.

Prasasti Tri Tepusan, Kedu, Temanggung, Jawa Tengah, 842
Prasasti Mula Malurung, Kediri, 1255

 

2. Bahasa Melayu

Prasasti-prasasti berikut berbahasa Melayu, baik bahasa Melayu Kuna maupun Melayu Klasik (Pertengahan).
  • Prasasti Sojomerto, Desa Sojomerto, Kecamatan Reban, Batang, Jawa Tengah[1], awal abad ke-7 paling tua[2].
  • Prasasti Kedukan Bukit, Palembang, Sumatra Selatan, 16 Juni 682
  • Prasasti Talang Tuwo, Palembang, Sumatra Selatan, 23 Maret 684
  • Prasasti Kota Kapur, Kota Kapur, Bangka, 686
  • Prasasti Bukateja, Bukateja, Purbalingga, Jawa Tengah[3], abad ke-6 atau ke-7
  • Prasasti Karang Brahi, Karangberahi, Jambi, abad ke-7
  • Prasasti Telaga Batu, Palembang, Sumatra Selatan, abad ke-7
  • Prasasti Palas Pasemah, Palas,Lampung, abad ke-7
  • Prasasti Raja Sankhara, Sragen, Jawa Tengah, abad ke-8 (kini hilang).[4]
  • Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung, Jawa Tengah, 824 (dwibahasa, Melayu Kuna dan Jawa Kuna)
  • Prasasti Gandasuli I dan II, Candi Gondosuli, Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah, 832[3]
  • Keping Tembaga Laguna, Manila, Filipina, 900[3]
  • Prasasti Hujung Langit, Hujung Langit, Lampung, 997
  • Prasasti Dewa Drabya, Dieng, Jawa Tengah[3]
  • Prasasti Mañjuçrighra, Candi Sewu, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, 2 November 792M[3]
  • Prasasti Terengganu, Trengganu (Malaysia), (abad ke-14, yaitu 1303, 1326 atau 1386)
  • Prasasti Minyetujoh, Minye Tujuh, Aceh, 1380

 

3. Bahasa Jawa

Prasasti-prasasti berikut berbahasa Jawa, baik Jawa Kuna (Kawi) maupun Baru.
  • Prasasti Plumpungan, Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Salatiga, Jawa Tengah, 24 Juli 750
  • Prasasti Sukabumi, Sukabumi, Pare, Kediri, Jawa Timur, 25 Maret 804
  • Prasasti Kayumwungan, Karangtengah, Temanggung, Jawa Tengah (dwibahasa), 824
  • Prasasti Siwagrha (Prasasti kakawin tertua Jawa), 856
  • Prasasti Taji, 901
  • Prasasti Mantyasih, Desa Meteseh, Magelang Utara, Jawa Tengah, 11 April 907
  • Prasasti Rukam, 907
  • Prasasti Wanua Tengah III, 908
  • Prasasti Wurudu Kidul, tanpa tahun, ~ 922
  • Prasasti Mula Malurung, Kediri, 1255[5]
  • Prasasti Sarwadharma, pemerintahan Kertanegara, 1269
  • Prasasti Sapi Kerep, Desa Sapi Kerep, Sukapura, Probolinggo, 1275[5]
  • Prasasti Singhasari 1351, Singosari, Malang, Jawa Timur, 1351
  • Prasasti Ngadoman, Ngadoman (Salatiga), Jawa Tengah, 1450
  • Prasasti Pakubuwana X, Surakarta, Jawa Tengah, 1938

 

4. Bahasa Bali

  • Prasasti Blanjong, Sanur, Bali, 913 (dwibahasa, Bali Kuna dan Sanskerta)
  • Prasasti Bebetin, Sawan, Buleleng, Bali, 1049 (salinan dari asli yang berasal dari tahun 896)
  • Prasasti Pandak Badung, Tabanan, Bali, 1071

 

5. Bahasa Sunda

  • Prasasti Astana Gede, Kawali, Ciamis, Jawa Barat ~ 1350
  • Prasasti Batutulis, Bogor ~ 1533
  • Prasasti Kebantenan, Bekasi, Jawa Barat ~ 1521
  • Prasasti Galuh, Galuh, Ciamis, Jawa Barat ~ 1470
  • Prasasti Rumatak, Geger Hanjuang, desa Rawagirang, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat ~ 1111
  • Prasasti Cikajang, Cikajang, Garut, Jawa Barat
  • Prasasti Hulu Dayeuh, Huludayeuh, desa Cikalahang, Cirebon, Jawa Barat
  • Prasasti Ulubelu, Lampung
  • Prasasti Cikapundung, prasasti yang diduga dari abad ke-14, Bandung, Jawa Barat

 

6. Bahasa Portugis

  • Padrão Sunda Kelapa, Pasar Ikan, Jakarta Utara, 21 Agustus 1522

 

7. Lihat

  • Aksara Nusantara
  • Bahasa
  • Sastra
  • Prasasti Singapura
  • Prasasti di Tatar Sunda

 

8. Rujukan

  1. Situs Kabupaten Batang, diakses 7 Juni 2007
  2. Boechari 1966. Preliminary report on the discovery of an Old-Malay iscription at Sodjomerto. Majalah Ilmu-ilmu Sastra 2:241-248
  3. Situs "The History of Pasuruan Regency"
  4. Bambang Budi Utomo: Menghargai Cagar Budaya
  5.  Intrik Berdarah Tak Jemu-jemu, artikel pada Kompas Online

Arief

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bebas Bayar

bebas bayar, pembayaran mudah dan cepat, transaksi online, pembayaran tagihan dan tiket, transfer dana online

gif maker

Arifuddin Ali